Anda di halaman 1dari 20

Dari Otoritarianisme Ke Demokrasi: Kemunculan

Negara-Negara Demokrasi Baru

Semenjak tahun 1970-an, telah terdapat


gelombang pasang yang nyata dari demokrasi-
demokrasi baru yang muncul dari Negara yang masa
lalunya bersifat otoriter dan totaliter. Dimulai dari bagian
selatan Eropa (Yunani dan Spanyol), ke Amerika Latin
(Argentina, Chile, Brazil, dan Uruguay), kemudian ke
bagian timur Eropa (Polandia, Jerman Timur dan
Hongaria), dan Afrika Selatan serta Negara – Negara
lainnya, mereka semua memiliki pengalaman yang
sama harus berekonsiliasi dengan warisan masa lalu
yang berupa pelanggaran HAM yang ditinggalkan oleh
rezim otoriternya yang baru berlalu.
Menurut Samuel P. Huntington, dalam dua (hingga tiga)
dekade terkahir ini, kita melihat terjadinya revolusi politik yang luar
biasa dimana transisi dari otoritarianisme meunju demokrasi telah
terjadi di lebih dari 40 negara. Rezim otoritarian sebelumnya berubah
secara signifikan termasuk pemerintahan militer di Amerika Latin dan
sebagainya; rezim satu partai di Negara komunis, juga Taiwan,
diktator personal Spanyol, Filipina, Rumania dan dimana saja; serta
oligarki rasial di afrika selatan. Proses transisi ini juga sangat
bervariasi. Dalam beberapa kasus, termasuk di berbagai rezim militer,
kelompok reformis menguat di dalam rezim otoriter dan mengambil
inisiatif untuk emndorong transisi. Dalam kasus lainnya, transisi ini
muncul dari negosiasi anatara pemerintah dengan kelompok oposisi.
Dan ada yang lahir dari digusurnya aau ambruknya rezim otoritarian.
Dalam kasus yang sangat sedikit, ada intervensi Amerika Serikat
dalam menjatuhkan kediktatoran dan menggantikannya dengan rezim
yang dipilih rakyat.
Samuel p. Huntington,”mereformasi Hubungan Sipil Militer”
dalam Larry Diamond and Marc F. Plattner,eds. Civil-Military Relations
dan Democracy, atau Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi
Demokrasi ( Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2000), hal 3; lihat
pula, Samuel P. Huntigton, The Clash of Civilzation and The
Remaking of world order (London: Touchstone Books, 1998.
Reposisi Hubungan Sipil-Militer
Menurut Huntington, sesungguhnya semua rezim
otoritarian, apapun tipenya, mempunyai kesamaan dalam
satu hal, hubungan sipil-militer mereka tidak begitu
diperhatikan. Istilah ini mengandung makna 1)
profesionnalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari
pejabat militer akan batas-batas profesionalisme yang
menjadi bidang mereka; (2) subordinasi yang efektif dari
militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan
pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer (3) pengakuan
dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tersebut atas
kewenangan professional dan otonomi bagi militer, dan
akibatnya (4) minimalisasi intervensi militer dalam politik dan
minimalisasi intervensi politik dalam militer.
Perumusan Kebijakan Baru Untuk Menyelesaikan
Hubungan Dengan Rezim Sebelumnya.

Dalam kasus-kasus lainnya di chile,


pemerintah telah memilih sarana yang berbeda
untuk berhubungan dengan masa lalunya,
misalnya dengan membuka kebenaran dari
pelanggaran-pelanggaran HAM dan dorongan
terhadap suatu pengakuan publik akan kejahatan-
kejahatan dan bahkan suatu permintaan maaf
terhadap para korban. Walaupun pada awalnya
muncul skeptisme terhadap pola-pola
pengungkapan semacam itu, yang dikuatirkan
akan menjurus kearah instabilitas, komisi-komisi
kebenaran
Ini kemudian secara cepat mendapatkan
dukungan di berbagai kalangan sebagai salah
satu mekanisme simbolis untuk memutuskan
hubungan dengan masa lalu, bagaimanapun
dengan penerimaan itu, kadang kala timbul suatu
penyederhanaan konsepsi bahwa”kebenaran”
lebih baik untuk keadilan dan bahwa laporan dari
komisi-komisi kebenaran merupakan alternatif
yang lebih baik untuk keadilan dan bahwa
laporan dari komisi-komisi kebenaran merupakan
alternative yang lebih baik bagi tuntutan-tuntutan
pidana sejenis terhadap pelanggaran-
pelanggaran (HAM)
C. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik

1. Kasus Pembunuhan Steven Biko di Afrika Selatan


Pada tanggal 18 Agustus 1977, Steven Biko, pendiri dari
Gerakan Kesadaran Kaum Kulit Hitam ( Black Consciousness
Movement) dan pemimpin kulit hitam yang palin kharismatik yang
muncul di afrika dalam masa penahanan yang panjang dari Nelson
Mandela, ditahandi suatu pos polisi penghadang jalan. Dia kemudian
meninggal dunia pada tanggal 12 September 1977. Dia kemudian
meninggal dunia pada tanggal 12 September 1977, terbaring
telanjang di atas tikar dari lantai baru di rumah sakit penjara Pretoria,
dengan mulut penuh bekas pukulan dan berbusa. Pembunuhan
terhadapnya merupakan salah satu bentuk kejahatan dari sederetan
kekejaman mengerikan yang banyak terjadi selama diterapkannya
sistem apartheid di Afrika Selatan, suatu sistem yang diberi label oleh
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai suatu
kejahatan terhadap kemanusiaan. Kebijakan diskriminasi yang
didasarkan pada perbedaan warna kulit, yakni kulit putih terhadap
kulit hitam.
Dua puluh tahun kemudian, lima orang dari kelompok
polisi yang membunuh Biko mengajukan permohonan
pengampunan (amnesty) kepada Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi Afrika Selatan. komisi yang dibentuk tahun 1995
ini, kemudian mengajukan tuntutan dengan kekebalan hukum
yang lengkap kepada mereka yang telah melakukan berbagai
kejahatan yang diasosiasikan dengan suatu motivasi atau
tujuan politik. Dalam putusannya pada tanggal 16 Februari
1999, Komisi Kebenaran dan Disebut sebagai South African
Truth and Reconciliation Commission.
Rekonsiliasi Afrika Selatan kemudian menyatakan
menolak untuk memberikan amnesti terhadap para pembunuh
Steven Biko, berdasarkan dua alas an sebagai berikut: (1)
para pembunuh Biko, belum memberikan kesaksiannya
dengan sejujur-jujurnya tentang kematian Biko kepada komisi,
dan (2) pembunuhan Biko tidak terkait dengan suatu tujuan
politik.
Prespekif Hukum Internasional
Sebagaimana diketahui, dalam
berbagai transisi, fungsi hukum dari
penghukuman dan amnesti harus
dibandingkan, dan prioritas relative
diantara kedua hal tersbut tidak dapat
disusun secara teoritis.
Beberapa Negara Amerika Latin
Beberapa Negara Non-Amerika Latin
KEADILAN TRANSISIONAL
Beberapa sanksi terhadap kejahatan HAM
berat Putusan Pengadilan Nuremburg
Sebagaimana diuraikan Burns H.Weston, ,
Richard A.Falk dan Anthony D’Amato, Pengadilan
Nuremberg tersebut memiliki kewenangan untuk
mengadili dan menghukum orang-orang yang
turut berkonspirasi melakukan kejahatan terhadap
perdamaian (crimes against peace), kejahatan
perang (war crime) dan kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against humanity) .
pengadilan tersebut memriksa sebanyak 22
orang.
B. Konteks Internasional Pada Waktu Transisi

Dari analisis perbandingan yang dilakukan Huyse


terhadap Belgia, Perancis, dan Belanda, dan tiga negara
pascakomunis-Cekoslovakia, Hongaria, dan Polandia-
tersebut, didapatkan kesimpulan pertama bahwa tindakan-
tindakan yang dilakukan oleh para elit politik merupakan
suatu fungsi dari kondisi-kondisi yang menjadi jalan kea rah
demokrasi kesimpulan ini timbul setelah adanya pernyataan
bahwa demokrasi baru dari masa akhir-akhir ini, yang
kontras dengan rezim yang menang di Belgia, Perancis, dan
Belanda, harus bergumul dengan isu-isu krusial sebagai
berikut: bagaimana untuk mendudukan atau menyelesaikan
persoalan masa lalu tanpa merepotkan proses transisi yang
sedang berlangsung. Sedangkan kesimpulan kedua adalah
bahwa tidak ada satupun solusi ajaib untuk berhubungan
dengan masa lalu yang represif. Pada masa pascaperang di
Belgia, Perancis dan Belanda, terdapat suatu kesempatan
luas untuk melakukan penuntutan dan penghukuman.
C. Dilema Penerapan Aturan Hukum
Dalam periode transisi politik yang substansial, timbul suatu
dilemma tentang penghormatan terhadap aturan-aturan hukum,
dimana hal ini berkaitan dengan permasalahan keadilan bagi rezim
yang menggantikan. Dengan dasar apakah suatu rezim yang terdahulu
dapat dibawa ke pengadilan? Dalam konteks pertentangan ini, apakah
oleh keadilan pidana yang menggantikan ini membawa kita kea rah
permasalahan yang lebih luas tentang teori mengenai sifat dan
peranan hukum dalam proses transformasi menuju suatu negara
liberal.
Sebagai contoh, di jerman ada 2 ahli hukum yang saling
bertolak belakang dalam hal penghukuman terhadap para mantan
kolaborator Nazi, yaitu : Hart dan Fueller. Hart menganut aliran
positivisme hukum yang menyatakan bahwa seluruh hukum yang
masih berlaku wajib dilaksanakan sebelum ada ketentuan-ketentuan
hukum baru, jadi walaupun tidak bermoral tetap harus dijalankan.
Sedangkan menurut Fueller peraturan yang menghukum para nazi
tersebut adalah hukum yang baru dibuat berdasarkan demokrasi
karena putusnya hubungan dengan rezim otoriter maka putus pula
hubungan hukum Nazi tersebut. Pada akhirnya pemerintahan Jerman
memakai cara Fueller untuk menghukum para kolaborator Nazi
tersebut.
TANGGAPAN
Berdasarkan pembahasan Hak Asasi Manusia
dalam Transisi Politik Indonesia oleh Prof Satya
Arinanto,SH,M.Hum, . Transisi politik biasanya
menjelaskan bagaimana perubahan politik terjadi
pada masa pergantian rezim kekuasaan dan pada
umumnya terjadi pada masa pemerintahan yang
sudah lama berkuasa. Perubahan dari negara
totaliter menjadi negara demokrasi karena beberapa
hal. Di beberapa negara terjadi penguatan kelompok
reformis sehingga mendorong pemerintahan menjadi
demokratis. Ada pula yang terjadi karena negosiasi
antara rezim berkuasa dengan kelompok oposisi.
Bahwa ada suatu hukum yang mengatur dimana jika
ada kekuasaan yang otoriter berkuasa maka
masyarakat pada negara tersebut menginginkan
suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Pada masa
perubahan dari rezim otoriter ke rezim demokrasi
disebut transisi politik.
Hukum internasional berperan untuk
mengurangi dilema dari aturan hukum yang
dilontarkan oleh keadilan pengganti dalam
waktu transisi dan untuk menjustifikasi legalitas
berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip
retroaktif.
Khusus untuk negara Timur Tengah yang
kaya akan minyak, kita tidak dapat menafikan
campur tangan Amerika Serikat dalam proses
revolusi yang terjadi disana. Walaupun harus
diakui , negara tersebut diperintah oleh rezim
otoriter, tetapi mereka dapat menentukan nasib
mereka sendiri tanpa tendensi pihak luar.
Di Indonesia sendiri sejak memasuki Era
Reformasi kondisi perpolitikan di Indonesia
semakin mengarah ke alam demokratisasi. Hal
tersebut dapat dilihat dari diterapkannya
beberapa tahapan-tahapan demokratis selama
bergulirnya Era Reformasi. Diselenggarakannya
pemilihan umum secara langsung dan bebas
untuk pertama kali pada tahun 1999 merupakan
sebuah kemajuan bagi perjalanan demokrasi di
Indonesia. Pada pemilihan ini partai politik juga
mengalami jumlah peningkatan yang sangat
signifikan karena telah dijaminya kebebasan
berserikat dalam bidang politik.
Banyak kalangan dari luar negeri melihat
bahwa keberhasilan Indonesia
menyelenggarakan Pemilu yang demokratis
pasca diterjang badai resesi global
merupakan sebuah langkah awal
kebangkitan. Pemilu pada tahun 1999 yang di
ikuti oleh 48 partai juga mendapat sambutan
dari tingginya tingkat partisipasi masyarakat
pada saaat itu. Kebebasan dalam hal
berserikat secara politik dibuktikan dengan
banyak paartai yang ikut serta dalam pemilu.
Bahkan PDIP sebagai partai baru pada
saat itu mempu menjadi peraih suara terbanya
dan disusul oleh golkar. Pada tahun 2004
merupakan tonggak sejarah dalam perjalanan
demokrasi di Indonesia. Pada tahun tersebut
diadakan pemilihan presiden yang langsung
dipilih oleh rakyat. Pemilihan presiden secara
langsung tersebut merupakan yang pertama kali
di Indonesia. Pemilihan presiden secara
langsung ini juga semakin menguatkan proses
demokratisasi di Indonesia. Karena setiap
pemilih mempunyai kesempatan untuk memilih
presidennya secara langsung tanpa harus
diwakili oleh parlemen. Ini merupakan sebuah
kemajuan dalam perjalanan demokrasi di
Indonesia.
Rezim pemerintahan Orde Baru yang
sebelumnya bertindak sangat otoriter secara
perlahan telah berubah kearah pemerintahan
yang lebih demokratis. Perubahan-perubahan ini
dapat dilihat dari struktur politik yang ada,
ataupun penerapnnya dalam proses-proses
politik yang berlangsung. Perubahan yang terjadi
tersebut mengarah kepada perubahaan ke arah
demokratisasi. Iklim demokrasi mulai dapat
dirasakan secara bebas. Beda dengan
pemreintahan Orde Baru yang cenderung
mengekang hak-hak masyarakat dalam bidang
politik, Era Reformasi justru memberikan
kebebasan.
Di Era Reformasi kebasan pers juga lebih
ditingkatkan. Surat kabar mendapatkan izin terbit
sedangkan radio dan stasiun Televisi mendapat izin
siar dari pemerintah. Dan negara tidak berhak untuk
campur tangan dalam pers. Hal ini lah yang
menandai kebebasan pers di indonesia. Dengan kata
lain, sejak memasuki era reformasi, maka perjalanan
proses politik di Indonesia mengarah kepada sebuah
keadaan transisi menuju demokrasi. Proses transisi
menuju demokrasi di Indonesia harus terus
dikembangakan kearah yang lebih di baik. Hal ini
diperlukan demi menciptakan sistem peemerintahan
yang lebih baik. Sehingga apa yang menjadi aspirasi
rakyat dapat diakomodir oleh negara.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai