PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak Asasi Manusia merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap
manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir kematiannya sebagai
anugrah Tuhan. Di dalamnya tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan antar
individu dalam upaya pemenuhan HAM pada dirinya sendiri. Hal inilah yang
kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM seorang individu terhadap individu
lain, kelompok terhadap individu, ataupun sebaliknya.
Memperbincangkan marutnya dinamika hak asasi manusia, khususnya perburuhan
selama dekade terakhir nampaknya cukup mengingatkan pada nama ini: Marsinah.
Terdapat alasan pasti untuk menghadirkan kembali ingatan tentang orang tersebut:
misteri kematiannya yang tidak pernah terungkap hingga sekarang. Tidak pernah
diketahui secara pasti oleh siapa ia dianiaya dan dibunuh, kapan dan di mana ia mati
pun tak dapat diketahui dengan jelas, apakah pada Rabu malam 5 Mei 1993 atau
beberapa hari sesudahnya. Liputan pers, pencarian fakta, penyidikan polisi,
pengadilan sekalipun nyatanya belum mampu mengungkap kasusnya secara tuntas
dan memuaskan. Kendati hakim telah memvonis siapa yang bersalah dan dihukum,
orang tak percaya begitu saja; sementara kunci kematiannya tetap gelap sampai kini,
lebih dari satu dasawarsa berselang.
Barangkali memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang menjadi penting di
sini, melainkan jalinan citra yang lantas tersaji melalui serangkaian representasi
media yang rumit. Para pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Segenap
aktivis menyanjungnya sebagai teladan kaum pejuang buruh. Para aparat pusat
dibantu aparat setempat konon merekayasa penyidikan sekaligus membuat skenario
pengadilan, termasuk dilibatkannya tersangka palsu dalam rangkaian pengungkapan
kasus tersebut. Tak ketinggalan, para aktivis hak asasi manusia menganugerahi Yap
Thiam Hien Award bagi kegigihannya. Termasuk para seniman yang
mengabadikannya dalam monumen, patung, lukisan, panggaung teater dan seni rupa
instalasi; para feminis mengagungkannya sebagai korban kekerasan terhadap
perempuan dan khalayak awam yang prihatin dan simpati memberi sumbangan bagi
keluarganya.
Pada aras citra inilah tulisan ini kemudian mengambil pijakan. Mungkin orang tak
akan banyak tahu siapa Marsinah seandainya ia tidak dibunuh dan kasusnya tidak
gencar diberitakan oleh media massa.
Ia tidak hanya dianggap mewakili “nasib malang” jutaan buruh perempuan yang
menggantungkan masa depannya pada pabrik-pabrik padat berupah rendah,
berkondisi kerja buruk sekaligus tak terlindungi hukum. Lebih dari itu, mediasi dan
artikulasi pembunuhannya menyediakan arena diskursif bagi pertarungan berbagai
kepentingan dan hubungan kuasa: buruh-buruh, pengusaha, serikat buruh, lembaga
swadaya masyarakat, birokrasi militer, kepolisian dan sistem peradilan.
Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia mulai mengalami kemajuan dalam bidang
penegakan HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-instrumen HAM pun didirikan
sebagai upaya menunjang komitmen penegakan HAM yang lebih optimal. Namun
seiring dengan kemajuan ini, pelanggaran HAM kemudian juga sering terjadi di
sekitar kita karena semakin egoisnya manusia dalam pemenuhan hak masing-
masing.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah tentang kasus pelanggaran hak asasi manusia yaitu:
1. Apa pengertian pelanggaran HAM ?
2. Apa saja macam-macam pelanggaran HAM?
3. Apa contoh pelanggaran HAM di Indonesia?
4. Bagaimana upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM?
C. Tujuan
D. Manfaat
Hasil pembelajaran ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi penulis dan
pembaca.
1. Manfaat bagi penulis, pengkajian ini memberikan pengetahuan tentang
pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
2. Manfaat dari pembaca, pengkajian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian
atau referensi tambahan bagi ilmu kenegaraan serta memperkaya informasi.
BAB II
PEMBAHASAN
1) Periode tahun 1945 – 1950 Di periode ini, pemikiran HAM masih menekankan pada
hak merdeka, hak bebas berserikat, serta hak bebas menyampaikan pendapat. Pemikiran
HAM telah mendapat pengakuan secara formal karena telah memperoleh pengaturan
dan masuk ke dalam hukum dasar negara, yaitu UUD 1945. Komitmen terhadap HAM
pada periode awal kerdekaan ditunjullam dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1
November 1945. Di periode ini (1945-1950) memberikan keleluasaan terhadap rakyat
untuk mendirikan partai politik sebagaimana yang telah tertera pada Maklumat
Pemerintah pada tanggal 3 November 1945 :
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena segala aliran paham
yang ada dalam masyarakat dapat dipimpin ke jalan yang teratur dengan adanya
partai-partai tersebut.
2. Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsukannya
pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada Januari 1946. Hal ini berkaitan
dengan adanya perubahan yang signifikan terhadap sistem pemerintahan dari
presidensial menjadi sistem parlementer.
2) Periode tahun 1950 – 1959 Periode ini dalam perjalanan, Indonesia dikenal dengan
sebutan “Periode Demokrasi Parlementer” dimana pemikiran HAM pada periode ini
mendapatkan momentum yang membanggakan. Indikator tentang pemikiran HAM pada
periode ini mengalami “pasang”, menurut ahli hukum tata negara memiliki 5 aspek :
1. Semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya
masing-masing.
2. Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi, betul- betul menikmati
kebebasannya.
3. Pemilu sebagai pilar lain dari demokrasi harus bertanggung jawab dalam
suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis.
4. Parlemen/dewan perwakilan rakyat sebagai wakil rakyat semakin efektif
mengontrol terhadapt kinerja eksekutif.
5. Wacana & pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif, sejalan
dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
3) Periode tahun 1959 – 1966 Pada periode ini, sistem pemerintahan Indonesia adala
sistem demokrasi terpimpin diamana kekuasaan terpusat dan berada di tangan presiden.
Dalam kaitannya dengan HAM yaitu telah terjadinya sikap restriktif (pembatasan yang
ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.
4) Periode tahun 1966 – 1998 Pada awal masa periode ini telah diadakan beberapa
seminar tentang HAM. Salah satu seminar dilaksanakan pada tahun 1967 yang
merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, Komisi,
dan pengadilan HAM di wilayah Asia. Pada tahun 1968 diadakan Seminar Hukum
Nasional II yang merekomendasikan perlunya hak uji materiil guna melindungi HAM.
Fungsi dari hak uji materiil itu sendiri dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS
XIV/MPRS/1996. Namun, pada tahun 1970-an sampai akhir 1980-an, HAM mengalami
kemunduran. Dalam hal ini, upaya masyarakat dilakukan melalui pembentukan jaringan
dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus
Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, dan lain sebagainya.
Menjelang periode 1990-an, upaya masyarakat nampaknya memperoleh hasil yang
mengesankan karena terjadi pergeseran strategi pemerintahan, dari Represif dan
Defensif menjadi Akomodatif. Salah sau sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan
penegakan HAM yaitu dibentuknya KOMNAS HAM berdasarkan KEPRES Nomor 50
tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993, dimana KOMNAS HAM memiliki tugas:
1. Memantau & menyelidiki pelaksanaan HAM & memberi saran serta pendapat
kepada pemerintah perihal HAM.
2. Membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kodusif bagi pelaksanaan HAM
sesuai pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil amandemen UUD NKRI 1945),
Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM dan deklarasi atau perundang-undangan
lainnya yang terkait dengan penegakan HAM.
5) Periode tahun 1998 – sekarang Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa
kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dnegan pemajuan dan
perlindungan HAM. Kemudian, dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan
kemasyarakatan di indonesia, serta pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen HAM
internasional semakin ditingkatkan. Strategi pada periode ini dilakukan melalui 2 tahap,
yaitu:
1. Tahap status penentuan (prescriptive Status) Pada tahap ini telah ditetapkan
beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM, seperti UUD 1945,
TAP MPR, UU, dan peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan
lainnya.
2. Tahap penataan aturan secara konsisten ( rule consistent behavior ) Ditandai
dengan pemghormatan dan pemajuan HAM dengan dikeluarkannya TAP MPR
No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya sejumlah konvensi HAM.
Selain itu juga dirancangkan program “Rencana Aksi Nasional HAM
(RANHAM)” pada tanggal 15 Agustus 1998 yang didasarkan kepada :
3. Persiapan pengesahan perangkat Internasional di bidang HAM
4. Desiminasi informasi dan pendidikan tentang HAM 3. Penentuan skala prioritas
pelaksanaan HAM 4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM
yang telah diratifikasikan melalui perundang-undangan nasional. Untuk lebih
melindungi HAM di Indonesia, pemerintah telah membuat UU HAM No. 39
tahun 1999 serta UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Melalui
keputusan Presiden No. 40 tahun 2004, Pemerintah telah mengesahlan
RANHAM kedua diamana merupakan kelanjutan RANHAM Indonesia yang
pertama tahun 1998-2003. RANHAM disusun untuk menjamin peningkatan
penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM di Indinesia
dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan budaya bangsa
indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi melintang dengan kondisi sekujur
tubuh penuh luka memar bekas pukulan benda keras, kedua pergelangannya lecet-
lecet, tulang panggul hancur karena pukulan benda keras berkali-kali, pada sela-sela
paha terdapat bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda
tumpul dan pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga
terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga
terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika
menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan
motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi
dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya.
Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya
yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding
ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya
pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para
terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut,
setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul
tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Kasus kematian Marsinah menjadi misteri selama bertahun-tahun hingga akhirnya
kasusnya kadaluarsa tepat tahun ini, tahun 2014. Mereka yang tertuduh dan dijadikan
kambing hitam dalam kasus ini pun akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Di
zaman Orde Baru, atas nama stabilitas keamanan dan politik, Negara telah berubah
wujud menjadi sosok yang menyeramkan, siap menculik, mengintimidasi dan bahkan
menghilangkan secara paksa siapa saja yang berani berteriak atas nama kebebasan
menyuarakan aspirasi.
Faktor penyebab dari kasus Marsinah yang pertama adalah perussahaan CPS yang
tidak mengikuti himbauan gubernur setempat untuk menaikkan UMR. Walaupun
kebijakan kenaikan UMR tersebut sudah dikeluarkan, CPS tetap bergeming. Kondisi
ini memicu geram para pekerjanya sehingga menyebabkan mereka melakukan aksi
unjuk rasa dan mogok kerja.
Lalu faktor penyebab kedua, adalah manajemen perusahaan CPS yang telah
menyepakati perjanjian penaikan UMR namun rupanya diikuti dengan
memberhentikan 13 pekerjanya dengan cara mencari-cari kesalahan pasca tuntutan
kenaikan UMR. Hal ini menjadikan Marsinah penuh amarah.
Fakor yang lain dapat diuraikan sebagai berikut :
Dari segi ekonomi :
1. Terjadi kredit macet
2. Jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
3. Banyak perusahaan yang tidak dapat membayar hutangnya
Dari segi politik :
1. Pemimpian saat itu telah kehilangan kepercayaan dari rakyatnya
2. Terjadi kekacauan dan kerusuhan di mana-mana
3. Terjadi perpecahan dalam kubu kabinet Soeharto
Terkait kasus Marsinah, solusi dari pemerintah sendiri, pemerintah semestinya segera
mengusut tuntas kasus pembunuhan Marsinah sampai selesai hingga mendapatkan
hasil yang nyata, dan menegakkan tiang keadilan dan ketegasan dalam kerapuhan
hukum di Indonesia sehingga rakyat dapat kembali mempercayai peranan dari
pemerintah dan aparat penegak hukum dalam penegakan HAM di Indonesia.
Sementara solusi dari hasil rangkuman kami sekelompok, adalah adanya kepastian
hukum dalam menjamin keamanan setiap orang. Setiap orang perlu menghargai hak-
haknya sendiri dan hak orang lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya.
Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang
perlu kita ingat bahwa jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.
Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan
RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang,
kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam
pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan
melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang
pengadilan HAM. Sementara menyangkut Kasus Marsinah yang merupakan
dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, karena merupakan kasus
penghilangan seseorang secara paksa. Marsinah adalah tumbal dari apa yang
namanya penindasan atas nama stabilitas keamanan dan politik pada zaman Orde
Baru. Penindasan kepada Marsinah adalah bentuk ketakutan negara pada sosok-
sosok yang berani berjuang dan mengobarkan semangat kebebasan, kesejahteraan
dan kesetaraan. Negara menciptakan teror ketakutan kepada siapa saja yang ingin
melakukan aksi perlawanan. Negara juga telah mengabaikan kasus ini,
membiarkannya menjadi misteri yang tak terpecahkan selama bertahun-bertahun. Ini
jelas sebuah anomali dan paradoks jika kita komparasikan dengan tujuan
pembentukan dan kewajiban negara ini. Marsinah hanyalah satu dari ribuan potret
buruh perempuan di Indonesia yang seringkali harus dihadapkan dengan berbagai
persoalan pelik yang mendasar. persoalan kesejahteraan, kekerasan,eksploitasi dan
diskriminasi seolah terus menjadi pekerjaan rumah yang menumpuk bagi
pemerintah untuk diselesaikan. Realitas kekinian memperlihatkan bahwa sampai
hari ini begitu banyak buruh perempuan di Indonesia yang masih ambil bagian
dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Menguak kasus Marsinah
berarti harus mengurai banyak benang kusut, benang kusut yang mungkin hanya
dapat terurai dari tangan mereka yang benar-benar peduli untuk mengurainya.
B. Saran
http://www.omahmunir.com/pages-10-kasus-marsinah.html
http://buser.liputan6.com/read/52757/marsinah-dan-misteri-kematiannya
http://fuad-myers.blogspot.com/2011/11/analisa-kasus-pelanggaran-ham-berat.html
http://sarubanglahaping.blogspot.com/2013/10/analisis-kasus-pembunuhan-
marsinah.html
Http://www.Yudhe.Com/8-Kasus-Besar-Yang-Tetap-Menjadi-Misteri-Di-Indonesia/
http://ubpeacemaker.blogspot.com/2011/11/memahami-ham-marsinah-pahlawan-
kaum.html
http://abunavis.wordpress.com/2007/12/11/marsinah-dalam-representasi-media-analisis-
semiotika-berita-kasus-marsinah-pada-majalah-tempo-1993-1994/
http://hukum.kompasiana.com/2014/05/01/refleksi-21-tahun-kasus-marsinah-
650551.html
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/08/173402558/Kasus-Marsinah-Sulit-
Diungkap-Lagi
http://www.arahjuang.com/2014/05/08/marsinah-dan-perjuangan-buruh-sepanjang-
masa/