Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Demokrasi Dunia

Dimana demokrasi merupakan masalah lama yang sampai saat ini masih tetap
diperbincangkan. Pada dasarnya munculnya ide tentang demokrasi sebagai sistem
penyelenggaraan kekuasaan untuk mengatur kepentingan bersama Munculnya ide tentang
demokrasi sebagai sistem penyelenggaraan kekuasaan untuk mengatur kepentingan bersama
beriringan dengan munculnya jaman logos di kawasan Athena Yunani. Pada permulaan
pertumbuhan demokrasi telah mencakup beberapa asas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari
masa yang lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani Kuno dan
gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran Reformasi serta perang-
perang agama yang menyusul. Mulai dari zaman Yunani Kuno, demokrasi sebagai asas dan yang
dipergunakan dalam kehidupan ketata-negaraan yang bersejarah dan dengan demikan mulailah
juga apayang disebut orang sejarah demokrasi.
Jaman logos muncul pada abad ke-5 sebelum Masehi menggeser jaman mitos. Jaman
logos ditandai dengan adanya tradisi kritis dalam menerima kebenaran pengetahuan dan tradisi
kreatif dalam mencari solusi mengatasi permasalahan pragmatis. Hilangnya jaman mitos yang
menerima kebenaran secara dogmatis mengakibakan munculnya ide kreatif tentang adanya
sistem penyenggaraan kekuasaan dalam rangka mengatur kepentingan bersama.
Demokrasi bergerak pada 2 tataran, yang pertama tataran epistemologis (sebagai suatu
pengetahuan yang dipelajari), yang ke dua tataran praktis (suatu tatanan untuk mengatur
kepentingan manusia dalam kehidupan Bersama). Ide demokrasi dalam tataran epistemologis
muncul pada abad ke-5 SM di Athena Yunani. Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu
demos yang artinya rakyat dan kratos kekuasaan. . Pada waktu itu di Yunani, demokrasi yang
dipraktekkan bersifat langsung (direct democracy); artinya hak rakyat untuk membuat
keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang
bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga
negara resmi yang merupakan sebagian kecil dari seluruh penduduk. Sifat langsung dari
demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang
sederhana, wilayah yang terbatas (negara yang terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta
jumlah penduduk (300.000 pendudukdalam satu negara). Ketentuan - ketentuan demokrasi hanya
berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk.
Untuk mayoritas yang terdiri atas budak belian dan pedang asing demokrasi tidak berlaku.
Dalam negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapi merupakan demokrasi
berdasarkan perwakilan. Gagasan demokrasi Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia
Baratwaktu bangsa romawi, yang sedikit banyak masih kenal kebudayaan Yunani, dikalahkan
oleh suku bangsa Eropa Barat dan benua Eropa memasuki abad pertengahan (600-1400). Dalam
waktu yang berdektan di wilayah lain seperti Romawi diperkenalkan istilah Republic yang
berasal dari kata res: kakuasaan dan publica: rakyat banyak. Menurut pendapat Yves Schemeili
di Mesir kuno dan Mesopatamia kuno ajaran prinsip demokrasi telah dipraktekkan sebelum
demokrasi muncul di Yunani. Saat itu telah dibentuk dewan kota dan majelis yang jauh lebih
demokratis dari pada model “polis” Yunani, Para anggota dewan lebih bebas berbicara, selain itu
wanita juga diperkenankan menjadi anggota. Aturan demokrasi di Yunani dimana wanita tidak
diaggap sebagai warga (citizen) sehingga tidak bisa menjadi anggota dewan. Kelebihan lain
adalah adanya aturan yang bisa mengakomodasi pluralisme dan sudah mengenal sistem delegasi
yang bisa menggambarkan representasi atas konstituennya. Sementara itu pendapat Samuel P.
Huntington yang banyak menjadi rujukan dalam diskursus politik menggambarkan perjalanan
demokrasi jauh lebih singkat. Sejarah demokrasi bukanlah suatu gerak maju yang lambat dan
pasti melainkan serangkaian gelombang yang telah maju, mundur, lalu bergulung-gulung dan
memuncak lagi.
Selanjutnya masuk di Masyarakat Abad Pertengahan yang dicirikan oleh struktur sosial
yang feodal (hubungan antara vassal dan lord); yang kehidupan sosial serta spritualnya dikuasai
oleh Paus dan para pejabat-pejabat agama lainnya yang kehidupan politiknya ditandai oleh
perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Dilihat dari sudut perkembangan
demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu Magna Charta
(Piagam Besar). Magna Charta merupakan semi kontrak antara beberapa bangsawandan Raja
Jhon dari Inggris dimana untuk pertama kalinya seorang raja yang berkuasa mengikat diri untuk
mengakui dan menjamin beberapa hak dan privilages dari bawahannya sebagai imbalan untuk
penyerahandana bagi keperluan perang dan sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana
feodal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun dianggap sebagai tonggak dalam
perkembangan gagasan demokrasi.. Sebelum Abad Pertengahan berakhir dan di Eropa Barat
pada permulaan abad ke-16 muncul negara-negara nasional (national state) dalam bentuk yang
modern, maka Eropa Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural yang
mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern dimana akal dapat
memerdekakan diri dari pembatasanpembatasannya. Dua kejadian ini ialah Renaissance (1350-
1650) yang terutama berpengaruh di Eropa Selatan seperti Italia, praktik demokrasi mulamula
yang terjadi di sini kira-kira sama waktunya dengan yang terjadi di Yunani. Kalau orang Yunani
mengatakannya sebagai polis atau negara-kota, orang Romawi menyebut sistem pemerintahan
mereka sebagai republik. Maknanya, res dalam bahasa Latin berarti kejadian atau peristiwa, dan
publicus berarti publik atau masyarakat. Jika dimaknai secara bahasa maka kata republik itu
adalah sesuatu yang menjadi milik rakyat. Reformasi (1500-1650) yang mendapat banyak
pengikutnya di Eropa Utara, seperti Jerman, Swiss dan sebagainya. Kedua aliran pikiran tersebut
mempersiapkan orang Eropa Barat dalam masa 1650-1800 menyelami masa “Aufklarung” (Abad
Pemikiran) beserta Rasionalisme yaitu suatu pikiran yang ingin memerdekakan pikiran manusia
dari batas-batas yang ditentukan oleh Gereja dan mendasarkan pemikiran atas akal (ratio)
semata-mata. Kebebasan berpikir membuka jalan untuk meluaskan gagasan ini di bidang politik.
Timbullah gagasan bahwa manusia mempunyai hak-hak politik yang tidak boleh diselewengkan
oleh raja dan mengakibatkan dilontarkannya kecaman-kecaman terhadap raja, yang menurut pola
yang sudah lazim pada masa itu mempunyai kekuasaan tak terbatas. Pendobrakan terhadap
kedudukan raja-raja absolut ini didasarkan atas suatu teori rasionalistis yang umumnya dikenal
sebagai social contract (kontrak sosial). Pada hakekatnya, teori-teori kontrak sosial merupakan
usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat.
Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan ini antara lain John Locke dari Inggris (1632-1704) dan
Montesquieu dari Perancis (1689-1755). Menurut John Locke, hak-hak politik mencakup hak
atas hidup, atas kebebasan dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty and property).
Montesquieu mencoba menyusun suatu sistem yang dapat menjamin hak-hak politik itu, yang
kemudian dikenal dengan istilah trias politica. Ide-ide bahwa manusia mempunyai hak-hak
politik menimbulkan revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, serta Revolusi Amerika melawan
Inggris.
Dan Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa demokrasi telah melewati sejarah yang
panjang hampir selama dua ribu limaratus tahun lebih. Menurut Hutington sejarah demokrasi
melewati tiga gelombang yang dimulai pada abad ke- 19 sebagai gelombang pertama.
Gelombang berakar pada revolusi Perancis. Sebagai akibat dari pergolakan tersebut maka pada
akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang konkret sebagai program
dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan
dirinya atas asas-asas kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal rights), serta hak pilih untuk
semua warga negara (universal suffrage) Sementara di Amerika Serikat ditandai dengan
meluasnya hak pilih sampai mencakup porsi yang besar penduduk pria. Gelombang ke dua pasca
Perang Dunia ke II dan gelombang ke tiga pada tahun 1974. Selanjutnya masih ada kemungkinan
munculnya gelombang ke empat dan seterusnya. Secara kronologis menurut penulis demokrasi
telah melewati tiga tahap. Yang pertama demokrasi awal pada masa tercetusnya pemikiran
demokrasi pada abad ke-5 SM. Tahap ke dua adalah jaman pemikiran modern tentang demokrasi
yang ditandai dengan konsep-konsep dari J.J. Rousseau, Montesqiue, John Lock. Tahap ke tiga
pasca Perang Dunia ke dua (Perang dingin). Sedangkan gelombang ke tiga adalah Pasca Perang
dingin. Pada masa ini ditandai fenomena munculnya negara - negara demokrasi baru secara
spektakuler.

1. Tahap pertama demokrasi awal


Pada masa tercetusnya pemikiran demokrasi pada abad ke-5 SM. Tahap pertama
demokrasi bisa disebut demokrasi jaman Perikles. Pemikiran Perikles sebagai pemikiran
awal demokrasi terkesan aneh jika dilihat dari kaca mata demokrasi sekarang ini, namun
pemikirannya mengilhami teori-teori politik selanjutnya. Pada masa ini di Athena Yunani
sudah terdapat Majelis yang terdiri dari 5000 sampai dengan 6000 anggota. Majelis
merupakan lembaga politik pusat yang beranggotakan lakilaki dewasa (wanita, budak dan
orang asing) tidak termasuk. Dengan suara mayoritas dapat memutuskan masalah apa
saja tanpa pembatasan hukum apapun. Selain itu juga terdapat pengadilan yang dilakukan
oeh dewan juri yang beranggotakan 501 yang dapat memtuskan terdakwa melalui suara
mayoritas. Dalam demokrasi ini terdapat hal yang unik. Pemimpin Majelis tidak dipilih,
tetapi melalui pengundian. Orang Athena percaya bahwa setiap warga mampu
menduduki jabatan. Pada masa ini tidak ada lembaga eksekutif seperti presiden ataupun
perdana menteri. Semua permasalahan dan pengambilan keputusan ada pada Majelis.
Sistem ini tentu menimbulkan hal-hal yang negatif seperti manipulasi dan perpecahan.
Pada akhirnya pangung politik dikuasai oleh orangorang yang ahli pidato yang lihai dan
cekatan. Sebagaimana dalam dunia filsafat yang menjadi embrio bagi lahirnya
pengetahuan. Pada masa ini muncul kelompok sophis yang lebih mengutamakan
kelihaian dalam berdebat, kemenangan dalam diskusi dari pada kebenaran pengetahuan.
(Lihat, Kees Bertens dalam Sejarah Filsafat Yunani). Sistem ini baik dalam praktek
demokrasi maupun dalam bidang filsafat dikritik oleh Sokrates dan Plato, sehingga ke
dua tokoh ini di cap sebagai tokoh anti demokrasi. Sementara itu Aristoteles memberikan
kritik dengan menelorkan pemikiran filsafat politik yang lebih luas dan komprehensif.
Terlepas dari berbagai kekurangan pada praktek demokrasi masa Yunani Kuno,
bagaimanapun sistem ini merupakan suatu ide yang luar biasa di tengahtengah masih
kuatnya sistem monarkhi. Pada masa gerakan renaissance tema demokrasi kembali
muncul dan dimatangkan dengan landasan pemikiran filsuf besar pada masa itu.

2. Tahap ke dua adalah jaman pemikiran modern tentang demokrasi


Jaman ini ditandai dengan konsep-konsep dari J.J. Rousseau, Montesqiue, John Lock.
Tahap kedua, konsep demokrasi menuju ke arah pematangan dengan landasan intelektual
pada jaman Pencerahan (Aufklarung) pada abad ke- 17-18. Tokoh besar yang
berpengaruh pada masa ini adalah John Lock, J.J. Rousseau dan Mentesquieu. John Lock
menerbitkan buku yang sangat terkenal Two Treaties of Government tahun 1690.
Pandangannya nenegaskan bahwa semua pemerintahan yang sah mengubah secara
mendasar pemikiran politik pada masa ini yang akhirnya mendrong perkembangan
lembagalembaga demokrasi modern. (United State Agency, 1991, 15). J.J. Rousseau
mengembangkan teori Contract Social. Montesquieu mengembangkan teori pemisahan
kekuasaan. Dalam des Lois (Semangat hukum) mengusulkan pemisahan dan
penyeimbangan kekuasaan antara cabang-cabang eksekutif, legislatif dan yudikatif
sebagai cara untuk menjamin kebebasan individu (Ibid). Teori dari ke tiga tokoh ini
melandasai perkembang demokrasi modern di berbagai wilayah termasuk demokrasi
pada awal terbentuknya pemerintahan Amerika Serikat. Demokrasi modern berkembang
drastis. Demokrasi modern berkembang meluas hampir di seluruh belahan benua dengan
warna atau variasi yang berbeda dalam pelaksanaannya. Kondisi ini berlangsung sampai
dengan pasca Perang Dunia ke-dua. Pada masa ini ditandai fenomena munculnya negara-
negara demokrasi baru secara spektakuler.

3. Tahap ke tiga
Selanjutnya demokrasi memasuki tahap ketiga, yaitu masa pasca Perang Dingin. Program
Michael Gorbacev (Glasnost, Perestroika, dan Democratization) yang dicanangkan di Uni
Sovyet telah menyemaikan benih munculnya negara-negara demokrasi baru di wilayah
Eropa Timur. Pada masa ini bisa dikatakan musim panennya demokrasi, kerena jumlah
negara demokrasi bertambah secara signifikan. Dalam perkembangannya Pasca Perang
dingin yang di tandai oleh kemenangan Blok Barat (ideology liberal) telah mengubah
peta politik dunia. Demokrasi tidak hanya berkembang dalam kuantitas tetapi juga dalam
bentuknya. Pada masa ini masalah demokrasi bukan hanya masalah politik, banyak sekali
aspek lain yang ikut mengendalikan. Demokrasi bukan lagi sekedar masalah
pemerintahan oleh rakyat. Faktor kekuatan ekonomi menjadi pengendali gerak demokrasi
menuju ke arah yang semakin rumit karena banyaknya
Dalam bukunya yang berjudul politik, Aristoteles (384-322 SM) menyebut
demokrasi sebagai “Politea atau republik”. Politea dipandang sebagai bentuk negara
paling baik dalam politik. Adapun yang dimaksudkan dengan polititea adalah “demokrasi
moderat”, yaitu demokrasi dengan undang-undang dasar atau demokrasi konstitusional.
Tiga sumbangan Aristoteles yang tertanam di jantung demokrasi adalah kebebasan
pribadi, pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar (konstitusi), dan pentingnya
kelas menengah yang besar sebagai pemegang tampuk kekuasaan. Dari sini bisa kita
tangkap bahwa pemerintahan oleh rakyat yang dimaksud adalah pemerintahan oleh
rakyat melalui mekanisme perwakilan (demokrasi delegatif) sebab tidak mungkin semua
orang menjadi pemerintah dalam waktu bersamaan, kemungkinan ia hanya bisa
menduduki satu posisi tertentu dalam waktu yang tertentu (terbatas) pula. Sebab, bila
semua orang berhak untuk menjadi pemerintah maka diperlukan adanya pembatasan
masa jabatan sehingga memungkinkan bagi setiap orang menjadi pemerintah. Aristoteles
memandang bahwa orang yang bersal dari kelas menengahlah yang paling tepat untuk
menduduki posisi penting dalam pemerintahan. Sebab, menurut orang-orang dari kelas
menengah mempunyai kecakapan lebih dibanding kelas-kelas lain.
Dari pemikiran tentang hak-hak politik rakyat dan pemisahan kekuasaan inilah
muncul ide pemerintahan rakyat (demokrasi). Kemudian lahirlah demokrasi ke dunia ini
sebagai salah satu dari ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintahanyang memegang
monarki absolut di berbagai negara.
Demokrasi di Yunani akhirnya menghilang cukup lama, lebih dari ratusan tahun
bahkan sampai ribuan tahun kemudian barulah muncul kembali di Prancis ketikan
terjadinya Revolusi Prancis, karena ketidak senangan rakyat terhapap pemerintahan yang
absolut.
Kegagalan demokrasi di Prancis tidak menyurutkan keinginan sebagian besar
masyarakat di Eropa untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem keadilan. Mereka ingin
terbebas dari tirani gereja dan pemerintah negaranya. Dengan ditemukannya Benua
Amerika yang benua tersebut tidak ada kekuasaan kaisar dan peradaban penduduk asli
yang masih primitif, masyarakat yang ingin mendapatkan kebebasan berbondong-
bondong pergi ke Amerika untuk membangun negara baru dengan dasar kebebasan.
Prancis kemudian menghadiahkan patung Liberty (kebebasan) yang dibangun di New
York sebagai simbol penyambutan kepada para pencari kebebasan.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, demokrasi dipandang sebagai pilihan terbaik
oleh hampir semua negara di dunia, termasuk oleh negara Indonesia yang
memproklamasikan diri sebagai negara demokrasi atau negara yang berkedaulatan rakyat.

Anda mungkin juga menyukai