Anda di halaman 1dari 3

Izin untuk ikut menjawab pertanyaan diskusi.

Berdasarkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, terdapat delapan Asas-asas Umum


Pemerintahan yang Baik (AUPB), yaitu:
a. Asas kepastian hukum, asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan ketentuan
perundang-undangan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan.
b. Asas kemanfaatan, memperhatikan keseimbangan manfaat antara kepentingan individu dan
individu yang lain, masyarakat Indonesia, masyarakat asing, kelompok masyarakat, pemerintah,
generasi ke depan, dan ekosistemnya, serta kepentingan antara pria dan wanita.
c. Asas ketidakberpihakan, asas yang mewajibkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif.
d. Asas kecermatan, setiap keputusan dan tindakan harus didasarkan pada informasi yang lengkap
untuk mendukung legalitas penetapan dan/atau pelaksanaan keputusan.
e. Asas tidak menyalahgunakan kewenangan, asas yang mewajibkan pemerintah tidak menggunakan
kewenangannya untuk kepentingan pribadi atau kepentingan yang lain yang tidak sesuai dengan
tujuan pemberian kewenangan tersebut.
f. Asas keterbukaan, asas yang melayani masyarakat untuk mendapatkan akses yang benar, jujur,
dan tidak diskriminatif atas penyelenggaraan pemerintahan dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi dan rahasia negara.
g. Asas kepentingan umum, asas mendahulukan kesejahteraan dan kemanfaatan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif, selektif, dan tidak diskriminatif.
h. Asas pelayanan yang baik, asas yang memberikan pelayanan yang tepat waktu, prosedur dan
biaya yang jelas, sesuai dengan standar pelayanan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Proyek PLTU Batang adalah megaproyek menggunakan skema Public Privat Partnership (PPP) antara
PT. PLN (Persero) dan PT. Bhimasena Power Indonesia yang membutuhkan lahan seluas 226 hektar.
Rencana pembangunan dimulai dengan adanya perjanjian jual beli tenaga listrik (power purchase
agreement) antara kedua perusahaan tersebut yang ditandatangani pada 6 Oktober 2011 yang
terdiri atas rencana pembebasan tanah dan pembangunan PLTU berkapasitas 2 x 1.000 MW yang
mulai dilaksanakan pada 2012 oleh PT. Bhimasena Power Indonesia, dan ditargetkan selesai pada
2016. Pembebasan tanah yang dilakukan oleh PT. Bhimasena Power Indonesia pada kenyataannya
mendapatkan penolakan dari masyarakat terkena dampak, sehingga mengalami kendala
pembebasan lahan dan mengakibatkan rencana pembangunan PLTU mundur sampai tahun 2015,
dan masih menyisakan 125.146 m2 luas tanah yang masih belum dibebaskan. Gubernur Jawa Tengah
akhirnya mengeluarkan Keputusan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 590/35 Tahun
2015 kepada Unit Induk Pembangunan VIII PT. PLN (Persero) sebagai representasi dari pihak
pemerintah. Pasal 16 dan Pasal 19 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2012 juga mensyaratkan adanya
konsultasi publik untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari Pihak yang
Berhak, atau para pemilik lahan yang akan dibangun.

Pada kasus sengketa PLTU Batang yang menjadi objek gugatan adalah Surat Keputusan Gubernur
Jawa Tengah Nomor: 590/35 Tahun 2015 tentang penunjukan Unit Induk Pembangunan VIII PT. PLN
(Persero) untuk melakukan pembebasan tanah menggunakan Undang-undang No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah bagi Kepentingan Umum. Penggugat dalam dalil gugatannya
menyampaikan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah melanggar AUPB diantaranya asas
kepastian hukum, asas kepentingan umum, dan asas keterbukaan. Akan tetapi gugatan ini ditolak
seluruhnya oleh PTUN Semarang, di mana pertimbangan majelis hakim dalam putusan PTUN
Semarang No. 049/G/2015/PTUN.Smg menyatakan menyatakan bahwa keputusan yang digugat
tidak melanggar ketentuan Undang-undang No. 2 Tahun 2012 dan tidak ditemukan adanya
pelanggaran AUPB, dan pelimpahan pengadaan tanah yang diberikan kepada PT. PLN (Persero) tidak
melanggar prosedur dan tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dalam putusan ini,
hakim

Menurut saya, adalah benar secara administratif pemerintah telah melaksanakan ketentuan yang
ada dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2012. Akan tetapi dalam melaksanakan prosedur tersebut
terjadi pelanggaran atas AUPB, karena pemerintah tidak memperhatikan aspirasi masyarakat
setempat yang berkeberatan. Hal ini terutama melanggar asas kepentingan umum dan asas
keterbukaan, karena ketetapan pemerintah tidak melibatkan para pemilik lahan secara akomodatif
dan aspiratif dalam setiap tahapan kegiatannya serta tidak memperhatikan perlindungan atas hak
asasi para pemilik lahan. Pelanggaran ini diindikasikan melalui tindakan pemerintah yang tidak
melibatkan para pemilik lahan secara keseluruhan dalam sosialisasi dan kegiatan Konsultasi Publik
mengenai status penetapan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Faktanya, dari 27 orang
pemilik tanah hanya satu orang yang hadir dalam kegiatan sosialisasi, selebihnya diikuti oleh
perangkat desa, tokoh masyarakat dan masyarakat umum, namun dalam Berita Acara yang dibuat
oleh Tim Pengadaan Tanah menyatakan seluruh Pihak yang Berhak telah menyetujui rencana
pengadaan tanah pembangunan PLTU Batang. Oleh karena itu, meskipun proses konsultasi publik
telah dilaksanakan namun ketidakterlibatan pemilik lahan merupakan bentuk pelanggaran atas asas
kepentingan umum dalam AUPB. Selain itu, adanya klausul belum dilakukannya upaya administratif
penggugat (pengajuan keberatan sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2012) sebelum mengajukan
gugatan di PTUN dalam putusan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah mengabaikan keberatan
yang diajukan oleh pemilik lahan, yang berarti pemerintah mengabaikan perlindungan atas hak asasi
para pemilik lahan di area pembangunan tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya pelanggaran atas
asas keterbukaan dalam AUPB.

Referensi:
BMP ISIP4131 Sistem Hukum Indonesia Modul 6
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
https://leip.or.id/wp-content/uploads/2017/01/Penelitian-Sosio-Legal-TUN-AUPB.pdf

Anda mungkin juga menyukai