Anda di halaman 1dari 64

NOTULENSI WORKSHOP HUKUMONLINE 2016

“PERMASALAHAN DAN SOLUSI


PENGADAAN TANAH UNTUK
PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR”

Hotel Harris – Tebet - Jakarta

Rabu, 1 Juni 2016


NOTULENSI WORKSHOP “PERMASALAHAN DAN SOLUSI PENGADAAN TANAH
UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR”

Rabu, 1 Juni 2016

Hotel Harris, Tebet – Jakarta

SESI I-A (Pukul 09.00 – 10.30 WIB)

Tema : Mekanisme Pengadaan Tanah dan Tata Cara Perolehan Hak Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Infrastruktur (Suatu Telaahan Problem dan Solusi)

Pembicara : Dr. Aslan Noor, SH., MH., CN (Kasubdit Pemanfaatan Tanah Pemerintah,
Ditjen Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan
Nasional)

Kerangka Penjelasan:

- Latar belakang dari adanya kegiatan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan;


- Penjelasan mengenai konsep Pengadaan Tanah
- Penjelasan mengenai pokok-pokok Pengadaan Tanah
- Pembahasan evaluasi Penyelenggaraan Pengadaan Tanah berdasarkan UU No.2 Tahun
2012 jo. Perpres No.71 Tahun 2012

A. Latar Belakang
Pemerintah dalam konsep hukum subjek hak atas tanah memiliki prosedur yang berbeda
dalam memperoleh tanah dibandingkan dengan individu biasa. Pertama-tama, sebelum
Pemerintah melakukan kegiatan dalam perolehan hak atas tanah, ia harus bertindak
sebagai owner atau pemilik hak atas tanah tersebut. Oleh karena itu harus ada perizinan
yang diurus sebelum Pemerintah memiliki hak atas tanah.

2
Subyek hak atas tanah itu sendiri terdiri dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN/D,
ada badan hukum dan perorangan. Terdapat penggunaan tanah yang berbeda dari masing-
masing subyek yang menerangkan apakah penggunaan tanah tersebut untuk kepentingan
umum ataupun kepentingan lainnya. Jika kepentingan umum, subyeknya wajib
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan BUMN/D. Khusus untuk BUMN/D sebelum
melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib mendapatkan penugasan
dari Kementerian terkait.

Selain itu, untuk kepentingan lainnya subyeknya adalah Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Badan Hukum dan Perseorangan. Namun, bagi Pemerintah yang ingin mengadakan tanah
untuk kepentingan lainnya yang bukan kepentingan umum dalam Pasal 10 UU No.2
Tahun 2012, harus tetap didasari penetapan lokasi yang wajib disertai konsultasi publik
dan pemeriksaan tim professional. Sedangkan untuk badan hukum wajib ada izin lokasi.
Sedangkan untuk masyarakat dapat memperoleh hak atas tanah untuk kepentingan
lainnya secara perolehan langsung melalui perjanjian keperdataan.

Pasca pemberlakuan UU No.2 Tahun 2012, terjadi berbagai problematika dalam


penyelenggaraan pengadaan tanah, yang salah satunya adalah mengenai permasalahan
harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait. Penyelenggaraan pengadaan Tanah,
yaitu antara UU No. 2 dengan Peraturan pelaksananya dan peraturan perundang-
undangan lainnya, dan beberapa diantara pasal-pasalnya masih mendapat kesulitan dalam
praktik antara lain :

• Subyek (pemohon Pengadaan Tanah), yang dimungkinkan dilaksanakan oleh


swasta dengan lahirnya Perpres 30 jo 148 Th. 2015;
Dalam hal ini seringkali terjadi kondisi dimana pihak yang harus mengadakan
tanah sebenarnya adalah Pemerintah, akan tetapi pada praktiknya dilakukan oleh
swasta.

• batasan waktu masing-masing kegiatan;

3
Sumber daya manusia yang tersedia sangatlah terbatas, dan profesionalisme pun
masih belum terbentuk dan terdidik dengan baik. Sehingga keterlambatan dalam
pelaksanaan kegiatan sering kali digunakan berita acara untuk menghindari adanya
gugatan hukum.

• pelaksanaan konsinyasi yang masih belum jelas;


• kelengkapan data pada tahapan persiapan dan perencanaan (pemohon belum taat
asas baik terhadap kelengkapan dokumen maupun ketepatan waktu, yang selalu
dipaksakan masuk pada akhir taun anggaran;
Banyak pihak yang membutuhkan tanah ketika telah melewati tahap perencanaan
dan tahap persiapan kemudian tidak dapat melanjutkan proses pada tahap persiapan
karena dokumen yang disiapkan kurang valid.

• kendala kekurangan biaya pelaksanaan yang dibatasi 4 % (dihitung hanya nilai


tanah bukan ganti rugi secara keseluruhan), dll.

Adapun salah satu kasus yang pernah terjadi dalam hal permasalahan pengadaan tanah
adalah kasus PLTU Batang. Kasus PLTU Batang adalah proyek swasta dengan cap
proyek pemeirntah. Pada proses pengadaan tanah di PLTU Batang, sebagian anggota
masyarakat dari ketiga desa yang menjadi tapak proyek tetap bersikukuh
mempertahankan tanah mereka demi mempertahankan sumber penghidupannya. Ketiga
desa tersebut adalah Desa Ujungnegoro, Karanggeneng dan Ponowaren, dimana hingga
saat ini masih terdapat sekitar 67 warga pemilik tanah yang tetap bertanah tidak menjual
tanahnya untuk pembangunan PLTU Batang. Demi mempertahankan tanah tumpuan
kehidupan tersebut, mereka kerap harus berurusan dengan preman-preman dan oknum
aparat dari kepolisian dan TNI yang meminta mereka untuk menjual tanah yang disertai
ancaman-ancaman.

Pada tanggal 27 Juni 2014 PT. Bhimasena Power Indonesia (PT BPI) menyampaikan
secara resmi ketidakmampuan perusahaan dalam melakukan pembebasan lahan untuk
PLTU Batang, Kegiatan pembebasan lahan tidak dapat lagi dilaksanakan sebagaimana

4
mestinya. Pernyataan itu keluar mengingat sudah empat kali perusahaan melakukan
perubahan (amandemen) perjanjian jual beli tenaga listrik antara PT. Bhimasnena Power
Indonesia dengan PT. PLN (Persero).

Keinginan masyarakat mempertahankan lahan pertanian mereka dari rencana


pembangunan PLTU terbesar di asia tenggara ini tidak mendapat dukungan dari
pemerintah. Hingga akhirnya Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan keputusan tentang
persetujuan penetapan lokasi pengadaan tanah sisa lahan seluas 125.146 M2 untuk
pembangunan pembangkit listrik tenaga uap Jawa Tengah 2x1000 MW di Kabupaten
Batang Propinsi Jawa Tengah yang diberikan kepada Unit Induk Pembangunan VIII
PT.PLN (Persero) tertanggal 30 Juni 2015. Menanggapi hal itu, masyarakat kemudian
melakukan perlawanan melalui Gugatan Administrasi Negara atas Keputusan Gubernur
Jawa Tengah tersebut. Masyarakat meminta pembatalan keputusan itu karena dipandang
bertentangan dengan tata cara pengadaan tanah sebagaimana diatur dalam undang-
undang. Persyaratan utama dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum adalah pembangunan itu wajib dilaksanakan pemerintah atas rencana kerja instansi
yang memerlukan tahah, pengadaannya dilakukan oleh pemerintah dan tanahnya dimiliki
pemerintah serta pendanaannya bersumber dari pemerintah. Tahapannya terdiri dari
perencanaan, persiapan, pelaksanaan dan penyerahan hasil.

Pelaksanaannya kegiatan sosialisasi dan konsultasi publik hanya dilakukan dalam bentuk
persayaratan semata, tanpa menggali persoalan yang terjadi. Mirisnya lagi, dalam seluruh
pertemuan itu, kehadiran pemilik tanah hanya diwakili oleh 1 hingga 5 orang saja dan
bahkan di beberapa kesempatan pertemuan itu dilakukan tanpa dihadiri oleh pemilik
tanah dan yang terdampak. Itupun pertemuan hanya berlangsung bersama aparat desa
serta kecamatan dan warga yang tidak memiliki tanah ditapak proyek. Fakta ini
terbongkar di persidangan saat hakim memeriksa seluruh daftar hadir peserta dalam
kegiatan tersebut. Anehnya lagi, berita acara persetujuan pengadaan tanah telah dibuat,
tanpa diketahui oleh pemilik tanah.

Rencana pembangunan PLTU Batang dilakukan oleh PT. Bhimasena Power Indonesia
yang merupakan perusahaan gabungan (Joint Venture) dari tiga perusahaan, diantaranya
5
Electric Power Development Co., Ltd. (J-Power), perusahaan yang berbasis di Tokyo-
Jepang dengan kepemilikan saham sebesar 34 persen, ITOCHU Corporation, perusahaan
yang berbasis di Tokyo-Jepang dengan kepemilikan saham sebesar 32 persen dan PT
Adaro Power, perusahaan swasta yang berbasis di Indonesia dengan kepemilikan saham
sebesar 34 persen. Hubungannya dengan pemerintah hanya sebatas hubungan Jual-Beli
tenaga listrik listrik yang dihasilkan perusahaan dan PT. PLN (Persero) adalah konsumen
sebagai pembeli (buyer). Sangat jelas dan meyakinkan bahwa PLTU Batang adalah
proyek swasta, bukan proyek pemerintah yang dicoba dikesankan selama ini.

Semua fakta-fakta dan bukti telah diajukan masyarakat kepada pengadilan. Para pemilik
tanah lainnya yang menjadi saksi di persidangan mengungkapkan kepada Hakim bahwa
mereka tidak diundang dalam pertemuan-pertemuan sosialisasi dan konsultasi publik
bahkan pembuatan Berita Acara pengadaan tanah. Kesaksian mereka tidak terbantahkan.
Begitu juga dengan keterangan ahli hukum administrasi negara yang dihadirkan,
menyimpulkan bahwa Keputusan Gubernur tersebut cacat fomil karena tidak melibatkan
masyarakat yang terkena dampak langsung dari pemberlakukan suatu keputusan tata
usaha negara, apalagi pengadaan tanah yang dimaksud dalam keputusan Gubernur,
tanahnya akan diperuntukkan kepada perusahaan swasta (pembangunan PLTU Batang),
PT. PLN (Persero) dalam keputusan ini hanya sebatas perpanjangan tangan untuk
mendapatkan lahan semeta. Pendapat ahli menegaskan jika hal ini melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Namun, hakim berpendapat lain dan gugatan masyarakat pun ditolak di Pengadilan
PTUN Semarang. Tidak puas, masyarakat pun melakukan upaya hukum kasasi di
Mahkamah Agung dengan kembali menguraikan alasan hukum dimana hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara tersebut tidak cermat, tidak teliti dan lalai serta salah
dalam menerapkan hukum. Bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum hanya
dapat dilakukan oleh pemerintah, tanahnya milik pemerintah dan pembangunannya
dilakukan oleh pemerintah. Dalam kasus ini, PLTU Batang jelas sekali milik swasta,
maka pembebasan tanah untuk PLTU Batang melalui keputusan Gubernur telah
melanggar Undang-undang. Tanah yang dibebaskan dimanfaatkan perusahaan. Saat

6
perusahaan tidak sanggup melakukan pembebasan tanah masyrakat, Negara justru hadir
sebagai “perampas” dengan dalih kepentingan umum.

Disamping permasalahan hukum, terdapat permsalahan ganti rugi status subyek dan
obyek tanah (kekayaan negara) terkait istilah:

• Tanah negara;
• Tanah pemerintah yang kosong yang nyata-nyata tidak digunakan,
• Penghapusan aset,
• Tanah kawasan hutan ,
• Tanah fasum dan fasus buatan dan yang alami
• Jalan alami (yang bukan dari APBN/APBD)
• Tanah kawasan lindung (ada sembilan : Hutan Lindung, bergambut dan resapan air,
sepadan : pantai, sungai, sekitar danau/waduk, sekitar mata air, kawasan cagar
budaya terdiri dari : suaka alam, suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan
pantai berhutan bakau, Taman nasional, Taman Hutan Raya, Taman wisata alam
dan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan)

Kelengkapan data perijinan, seperti : ijin tanah waqaf, perubahan RTRW, pelepasan
kehutanan, HGU dan HGB yang terpotong yang memerlukan ijin peralihan, dan masalah
perijinan lainnya, termasuk ketersediaan tanah pengganti yang sesungguhnya telah
tersedia pada tahapan persiapan.

B. Konsep Pengadaan Tanah


Konsep Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan umum terdiri dari:
1. Dasar Dasar Pengadaan Tanah,
2. Dasar Hukum Pengadaan Tanah,
3. Prosedur Penyelenggaraan Pengadaan Tanah, dan
4. Inplementatif Pengadaan Tanah
Konsep dasar Pengadaan Tanah terdiri dari:

7
• Pengertian;
• Prinsip;
• Asas;
• Substansi;
• Tujuan;
• Metoda;
• Pendekatan;
• Sejarah;
• Jenis;
• Lembaga.

Adapun definisi dari pengadaan tanah menurut Pasal 1 angka 2 UU No.2 Tahun 2012
adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan
adil kepada pihak yang berhak. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.65 Tahun
2006, pengadaan tanah didefinisikan sebagai setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Dasar hukum pengadaan tanah diantaranya adalah:


• Dasar Hukum Pengadaan Tanah adalah : Pasal 18 & 6 UU No. 5 Tahun 1960
(UUPA)
• Dasar Operasional Penyelenggaraan Pengadaan Tanah adalah :
UU no. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum & UU 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
• Aturan Pelaksana :
1. Pepres 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
2. Perka BPN No. 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan
Tanah,

8
3. PMK No. 13 Tahun 2013 tentang Biaya Operasional dan Biaya Pendukung
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
4. PMK 10 Tahun 2016 tentang Perubahan PMK No. 13 Tahun 2013 tentang
Biaya Operasional dan Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Yang Bersumber Dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
5. Permendagri No. 72 Tahun 2012 tentang Biaya Operasional dan Biaya
Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, dan
6. Pepres No. 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Pertama Pepres No. 71 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
7. Perpres No. 99 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Pepres No. 71 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 tentang
Perubahan Ketiga Pepres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 148 Tahun 2015 tentang
Perubahan Keempat Pepres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
10. Perturan Menteri Agraria danTata Ruang/Kepala BPN No. 6 Tahun 2015
tentang Perubahan Perka BPN No. 5 Tahun 2012 tentang tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah
11. Perturan Menteri Agraria danTata Ruang/Kepala BPN No. 6 Tahun 2015
tentang Perubahan Perka BPN No. 5 Tahun 2012 tentang tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah

9
Selain itu, Kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat termasuk
kepentingan bersama bangsa dan negara (AP Parlindungan , 1990 Hlm 61). Kepentingan
seluruh lapisan masyarakat (Pasal 1 angka 3 Kepres 55/1993). Kepentingan sebagian
besar lapisan masyarakat (Pasal 1 angka 5 Pepres 36/2005). Sedangkan ganti kerugian
adalah pemberian konpensasi yang sepadan bahkan lebih maju (kehidupan yang lebih
baik) kepada bekas pemilik berupa : ganti rugi terhadap hak atas tanah;
bangunan; tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Adapun asas dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum diantarnya adalah:
a. kemanusiaan;
b. keadilan;
c. kemanfaatan;
d. kepastian;
e. keterbukaan;
f. kesepakatan;
g. keikutsertaan;
h. kesejahteraan;
i. keberlanjutan; dan
j. keselarasan.

Sedangkan tujuan dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah bertujuan
menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan
hukum Pihak yang Berhak.

C. Pokok-Pokok Pengadaan Tanah


Pokok-pokok dari pengadaan tanah diantaranya adalah:
1. Tanah Wajib Tersedia Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (Pasal 4 UU
No. 2 Tahun 2012)

10
(1) Pemerintah menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum.
(2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menjamin tersedianya pendanaan untuk
Kepentingan Umum.

2. Masyarakat Wajib Melepaskan haknya (Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2012)


Pihak yang Berhak wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum setelah pemberian Ganti Kerugian atau berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

3. Kesesuaian dengan Rensra & RTRW (Pasal 7 UU No.2 Tahun 2012)


(1) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan sesuai dengan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah;
b. Rencana Pembangunan Nasional/Daerah;
c. Rencana Strategis; dan
d. d. Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah.
(2) Dalam hal Pengadaan Tanah dilakukan untuk infrastruktur minyak, gas, dan panas
bumi, pengadaannya diselenggarakan berdasarkan Rencana Strategis dan Rencana
Kerja Instansi yang memerlukan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c dan huruf d.
(3) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan melalui
perencanaan dengan melibatkan semua pengampu dan pemangku kepentingan

5. Prinsip Keseimbangan (Pasal 9 UU No.2 Tahun 2012)


(1) Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.
(2) Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian Ganti
Kerugian yang layak dan adil.

Dalam proses pengadaan tanah, obyek kepentingan umum berdasarkan Pasal 10 UU No.2
Tahun 2012 diantaranya adalah:
11
a. pertahanan dan keamanan nasional;
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas
operasi kereta api;
c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan
sanitasi, dan bangunan engairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. cagar alam dan cagar budaya;
n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan
untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
r. pasar umum dan lapangan parkir umum.

Sedangkan obyek ganti kerugian dalam proses pengadaan tanah diantaranya adalah:

• Tanah;
• Ruang atas tanah dan bawah tanah;
• Bangunan;
• Tanaman;
• Benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.

12
Selanjutnya, subyek pengadaan tanah diantaranya adalah:

1. lembaga negara,
2. kementerian dan
3. lembaga pemerintah nonkementerian,
4. Pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan
5. Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara yang mendapat penugasan
khusus Pemerintah.
6. Badan Hukum privat hanya sebagai pemegang kuasa saja yang bertindak atas nama orang
lain (last giver). Perlu untuk mendalami secara lebih lanjut UU 2 Tahun 2012, Perpres 30
Tahun 2015 dan Pepres 148 Tahun 2015

Adapun metoda dari proses pengadaan tanah adalah sebagai berikut:

a. Pembebasan Tanah
Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh instuisi (lembaga pengadaan tanah) dari tahap
perencanaan sampai dengan tahap penyerahan hasil, yang pada prinsipnya dimulai dari
studi kelayakan untuk menghasilkan Dokumen perncanaan, pemberitahuan/penyuluhan,
konsultasi publik untuk memperoleh ijin penetapan lokasi, dan kegiatan pelaksanaan
pengadaan tanah yang terdiri dari :
1. pemeriksaan/penelitian data pisik;
2. Pemeriksaan/penelitian data yuridis;
3. Pengumuman hasil pemeriksaan data pisik dan data yuridis;
4. penyelesaian permasalahan;
5. musyawarah;
6. Pembuatan daftar nominatif obyek, subyek, luas dan bentuk ganti rugi;
7. proses ganti rugi;
8. Pernyataan pelepasan hak;
9. Penandatanganan Risalah Pemeriksaan dan;
10. Penyerahan hasil dan Pelaporan.

13
b. Transaksi Langsung (Jual Beli, Hibah, Tukar Menukar).
Lembaga yang melakukan pengadaan tanah diantaranya adalah:

– Tim Study Kelayakan;


– Tim Pengkajian;
– Tim Koordinasi;
– Tim Konsultasi Publik;
– Tim Pelaksanaan;
– Tim Satgas A;
– Tim Satgas B;
– Tim Afraissal;
– Tim Keberatan;
– Musyawarah;
– Konsinyasi;
– Ganti Kerugian;
– Pelepasan Hak;
– Penyerahan Hasi;
– Legalisasi Asset.

D. Pembahasan Evaluasi Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Berdasarkan UU No.2


Tahun 2012 jo. Perpres No.71 Tahun 2012
Terdapat beberapa tahapan dalam melakukan proses pengadaan tanah, diantaranya
adalah:
1. Perencanaan;
2. Persiapan;
3. Pelaksanaan;
4. Penyerapan Hasil.

14
1. Perencanaan Pengadaan Tanah
Tahap perencanaan sangat menentukan untuk tahap persiapan dari suatu pengadaan
tanah. Jika sudah tahap persiapan, waktunya hanya dibatasi 104 hari. Sedangkan
pelaksanaannya dilakukan selama 134 sampai 250 hari.

Perencanaan pengadaan tanah didasarkan pada:

1. Rencana Tata Ruang Wilayah;


2. Prioritas Pembangunan yang tercantum dalam:
a. RPJM;
b. Renstra;
c. RKP dari Instansi yang bersangkutan.

Rencana pengadaan tanah disusun dalam bentuk dokumen perencanaan berdasarkan studi
kelayakan. Dokumen perencanaan pengadaan tanah ditetapkan oleh pimpinan instansi yang
memerlukan tanah atau pejabat yang ditunjuk yang kemudian disampaikan kepada
Gubernur. Dokumen perencanaan pengadaan tanah tersebut paling sedikit memuat:

1. Maksud dan tujuan rencana pembangunan;


2. Kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan prioritas pembangunan;
3. Letak tanah;
4. Luas tanah yang dibutuhkan;
5. Gambaran umum status tanah;
6. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah;
7. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;
8. Perkiraan nilai tanah; dan
9. Rencana penganggaran.

Selain itu, terdapat pula studi kelayakan yang mencakup:

1. Survey sosial ekonomi;


15
2. Kelayakan lokasi;
3. Analisis biaya dan manfaat pembangunan bagi wilayah dan masyarakat;
4. Perkiraan nilai tanah;
5. Dampak lingkungan dan dampak sosial yang mungkin timbul dari Pengadaan Tanah dan
pembangunan;
6. Studi lain yang diperlukan.

2. Persiapan Pengadaan Tanah

Dalam tahap persiapan pengadaan tanah, dibentuk tim persiapan yang bertugas:

1. Melaksanakan pemberitahuan rencana pembangunan;


2. Melakukan pendataan awal lokasi rencana pembangunan;
16
3. Melaksanakan konsultasi publik rencana pembangunan;
4. Menyiapkan penetapan lokasi pembangunan;
5. Mengumumkan penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum;
6. Melaksanakan tugas lain yang terkait persiapan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum yang ditugaskan oleh Gubernur.

Tim persiapan tersebut terdiri dari:

a. Bupati/Walikota;
b. Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi terkait;
c. Instansi yang memerlukan tanah;
d. Instansi lainnya.

Dalam proses persiapan pengadaan tanah, dilakukan pemberitahuan rencana


pembangunan yang memuat informasi:

a. maksud dan tujuan rencana pembangunan;


b. letak tanah dan luas tanah yang dibutuhkan;
c. tahapan rencana pengadaan tanah;
d. perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah;
e. perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan; dan
f. informasi lainnya yang dianggap perlu.

Pemberitahuan rencana pembangunan dilaksanakan secara langsung maupun tidak


langsung melalui:

1. Sosialisasi;
2. Tatap muka;
3. Surat pemberitahuan;
4. Media cetak dan/atau media elektronik.

17
Kemudian langkah selanjutnya adalah pendataan awal lokasi rencana pembangunan yang
meliputi kegiatan pengumpulan data awal pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah.
Adapun pihak yang berhak diantaranya adalah:

a. pemegang hak atas tanah;


b. pemegang hak pengelolaan;
c. nadzir untuk tanah wakaf;
d. pemilik tanah bekas milik adat;
e. masyarakat hukum adat;
f. pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik;
g. pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau
h. pihak yang memiliki atau menguasai bangunan, tanaman, atau benda lain yang
berkaitan dengan tanah.

Setelah itu, dilakukan konsultasi publik rencana pembangunan yang berisi penjelasan
mengenai:
1. maksud dan tujuan rencana pembangunan untuk kepentingan umum;
2. tahapan dan waktu proses penyelenggaraan pengadaan tanah;
3. peran penilai dalam menentukan nilai ganti kerugian;
4. insentif yang akan diberikan kepada pemegang hak;
5. objek yang dinilai ganti kerugian;
6. bentuk ganti kerugian; dan
7. hak dan kewajiban pihak yang berhak.

Setelah konsultasi publik rencana pembangunan, kemudian diakukan penetapan lokasi


pembangunan yang dilakukan oleh Gubernur berdasarkan kesepakatan dalam Konsultasi
Publik atau ditolaknya keberatan Pihak yang Berhak. Penetapan lokasi diampiri dengan
peta lokasi pembangunan yang disiapkan oleh instansi yang memerlukan tanah.
Penetapan lokasi pembangunan berlaku dalam jangka waktu dua tahun dan dapat
diperpanjang satu kali untuk paling lama satu tahun. Penetapan ini dapat dimohonkan

18
perpanjangan paling lambat dua bulan sebelum berakhirnya jangka waktu penetapan
lokasi dan apabila tidak terpenuhinya jangka waktu, maka dilaksankaan proses ulang
terhadap sisa tanah yang belum diselesaikan pengadaannya. Proses ulang tersebut dimulai
dari tahap perencanaan.

Dalam hal ini, gubernur dapat mendelegasikan kewenangan pelaksanaan persiapan


Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum kepada Bupati/Walikota
berdasarkan pertimbangan efisiensi, efektifitas, kondisi geografis, sumber daya manusia,
dan pertimbangan lainnya. Selain itu, pengumuman penetapan lokasi pembangunan
dilakukan oleh Gubernur dan Instansi yang memerlukan tanah. Pengumuman
dilaksanakan di kantor kelurahan/ desa, kecamatan, lokasi pembangunan, dan melalui
media cetak dan/atau media elektronik. Dalam hal Gubernur tidak membentuk Tim
Persiapan, pelaksanaan tugas Tim Persiapan dilakukan oleh instansi yang memerlukan
tanah bersama dengan gubernur.

3. Pelaksanaan Pengadaan Tanah

19
Pelaksana pengadaan tanah diselenggarakan oleh Kepala BPN dan dilaksanakan oleh
Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah. Kepala Kantor
Wilayah BPN dapat menugaskan Kepala Kantor Pertanahan sebagai Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah dengan mempertimbangkan efisiensi, efektivitas, kondisi gegorafis,
dan sumber daya manusia.
Kepala Kantor Pertanahan sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah membentuk
Pelaksana Pengadaan Tanah, paling kurang berunsurkan:
1. Pejabat yang membidangi urusan Pengadaan Tanah di lingkungan Kantor Wilayah
BPN;
2. Pejabat pada Kantor Pertanahan setempat pada lokasi Pengadaan Tanah;
3. Pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi yang membidangi urusan pertanahan;
4. Camat setempat lokasi Pengadaan Tanah;
5. Lurah/Kepala desa atau nama lain di lokasi Pengadaan Tanah.

Instansi yang memerlukan tanah mengajukan pelaksanaan Pengadaan Tanah kepada


Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah, dengan menyertakan:

1. Keputusan Penetapan Lokasi;


2. Dokumen perencanaan Pengadaan Tanah;
3. Data awal Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah.
Dalam melaksanakan kegiatannya, Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah dapat membentuk
Satuan Tugas yang membidangi inventarisasi dan identifikasi:

1. Data fisik penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah; dan


2. Data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah.

Satuan tugas melakukan penyiapan pelaksanaan Pengadaan Tanah, meliputi kegiatan:

1. Penyusunan rencana jadwal kegiatan;

20
2. Penyiapan bahan;
3. Penyiapan peralatan teknis;
4. Koordinasi dengan perangkat kecamatan dan lurah/kepala desa atau nama lain;
5. Penyiapan peta bidang tanah;
6. Pemberitahuan kepada Pihak yang Berhak melalui lurah/kepala desa atau nama lain;
dan
7. Pemberitahuan rencana dan jadwal pelaksanaan pengumpulan data Pihak yang
Berhak dan Obyek Pengadaan Tanah.

Satuan Tugas yang membidangi inventarisasi dan identifikasi data fisik penguasaan,
pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah melaksanakan pengukuran dan pemetaan
bidang perbidang tanah yang hasilnya dituangkan dalam bentuk peta bidang tanah dan
ditandatangani oleh Ketua Satuan Tugas. Satuan Tugas yang membidangi inventarisasi
dan identifikasi data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah melaksanakan
pengumpulan data yang hasilnya dituangkan dalam bentuk peta bidang tanah dan
ditandatangani oleh Ketua Satuan Tugas. Selain itu, Satuan Tugas yang membidangi
inventarisasi dan identifikasi data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah
melaksanakan pengumpulan data yang hasilnya dibuat dalam bentuk peta bidang tanah
dan daftar nominatif yang ditandatangani oleh Ketua Satuan Tugas.

Dalam hal Pihak yang Berhak Keberatan atas hasil inventarisasi dan identifikasi, dapat
mengajukan keberatan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah. Apabila keberatan
diterima, Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah melakukan verifikasi dan perbaikan
terhadap peta bidang tanah dan/atau daftar nominatif.

Selanjutnya dilakukan penetapan nilai oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah


berdasarkan hasil pengadaan jasa penilai yang dilakukan oleh Instansi yang memerlukan
tanah. Pengadaan jasa Penilai dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Apabila pengadaan penilai tidak
dapat dilaksanakan Instansi yang memerlukan tanah menunjuk Penilai Publik. Penilai
dalam hal ini bertugas melakukan penilaian yang meliputi:
21
1. Tanah;
2. Ruang atas tanah dan bawah tanah;
3. Bangunan;
4. Tanaman;
5. Benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
6. Kerugian lain yang dapat dinilai.

Nilai ganti kerugian dalam hal ini merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan
lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. Nilai Ganti Kerugian merupakan nilai
tunggal untuk bidang per bidang tanah. Nilai Ganti Kerugian dijadikan dasar musyawarah
mengenai bentuk ganti kerugian. Dalam hal terdapat sisa bidang tanah yang tidak dapat
difungsikan, pihak yang berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang
tanahnya.

Dalam musyawarah penetapan ganti kerugian, pelaksanaan musyawarah tersebut


mengikutsertakan Instansi yang memerlukan tanah. Musyawarah ini dilakukan secara
langsung untuk menetapkan bentuk ganti kerugian. Selain itu, dilakukan pula
penyampaian besaran ganti kerugian hasil penilaian penilai dan diutamakan pemberian
ganti kerugian dalam bentuk uang. Musyawarah dapat dilakukan lebih dari satu kali dan
apabila berhalangan dapat memberikan kuasa. Hasil musyawarah tersebut menjadi dasar
pemberian ganti kerugian dan apabila tidak terjadi kesepakatan mengenai bentuk dan/atau
besarnya ganti kerugian, Pihak yang Berhak dapat mengajukan keberatan kepada
Pengadilan Negeri. Pemberian ganti kerugian diberikan dalam bentuk:

a. Uang;
b. Tanah pengganti;
c. Permukiman kembali;
d. Kepemilikan saham; atau
e. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

22
Dalam hal pemberian ganti kerugian dalam keadaan khusus, pihak yang berhak hanya
dapat mengalihkan ha katas tanahnya kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui
Pelaksana Pengadaan Tanah. Dalam hal Pihak yang Berhak membutuhkan Ganti
Kerugian dalam keadaan mendesak, maka mendapatkan prioritas dengan diberikan
maksimal 25 (dua puliuh lima) persen dari perkiraan ganti kerugian yang didasarkan atas
NJOP tahun sebelumnya. Pemberian sisa ganti kerugian diberikan setelah diteatpkan
hasil penilai atau nilai yang sudah ditetapkan oleh putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.

Selanjutnya, mengenai penitipan ganti kerugian, pelaksanaannya diserahkan kepada


pengadilan negeri di wilayah lokasi pembangunan. Penitipan dilakukan dalam hal:

1. Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan
musyawarah dan tidak mengajukan keberatan ke Pengadilann Negeri;
2. Pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasrkan
putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
3. Pihak yang Berhak tidak diketahui keberadaannya; atau
4. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
a. Sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
b. Masih dipersengketakan kepemilikannya;
c. Diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
d. Menjadi jaminan di bank.

Kemudian pelepasan objek pengadaan tanah dilaksanakan oleh pihak yang berhak kepada
negara dihadapan Kepala Kantor Pertanahan setempat. Dalam pelepasan Objek
Pengadaan Tanah, pelaksana pengadaan tanah harus:

1. menyiapkan surat pernyataan pelepasan/penyerahan;


2. menarik bukti penguasaan atau kepemilikan Objek Pengadaan Tanah dari Pihak yang
Berhak;

23
3. Memberikan tanda terima pelepasan;
4. Membubuhi tanggal, paraf, dan cap pada sertifikat dan buku tanah bukti kepemilikan
yang sudah dilepaskan kepada Negara.

Penerima Ganti Kerugian atau Kuasanya wajib:


1. menandatangani surat pernyataan pelepasan/penyerahan hak;
2. menandatangani berita acara pelepasan hak; menyerahkan bukti-bukti pengusaan atau
kepemilikan Objek Pengadaan Tanah kepada instansi yang memerlukan tanah melalui
Pelaksana Pengadaan Tanah;
3. Menyerahkan salinan/fotokopi identitas diri atau identitas kuasanya.

Objek Pengadaan Tanah yang telah dibeirkan Ganti Kerugian atau Ganti Kerugian telah
dititipkan di pengadilan negeri atau yang telah dilaksanakan pelepasan hak Objek
Pengadaan Tanah, hubungan hukum antara Pihak yang Berhak dan tanahnya hapus demi
hukum.

Pelaksana Pengadaan Tanah melakukan pengumpulan, pengelompokan, pengolahan dan


penyimpanan data Pengadaan Tanah yang meliputi:

1. peta bidang tanah;


2. daftar nominative; dan
3. data administrasi.
Data Pengadaan Tanah disimpan, didokumentasikan, dan diarsipkan oleh Kepala Kantor
setempat, dibuat dalam salinan rangkap 2 (dua) dan dapat disimpan dalam bentuk
elektronik.

4. Penyerahan Hasil Pengadaan Tanah


Dalam penyerahan hasil pengadaan tanah, harus terdapat berita acara penyerahan.
Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah menyerahkan hasil Pengadaan Tanah kepada
Instansi yang memerlukan tanah disertai data Pengadaan Tanah yang berupa bidang
24
tanah dan dokumen Pengadaan Tanah. Hal ini dilakukan dengan berita acara yang
selanjutnya digunakan oleh Instansi guna pendaftaran/pensertifikatan.

Kemudian dalam pelaksanaan pembangunan, instansi yang memerlukan tanah mulai


melaksanakan pembangunan setelah dilakukan penyerahan hasil Pengadaan Tanah
oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah. Dalam hal keadaan mendesak akibat
bencana alam, perang, konflik sosial yang meluas, dan wabah penyakit, pembangunan
untuk kepentingan umum dapat langsung dilaksanakan setelah diterbitkan Penetapan
Lokasi oleh gubernur, meskipun terdapat keberatan atau gugatan di pengadilan

BPN kemudian melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penguasaan, pemilikan,


penggunaan, dan pemanfaatan hasil Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum. Adapun sumber pendanaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum dilakukan ole instansi yang memerlukan tanah, dituangkan
dalam dokumen penganggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pendanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Pengadaan Tanah oleh BUMN/BHMN yang mendapatkan penugasan khusus, pendanaan
bersumber dari internal perusahaan atau sumber lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan pelaksanaan anggaran, dan
ketentuan lebih lanjut mengenai biaya opearsional dan biaya pendukung yang bersumber
dari APBN diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai
biaya opearsional dan biaya pendukung yang bersumber dari APBD diatur dengan

25
SESI I B (Pukul 10.30 – 11.00 WIB)

Tema : Pengendalian Perizinan Berdasarkan Permen ATR/BPN No.5 Tahun 2015

Pembicara : Dr. Frankie Hutapea, M.Si.

Kerangka Penjelasan:

 Penjelasan umum mengenai penyelenggaraan penataan ruang;


 Pengendalian pemanfaatan ruang;
 Penyusunan dan Penerbitan Pertimbangan Teknis Pertanahan
 Pembinaan dan Monitoring Izin Lokasi
 Pembiayaan

A. Penjelasan Umum
Terdapat beberapa dasar hukum yang digunakan dalam hal pengendalian perizinan,
diantaranya adalah:

1. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;


2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah;
3. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
4. Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 (jo. Keputusan Presiden Nomor 115 Tahun
1998) tentang Tata Cara Penanaman Modal;
5. PP. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
6. PP. No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah;
7. PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
8. PP. No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku pada
BPN;
9. PMNA /Ka.BPN No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi;
10. PERMEN ATR/BPN No. 5 Tahun 2015 tentang Izin Lokasi;
26
11. Perkaban No. 2 Tahun 2011 tentang Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan
dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan Penggunaan
Tanah.

Setiap kegiatan dalam pekerjaan harus oethentik (BW Ps. 1868), yang berpedoman pada
4 (empat) K, yaitu diantaranya adalah:

- Kompetisi;
- Kolaborasi;
- Kompromi;
- Komando.

Adapun tujuan dari penyelenggaraan penataan ruang, diantaranya adalah untuk


mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:

a. Terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;


b. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia;
c. Terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Kemudian wewenang Pemerintah dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang diantaranya


adalah:

1. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang


wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;
2. Pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;
3. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional; dan

27
4. Kerja sama penataan ruang antar negara dan Pemfasilitasan kerja sama penataan
ruang antar provinsi.

B. Pengendalian Pemanfaatan Ruang


Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi,
perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.

Izin pemanfaatan ruang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan
pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jenis
Perizinan Pemanfaatan Ruang berdasarkan PP No.15 Tahun 2010 Pasal 163 terdiri dari:
a. Izin Prinsip;
b. Izin Lokasi;
c. Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah;
d. Izin Mendirikan Bangunan; dan
e. Izin lain berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Di dalam PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara


Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam
lampiran (i) disebutkan bahwa Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI)
berperan dalam pemberian Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin
Lokasi. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN-RI No.2 Tahun 2011, Pertimbangan Teknis
Pertanahan diberikan dalam rangka:

a. Izin Lokasi;
Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi adalah pertimbangan
yang memuat ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah, sebagai dasar
penerbitan izin lokasi yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah
yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin

28
pemindahan hak dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha
penanaman modalnya.

b. Penetapan Lokasi;
Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Penetapan Lokasi adalah
pertimbangan yang memuat ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah,
sebagai dasar pemberian keputusan penetapan lokasi tanah yang akan digunakan
untuk pembangunan bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.

c. Izin Perubahan Penggunaan Tanah.


Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Perubahan Penggunaan
Tanah adalah pertimbangan yang memuat ketentuan dan syarat penggunaan dan
pemanfaatan tanah, sebagai dasar pemberian izin kepada pemohon untuk melakukan
perubahan penggunaan dan pemanfaatan tanahnya.

Adapun ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah berdasarkan PP


No.16 Tahun 2004 diantaranya adalah:
1. Tidak boleh mengorbankan kepentingan umum;
2. Tidak boleh saling mengganggu penggunaan tanah sekitarnya;
3. Memenuhi azas keberlanjutan;
4. Memperhatikan azas keadilan; dan
5. Memenuhi ketentuan peraturan perundangan.

C. Penyusunan dan Penerbitan Pertimbangan Teknis Pertanahan


Pertimbangan Teknis Pertanahan terdiri dari:
1. Risalah Pertimbangan Teknis Pertanahan, yang berisi:
a. Persetujuan atau penolakan terhadap seluruh atau sebagian tanah yang akan
digunakan untuk jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah tertentu yang
diajukan pemohon; dan

29
b. Ketentuan dan syarat-syarat dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi
seluruh atau sebagian tanah yang akan digunakan untuk jenis penggunaan dan
pemanfaatan tanah tertentu yang disetujui.
c. Persyaratan permohonan dan jangka waktu penerbitan Pertimbangan Teknis
Pertanahan dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan
dan Pengaturan Pertanahan.
Terdapat dua kegiatan dalam Risalah Tenis Pertanahan, yaitu Pertimbangan Teknis
Pertanahan dan Pertimbangan Teknis Penatagunaan Tanah.

2. Peta-peta Risalah Pertimbangan Tenis Pertanahan.


Jenis Peta-Peta Pertimbangan Teknis Pertanahan, meliputi;
a. Peta Petunjuk Letak Lokasi;
b. Peta Penggunaan Tanah;
c. Peta Kemampuan Tanah;
d. Peta Gambaran Umum Penguasaan Tanah;
e. Peta Kesesuaian Penggunaan Tanah;
f. Peta Ketersediaan Tanah; dan
g. Peta Pertimbangan Teknis Pertanahan.

Data dan infromasi dalam Penyusunan Risalah dan Peta-Peta dapat diperoleh dari:

a. Pengumpulan Data dan Informasi di Lapangan;


b. Neraca Penatagunaan Tanah Kab/Kota/Prov/Nasional;
c. Data dan Informasi yang berasal dari berbagai sumber lainnya yang diperlukan ;
dan
d. Peta Administrasi Wilayah (Perda Rencana Tata Ruang Wilayah).

30
D. Pembinaan dan Monitoring Izin Lokasi
Pembinaan dan monitoring terhadap Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan
Penggunaan Tanah diselenggarakan oleh:

a. Kepala Badan Pertanahan Nasional RI untuk tingkat Nasional, Provinsi dan


Kabupaten/Kota;
b. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional untuk tingkat Provinsi dan
Kabupaten/Kota;
c. Kepala Kantor Pertanahan untuk tingkat Kabupaten/Kota.

Penyelenggaraan pembinaan dan monitoring Izin Lokasi dilaksanakan dengan


memperhatikan:

a. Risalah Pertimbangan Teknis Pertanahan; dan


b. Ketentuan pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2
Tahun 1999 tentang Izin Lokasi.

Hasil pembinaan dan monitoring menjadi bahan pertimbangan dalam Pembatalan Izin
Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.
Pembatalan Izin Lokasi dilaksanakan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia atas usulan:

a. Pemerintah Provinsi dengan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah Badan


Pertanahan Nasional, dan
b. Pemerintah Kabupaten/Kota dengan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan.

E. Pembiayaan
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas jenis
PNBP yang berlaku di BPN-RI.
1. PTP izin Lokasi

31
[(L/100.000) x (HSBKpb)] + Rp. 5.000.000,-
2. PTP Penetapan Lokasi, 50% dari PTP Izin Lokasi
3. PTP Izin Perubahan Penggunaan Tanah
[(L/500) x (HSBKpa)] + Rp. 350.000,-

SESI TANYA JAWAB I (Pukul 11.00 – 12.00 WIB)

Q1 : Terkait dengan rencana tata ruang dan wilayah, saya pernah mengalami
bahwa beberapa kali RTRW yang dimiliki kabupaten kota dan provinsi
tidak sinkron. Jika tidak sinkron mana yang harus digunakan? Dimana
posisi DTR dari pengadaan tanah?

A1 : Sengketa provinsi dan kabupaten kota, dalam hal pemprov tidak dapat
memenuhi pelayanan minimal tata ruang, pemerintah dapat mengambil
langkah penyelesaian. Dalam hal pemerintah kabupaten kota, tidak dapat
memenuhi standar minimal, pemerintah provinsi dapat mengambil langkah
penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan.

Terjadi pada kasus telok benoa, sampai akhirnya dikeluarkan perpres untuk
merevisi yang pada akhirnya tidak dapat dilaksanakna juga karena kuatnya
LSM yang menentang. Sementara detail kabupaten kota tidak sesuai dengan
provinsi dan provinsi dapat mengambil alih, dengan otonomi yang kuat ini
kadang kabupaten kota juga mengadakan perlawanan. Jika kabupaten kota
belum menempatkan rencana tata ruang kabupaten kota bisa mengacu
kepada provinsi. Jika provinsi belum menetapkan, maka bisa dilakukan oleh
pusat.

Q2 : Mengenai pengadaan tanah dari hasil proses reklamasi, bagaimana hasil


peletakan hak atas tanah dalam reklamasi?

32
A2 : Reklamasi ini adalah tindakan penimbunan dan yang wajib yang melakukan
adalah Pemerintah Daerah setempat. Artinya gubernur/bupati wajib
menetapkan terlebih dahulu lokasinya dengan berbagai alasannya. Setelah
itu, hak dari reklamasi ini, harus diketahui tujuanny untuk apa, apakah
untuk kepentingan kantor atau usaha. Langsung saja nanti jadi HPL. UU
PMA 99 membuka hal itu untuk dijadikan HPL. HPL ini jembatan agar aset
tidak hilang. Sebenarnya negara dilarang berusaha, kecuali bekerja sama
dengan pihak swasta. Khusus reklamasi, harus pula tunduk pada izin lokasi.
Reklamasi yang berhasil adalah Irian karena telah dikaji oleh tim dan tidak
mengganggu fungsi lingkungan. Jangan sampai setelah ditimbun malah
menimbulkan bencana baru.

Q3 : Dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, mungkin dalam satu


lokasi yang dibebaskan ada beberapa jenis penguasaan tanah di masyarakat.
Dalam pembebasannya, apakah ada kesempatan masyarakat yang belum
hak milik/girik untuk mendapat harga sama seperti mereka yang memiliki
hak milik?

A3 : UU No. 2 Tahun 2012 tidak membedakan antara serifikat atau girik. Tidak
ada perlakuan istimewa antara yang terdaftar dan tidak terdaftar. Persoalan
legitimasi atau verifikasi surat nanti ada prosedurnya.

Tunjukan saja batas tanahnya, jika terjadi permasalahan ada lembaga


penitipan yang akan menyelesaikannya.

Q4 : Perusahaan yang menjadi operator tenaga listrik misal swasta ingin bekerja
sama dengan BUMN. Pihak yang mengurus pengadaan tanah adalah
BUMN. Apakah nanti swasta harus sewa lagi hak pakai di atas HGB?

A4 : Untuk yang berkaitan dengan pembangkit maka diberikan hak pakai.


Kecuali jika dibangun mass, atau hotel, digunakan HGB agar bisa
menyelamatkan aset bangsa. Karena HGB terbatas 20 tahun sedangkan hak

33
pakai itu hakikatnya penggunaan selama-lamanya selama masih eksis dan
dipergunakan. Sedangkan HGB terbatas untuk 20 tahun.

Q5 : Ruas jalan yang kami miliki adalah ruas jalan yang lama yang mana pada
saat itu pengadaan tanahnya dilaksankanan oleh pemerintah. Saat ini kami
ingin melakukan pelebaran jalan, dan ada tanah ruas kecil. Apakah
dibutuhkan land appraisal?

A5 : Apapun aset negara harus dinilai oleh lembaga yang berwenang. Penilai ini
termasuk pejabat umum dan berkuasa atas kepentingan umum yang
menjembatani negara dan masyarakat. Oleh karena itu terdapat MAPPI
yang telah dididik untuk meningkatkan kompetensinya. Gunakan appraisal
agar jelas meskipun dalam skala kecil. Jika ingin aman gunakan kaidah
keuangan negara.

Q6 : Untuk penetapan 5 Ha untuk skala kecil apakah dibutuhkan penetapan


lokasi?

A6 : Terdapat risiko jika tidak menggunakan penetapan lokasi. Harus sesuai


dengan RTRW yang pada dasarnya membutuhkan ijin lokasi. Yang benar
itu mereka yang mengeluarkan pertimbangan teknis. Semua tergantung
kepala kantor pada intinya.

Q7 : Mengenai UU 2/2012, dalam perspektif industri pembangkit listrik,


khususnya yang independen dari swasta. Dari pembahasan yang telah
dilakukan dari sisi bisnis dan hukum, selalu kemudian mentok di apakah
bisa badan swasta masuk sebagai inisiator pengadaan tanah. Karena
kepemilikan tanah atas tanah meskipun tanah negara, akan tetapi
penguasaan akan tanah sangat penting. Oleh karenanya, UU ini
memandulkan industri pembangkit dari swasta. Karena ada wacana
pembebasan lahan oleh swasta, akan tetapi setelah penetapan lokasi tim
tersebut membebaskan tanah tersebut. Melanggar atau tidak?

34
A7 : Seorang selain pemerintah tidak lain hanya sebagi last giver yang
merupakan pemegang kuasa yang bertindak atas nama orang lain.
Konstitusi menyatakan untuk hajat hidup orang banyak maka dikuasai
negara. Swasta memang boleh berinvestasi tetapi sebagai pemegang kuasa.
Mungkin ada hak-hak sementara berupa HGB diatas HPL. Sebaiknya
pemerintah tetap atas aset pemerintah, tetapi untuk kepentingan umum
berikan hak pakai yang berlaku selama-lamanya dan berguna bagi negara

Q8 : Kabupaten Kediri memiliki proyek pembuatan bandara, kemudian


sebenarnya proyek tersebut hajatnya kabupaten. Tapi kabupaten Kediri
tidak ada dana akhirnya menggandeng gudang garam untuk melakukan
pembebasan lahan. Tahapan pengadaan tanah akan seperti apa? Bentuk
kerjasama antara pemda Kediri dan gudang garam itu akan seperti apa?

A8 : Peruntukannya dulu ditinjau. Apakah dalam akta pendiriannya boleh


membangun bandara? Akta pendirian adalah syarat utama Boleh tidak
swasta kecuali angkasa membangun bandara? Lebih baik dilepas saja.
Tetapi jika mau dilanjutkan gunakan HGB.

Bentuk kerjasamanya aga bingung juga. HGB diatas HPL hanya untuk
gedung-gedungnya saja dan bukan lapangannya. Misalnya restoran, dsb.
HPL harus atas nama pemerintah.

Q9 : BUMN sebagai penyelenggara pengadaan tanah, dibutuhkan penugasan


khusus. Ini bentuk penugasannya seperti apa ya? Karena terdapat perpres
percepatan ketenagalistrikan? Apakah perpres tersebut dapat dijadikan
penugasan untuk seluruh proyek PLN?

A9 : Setiap proyek setiap izin setiap penugasan itu situasinya berbeda-beda.


Harus ada pemeriksaannya. Dijamin oleh UU 2/2012 bukan perpres. Hal
tersebut tidak dapat diterapkan secara global. Namun parsial Penegasan
bukan sekedar penugasan. Semacam izin yang selamanya boleh.

35
SESI 2 ( Pukul 13.00 – 16.15 WIB)

Tema : Identifikasi Permasalahan Hukum dan Tata Cara Penyelesaian Sengketa


Dalam Pengadaan Tanah
Pembicara : Ahmad Djosan (Partner S&T Litigation, Dispute Resolution, Property, and
Infrastructure)

Kerangka Penjelasan:

A. Identifikasi Sengketa Pertanahan dan Pembangunan Infrasturktur


Saat ini pemerintahan Jokowi tengah gencar meningkatkan berbagai pembangunan pada
berbagai bidang di Indonesia, terutama dalam bidang ketenagalistrikan. Dalam menyambut
peningkatan pembangunan infrastruktur, muncul permasalahan hukum dalam proses
pengadaan tanahnya, meskipun sudah ada Undang-Undang No.2 Tahun 2012, beseta
peraturan pelaksanaannya. Permasalahan hukum yang sering muncul dalam proses
pengadaan tanah adalah sebagaiannya disebabkan oleh tidak dilakukannya mitigasi risiko
hukum yang maksimal pada setiap tahap pengadaan tanah baik untuk kepentingan umum
maupun untuk kepentingan swasta lainnya.

Identifikasi sengketa pertanahan dapat ditinjau dengan cara:


a. Mengetahui bentuk sengketa pertanahan dan sengketa hukum lainnya yang kadangkala
muncul dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum (pembangunan
infrastruktur), yang diantaranya adalah:

 Sengketa Tata Usaha Negara (TUN)  PTUN Keberatan atas Penetapan Lokasi
(UU No.2/2012) dan/atau Sengketa TUN bersifat umum seperti dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara;
UU 2/2012 tidak memberikan definisi mengenai sengketa tanah. Namun, secara
umum Sengketa tanah adalah adanya perselisihan atau permasalahan yang dihadapi
36
dalam proses pengadaan tanah Ada hal-hal yang salah satu pihak tidak atau belum
sepakat. Atau ada hal salah satu pihak yang merasa hak dan kepentingannya
terganggu. Dalam proses pengadaan tanah, untuk kepentingan umum dan juga untuk
kepentingan lainnya, bentuk sengketa itu adalah sengketa tata usaha negara (TUN).
Atau dalam UU No.2/2012 diakomodasi dalam pembatasan sengketa TUN yang
mengenai penetapan lokasi. Dari sengketa TUN dapat pula sengketa keputusan yang
diterbitkan oleh panitia atau gubernur yang menjadi objek dari sengketa TUN.
 Sengketa keperdataan, di luar atau di dalam pengadilan  Keberatan Penetapan
Bentuk dan/atau Besarnya Ganti Kerugian, Konsinyasi, dan/atau sengketa
keperdataan pada umumya;
 Sengketa pidana  pemalsuan dokumen tanah, penggelapan, penyerobotan, dan/atau
tindak pidana pada umumnya.

Disamping sengketa yang bersifat umum, terdapat pula sengketa mengenai hukum adat,
sengketa tumpang tindih, dan sengketa lingkungan hidup.

 Sengketa Adat-Hak Ulayat  seringkali proses pengadaan tanah berkonflik karena


melewati tanah ulayat. Tata cara dalam proses pengadaan tanah tersebut dianggap
tidak sesuai dengan hukum adat setempat.
 Sengketa tumpang tindih  UU No.2 Tahun 2012 tidak secara tegas mengenai
sengketa tumpang tindih. Seringkali proses pengadaan tanah tumpang tindih perizinan
antar sektor atau instansi terkait.
 Sengketa lingkungan hidup  Tidak terkait langsung dengan tanah, akan tetapi
mempengaruhi proses pengadaan tanah itu sendiri. Contoh dalam proses pengadaan
tanah di PLTU Batang, yang mana terdapat informasi yang dikemukakan oleh salah
satu LSM bahwa pengadaan tanah tersebut akan membuat lingkungan tercemar.

37
b. Mengetahui Sumber Sengketa Pertanahan dan Sengketa Hukum Terkait

 Tahap sosialisasi awal tentang rencana pembangunan proyek infrastruktur (Psl 17 UU


No.2/2012)  penolakan masyakarat /kelompok masyarakat/LSM;
 Tahap identifikasi/pendataan awal pengadaan tanah (Psl 18 UU No.2/2012)  sering
kali bermasalah dalam mengidentifikasi status tanah, para pihak yang terlibat , dan
status garapan dari tanah tersebut;
 Tahap konsultasi publik (Psl 19 UU No.2/2012);
 Tahap penetapan lokasi (Psl 23 UU No.2/2012);
 Tahap pelaksanaan pengadaan tanah oleh BPN (Psl 27 – 44 UU No.2/2012);
 Dalam proses konversi tanah ulayat (UU No.2/2012, UUPA, KUHPerdata, Hukum
Adat);
 Tumpang tindih hak atas tanah dan/atau wilayak izin usaha;
 Tahap penyusunan dan penetapan AMDAL – Izin Lingkungan (UU LH, UU PTUN,
KUHPerdata).

c. Mengetahui Pihak Bersengketa di Luar atau di Dalam Pengadilan (PN PTUN dan Sidang
Adat)
 Dalam sengketa tanah:  perseorangan dan/atau sekelompok (kelompok tani-
nelayan), badan hukum vs Instansi/Lembaga Pemerintah, BUMN/BUMD, Badan
Usaha dalam skema KPBU;
 Dalam sengketa Hukum Adat-Tanah ulayat: Masyarakat Hukum Adat,
Pemangku/tokoh-tokoh adat vs Instansi/Lembaga Pemerintah, BUMN/BUMD,
Badan Usaha dalam skema KPBU;
 Dalam sengketa Lingkungan Hidup:  perseorangan, Kelompok Masyarakat
(gugatan perwakilan), LSM Lingkungan Hidup berbadan hukum vs
Instansi/Lembaga Pemerintah, BUMN/BUMD, Badan Usaha dalam skema KPBU;
 Dalam sengketa tumpang tindih:  perseorangan, masyarakat hukum adat,
pemegang IUP, pemegang PSC, Pemegang HPH, pemegang HGU Perkebunan,

38
Kementerian Kehutanan, Instansi/Lembaga Pemerintah, BUMN/BUMD,
Gubernur/Bupati/Wako, dan/atau Badan Usaha dalam skema KPBU.

B. Mitigasi Risiko Hukum

Mitigasi risiko hukum adalah upaya maksimal yang dilakukan dalam membekali diri dan
memiliki kemampuan secara hukum untuk mengantisipasi, mencegah, menghadapi dan
melindungi diri terhadap kemungkinan munculnya resiko hukum saat itu dan di kemudian
hari yang dapat merugikan hak dan kepentingan hukum dalam proses pengadan tanah untuk
pembangunan infrastruktur. Adapun maksud dan tujuan dari mitigasi risiko hukum
diantaranya adalah:

a. Membekali diri atas munculnya risiko hukum;


b. Mencegah, mengantisipasi dan/atau meminimalisir risiko hukum;
c. Memiliki kemampuan secara hukum untuk membentengi, menghadapi dan
mempertahankan hak dan kepentingan hukum, jika resiko hukum tersebut tetap
muncul di kemudian hari.

Kegiatan mitigasi risiko hukum sudah harus dilakukan sejak awal proses pembangunan
infrastruktur sampai dengan selesainya pemanfaatan/penggunaan tanah. Cara melaksanakan
mitigasi risiko hukum diantaranya adalah:

1. Secara umum;
Mitigasi risiko hukum dianggap telah dilaksanakan dengan baik jika “telah
melaksanakan dan memenuhi secara sempurna seluruh persyaratan dan prosedur yuridis
proses pembangunan infrastruktur tersebut, dimulai dari adanya rencana pembangunan
infrastruktur, sosialisasi awal, proses perizinan, proses tendernya (Skema KPBU), proses
dan tahapan pengadaan tanah, proses pembangunan fisik proyek, sampai dengan
kegiatan operasional dan pemanfaatan proyek infrastruktur tersebut nanti”.

39
2. Secara Khusus
a. Mempelajari dan memahami terlebih dahulu seluruh ketentuan hukum relevan
sesuai hirarki peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah Peraturan
Dasar (UUD 1945, UU sampai dengan peraturan teknis/aturan pelaksananya)
 prinsip atau azas hukum bersifat umum  sumber-sumber hukum relevan
lainnya.
b. melaksanakan dan memenuhi seluruh persyaratan yuridis, berupa persyaratan
administrasi (kelengkapan surat dan/atau dokumen) dan tahapan-tahapan
pembangunan infrastruktur sesuai atau sama dengan yang
diperintahkan/diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan relevan, dalam
rangka pemenuhan persyaratan yuridis standar/minimal (”PYS”) yang disebut
atau ditentukan UU dan Peraturan Teknis terkait.
c. Memaksimalkan dan menyempurnakan PYS menjadi pemenuhan
“Persyaratan Yuridis Maksimum”/”PYM”, dengan cara:
- Menambah dan menyempurnakan kelengkapan dokumen, fakta, data, dan
informasi (termasuk Data Yuridis dan Data Fisik tanah) PYS sehingga
mencapai PYM, dengan contoh sebagai berikut:
o kewajiban hukum standar atas jumlah saksi adalah 2 (dua) orang
saksi = PYS, kemudian untuk kepentingan mitigasi risiko hukum,
jumlah saksi tersebut ditambah menjadi 3 atau 5 (jika available)
sehingga tercapai PYM;
o dokumen kesepakatan (perjanjian) secara hukum dapat dituangkan
dibawah tangan (segel/meterai), bahkan secara lisan juga boleh
(kecuali disyaratkan khusus oleh UU). Tetapi dalam mitigasi resiko
hukum, maka kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk akta
notaris agar memiliki nilai pembuktian sempurna dan tidak mudah
dibantah di kemudian hari (Psl. 1868 dan 1870 KUHPerdata jo. Psl.
165 HIR).
d. Berbagi resiko dengan pihak ketiga yang memiliki keahlian khusus,
profesional dan independen untuk kegiatan atau bagian-bagian tertentu/khusus

40
sepanjang dibolehkan atau tidak dilarang secara hukum, seperti dengan para
(konsultan perizinan, konsultan AMDAL-Izin Linkungan, Konsultan Hukum,
Appraisal- Surveyor berlisensi, dan/atau konsultan teknis terkait lainnya);
e. Keseimbangan antara sisi legal formal dan sisi legal material Azas
Keterbukaan dan Keikutsertaan Psl 2 UU No.2/2012:
Praktek umum dalam pengadaan tanah biasanya didominasi oleh pemeriksaan
dan pemenuhan sisi formalitas dokumen formal. Dalam rangka mitigasi risko
hukum, perlu keseimbangan antara sisi formalitas dokumen dan kebenaran
materil (faktual/substansial), khususnya pada proses indentifikasi/verifikasi,
konsultasi publik, negosiasi. Caranya adalah:
 Menemui, memberitahu dan/atau mengundang secara langsung dan patut
masing-masing pihak yang memiliki hak dan kepentingan hukum, tidak
cukup hanya satu kali, usahakan pihaknya langsung tanpa mengurangi
prinsip pemberian kuasa dan perwakilan menghindari error
impersona;
 Memberikan keleluasaan, kebebasan, berpendapat dan ketersediaan waktu
yang cukup tanpa diarahkan, Agar terhindar dari isu rekayasa, tekanan,
pemaksaan;
 Membuat kriteria pengelompokan yang jelas atas kelompok-kelompok
status tanah dan perlakuan yang sama atas status tanah yang sama sesuai
kriteria yang telah ditentukan tertsebut (menghindari kecurigaan,
diskriminasi, atau pilih kasih).
f. Pemahaman Tanah Berfungsi Sosial dan Kewenangan Konsinyasi dan
Pencabutan Hak Atas Tanah Psl 42 UU No.2/2012, Psl 6 dan Psl 18 UUPA
dan UU No.20/1961 : Lakukan sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat
bahwa tanah milik siapapun di Indonesia adalah berfungsi sosial dan jika
negara / pemerintah membutuhkan untuk kepentingan umum, masyarakat
harus melepaskan hak nya, atau negara/pemerintah berwenang menitipkan
uang ganti kerugian di PN atau mencabut dan melepaskan hak atas tanah
masyarakat tersebut  Tidak semua masyarakat tahu dan paham dengan azas

41
tanah berfungsi sosial tersebut, masyarakat hanya tahu tanah adalah hak nya
yang harus dijaga dan dipertahankan terhadap siapapun;
g. Pemahaman bahwa Hak Atas Tanah adalah Hak Konstitusional, Hak Azasi
Manusia, hak terkuat dan terpenuh yang memiliki hubungan special dengan
pemegangnya dan turunannya Psl 28 H UUD 1945, Psl 20 UUPA, Psl. 36 dan
37 UU HAM: Sebaliknya, Penyelenggara pengadaan tanah juga harus paham
bahwa disamping tanah berfungsi sosial, maka hak atas tanah merupakan hak
konstitusional, hak terkuat dan tertinggi. Selain itu, hubungan tanah dengan
pemegangnya merupakan hubungan bersifat khusus, emosional (lahiriah dan
batiniah) dan melekat sampai pada turunan-turunannya (abadi);
h. Pemahaman dan penerapan azas hukum Psl 2 UU No.2/2012 dalam proses
pengadanan tanah: Memperhatikan dan melaksanakan 10 (sepuluh) azas-azas
pengadaan tanah Pasal 2 UU No.2/2012 agar tercipta keserasian antara
prinsip-prinsip pengakuan dan perlindungan hak kepemilikan atas tanah
dengan prinsip tanah berfungsi sosial tersebut di atas;
i. Memaksimalkan tahapan pendataan/identifikasi, konsultasi publik,
pelaksanaan (pengumpulan dan penguasaan dokumen tanah, musyawarah,
pelepasan hak dan ganti kerugian):
 Mempersiapkan Check List;
 Survey / legal research atas status hukum tanah, penguasaan dan/atau
pemilikan, pihak-pihak, kelengkapan Data Yuridis dan Data Fisik, data
NJOP dan Zona Nilai Tanah (ZNT);
 Menemui, memanggil, memberitahu dan/atau mengundang langsung
dan secara patut seluruh pihak memiliki hak dan kepentingan hukum,
dilakukan lebih dari satu kali maksimal 3 kali;
 Pemeriksaan lapangan, pengukuran ulang masing-masing bidang tanah,
dihadiri dan disetujui oleh si-pemegang hak yang sah, para pemegang
batas sekeliling bidang tanah bersangkutan, dihadapan atau disaksikan
langsung oleh perwakilan pemerintah setempat (RT/RW/Kepala
Desa/Lurah), tokoh adat / masyarakat setempat;

42
 Identifikasi dan pengelompokan pihak berhak dan/atau memiliki
kepentingan hukum berdasarkan status tanah dan status
penguasaan/pemilikan tanah, seperti: Kelompok Penggarap;
Kelompok Pemegang Hak Milik Adat; Kelompok Pemegang Sertipikat;
kelompok Masyarakat Hukum Adat (“MSA”); Kelompok pihak-pihak
ketiga berkepentingan, dilengkapi dengan data letak, luas dan batas-
batas tanah, serta permasalahannya (jika ada);
 Melengkapi atau menyempurnakan kelengkapan Data Yuridis dan Data
Fisik yang belum lengkap dan sempurna; Penguasaan seluruh dokumen
Data Yuridis dan Data Fisik terkait dengan riwayat tanah dan proses
pengadaan tanah;
 Pengumpulan dan pengusaan Data Yuridis dan Data Fisik tanah;
 Siap dengan usulan/alternatif bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
vide Pasal 36 UU No.2/2016, dengan mempertimbangkan status hukum
atas tanah, status penguasaan dan/atau pemilikan, NJOP, Harga ZNT,
harga direkomendasikan oleh Penilai, dan usulan / permintaan
masyarakat;
 Melakukan musyawarah/negosiasi secara proposional sesuai kelompok
pesertanya (kelompok penggarap di atas 20 tahun dan dibawah 20
tahun; kelompok pemegang hak bersertipikat – hak adat belum
bersertipikat; kelompok pemegang hak badan hukum; kelompok
pemegang hak masyarakat Hukum Adat);
 Jika masih ada “Penolakan”, diantisipasi dengan penjelasan ahli
independen bahwa lokasi tidak dapat dipindahkan;
 Pendokumentasian dan pengarsipan secara regular/manual dan
ditambah dengan foto dan rekaman video.
 Mempersiapkan konsep kesepakatan, pelepasan dan/atau pemutusan
hubungan hukuim dalam BAP-BAP, sesuai format Lampiran UU
No.2/2012;

43
 Signing secara terbuka dan acara khusus di tempat netral/Balai
Desa/suatu tempat umum, dibacakan, ditanyakan, diberi kesempatan
terakhir, dan pembubuhan tanda tangan;
 Pembayaran harga/kompensasi dilakukan sesuai kesepakatan, terbuka,
dikonfirmasi balik, ada bukti pembayaran/setoran dan bukti penerimaan
yang sah;
 Pendokumentasian dan pengarsipan dilengkap dengan foto dan rekaman
video.
j. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Penerbitan Penetapan Lokasi dan
Publikasinya:
 Melaksanakan dan memenuhi seluruh persyaratan adminsitrasi dan
tahapan-tahapan dalam proses penerbitan Penetapan Lokasi vide Psl 16
– 26 UU No.2/2012;
 Publikasi terbitnya Penetapan Lokasi:
o di tempat-tempat umum lokasi proyek seperti Kantor Desa, Kantor
Camat, Mesjid, Balai Pemuda, Kantor/Balai pertemuan Kelompok
Tani – Nelayan, sebaiknya juga di media massa lokal dan
nasional;
o Tujuannya adalah disamping untuk kelancaran proyek, juga
sekaligus untuk memenuhi kewajiban hukum kepada masyarakat
berupa azas keterbukaan vide Psl 2 UU No.2/2012.
 Kesiapan menghadapi kemungkinan diajukan gugatan pembatalan
Penetapan Lokasi ke PTUN Setempat vide Psl 23 UU No.2/2012;
Bentuk kesiapan tersebut adalah:
 Kesiapan Tim-nya (SDM) untuk berlitigasi di PTUN;
 Kesiapan materi-nya bahwa seluruh proses dan tahapan hukum dalam
penerbitan Penetapan Lokasi sudah terlaksana secara sempurna;
 Kesiapan alat bukti (surat-dokumen, saksi, ahli dan alat bukti sah
lainnya);

44
 Kepastian bahwa Penetapan Lokasi telah diumumkan dengan benar
sesuai tata cara pemberitahuan menurut Perpres Pasal 26 UU
No.2/2012.
k. Sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat bahwa tidak ada Dampak
negatif atas LH:
Sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat atas dampak LH dari proyek
pembangunan infrastruktur diperlukan sebagai antisipasi dan penyeimbang
informasi yang bersumber dari pihak ketiga (LSM LH), yang dalam praktek
hampir selalu ada. Kemudian juga diperlukan untuk antisipasi munculnya
penolakan, protes dan sengketa Lingkungan Hidup, khususnya pada
pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan berbahan bakar batubara
(PLTU), waduk, migas, panas bumi, jalan tol (yang melewati kawasan hutan),
pelabuhan dan bandara.
l. Sosialisasi dan pemahaman bahwa proyek infrastruktur sungguh-sungguh
untuk kepentingan masyarakat:
Tak jarang masyarakat pesimis dan bahkan hampir selalu curiga bahwa
proyek pembangunan inftrastruktur tersebut hanya untuk kepentingan bisnis
investor (bagi infrastruktur dengan pola KPBU), sehingga masyarakat tidak
antusias, sulit menerapkan UU No.2/2012 dan bahkan cenderung menolak.
Sosialisasi dengan pendekatan khusus (pedesaan/adat/sosial/cultural) yang
sederhana dan mudah difahami masyarakat perlu dilakukan bahwa proyek
inrastruktur tersebut adalah betul-betul untuk kepentingan masyarakat;
m. Pendekatan khusus pada Masyarakat Hukum Adat:
Karakter dan kultur MSA tentu tidak sama dengan perseorangan/masyarakat
non MSA, sehingga terkait dengan Tanah Ulayat, perlu dilakukan pendekatan
adat dan budaya sesuai Hukum Adat dan Adat Istiadat setempat. Keberadaan
MSA telah diakui dan dilindungi oleh hukum dan konstitusi, sehingga harus
ada penghargaan dan penghormatan terhadapnya, agar sensitivisme adat tidak
muncul, dan MSA bisa memahami arti penting proyek infrastruktur bagi
mereka.

45
C. Kendala dan Solusi Dalam Konversi Tanah Ulayat untuk Pembebasan Lahan

Hukum adat (Adat Recht / Adat Law) adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di
satu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tiadk dikodifikasi
(adat). Menurut Prof. Mr. Cornelis Van Vollenhoven, Indonesia sendiri terbagi ke dalam 19
wilayah hukum adat. Hukum adat menurut Ter Harr mencakup pula seluruh peraturan-
peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang
mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta di dalam pelaksanaannya berlaku secara serta
merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut.

Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat berdasarkan Pasal 1 angka 3
Permen ATR No.9 Tahun 2015 adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan. Selain itu, menurut UU Lingkungan Hidup, masyarakat hukum
adat adalah sekelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat
dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial dan hukum. Kemudian menurut UU Sumber Daya Air masyarakat hukum adat
didefinisikan sebagai Sekelompok orang yang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat
tinggal atau atas dasar keturunan.

Berdasarkan Pasal 3 UUPA dan Penjelasannya, hak milik atau “beschikkingsrecht dalam
pelaksanaannya harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan UU dan
peraturan yang lebih tinggi. Oleh karenanya, terdapat suatu hak komunal atas tanah yang
merupakan hak milik bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada
dalam kawasan hutan atau perkebunan. Dalam konteks masyarakat hukum adat, terdapat pula
suatu hak yang disebut hak ulayat. Para ahli hukum adat memberikan pengertian hak ulayat
sebagai berikut:

46
• Hak penguasaan tertinggi atas wilayah hukum adat tertentu termasuk tanah yang meliputi
semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum adat tertentu,
dan merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya;
• Kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas
wilayah tertentu (termasuk tanah) yang merupakan lingkungan warganya,
memperbolehkan masyarakatnya mengambil manfaat dari sumber daya alamnya
termasuk tanah bagi kelansungan hidupnya, dan memiliki hubungan secara lahiriah dan
batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah hukum adat bersangkutan.

Dengan adanya hak ulayat dalam hukum adat, maka terdapat pula tanah ulayat yang
merupakan bidang tanah baik tanah non hutan maupun berupa hutan di wilayah hukum adat
tertentu yang diatasnya terdapat hak ulayat masyarakan suku adat bersangkutan.

Masyarakat hukum adat itu sendiri telah diakui dan dilindungi dalam UUD 1945 Pasal 18 B.
Konstitusi NKRI mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain oleh Konstitusi NKRI,
pengakuan dan perlindungan juga diberikan dalam berbagai UU dan Aturan Pelaksananya,
diantaranya:

 UUPA;
 UU HAM;
 UU Pemerintah Daerah;
 UU Kehutanan
 UU Perkebunan;
 UU PPLH;
 UU Sumber Daya Air;
 UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;
Selain itu, masyarakat hukum adat juga diakui dalam yurisprudensi tetap Mahkamah Agung
RI dan Doktrin Hukum Adat.
47
Kriteria MSA dengan Hak Ulayat-nya (termasuk atas Tanah Ulayat), diatur dalam berbagai
UU, pada pokoknya adalah:

 adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok, paguyuban,


komunal (in-group feeling);
 adanya pranata pemerintahan adat;
 adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
 adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat
yang bersifat teritorial juga terdapat unsur;
 adanya wilayah tertentu;
 dikukuhkan secara formal oleh Perda. Apabila belum ada pengukuhan maka terdapat hak
konstitusi bagi masyarakat suku adat tersebut.

Beberapa MSA di Indonesia yang sudah memenuhi kriteria yuridis formal, diantaranya:

 MSA di wilayah kesatuan adat Alam Minangkabau dikenal dengan Nagari (Kerapatan
Adat Nagari/KAN, LKAAM)  ulayat kaum, ulayat suku, ulayat nagari, ulayat Alam
Minangkabau;
 MSA Papua, dikenal dengan Lembaga Masyarakat Adat (LMA)marga, suku,
kumpulan suku;
 MSA Dayak, dikenal dengan Kedamangan / Damang, Dewan Adat Dayak (DAD)
Kedamangan, Damang, DAD Kabupaten, DAD Propinsi, DAD Nasional.

Dalam hal tanah ulayat dalam masyarakat suku adat, terdapat beberapa kendala saat
mengkonversi tanah ulayat. Kendala konversi tanah ulayat muncul karena:

Pembatasan yuridis atas pelaksanaan Hak Ulayat (Psl 3 UUPA):

 harus sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara;


 harus berdasarkan atas persatuan bangsa;
48
 tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.
Telah menempatkan status Tanah Ulayat seolah-olah sama dengan non tanah ulayat,
akibatnya:

 Perlakuan proses pembebasan dipersamakan dengan non tanah ulayat;


 Perlakuan yang sama tersebut sulit diterima dan dipahami oleh MSA;
 Kendala lebih lanjut, proses Konsultasi Publik, Musyawarah/Negosiasi tidak dapat
berjalan baik, tersendat/deadlock, bahkan menimbulkan sengketa adat.

1.2. Azas pemanfaatan Hak Ulayat vs sistem pelepasan hak kepemilikan dalam pengadaan
tanah. Praktek pengadaan tanah UU No.2/2012 cenderung berujung pada pelepasan hak
kepemilikan atas tanah, kecuali atas tanah Kawasan Hutan. Sedangkan prinsip umum pada
MSA yang berlaku adalah azas pemanfaatan tanah ulayat bukan pelepasan hak ulayatnya.

1.3. Adanya hak-hak Masyarakat Hukum Adat (Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat)
yang diakui dan dilindungi oleh Negara, diantaranya:

 Hak untuk menguasai, memiliki, mengendalikan, mengelola, memanfaatkan dan menjaga


serta melindungi;
 Hak mengatur diri sendiri menurut hukum adatnya;
 Hak mengurus diri sendiri sesuai sistem kepengurusan/kelembagaan adat setempat;
 Hak atas identitas, kebanggaan, simbol, budaya, sistem kepercayaan, kearifan tradisional,
dan bahasa asli.
Keberadaan hak-hak Masyarakat Hukum Adat tersebut kadangkala tidak terakomodasi atau
tidak menjadi bahan pertimbangan dalam proses pembebasan lahan, sehingga proses
konversi menjadi terhalang, bahkan berujung pada sengketa adat.

49
1.4. Adanya kewajiban Negara yang belum terlaksana untuk seluruh wilayah Hukum Adat
Indonesia (UUD 1945, UUPA, UU Kehutanan,, UU HAM, UUPLH, UU Perkebunan, UU
Pemda), khususnya mengenai kewajiban negara untuk mengukuhkan secara formal eksistensi
suatu Masyarakat Hukum Adat (melalui Perda), sehingga:

 Timbul persoalan hukum mengenai eksistensi MSA, meskipun pada kenyataannya MSA
tersebut nyata ada dan hidup;
 Sebaliknya, masyarakat Hukum Adat merasa tidak memerlukan formalitas pengukuhan
eksistensi mereka, sehingga tetap merasa sebagai pemegang hak ulayat dan satu-satunya
yang berwenang atas tanah ulayat tesebut.
1.5 Strategi dan pendekatan (approach) yang salah atau tidak tepat karena MSA memiliki
karakteristik, ego dan sensitivisme yang tidak sama satu dengan lainnya, sehingga tak jarang
menimbulkan ketersinggungan adat yang sulit diluruskan kembali (terjadi kebuntuan
komunikasi);

1.6. Kesulitan dalam memastikan struktur – pranata kepengurusan pemangku / pucuk


pimpinan suatu MSA yang sah menurut Hukum Adat yang berlaku pada MSA tersebut;

1.7. Kesulitan dalam menentukan dan memastikan luas dan batas-batas tanah ulayat,
karena ketiadaan fakta pendukung (tertulis);

1.8. Munculnya dualisme / lebih kesatuan MSA dan/atau pemangku adat/Tua Adat,
sehingga sulit menentukan MSA dan/atau Pemangku Adat yang mana yang sah;

1.9. Tidak memahami dan/atau tidak melaksanakan prosedur dan tatacara pembebasan
Tanah Ulayat menurut Hukum Adat asli suatu MSA, sehingga tak jarang proses pembebasan
Tanah Ulayat dilakukan dengan tatacara pembebasan tanah pada umumnya.

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka solusi atas kendala konversi tanah ulayat dalam
proses pembebasan lahan diantaranya adalah:

1. Melakukan legal research secara komprehensif dan tuntas atas :

50
 Eksistensi MSA tersebut, baik eksistensi kelembagaan menurut Hukum Adat,
maupun sisi yuridis formil pengukuhan eksistensi MSA tersebut;
 Sistem / pranata kepengurusan, kekerabatan, atau struktur organisasi MSA tersebut
menurut Hukum Adat dari suatu MSA tersebut;
 Prosedur dan tata cara pemilihan, pengangkatan, dan pengukuhan/pelantikan
Pemangku Adat atau Pucuk Pimpinan Adat dari MSA tersebut menurut Hukum
Adat dan Adat Istiadat setempat;
 Batasan yurisdiksi Hak Ulayat dari MSA tersebut, apakah mengenal/membolehkan
pengalihan/pelepasan hak ulayat atau tidak;
 Status Tanah Ulayat (batas, luas. Pemanfaatan yang ada, letak (hutan/bukan hutan)
MSA tersebut;
 Prosedur dan tata cara penggunaan, pemanfaatan, pengalihan/pelepasan,
kompensasi, penyerahan kompensasi Tanah Ulayat menurut Hukum Adat – Adat
Istiadat dari MSA tersebut.
2. Bedasarkan hasil legal research tersebut, persiapkan rencana, strategi penanganan, dan
kiat / seni melakukan pendekatan kepada Pemangku Adat MSA tersebut yang dimulai
sejak tahap awal proses pembebasan Tanah Ulayat tersebut;
3. Libatkan pemangku adat yang sah dari MSA yang sah tersebut dalam seluruh dan setiap
tahapan rencana pembangunan infrastruktur termasuk proses pengadaan tanah;
4. Hati-hati dalam menerapkan sistem perwakilan, apalagi sistem pemberian kuasa, karena
Hak Ulayat bukan hak individu atau hak para pemangku adatnya, tetapi hak komunal
turun temurun bahkan turunan yang akan lahir dan besar nanti dianggap berhak atas Hak
Ulayat tersebut;
5. Proses musyawarah (Rapat Adat), pengambilan keputusan dan/atau penyelesaian suatu
tahapan pengadaan tanah atas Tanah Hak Ulayat harus dilaksanakan sesuai dengan
Hukum Adat atau tatacara adat istiadat setempat, seperti sistem keterwakilan atau
kehadiran langsung anggota MSA, sistem / cara Rapat Adat, dan lokasi Rapat Adat;
6. Memperhatikan dan berusaha menyesuaikan diri dengan tata krama adat setempat, tak
jarang ketersinggungan adat muncul hanya disebabkan oleh masalah sepele seperti cara

51
memberi salam dan bertegur sapa, bahasa dalam korespondensi, dll, yang bisa berakibat
fatal berupa mandeg-nya proses Rapat Adat bahkan bisa muncul penolakan;
7. Menyesuaikan diri dan melakukan pendekatan khusus untuk penyiapan dan penyediaan
kelengkapan administrasi (absensi, notulen rapat, dll), karena tidak semua MSA
mengenal sistem administrasi bahkan ada yang tabu dengan tulis menulis;
8. Tetap berupaya melakukan upaya pendokumentasian dan sistem administrasi modern
termasuk foto dan rekaman video untuk kepentingan pembuktian, tanpa menimbulkan
ketersinggungan adat.

D. Langkah-Langkah Hukum yang Dapat Ditempuh dalam Mengatasi Sengketa


Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur

Terdapat dua jalur yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa pertanahan, yaitu
melalui penyelesaian di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Jalur penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dapat dilakukan melalui:

• Musyawarah – Perdamaian Berdasarkan Prinsip Hukum Perjanjian;


Strategi terbaik adalah menempuh jalan musyawarah, mufakat yang berujung pada
kesepakatan diantara para pihak bersengketa, dituangkan dalam satu perjanjian
perdamaian.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam proses perdamaian:

1. Kelengkapan dan keabsahan para pihak;


2. Musyawarah yang seimbang dan fokus, dihadiri pemuka setempat;
3. Kesepakatan perdamaian, sebaiknya dituangkan dalam suatu akta otentik (Akta
Notaris) melibatkan semua pihak bersengketa dan saksi-saksi;
4. Proses signing dilakukan secara terbuka , dibacakan terbuka ditanyakan, diberi
kesempatan memberikan pendapat akhir, baru kemudian ditandatangani;
5. Daftar Hadir dan BAP musyawarah yang ditandatangani;
Melakukan pendokumentasian baik melalui pencarian/tulisan/ tandatangan, foto
dan/atau rekaman video
52
Namun pada praktiknya terkadang muncul ketidakseimbangan dalam bermusyawarah.
Hal ini justru bertentangan dengan azas dalam Pasal 2 UU 2 Tahun 2012 tentang azas
kesetaraan.

• Penyelesaian Administrasi di BPN;


Penyelesaian administrasi dapat ditempuh jika terjadi sengketa administrasi pertanahan
antar masyarakat, atau masyarakat dengan MSA, terkait dengan batas, tumpang tindih
hak / sertifikat hak atas tanah. Dilaksanakan berdasarkan prosedur penyelesaian sengketa
yang diatur dalam Permen ATR No.11/2016, pada pokoknya sesuai dengan bagan di
bawah ini sebagai berikut:

• Proses Mediasi dengan Mediasi Bersertifikat;


Merupakan proses musyawarah/negosiasi terstruktur/sistematis dibawah fasilitator
mediator independen bersertifikat. Prosedur mediasi diluar pengadilan dan di luar
fasilitasi BPN melalui mediator bersertifikat dilakukan berdasarkan Perma
No.1/2016.Hasil kesepakatan dalam proses mediasi tersebut dituangkan dalam suatu
kesepakatan perdamaian yang dapat diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan Akta
Perdamaian berdasarkan Pasal 36 Perma No.1/2016.

53
• Rapat Adat/Sidang Adat dalam Sengketa Hak Ulayat atau Penyelesaian Sengketa
Perseorangan Melalui Tua-Tua Adat.
Penyelesaian sengketa pertanahan melalui Rapat Adat atau Sidang Adat dapat dilakukan
sesuai dengan tata cara – adat istiadat masing-masing Hukum Adat dari MSA
bersangkutan.

 sistem/cara mengundang; tua-tua adat, tokoh-tokoh adat, ninik mamak


cadiak pandai dalam nagari, anggota MSA, dan pemerintah lokal setempat (Wali
Nagari, Kepala Desa, Kepala Kampung, Camat/Kepala Distrik, RT/Kepala Dusun,
dll; dan pihak yang bersengketa; dengan prinsip terbuka (basuluh matohari
bagalanggang mato rang banyak);
 tempat rapat adat di Balairung Adat/Balai Adat/Kedamangan/Rumah
Gadang/Kantor LMA di Papua/Kantor Kedamangan di Dayak/Bagasgodang di
Batak Angkola;
 upacara atau ceremony adat pembuka dan penutup;sistem atau hukum acara
rapat adat;
 sistem/cara pimpinan rapat adat: dipimpin oleh Kepala Adat didamping Para
Pemangku Adat/Tua-tua adat;
 sistem negosiasi/musyawarah: ibarat mencabut rambut dalam tepung, rambut
tercabut tetapi tepung tidak berserakan (Minangkabau);
 sistem pengambilan keputusan; musyawarah mufakat, bulek alah bulih digolekan,
picak alah bulih dilayangkan;
 Sistem penerapan sanksi/hukuman bagi pihak yang melanggar: ka ateh indak ba
pucuk, ka bawah indak ba urek, di tangah-tanah digirik kumbang. Artinya, sanksi
diberikan menurut Hukum Adat, kepercayaan adat, ceremony adat.

Hasil dari penyelesaian melalui rapat adat tetap menggunakan prosedur


administrasi dan lampiran-lampiran dalam hukum tanah. Harus pula diumumkan
kepada masyarakat adat untuk menghindari kembali terjadinya sengketa.

Sedangkan jalur penyelesaian sengketa di dalam pengadilan dapat ditempuh melalui:


54
• Perkara Tata Usaha Negara di PTUN;
Penanganan sengketa TUN UU No.2/2012 jo. UU PTUN jo. UU Mahkamah Agung jo.
Perma No.2/2016;
Bentuk sengketa:
 Gugatan Keberatan atas Penetapan Lokasi berdasarkan Pasal 23 UU No.23/2012;
 Gugatan sengketa TUN secara umum berdasarkan UU PTUN.
Kewenangan PTUN:
 Menyatakan batal atau tidak sah Penetapan Lokasi;
 Menyatakan batal atau tidak sah suatu Keputusan TUN;

Pihak Penggugat dalam gugatan pembatalan Penetapan Lokasi:


 Pemegang hak atas tanah;
 Pemegang pengelolaan;
 Nadzir untuk tanah wakaf;
 Pemilik tanah bekas hak milik adat;
 MSA;
 Pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik.

Jangka waktu:

 Gugatan diajukan 30 hari sejak dikeluarkanya Penetapan Lokasi vide Psl 23 (1) UU
No.2/2012;
 PTUN memutus gugatan 30 hari sejak diterimanya gugatan (Psl 23 (2) UU
No.2/2012;
 Tidak ada upaya hukum banding ke PT TUN;
 Kasasi diajukan 7 hari setelah menerima putusan PTUN;
 Pemeriksaan Kasasi 30 hari sejak permohonan kasasi diterima MA.

55
• Keperdataan-PN
Penyelesaian sengketa pertanahan secara perdata diajukan ke Pengadilan Negeri
setempat.

Bentuk Perkara:
56
 Permohonan Keberatan atas Bentuk dan/atau Besarnya Ganti Kerugian vide Pasal
37 dan Pasal 39 UU No.2/2012;
 Permohonan Penitipan Uang Ganti Kerugian (Konsinyasi);
 Gugatan perdata umum PMH dan Wan Prestasi berdasarkan KUHPerdata.

Pihak-pihak dalam Permohonan Keberadatan atas Bentuk dan/atau Besarnya Ganti


Kerugian:

 Pemegang hak atas tanah;


 Pemegang pengelolaan;
 Nadzir untuk tanah wakaf;
 Pemilik tanah bekas hak milik adat;
 MSA;
 Pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik;
 Pemegang dasar penguasaan atas tanah; dan/atau
 Pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Jangka waktu proses permohonan vide Pasal 37 dan 39 UU No.2/2012:

 Permohonan diajukan 14 hari setelah hasil musyawarah penetapan Bentuk


dan/atau Besarnya ganti Kerugian;
 Putusan PN 30 hari sejak perkara terdaftar;
 Tidak ada banding, hanya kasasi ke MA 14 hari sejak putusan PN diucapkan;
 Putusan Kasasi 30 hari sejak permohoan kasasi terdaftar di MA.

57
58
• Pidana-LP
Dugaan tindak pidana dalam proses pengadaan tanah yang sering muncul bersumber dari
tindakan penyerobotan, masuk tanpa izin (trespassing), pengrusakan, penggelapan tanah,
pemalsuan dokumen, rekayasa surat kuasa/perwakilan.

Tahapan penyelesaian perkara pidana dilakukan menurut prosedur penyelesaian perkara


pidana yang diatur dalam KUHAP. UU No.2/2012 tidak mengatur sengketa pidana.

Hal-hal yang perlu dan sebaiknya diperhatikan:

1. Wilayah Kewenangan Pidana, baik pidana pelanggaran ataupun kejahatan;


2. Laporan Polisi sebagai awal munculnya perkara pidana;

59
3. Adanya proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemutusan (kewenangan
penyidikan oleh Negara);
4. Pembuktian tidak hanya bersifat formil tetapi juga materil;
5. Putusan bersifat penghukuman pidana bukan ganti rugi atau tindakan-tindakan
keperdataan;
6. Penyelesaian secara perdata tidak menghapus unsur pidana;
7. Posisi Tersangka atau terdakwa yang aktif membela diri, sedangkan posisi pelapor
terbantu oleh penyidik;
8. Terlapor, tersangka, atau terdakwa adalah subyek hukum pribadi (orang) dan bukan
subyek hukum berbentuk badan hukum kecuali untuk tindak pidana rekayasa yang diatur
UU;
9. Berlaku azas-azas hukum pidana; legalitas, praduga tak bersalah, dll;
10. Putusan pidana merupakan alat bukti kuat dalam perkara perdata.

60
SESI TANYA JAWAB II (INTERAKTIF)

Q1 : Ketika membangun jalan tol, lahan yang sudah disiapkan untuk dibebaskan
ada bagian lahan kererta api, dan niatnya kita akan menyewa terhadap lahan
tersebut. Apakah ini termasuk tumpang tindih atau tidak? Sedangkan untuk
aset jalan tol itu aset pemerintah atas nama kementerian PU.

A1 : Ya itu salah satu tumpang tindih tapi itu bisa diselesaikan oleh UU No.
2/2012. Karena PT KAI itu BUMN. Karena UU No. 2/2012 itu dasarnya
kesepakatan. BUMN itu kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan negara,
dengan demikian memiliki kekayaan tersendiri.

Berdasarkan UU No. 2/2012 ada pelepasan tanah dari instansi dengan ada
kompensas. Untuk BUMN itu pelepasan aset nya juga ada aturannya.
Kesepakatan solusi sewa itu tidak ada potensi untuk sengketa. Yang
berpotensi sengketa itu kalau tidak sepakat.

Q2 : Hubungan UU No.2/2012 dengan UU 20/2001, dalam UU 20/1961 setelah


penetapan lokasi dan ada BHT, maka pemilik tanah itu sudah tidak
memiliki hak apa-apa lagi. Bisa tidak nanti ada potensi dispute yang meluas
ke UU No.20/1961?

A2 : UU No.20/61 itu ada unsur keadaan memaksa dan pengajuannya ke


Presiden. Untuk menentukan ada keadaan memaksa harus ada pernyataan
dari Gubernur. Sedangkan UU 2/2012 ini pada hakikatnya adalah
kesepakatan.

Q3 : Dalam pengadaan tanah, ketika pengukuran dan belum sampai tahap


kadasteral. Ternyata 10 tahun lalu terdapat kadasteral namun belum sempat
terbit HGU. Tapi kadasteralnya masih tercatat. Ketika kita ingin
membebaskan lahan tersebut, menurut BPN harus ada pelepasan dari orang

61
yang melakukan kadasateral? Apakah tidak ada masa expired-nya?

A3 : Jika sudah ada pengkuruan resmi, berarti sudah ada surat ukur. HGU punya
jangka waktu.Pada 10 tahun lalu sudah ada proses kadasteral. Di kantor
pertanahan setempat, sudah ada proses pendaftaran tapi belum selesai. Bukti
kepemilikan secara hukum belum selesai.

Menurut saya ada masa expirednya. Kalau sudah mendaftar, berarti itu
sudah bebas. Tidak bisa mendaftarkan tanah orang lain. Pendaftaran tanah
harus ada orang yang berhak.

Kita mengenal istilah yuridis dan fisik. Penguasaan tanah ada yuridis dan
fisik. Jika salah satu tidak ada akan menjadi timpang dan bersengketa.

Q4 : Misal pemilik lahan adalah PT lalu pemilik proyek adalah PT tersebut. Dari
proses mekanisme penggantian rugi tanah sampai penyerahan tanah ke
pemilik proyek, mekanismenya seperti apa? Penentuan harganya seperti
apa, apakah berdasarkan appraisal ?

Kemudian dalam menentukan harga jika kesepakatannya diatas perolehan,


ada potensi untuk memperkaya orang lain atau diri sendiri?

A4 : Tergantung kesepakatan. Intinya apakah si pemegang hak sepakat atau


tidak. UU No.2 Tahun 2012 tidak mengatur hal-hal khusus mengenai
pemilikan tanah oleh badan hukum. Kecuali tanah milik instansi ada bab
khusus. Jangka waktu pembebasannya diatur dalam penetapan lokasi.
Dalam jangka waktu penetapan lokasi di swasta itu namanya izin lokasi.
Jadi penetapan lokasi itu memberikan kewenangan si pemilik izin lokasi
untuk melakukan pembebasan ada jangka waktu 2 tahun. Caranya sama,
harus kesepakatan.

Itu bisa masuk ranah korupsi, namanya mark up. Pengadaan tanah itu ada
panitianya, mungkin PT itu ada di dalamnya. Tapi bukan PT itu yang

62
berkuasa.

Q5 : Sudah sampai pembuatan peta bidang tanah, dari 4 yang kami undang
untuk membuat peta, 1 tidak datang. Ketika seperti itu apakah tetapi
diteruskan? Apabila tidak datang dan diteruskan sah tidak?

A5 : Untuk mitigasi yang bagus, cukup para pihak saja seperti kepala desa atau
ketua pemuda. Ketika tidak datang pada saat itu sedangkan kita sudah
menyiapkan segala sesuatunya, itu tetap dilangsungkan tapi di berita acara
tetap dituliskan siapa yang ga datang. Dipatok dulu saja.

Sampaikan surat lagi beserta gambar yang sudah disepakati oleh pihak yang
datang. Jika ia balas dan tidak setuju dan minta ukur ulang, harus diukur
ulang. Karena harus disepakati.

Q6 : Ada tanah masyarakat yang masuk ke jalan tol. Ketika berbatasan dengan
jalan, kadang BPN langsung mencatat itu jalan. Padahal itu harus
dikonfirmasi lagi ke kementerian terkait. Tapi itu sering di by pass oleh
BPN. Bagaimana prosedur yang seharusnya dilakukan?

A6 : Terdapat kemungkinan bahwa dahulunya pembuatan batas untuk proyek


jalan tol itu tidak selesai. Jika bersinggungan dengan jalan tol, pengelola
harus dikonfirmasi oleh Pemohon. BPN itu sifatnya pasif, karena hanya
berdasarkan informasi yang disampaikan pemohon saja. BPN tidak boleh,
nanti dia tidak independen.

Berarti jika dalam permasalahannya seperti itu, salahnya ada di Pemohon


karena prosedurnya telah salah karena tidak mengkonfrimasi pemegang
batas.

Q7 : Ada hukum acara di UU No.2/2012, tapi implikasi hukum jika tidak


terpenuhi pada praktiknya bagaimana?

63
A7 : Tidak ada sanksi dalam UU 2/2012 sehingga jika terjadi pelanggaran, maka
akan sulit proses penyelesaiannya. Semua hukum acara mengatur jadwal
atau waktu penyelesaian. Seharusnya pengadilan lebih memprioritaskan
sengketa tanah ini, karena menyangkut kepentingan umum dan menyangkut
APBN/D. Tetapi jika tidak dipatuhi tidak bisa pula dibilang cacat, karena
UU tidak mengatur. Tidak ada implikasinya terhadap objek perkara tersebut
ketika prosedurnya molor.

Q8 : Apakah pelepasan hak itu setelah konsinyasinya diambil?

A8 : Konsinyasi diambil dulu tetapi tergantung panitia pengadaan tanahnya.


Nanti jika ingin mengambil ke panitia pengadaan tanah harus ada buktinya.
Tetapi bisa juga dimintakan tandatangan dahulu untuk melepaskan tanah.

64

Anda mungkin juga menyukai