PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak Asasi Manusia merupakan unsur normatif yang melekat pada diri
setiap manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir
kematiannya sebagai anugrah Tuhan. Di dalamnya tidak jarang
menimbulkan gesekan-gesekan antar individu dalam upaya pemenuhan
HAM pada dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa memunculkan
pelanggaran HAM seorang individu terhadap individu lain, kelompok
terhadap individu, ataupun sebaliknya.
Memperbincangkan marutnya dinamika hak asasi manusia, khususnya
perburuhan selama dekade terakhir nampaknya cukup mengingatkan pada
nama ini: Marsinah. Terdapat alasan pasti untuk menghadirkan kembali
ingatan tentang orang tersebut: misteri kematiannya yang tidak pernah
terungkap hingga sekarang. Tidak pernah diketahui secara pasti oleh siapa ia
dianiaya dan dibunuh, kapan dan di mana ia mati pun tak dapat diketahui
dengan jelas, apakah pada Rabu malam 5 Mei 1993 atau beberapa hari
sesudahnya. Liputan pers, pencarian fakta, penyidikan polisi, pengadilan
sekalipun nyatanya belum mampu mengungkap kasusnya secara tuntas dan
memuaskan. Kendati hakim telah memvonis siapa yang bersalah dan
dihukum, orang tak percaya begitu saja; sementara kunci kematiannya tetap
gelap sampai kini, lebih dari satu dasawarsa berselang.
Barangkali memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang menjadi
penting di sini, melainkan jalinan citra yang lantas tersaji melalui
serangkaian representasi media yang rumit. Para pembunuh mengesankan
Marsinah diperkosa. Segenap aktivis menyanjungnya sebagai teladan kaum
pejuang buruh. Para aparat pusat dibantu aparat setempat konon merekayasa
penyidikan sekaligus membuat skenario pengadilan, termasuk dilibatkannya
tersangka palsu dalam rangkaian pengungkapan kasus tersebut. Tak
ketinggalan, para aktivis hak asasi manusia menganugerahi Yap Thiam Hien
Award bagi kegigihannya. Termasuk para seniman yang mengabadikannya
1
dalam monumen, patung, lukisan, panggaung teater dan seni rupa instalasi;
para feminis mengagungkannya sebagai korban kekerasan terhadap
perempuan dan khalayak awam yang prihatin dan simpati memberi
sumbangan bagi keluarganya.
Pada aras citra inilah tulisan ini kemudian mengambil pijakan.
Mungkin orang tak akan banyak tahu siapa Marsinah seandainya ia tidak
dibunuh dan kasusnya tidak gencar diberitakan oleh media massa. Ia tidak
hanya dianggap mewakili “nasib malang” jutaan buruh perempuan yang
menggantungkan masa depannya pada pabrik-pabrik padat berupah rendah,
berkondisi kerja buruk sekaligus tak terlindungi hukum. Lebih dari itu,
mediasi dan artikulasi pembunuhannya menyediakan arena diskursif bagi
pertarungan berbagai kepentingan dan hubungan kuasa: buruh-buruh,
pengusaha, serikat buruh, lembaga swadaya masyarakat, birokrasi militer,
kepolisian dan sistem peradilan.
Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia mulai mengalami kemajuan
dalam bidang penegakan HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-
instrumen HAM pun didirikan sebagai upaya menunjang komitmen
penegakan HAM yang lebih optimal. Namun seiring dengan kemajuan ini,
pelanggaran HAM kemudian juga sering terjadi di sekitar kita karena
semakin egoisnya manusia dalam pemenuhan hak masing-masing. Untuk
itulah kami menyusun makalah yang berjudul “Kasus Pelanggaran Hak
Asasi Manusia Di Indonesia – Marsinah”, untuk memberikan informasi
mengenai apa itu pelanggaran HAM diikuti seluk beluk kasus Marsinah.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini “Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Indonesia”, maka masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Apa pengertian pelanggaran HAM ?
2. Apa saja macam-macam pelanggaran HAM?
3. Apa contoh pelanggaran HAM di Indonesia?
4. Apa penyebab dan akibat dari kasus pelanggaran HAM?
5. Bagaimana upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM?
2
C. Tujuan
Tujuan kami mengangkat materi ini tentang kasus hak asasi manusia di
Indonesia yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian pelanggaran HAM.
2. Untuk mengetahui macam-macam pelanggaran HAM.
3. Untuk mengetahui contoh pelanggaran HAM di Indonesia.
4. Untuk mengetahui penyebab dan akibat dari kasus pelanggaran HAM.\
5. Untuk mengetahui upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
D. Manfaat
Hasil pembelajaran ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi penulis dan
pembaca.
1. Manfaat bagi penulis, pengkajian ini memberikan pengetahuan tentang
pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
2. Manfaat dari pembaca, pengkajian ini dapat digunakan sebagai bahan
kajian atau referensi tambahan bagi ilmu kenegaraan serta memperkaya
informasi.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan
maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara
melakukan tindakan kekerasan.(UUD No.26/2000 Tentang Pengadilan
HAM).
b. Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan
berupa serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk
sipil seperti pengusiran penduduk secara paksa,
pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.
5
mengundurkan diri dari CPS. Marsinah marah dan tidak terima, ia berjanji
akan menyelesaikan persoalan tersebut ke pengadilan. Beberapa hari
kemudian, Marsinah dikabarkan tewas secara tidak wajar. Mayat
Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk
tanggal 9 Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi
melintang dengan kondisi sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan
benda keras, kedua pergelangannya lecet-lecet, tulang panggul hancur
karena pukulan benda keras berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat
bercak-bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul
dan pada bagian yang sama menempel kain putih yang berlumuran darah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10
orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang
dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota
TNI. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di
bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah
kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry
putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari
Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan
sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun,
namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto
dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi,
Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari
segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut,
setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga
muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Kasus kematian Marsinah menjadi misteri selama bertahun-tahun
hingga akhirnya kasusnya kadaluarsa tepat tahun ini, tahun 2014. Mereka
yang tertuduh dan dijadikan kambing hitam dalam kasus ini pun akhirnya
dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Di zaman Orde Baru, atas nama
stabilitas keamanan dan politik, Negara telah berubah wujud menjadi
sosok yang menyeramkan, siap menculik, mengintimidasi dan bahkan
6
menghilangkan secara paksa siapa saja yang berani berteriak atas nama
kebebasan menyuarakan aspirasi.
7
mendapatkan perlindungan dari negara serta wajib untuk ikut serta
dalam upaya pembelaan negara, membela negara tidak harus dalam
wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain seperti:
Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti
siskamling)
Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri
Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan atau pkn
Selalu menaati dan melaksanakan peraturan
C. Isi dari pasal 30 ayat 4 UUD 1945
“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang
menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.”
D. Tap MPR No.XVII/MPR/1998 PASAL1
“Menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
Aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada
seluruh masyarakat.”
E. UU NO. 39 th 1999 pasal 9 – 66
Salah satunya pasal 9
1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
meningkatkan taraf kehidupannya.
2. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera lahir dan batin.
3. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
8
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur
resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya
perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama
diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V
Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat
control dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi
Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah
Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazahRSUD Nganjuk) dan Prof. Dr.
Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr.Sutomo,Surabaya),
menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.Marsinah memperoleh
Penghargaan yap thiem hien pada tahun yang sama.Kasus ini menjadi catatan
Organisasi Buruh Internasional (ILO), dikenal sebagai kasus 1773.
9
Dampak Adanya Kasus Marsinah
Rekayasa kasus marsinah, adanya banyak kecaman dari berbagai pihak.
Kasus Marsinah seharusnya menjadi salah satu cermin bagi Indonesi.Betapa
hokum dapat dibeli oleh para penguasa .Sementara kasus marsinah sudah
tenggelam selama hampir 20 tahun,tapi pembunuhnya entah kemana.Untuk
menghindari kasus-kasus seperti ini terjadi lagi,seharusnya ada tindakan khusus
dari pemerintah untuk memberikan efek jera pada pelaku.
10
untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh
seorang anak atau kelompok anak.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa bullying merupakan serangan berulang secara fisik, psikologis, sosial,
ataupun verbal, yang dilakukan dalam posisi kekuatan yang secara situasional
didefinisikan untuk keuntungan atau kepuasan mereka
sendiri. Bullying merupakan bentuk awal dari perilaku agresif yaitu tingkah
laku yang kasar. Bisa secara fisik, psikis, melalui kata-kata, ataupun kombinasi
dari ketiganya. Hal itu bisa dilakukan oleh kelompok atau individu. Pelaku
mengambil keuntungan dari orang lain yang dilihatnya mudah diserang.
Tindakannya bisa dengan mengejek nama, korban diganggu atau diasingkan
dan dapat merugikan korban.
11
paling bermasalah dan cenderung akan beralih pada tindakan-tindakan
kriminal yang lebih lanjut.
3. Bullying secara relasional; adalah pelemahan harga diri korban secara
sistematis melalui pengabaian, pengucilan atau penghindaran. Perilaku
ini dapat mencakup sikap-sikap yang tersembunyi seperti pandangan
yang agresif, lirikan mata, helaan nafas, cibiran, tawa mengejek dan
bahasa tubuh yang mengejek. Bullying dalam bentuk ini cenderung
perilaku bullying yang paling sulit dideteksi dari luar. Bullying secara
relasional mencapai puncak kekuatannya diawal masa remaja, karena
saat itu tejadi perubahan fisik, mental emosional dan seksual remaja. Ini
adalah saat ketika remaja mencoba untuk mengetahui diri mereka dan
menyesuaikan diri dengan teman sebaya.
4. Bullying elektronik; merupakan bentuk perilaku bullying yang dilakukan
pelakunya melalui sarana elektronik seperti komputer, handphone,
internet, website, chatting room, e-mail, SMS dan sebagainya. Biasanya
ditujukan untuk meneror korban dengan menggunakan tulisan, animasi,
gambar dan rekaman video atau film yang sifatnya mengintimidasi,
menyakiti atau menyudutkan. Bullying jenis ini biasanya dilakukan oleh
kelompok remaja yang telah memiliki pemahaman cukup baik terhadap
sarana teknologi informasi dan media elektronik lainnya.
Pada umumnya, anak laki-laki lebih banyak
menggunakan bullying secara fisik dan anak wanita banyak
menggunakan bullying relasional/emosional, namun keduanya sama-
sama menggunakan bullying verbal. Perbedaan ini, lebih berkaitan
dengan pola sosialisasi yang terjadi antara anak laki-laki dan perempuan
(Coloroso, 2006:51).
12
Pada umumnya, anak-anak korban bullying memiliki salah satu atau beberapa
faktor resiko berikut:
Dianggap “berbeda”, misalnya memiliki ciri fisik tertentu yang mencolok
seperti lebih kurus, gemuk, tinggi, atau pendek dibandingkan dengan yang
lain, berbeda dalam status ekonomi, memiliki hobi yang tidak lazim, atau
menjadi siswa/siswi baru.
Dianggap lemah atau tidak dapat membela dirinya.
Memiliki rasa percaya diri yang rendah.
Kurang populer dibandingkan dengan yang lain, tidak memiliki banyak
teman.
Sedangkan untuk pelaku bullying, Ada beberapa karakteristik anak yang
memiliki kecenderungan lebih besar untuk menjadi pelaku bullying, yaitu
mereka yang:
Peduli dengan popularitas, memiliki banyak teman, dan senang menjadi
pemimpin diantara teman-temannya. Mereka dapat berasal dari keluarga
yang berkecukupan, memiliki rasa percaya diri tinggi, dan memiliki
prestasi bagus di sekolah. Biasanya mereka melakukan bullying untuk
meningkatkan status dan popularitas di antara teman-teman mereka.
Pernah menjadi korban bullying. Mereka juga mungkin mengalami
kesulitan diterima dalam pergaulan, kesulitan dalam mengikuti pelajaran
di sekolah, mudah terbawa emosi, merasa kesepian dan mengalami
depresi.
Memiliki rasa percaya diri yang rendah, atau mudah dipengaruhi oleh
teman-temannya. Mereka dapat menjadi pelaku bullying karena mengikuti
perilaku teman-teman mereka yang melakukan bullying, baik secara sadar
maupun tidak sadar.
Dalam penelitian Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, (2005) alasan
seseorang melakukan bullying adalah karena korban mempunyai persepsi
bahwa pelaku melakukan bullying karena tradisi, balas dendam karena dia
dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki), ingin menunjukkan
kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang
diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut korban laki – laki ), dan iri hati
13
(menurut korban perempuan). Adapun korban juga mempersepsikan dirinya
sendiri menjadi korban bullying karena penampilan yang menyolok, tidak
berperilaku dengan sesuai, perilaku dianggap tidak sopan, dan tradisi.
Menurut psikolog Seto Mulyadi, Bullying disebabkan karena :
1. Menurutnya, saat ini remaja di Indonesia penuh dengan tekanan.
Terutama yang datang dari sekolah akibat kurikulum yang padat dan
teknik pengajaran yang terlalu kaku. Sehingga sulit bagi remaja untuk
menyalurkan bakat nonakademisnya Penyalurannya dengan kejahilan-
kejahilan dan menyiksa.
2. Budaya feodalisme yang masih kental di masyarakat juga dapat menjadi
salah satu penyebab bullying sebagai wujudnya adalah timbul budaya
senioritas, yang bawah harus nurut sama yang atas.
14
(3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan
tersebut Orang Tuanya.
Jika bullying ini dilakukan di lingkungan pendidikan, maka kita perlu melihat
juga Pasal 54
UU 35/2014 yang berbunyi:
(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan
perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan
kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan,
sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.
Ini artinya, sudah sepatutnya peserta didik di sekolah mendapatkan
perlindungan dari perilaku bully yang berupa tindak kekerasan fisik maupun
psikis.
Apabila bullying itu dilakukan pada masa diselenggarakannya
perpeloncoan di sekolah atau yang dikenal dengan nama Masa Orientasi
Sekolah (MOS), dasar hukum yang mengaturnya adalah Surat Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor
1383/C.C4/MN/2010 tentang Pelaksanaan MOS yang antara lain
mengatakan bahwa agar kegiatan MOS berjalan sesaui dengan yang
diharapkan dan tidak terjadi bias, seperti adanya bullying, perpeloncoan,
pemalakan, dan hal-hal negatif lainnya; maka seluruh kegiatan MOS
dilaksanakan, dibimbing, dan diawasi guru.
15
Dampak bagi korban
Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention Resource
Center Sanders (2003; dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa bullying dapat
membuat remaja merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar
di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari sekolah. Bila bullying
berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat mempengaruhi self-esteem siswa,
meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan
remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman. Dalam kasus
yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan
bisa membunuh atau melakukan bunuh diri (commited suicide).
Coloroso (2006) mengemukakan bahayanya jika bullying menimpa korban
secara berulang-ulang. Konsekuensi bullying bagi para korban, yaitu korban akan
merasa depresi dan marah, Ia marah terhadap dirinya sendiri, terhadap pelaku
bullying, terhadap orang-orang di sekitarnya dan terhadap orang dewasa yang
tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut kemudan mulai
mempengaruhi prestasi akademiknya. Berhubung tidak mampu lagi muncul
dengan cara-cara yang konstruktif untuk mengontrol hidupnya, ia mungkin akan
mundur lebih jauh lagi ke dalam pengasingan.
Terkait dengan konsekuensi bullying, penelitian Banks (1993, dalam
Northwest Regional Educational Laboratory, 2001; dan dalam Anesty, 2009)
menunjukkan bahwa perilaku bullying berkontribusi terhadap rendahnya tingkat
kehadiran, rendahnya prestasi akademik siswa, rendahnya self-esteem, tingginya
depresi, tingginya kenakalan remaja dan kejahatan orang dewasa. Dampak negatif
bullying juga tampak pada penurunan skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan
analisis siswa. Berbagai penelitian juga menunjukkan hubungan antara bullying
dengan meningkatnya depresi dan agresi.
16
dan impulsif, toleransi yang rendah terhadap frustasi. Para pelaku bullying ini
memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang lain dan kurang berempati
terhadap targetnya. Apa yang diungkapkan tersebut sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Coloroso (2006:72) mengungkapkan bahwa siswa akan
terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat mengembangkan hubungan
yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif lain, tidak memiliki
empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat
mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang.
Dengan melakukan bullying, pelaku akan beranggapan bahwa mereka
memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus-menerus tanpa
intervensi, perilaku bullying ini dapat menyebabkan terbentuknya perilaku lain
berupa kekerasan terhadap anak dan perilaku kriminal lainnya.
17
Apabila kita ingin ikut serta dalam memerangi bullying, hal paling sederhana
yang dapat kita lakukan adalah dengan tidak melakukan bullying atau hal-hal lain
yang mirip dengan bullying. Disadari maupun tidak, orang dewasa juga dapat
menjadi korban ataupun pelaku bullying, misalnya dengan melakukan bullying di
tempat kerja, ataupun melakukan kekerasan verbal terhadap orang-orang di sekitar
kita.
D. Upaya Pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia
1) Periode tahun 1945 – 1950 Di periode ini, pemikiran HAM masih menekankan
pada hak merdeka, hak bebas berserikat, serta hak bebas menyampaikan
pendapat. Pemikiran HAM telah mendapat pengakuan secara formal karena
telah memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara, yaitu
UUD 1945. Komitmen terhadap HAM pada periode awal kerdekaan
ditunjullam dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945. Di periode
ini (1945-1950) memberikan keleluasaan terhadap rakyat untuk mendirikan
partai politik sebagaimana yang telah tertera pada Maklumat Pemerintah pada
tanggal 3 November 1945 :
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena segala aliran
paham yang ada dalam masyarakat dapat dipimpin ke jalan yang teratur
dengan adanya partai-partai tersebut.
2. Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum
dilangsukannya pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada Januari
1946. Hal ini berkaitan dengan adanya perubahan yang signifikan terhadap
sistem pemerintahan dari presidensial menjadi sistem parlementer.
2) Periode tahun 1950 – 1959 Periode ini dalam perjalanan, Indonesia dikenal
dengan sebutan “Periode Demokrasi Parlementer” dimana pemikiran HAM
pada periode ini mendapatkan momentum yang membanggakan. Indikator
tentang pemikiran HAM pada periode ini mengalami “pasang”, menurut ahli
hukum tata negara memiliki 5 aspek :
1. Semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya
masing-masing.
18
2. Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi, betul- betul menikmati
kebebasannya.
3. Pemilu sebagai pilar lain dari demokrasi harus bertanggung jawab dalam
suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis.
4. Parlemen/dewan perwakilan rakyat sebagai wakil rakyat semakin efektif
mengontrol terhadapt kinerja eksekutif.
5. Wacana & pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif,
sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
3) Periode tahun 1959 – 1966 Pada periode ini, sistem pemerintahan Indonesia
adala sistem demokrasi terpimpin diamana kekuasaan terpusat dan berada di
tangan presiden. Dalam kaitannya dengan HAM yaitu telah terjadinya sikap
restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak
politik warga negara.
4) Periode tahun 1966 – 1998 Pada awal masa periode ini telah diadakan beberapa
seminar tentang HAM. Salah satu seminar dilaksanakan pada tahun 1967 yang
merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM,
Komisi, dan pengadilan HAM di wilayah Asia. Pada tahun 1968 diadakan
Seminar Hukum Nasional II yang merekomendasikan perlunya hak uji materiil
guna melindungi HAM. Fungsi dari hak uji materiil itu sendiri dalam rangka
pelaksanaan TAP MPRS XIV/MPRS/1996. Namun, pada tahun 1970-an
sampai akhir 1980-an, HAM mengalami kemunduran. Dalam hal ini, upaya
masyarakat dilakukan melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional
terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok,
kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, dan lain sebagainya. Menjelang
periode 1990-an, upaya masyarakat nampaknya memperoleh hasil yang
mengesankan karena terjadi pergeseran strategi pemerintahan, dari Represif
dan Defensif menjadi Akomodatif. Salah sau sikap akomodatif pemerintah
terhadap tuntutan penegakan HAM yaitu dibentuknya KOMNAS HAM
berdasarkan KEPRES Nomor 50 tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993, dimana
KOMNAS HAM memiliki tugas:
1. Memantau & menyelidiki pelaksanaan HAM & memberi saran serta
pendapat kepada pemerintah perihal HAM.
19
2. Membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kodusif bagi pelaksanaan
HAM sesuai pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil amandemen UUD
NKRI 1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM dan deklarasi atau
perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penegakan HAM.
5) Periode tahun 1998 – sekarang Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap
beberapa kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dnegan
pemajuan dan perlindungan HAM. Kemudian, dilakukan penyusunan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam
kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di indonesia, serta pengkajian
dan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan.
Strategi pada periode ini dilakukan melalui 2 tahap, yaitu:
1. Tahap status penentuan (prescriptive Status) Pada tahap ini telah
ditetapkan beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM, seperti
UUD 1945, TAP MPR, UU, dan peraturan pemerintah dan ketentuan
perundang-undangan lainnya.
2. Tahap penataan aturan secara konsisten ( rule consistent behavior )
Ditandai dengan pemghormatan dan pemajuan HAM dengan
dikeluarkannya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan
disahkannya sejumlah konvensi HAM. Selain itu juga dirancangkan
program “Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM)” pada tanggal 15
Agustus 1998 yang didasarkan kepada :
3. Persiapan pengesahan perangkat Internasional di bidang HAM
4. Desiminasi informasi dan pendidikan tentang HAM 3. Penentuan skala
prioritas pelaksanaan HAM 4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di
bidang HAM yang telah diratifikasikan melalui perundang-undangan
nasional. Untuk lebih melindungi HAM di Indonesia, pemerintah telah
membuat UU HAM No. 39 tahun 1999 serta UU No. 26 tahun 2000
tentang pengadilan HAM. Melalui keputusan Presiden No. 40 tahun 2004,
Pemerintah telah mengesahlan RANHAM kedua diamana merupakan
kelanjutan RANHAM Indonesia yang pertama tahun 1998-2003.
RANHAM disusun untuk menjamin peningkatan penghormatan,
pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan HAM di Indinesia dengan
20
mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan budaya bangsa
indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan
kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi,
tapi satu hal yang perlu kita ingat bahwa jangan pernah melanggar atau
menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan
dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran
HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau
bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM,
pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara
peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan
HAM. Sementara menyangkut Kasus Marsinah yang merupakan
dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, karena merupakan kasus
penghilangan seseorang secara paksa. Marsinah adalah tumbal dari apa yang
namanya penindasan atas nama stabilitas keamanan dan politik pada zaman
Orde Baru. Penindasan kepada Marsinah adalah bentuk ketakutan negara
pada sosok-sosok yang berani berjuang dan mengobarkan semangat
kebebasan, kesejahteraan dan kesetaraan. Negara menciptakan teror ketakutan
kepada siapa saja yang ingin melakukan aksi perlawanan. Negara juga telah
mengabaikan kasus ini, membiarkannya menjadi misteri yang tak terpecahkan
selama bertahun-bertahun. Ini jelas sebuah anomali dan paradoks jika kita
komparasikan dengan tujuan pembentukan dan kewajiban negara ini.
Marsinah hanyalah satu dari ribuan potret buruh perempuan di Indonesia
yang seringkali harus dihadapkan dengan berbagai persoalan pelik yang
mendasar. persoalan kesejahteraan, kekerasan,eksploitasi dan diskriminasi
seolah terus menjadi pekerjaan rumah yang menumpuk bagi pemerintah
untuk diselesaikan. Realitas kekinian memperlihatkan bahwa sampai hari ini
begitu banyak buruh perempuan di Indonesia yang masih ambil bagian dalam
rangka pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Menguak kasus Marsinah
berarti harus mengurai banyak benang kusut, benang kusut yang mungkin
22
hanya dapat terurai dari tangan mereka yang benar-benar peduli untuk
mengurainya.
Bullying adalah suatu contoh kasus pelanggaran HAM ringan yang
dilakukan secara berulang-ulang dimana tindakan tersebut sengaja dilakukan
dengan tujuan untuk melukai dan membuat seseorang merasa tidak nyaman.
Pemahaman moral adalah pemahaman individu yang menekankan pada
alasan mengapa suatu tindakan dilakukan dan bagaimana seseorang berpikir
sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk. Pemahaman
moral bukan tentang apa yang baik atau buruk, tetapi tentang bagaimana
seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau
buruk. Peserta didik dengan pemahaman moral yang tinggi akan memikirkan
dahulu perbuatan yang akan dilakukan sehingga tidak akan melakukan
menyakiti atau melakukan bullying kepada temannya. Selain itu, keberhasilan
remaja dalam proses pembentukan kepribadian yang wajar dan pembentukan
kematangan diri membuat mereka mampu menghadapi berbagai tantangan
dan dalam kehidupannya saat ini dan juga di masa mendatang. Untuk itu
mereka seharusnya mendapatkan asuhan dan pendidikan yang menunjang
untuk perkembangannya.
B. Saran
Sebagai makhluk sosial kita selayaknya mampu mempertahankan dan
memperjuangkan hak kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa
menghormati dan menjaga hak orang lain jangan sampai kita melakukan
pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-
injak oleh orang lain.
23
KATA PENGANTAR
Penulis
i24
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan Penulisan......................................................................................2
D. Manfaat.....................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia.............................................3
B. Klasifikasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia.............................................4
C. Contoh Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia..............................5
D. Upaya Pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia...................................18
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan..............................................................................................22
3.2. Saran........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA
ii
25
DAFTAR PUSTAKA
26
UPAYA PENEGAKAN
HAK ASASI MANUSIA (HAM)
1. DESNIATI
2. HUSNI KAMILAH
3. ILHAM FEBRIANTO
4. LUKMAN HIDAYAT
5. YUSWARITA
27