Tema : Mekanisme Pengadaan Tanah dan Tata Cara Perolehan Hak Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Infrastruktur (Suatu Telaahan Problem dan Solusi)
Pembicara : Dr. Aslan Noor, SH., MH., CN (Kasubdit Pemanfaatan Tanah Pemerintah,
Ditjen Pengadaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan
Nasional)
Kerangka Penjelasan:
A. Latar Belakang
Pemerintah dalam konsep hukum subjek hak atas tanah memiliki prosedur yang berbeda
dalam memperoleh tanah dibandingkan dengan individu biasa. Pertama-tama, sebelum
Pemerintah melakukan kegiatan dalam perolehan hak atas tanah, ia harus bertindak
sebagai owner atau pemilik hak atas tanah tersebut. Oleh karena itu harus ada perizinan
yang diurus sebelum Pemerintah memiliki hak atas tanah.
2
Subyek hak atas tanah itu sendiri terdiri dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN/D,
ada badan hukum dan perorangan. Terdapat penggunaan tanah yang berbeda dari masing-
masing subyek yang menerangkan apakah penggunaan tanah tersebut untuk kepentingan
umum ataupun kepentingan lainnya. Jika kepentingan umum, subyeknya wajib
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan BUMN/D. Khusus untuk BUMN/D sebelum
melakukan pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib mendapatkan penugasan
dari Kementerian terkait.
Selain itu, untuk kepentingan lainnya subyeknya adalah Pemerintah, Pemerintah Daerah,
Badan Hukum dan Perseorangan. Namun, bagi Pemerintah yang ingin mengadakan tanah
untuk kepentingan lainnya yang bukan kepentingan umum dalam Pasal 10 UU No.2
Tahun 2012, harus tetap didasari penetapan lokasi yang wajib disertai konsultasi publik
dan pemeriksaan tim professional. Sedangkan untuk badan hukum wajib ada izin lokasi.
Sedangkan untuk masyarakat dapat memperoleh hak atas tanah untuk kepentingan
lainnya secara perolehan langsung melalui perjanjian keperdataan.
3
Sumber daya manusia yang tersedia sangatlah terbatas, dan profesionalisme pun
masih belum terbentuk dan terdidik dengan baik. Sehingga keterlambatan dalam
pelaksanaan kegiatan sering kali digunakan berita acara untuk menghindari adanya
gugatan hukum.
Adapun salah satu kasus yang pernah terjadi dalam hal permasalahan pengadaan tanah
adalah kasus PLTU Batang. Kasus PLTU Batang adalah proyek swasta dengan cap
proyek pemeirntah. Pada proses pengadaan tanah di PLTU Batang, sebagian anggota
masyarakat dari ketiga desa yang menjadi tapak proyek tetap bersikukuh
mempertahankan tanah mereka demi mempertahankan sumber penghidupannya. Ketiga
desa tersebut adalah Desa Ujungnegoro, Karanggeneng dan Ponowaren, dimana hingga
saat ini masih terdapat sekitar 67 warga pemilik tanah yang tetap bertanah tidak menjual
tanahnya untuk pembangunan PLTU Batang. Demi mempertahankan tanah tumpuan
kehidupan tersebut, mereka kerap harus berurusan dengan preman-preman dan oknum
aparat dari kepolisian dan TNI yang meminta mereka untuk menjual tanah yang disertai
ancaman-ancaman.
Pada tanggal 27 Juni 2014 PT. Bhimasena Power Indonesia (PT BPI) menyampaikan
secara resmi ketidakmampuan perusahaan dalam melakukan pembebasan lahan untuk
PLTU Batang, Kegiatan pembebasan lahan tidak dapat lagi dilaksanakan sebagaimana
4
mestinya. Pernyataan itu keluar mengingat sudah empat kali perusahaan melakukan
perubahan (amandemen) perjanjian jual beli tenaga listrik antara PT. Bhimasnena Power
Indonesia dengan PT. PLN (Persero).
Pelaksanaannya kegiatan sosialisasi dan konsultasi publik hanya dilakukan dalam bentuk
persayaratan semata, tanpa menggali persoalan yang terjadi. Mirisnya lagi, dalam seluruh
pertemuan itu, kehadiran pemilik tanah hanya diwakili oleh 1 hingga 5 orang saja dan
bahkan di beberapa kesempatan pertemuan itu dilakukan tanpa dihadiri oleh pemilik
tanah dan yang terdampak. Itupun pertemuan hanya berlangsung bersama aparat desa
serta kecamatan dan warga yang tidak memiliki tanah ditapak proyek. Fakta ini
terbongkar di persidangan saat hakim memeriksa seluruh daftar hadir peserta dalam
kegiatan tersebut. Anehnya lagi, berita acara persetujuan pengadaan tanah telah dibuat,
tanpa diketahui oleh pemilik tanah.
Rencana pembangunan PLTU Batang dilakukan oleh PT. Bhimasena Power Indonesia
yang merupakan perusahaan gabungan (Joint Venture) dari tiga perusahaan, diantaranya
5
Electric Power Development Co., Ltd. (J-Power), perusahaan yang berbasis di Tokyo-
Jepang dengan kepemilikan saham sebesar 34 persen, ITOCHU Corporation, perusahaan
yang berbasis di Tokyo-Jepang dengan kepemilikan saham sebesar 32 persen dan PT
Adaro Power, perusahaan swasta yang berbasis di Indonesia dengan kepemilikan saham
sebesar 34 persen. Hubungannya dengan pemerintah hanya sebatas hubungan Jual-Beli
tenaga listrik listrik yang dihasilkan perusahaan dan PT. PLN (Persero) adalah konsumen
sebagai pembeli (buyer). Sangat jelas dan meyakinkan bahwa PLTU Batang adalah
proyek swasta, bukan proyek pemerintah yang dicoba dikesankan selama ini.
Semua fakta-fakta dan bukti telah diajukan masyarakat kepada pengadilan. Para pemilik
tanah lainnya yang menjadi saksi di persidangan mengungkapkan kepada Hakim bahwa
mereka tidak diundang dalam pertemuan-pertemuan sosialisasi dan konsultasi publik
bahkan pembuatan Berita Acara pengadaan tanah. Kesaksian mereka tidak terbantahkan.
Begitu juga dengan keterangan ahli hukum administrasi negara yang dihadirkan,
menyimpulkan bahwa Keputusan Gubernur tersebut cacat fomil karena tidak melibatkan
masyarakat yang terkena dampak langsung dari pemberlakukan suatu keputusan tata
usaha negara, apalagi pengadaan tanah yang dimaksud dalam keputusan Gubernur,
tanahnya akan diperuntukkan kepada perusahaan swasta (pembangunan PLTU Batang),
PT. PLN (Persero) dalam keputusan ini hanya sebatas perpanjangan tangan untuk
mendapatkan lahan semeta. Pendapat ahli menegaskan jika hal ini melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Namun, hakim berpendapat lain dan gugatan masyarakat pun ditolak di Pengadilan
PTUN Semarang. Tidak puas, masyarakat pun melakukan upaya hukum kasasi di
Mahkamah Agung dengan kembali menguraikan alasan hukum dimana hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara tersebut tidak cermat, tidak teliti dan lalai serta salah
dalam menerapkan hukum. Bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum hanya
dapat dilakukan oleh pemerintah, tanahnya milik pemerintah dan pembangunannya
dilakukan oleh pemerintah. Dalam kasus ini, PLTU Batang jelas sekali milik swasta,
maka pembebasan tanah untuk PLTU Batang melalui keputusan Gubernur telah
melanggar Undang-undang. Tanah yang dibebaskan dimanfaatkan perusahaan. Saat
6
perusahaan tidak sanggup melakukan pembebasan tanah masyrakat, Negara justru hadir
sebagai “perampas” dengan dalih kepentingan umum.
Disamping permasalahan hukum, terdapat permsalahan ganti rugi status subyek dan
obyek tanah (kekayaan negara) terkait istilah:
• Tanah negara;
• Tanah pemerintah yang kosong yang nyata-nyata tidak digunakan,
• Penghapusan aset,
• Tanah kawasan hutan ,
• Tanah fasum dan fasus buatan dan yang alami
• Jalan alami (yang bukan dari APBN/APBD)
• Tanah kawasan lindung (ada sembilan : Hutan Lindung, bergambut dan resapan air,
sepadan : pantai, sungai, sekitar danau/waduk, sekitar mata air, kawasan cagar
budaya terdiri dari : suaka alam, suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan
pantai berhutan bakau, Taman nasional, Taman Hutan Raya, Taman wisata alam
dan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan)
Kelengkapan data perijinan, seperti : ijin tanah waqaf, perubahan RTRW, pelepasan
kehutanan, HGU dan HGB yang terpotong yang memerlukan ijin peralihan, dan masalah
perijinan lainnya, termasuk ketersediaan tanah pengganti yang sesungguhnya telah
tersedia pada tahapan persiapan.
7
• Pengertian;
• Prinsip;
• Asas;
• Substansi;
• Tujuan;
• Metoda;
• Pendekatan;
• Sejarah;
• Jenis;
• Lembaga.
Adapun definisi dari pengadaan tanah menurut Pasal 1 angka 2 UU No.2 Tahun 2012
adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan
adil kepada pihak yang berhak. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 3 Perpres No.65 Tahun
2006, pengadaan tanah didefinisikan sebagai setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah
dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
8
3. PMK No. 13 Tahun 2013 tentang Biaya Operasional dan Biaya Pendukung
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
4. PMK 10 Tahun 2016 tentang Perubahan PMK No. 13 Tahun 2013 tentang
Biaya Operasional dan Biaya Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Yang Bersumber Dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
5. Permendagri No. 72 Tahun 2012 tentang Biaya Operasional dan Biaya
Pendukung Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, dan
6. Pepres No. 40 Tahun 2014 tentang Perubahan Pertama Pepres No. 71 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
7. Perpres No. 99 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Pepres No. 71 Tahun
2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum
8. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2015 tentang
Perubahan Ketiga Pepres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
9. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 148 Tahun 2015 tentang
Perubahan Keempat Pepres No. 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
10. Perturan Menteri Agraria danTata Ruang/Kepala BPN No. 6 Tahun 2015
tentang Perubahan Perka BPN No. 5 Tahun 2012 tentang tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah
11. Perturan Menteri Agraria danTata Ruang/Kepala BPN No. 6 Tahun 2015
tentang Perubahan Perka BPN No. 5 Tahun 2012 tentang tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah
9
Selain itu, Kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat termasuk
kepentingan bersama bangsa dan negara (AP Parlindungan , 1990 Hlm 61). Kepentingan
seluruh lapisan masyarakat (Pasal 1 angka 3 Kepres 55/1993). Kepentingan sebagian
besar lapisan masyarakat (Pasal 1 angka 5 Pepres 36/2005). Sedangkan ganti kerugian
adalah pemberian konpensasi yang sepadan bahkan lebih maju (kehidupan yang lebih
baik) kepada bekas pemilik berupa : ganti rugi terhadap hak atas tanah;
bangunan; tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.
Adapun asas dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum diantarnya adalah:
a. kemanusiaan;
b. keadilan;
c. kemanfaatan;
d. kepastian;
e. keterbukaan;
f. kesepakatan;
g. keikutsertaan;
h. kesejahteraan;
i. keberlanjutan; dan
j. keselarasan.
Sedangkan tujuan dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah bertujuan
menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan
hukum Pihak yang Berhak.
10
(1) Pemerintah menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum.
(2) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menjamin tersedianya pendanaan untuk
Kepentingan Umum.
Dalam proses pengadaan tanah, obyek kepentingan umum berdasarkan Pasal 10 UU No.2
Tahun 2012 diantaranya adalah:
11
a. pertahanan dan keamanan nasional;
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas
operasi kereta api;
c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan
sanitasi, dan bangunan engairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. cagar alam dan cagar budaya;
n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan
untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
r. pasar umum dan lapangan parkir umum.
Sedangkan obyek ganti kerugian dalam proses pengadaan tanah diantaranya adalah:
• Tanah;
• Ruang atas tanah dan bawah tanah;
• Bangunan;
• Tanaman;
• Benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai.
12
Selanjutnya, subyek pengadaan tanah diantaranya adalah:
1. lembaga negara,
2. kementerian dan
3. lembaga pemerintah nonkementerian,
4. Pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan
5. Badan Hukum Milik Negara/Badan Usaha Milik Negara yang mendapat penugasan
khusus Pemerintah.
6. Badan Hukum privat hanya sebagai pemegang kuasa saja yang bertindak atas nama orang
lain (last giver). Perlu untuk mendalami secara lebih lanjut UU 2 Tahun 2012, Perpres 30
Tahun 2015 dan Pepres 148 Tahun 2015
a. Pembebasan Tanah
Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh instuisi (lembaga pengadaan tanah) dari tahap
perencanaan sampai dengan tahap penyerahan hasil, yang pada prinsipnya dimulai dari
studi kelayakan untuk menghasilkan Dokumen perncanaan, pemberitahuan/penyuluhan,
konsultasi publik untuk memperoleh ijin penetapan lokasi, dan kegiatan pelaksanaan
pengadaan tanah yang terdiri dari :
1. pemeriksaan/penelitian data pisik;
2. Pemeriksaan/penelitian data yuridis;
3. Pengumuman hasil pemeriksaan data pisik dan data yuridis;
4. penyelesaian permasalahan;
5. musyawarah;
6. Pembuatan daftar nominatif obyek, subyek, luas dan bentuk ganti rugi;
7. proses ganti rugi;
8. Pernyataan pelepasan hak;
9. Penandatanganan Risalah Pemeriksaan dan;
10. Penyerahan hasil dan Pelaporan.
13
b. Transaksi Langsung (Jual Beli, Hibah, Tukar Menukar).
Lembaga yang melakukan pengadaan tanah diantaranya adalah:
14
1. Perencanaan Pengadaan Tanah
Tahap perencanaan sangat menentukan untuk tahap persiapan dari suatu pengadaan
tanah. Jika sudah tahap persiapan, waktunya hanya dibatasi 104 hari. Sedangkan
pelaksanaannya dilakukan selama 134 sampai 250 hari.
Rencana pengadaan tanah disusun dalam bentuk dokumen perencanaan berdasarkan studi
kelayakan. Dokumen perencanaan pengadaan tanah ditetapkan oleh pimpinan instansi yang
memerlukan tanah atau pejabat yang ditunjuk yang kemudian disampaikan kepada
Gubernur. Dokumen perencanaan pengadaan tanah tersebut paling sedikit memuat:
Dalam tahap persiapan pengadaan tanah, dibentuk tim persiapan yang bertugas:
a. Bupati/Walikota;
b. Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi terkait;
c. Instansi yang memerlukan tanah;
d. Instansi lainnya.
1. Sosialisasi;
2. Tatap muka;
3. Surat pemberitahuan;
4. Media cetak dan/atau media elektronik.
17
Kemudian langkah selanjutnya adalah pendataan awal lokasi rencana pembangunan yang
meliputi kegiatan pengumpulan data awal pihak yang berhak dan objek pengadaan tanah.
Adapun pihak yang berhak diantaranya adalah:
Setelah itu, dilakukan konsultasi publik rencana pembangunan yang berisi penjelasan
mengenai:
1. maksud dan tujuan rencana pembangunan untuk kepentingan umum;
2. tahapan dan waktu proses penyelenggaraan pengadaan tanah;
3. peran penilai dalam menentukan nilai ganti kerugian;
4. insentif yang akan diberikan kepada pemegang hak;
5. objek yang dinilai ganti kerugian;
6. bentuk ganti kerugian; dan
7. hak dan kewajiban pihak yang berhak.
18
perpanjangan paling lambat dua bulan sebelum berakhirnya jangka waktu penetapan
lokasi dan apabila tidak terpenuhinya jangka waktu, maka dilaksankaan proses ulang
terhadap sisa tanah yang belum diselesaikan pengadaannya. Proses ulang tersebut dimulai
dari tahap perencanaan.
19
Pelaksana pengadaan tanah diselenggarakan oleh Kepala BPN dan dilaksanakan oleh
Kepala Kantor Wilayah BPN selaku Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah. Kepala Kantor
Wilayah BPN dapat menugaskan Kepala Kantor Pertanahan sebagai Ketua Pelaksana
Pengadaan Tanah dengan mempertimbangkan efisiensi, efektivitas, kondisi gegorafis,
dan sumber daya manusia.
Kepala Kantor Pertanahan sebagai Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah membentuk
Pelaksana Pengadaan Tanah, paling kurang berunsurkan:
1. Pejabat yang membidangi urusan Pengadaan Tanah di lingkungan Kantor Wilayah
BPN;
2. Pejabat pada Kantor Pertanahan setempat pada lokasi Pengadaan Tanah;
3. Pejabat satuan kerja perangkat daerah provinsi yang membidangi urusan pertanahan;
4. Camat setempat lokasi Pengadaan Tanah;
5. Lurah/Kepala desa atau nama lain di lokasi Pengadaan Tanah.
20
2. Penyiapan bahan;
3. Penyiapan peralatan teknis;
4. Koordinasi dengan perangkat kecamatan dan lurah/kepala desa atau nama lain;
5. Penyiapan peta bidang tanah;
6. Pemberitahuan kepada Pihak yang Berhak melalui lurah/kepala desa atau nama lain;
dan
7. Pemberitahuan rencana dan jadwal pelaksanaan pengumpulan data Pihak yang
Berhak dan Obyek Pengadaan Tanah.
Satuan Tugas yang membidangi inventarisasi dan identifikasi data fisik penguasaan,
pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah melaksanakan pengukuran dan pemetaan
bidang perbidang tanah yang hasilnya dituangkan dalam bentuk peta bidang tanah dan
ditandatangani oleh Ketua Satuan Tugas. Satuan Tugas yang membidangi inventarisasi
dan identifikasi data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah melaksanakan
pengumpulan data yang hasilnya dituangkan dalam bentuk peta bidang tanah dan
ditandatangani oleh Ketua Satuan Tugas. Selain itu, Satuan Tugas yang membidangi
inventarisasi dan identifikasi data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah
melaksanakan pengumpulan data yang hasilnya dibuat dalam bentuk peta bidang tanah
dan daftar nominatif yang ditandatangani oleh Ketua Satuan Tugas.
Dalam hal Pihak yang Berhak Keberatan atas hasil inventarisasi dan identifikasi, dapat
mengajukan keberatan kepada Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah. Apabila keberatan
diterima, Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah melakukan verifikasi dan perbaikan
terhadap peta bidang tanah dan/atau daftar nominatif.
Nilai ganti kerugian dalam hal ini merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan
lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. Nilai Ganti Kerugian merupakan nilai
tunggal untuk bidang per bidang tanah. Nilai Ganti Kerugian dijadikan dasar musyawarah
mengenai bentuk ganti kerugian. Dalam hal terdapat sisa bidang tanah yang tidak dapat
difungsikan, pihak yang berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang
tanahnya.
a. Uang;
b. Tanah pengganti;
c. Permukiman kembali;
d. Kepemilikan saham; atau
e. Bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.
22
Dalam hal pemberian ganti kerugian dalam keadaan khusus, pihak yang berhak hanya
dapat mengalihkan ha katas tanahnya kepada Instansi yang memerlukan tanah melalui
Pelaksana Pengadaan Tanah. Dalam hal Pihak yang Berhak membutuhkan Ganti
Kerugian dalam keadaan mendesak, maka mendapatkan prioritas dengan diberikan
maksimal 25 (dua puliuh lima) persen dari perkiraan ganti kerugian yang didasarkan atas
NJOP tahun sebelumnya. Pemberian sisa ganti kerugian diberikan setelah diteatpkan
hasil penilai atau nilai yang sudah ditetapkan oleh putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap.
1. Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan
musyawarah dan tidak mengajukan keberatan ke Pengadilann Negeri;
2. Pihak yang berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasrkan
putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
3. Pihak yang Berhak tidak diketahui keberadaannya; atau
4. Objek Pengadaan Tanah yang akan diberikan Ganti Kerugian:
a. Sedang menjadi objek perkara di pengadilan;
b. Masih dipersengketakan kepemilikannya;
c. Diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang; atau
d. Menjadi jaminan di bank.
Kemudian pelepasan objek pengadaan tanah dilaksanakan oleh pihak yang berhak kepada
negara dihadapan Kepala Kantor Pertanahan setempat. Dalam pelepasan Objek
Pengadaan Tanah, pelaksana pengadaan tanah harus:
23
3. Memberikan tanda terima pelepasan;
4. Membubuhi tanggal, paraf, dan cap pada sertifikat dan buku tanah bukti kepemilikan
yang sudah dilepaskan kepada Negara.
Objek Pengadaan Tanah yang telah dibeirkan Ganti Kerugian atau Ganti Kerugian telah
dititipkan di pengadilan negeri atau yang telah dilaksanakan pelepasan hak Objek
Pengadaan Tanah, hubungan hukum antara Pihak yang Berhak dan tanahnya hapus demi
hukum.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan pelaksanaan anggaran, dan
ketentuan lebih lanjut mengenai biaya opearsional dan biaya pendukung yang bersumber
dari APBN diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai
biaya opearsional dan biaya pendukung yang bersumber dari APBD diatur dengan
25
SESI I B (Pukul 10.30 – 11.00 WIB)
Kerangka Penjelasan:
A. Penjelasan Umum
Terdapat beberapa dasar hukum yang digunakan dalam hal pengendalian perizinan,
diantaranya adalah:
Setiap kegiatan dalam pekerjaan harus oethentik (BW Ps. 1868), yang berpedoman pada
4 (empat) K, yaitu diantaranya adalah:
- Kompetisi;
- Kolaborasi;
- Kompromi;
- Komando.
27
4. Kerja sama penataan ruang antar negara dan Pemfasilitasan kerja sama penataan
ruang antar provinsi.
Izin pemanfaatan ruang sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan
pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jenis
Perizinan Pemanfaatan Ruang berdasarkan PP No.15 Tahun 2010 Pasal 163 terdiri dari:
a. Izin Prinsip;
b. Izin Lokasi;
c. Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah;
d. Izin Mendirikan Bangunan; dan
e. Izin lain berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
a. Izin Lokasi;
Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi adalah pertimbangan
yang memuat ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah, sebagai dasar
penerbitan izin lokasi yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah
yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin
28
pemindahan hak dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha
penanaman modalnya.
b. Penetapan Lokasi;
Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Penetapan Lokasi adalah
pertimbangan yang memuat ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah,
sebagai dasar pemberian keputusan penetapan lokasi tanah yang akan digunakan
untuk pembangunan bagi kepentingan umum yang dilaksanakan oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.
29
b. Ketentuan dan syarat-syarat dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi
seluruh atau sebagian tanah yang akan digunakan untuk jenis penggunaan dan
pemanfaatan tanah tertentu yang disetujui.
c. Persyaratan permohonan dan jangka waktu penerbitan Pertimbangan Teknis
Pertanahan dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan
dan Pengaturan Pertanahan.
Terdapat dua kegiatan dalam Risalah Tenis Pertanahan, yaitu Pertimbangan Teknis
Pertanahan dan Pertimbangan Teknis Penatagunaan Tanah.
Data dan infromasi dalam Penyusunan Risalah dan Peta-Peta dapat diperoleh dari:
30
D. Pembinaan dan Monitoring Izin Lokasi
Pembinaan dan monitoring terhadap Izin Lokasi, Penetapan Lokasi dan Izin Perubahan
Penggunaan Tanah diselenggarakan oleh:
Hasil pembinaan dan monitoring menjadi bahan pertimbangan dalam Pembatalan Izin
Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.
Pembatalan Izin Lokasi dilaksanakan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia atas usulan:
E. Pembiayaan
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif atas jenis
PNBP yang berlaku di BPN-RI.
1. PTP izin Lokasi
31
[(L/100.000) x (HSBKpb)] + Rp. 5.000.000,-
2. PTP Penetapan Lokasi, 50% dari PTP Izin Lokasi
3. PTP Izin Perubahan Penggunaan Tanah
[(L/500) x (HSBKpa)] + Rp. 350.000,-
Q1 : Terkait dengan rencana tata ruang dan wilayah, saya pernah mengalami
bahwa beberapa kali RTRW yang dimiliki kabupaten kota dan provinsi
tidak sinkron. Jika tidak sinkron mana yang harus digunakan? Dimana
posisi DTR dari pengadaan tanah?
A1 : Sengketa provinsi dan kabupaten kota, dalam hal pemprov tidak dapat
memenuhi pelayanan minimal tata ruang, pemerintah dapat mengambil
langkah penyelesaian. Dalam hal pemerintah kabupaten kota, tidak dapat
memenuhi standar minimal, pemerintah provinsi dapat mengambil langkah
penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan.
Terjadi pada kasus telok benoa, sampai akhirnya dikeluarkan perpres untuk
merevisi yang pada akhirnya tidak dapat dilaksanakna juga karena kuatnya
LSM yang menentang. Sementara detail kabupaten kota tidak sesuai dengan
provinsi dan provinsi dapat mengambil alih, dengan otonomi yang kuat ini
kadang kabupaten kota juga mengadakan perlawanan. Jika kabupaten kota
belum menempatkan rencana tata ruang kabupaten kota bisa mengacu
kepada provinsi. Jika provinsi belum menetapkan, maka bisa dilakukan oleh
pusat.
32
A2 : Reklamasi ini adalah tindakan penimbunan dan yang wajib yang melakukan
adalah Pemerintah Daerah setempat. Artinya gubernur/bupati wajib
menetapkan terlebih dahulu lokasinya dengan berbagai alasannya. Setelah
itu, hak dari reklamasi ini, harus diketahui tujuanny untuk apa, apakah
untuk kepentingan kantor atau usaha. Langsung saja nanti jadi HPL. UU
PMA 99 membuka hal itu untuk dijadikan HPL. HPL ini jembatan agar aset
tidak hilang. Sebenarnya negara dilarang berusaha, kecuali bekerja sama
dengan pihak swasta. Khusus reklamasi, harus pula tunduk pada izin lokasi.
Reklamasi yang berhasil adalah Irian karena telah dikaji oleh tim dan tidak
mengganggu fungsi lingkungan. Jangan sampai setelah ditimbun malah
menimbulkan bencana baru.
A3 : UU No. 2 Tahun 2012 tidak membedakan antara serifikat atau girik. Tidak
ada perlakuan istimewa antara yang terdaftar dan tidak terdaftar. Persoalan
legitimasi atau verifikasi surat nanti ada prosedurnya.
Q4 : Perusahaan yang menjadi operator tenaga listrik misal swasta ingin bekerja
sama dengan BUMN. Pihak yang mengurus pengadaan tanah adalah
BUMN. Apakah nanti swasta harus sewa lagi hak pakai di atas HGB?
33
pakai itu hakikatnya penggunaan selama-lamanya selama masih eksis dan
dipergunakan. Sedangkan HGB terbatas untuk 20 tahun.
Q5 : Ruas jalan yang kami miliki adalah ruas jalan yang lama yang mana pada
saat itu pengadaan tanahnya dilaksankanan oleh pemerintah. Saat ini kami
ingin melakukan pelebaran jalan, dan ada tanah ruas kecil. Apakah
dibutuhkan land appraisal?
A5 : Apapun aset negara harus dinilai oleh lembaga yang berwenang. Penilai ini
termasuk pejabat umum dan berkuasa atas kepentingan umum yang
menjembatani negara dan masyarakat. Oleh karena itu terdapat MAPPI
yang telah dididik untuk meningkatkan kompetensinya. Gunakan appraisal
agar jelas meskipun dalam skala kecil. Jika ingin aman gunakan kaidah
keuangan negara.
34
A7 : Seorang selain pemerintah tidak lain hanya sebagi last giver yang
merupakan pemegang kuasa yang bertindak atas nama orang lain.
Konstitusi menyatakan untuk hajat hidup orang banyak maka dikuasai
negara. Swasta memang boleh berinvestasi tetapi sebagai pemegang kuasa.
Mungkin ada hak-hak sementara berupa HGB diatas HPL. Sebaiknya
pemerintah tetap atas aset pemerintah, tetapi untuk kepentingan umum
berikan hak pakai yang berlaku selama-lamanya dan berguna bagi negara
Bentuk kerjasamanya aga bingung juga. HGB diatas HPL hanya untuk
gedung-gedungnya saja dan bukan lapangannya. Misalnya restoran, dsb.
HPL harus atas nama pemerintah.
35
SESI 2 ( Pukul 13.00 – 16.15 WIB)
Kerangka Penjelasan:
Sengketa Tata Usaha Negara (TUN) PTUN Keberatan atas Penetapan Lokasi
(UU No.2/2012) dan/atau Sengketa TUN bersifat umum seperti dikeluarkannya
Keputusan Tata Usaha Negara;
UU 2/2012 tidak memberikan definisi mengenai sengketa tanah. Namun, secara
umum Sengketa tanah adalah adanya perselisihan atau permasalahan yang dihadapi
36
dalam proses pengadaan tanah Ada hal-hal yang salah satu pihak tidak atau belum
sepakat. Atau ada hal salah satu pihak yang merasa hak dan kepentingannya
terganggu. Dalam proses pengadaan tanah, untuk kepentingan umum dan juga untuk
kepentingan lainnya, bentuk sengketa itu adalah sengketa tata usaha negara (TUN).
Atau dalam UU No.2/2012 diakomodasi dalam pembatasan sengketa TUN yang
mengenai penetapan lokasi. Dari sengketa TUN dapat pula sengketa keputusan yang
diterbitkan oleh panitia atau gubernur yang menjadi objek dari sengketa TUN.
Sengketa keperdataan, di luar atau di dalam pengadilan Keberatan Penetapan
Bentuk dan/atau Besarnya Ganti Kerugian, Konsinyasi, dan/atau sengketa
keperdataan pada umumya;
Sengketa pidana pemalsuan dokumen tanah, penggelapan, penyerobotan, dan/atau
tindak pidana pada umumnya.
Disamping sengketa yang bersifat umum, terdapat pula sengketa mengenai hukum adat,
sengketa tumpang tindih, dan sengketa lingkungan hidup.
37
b. Mengetahui Sumber Sengketa Pertanahan dan Sengketa Hukum Terkait
c. Mengetahui Pihak Bersengketa di Luar atau di Dalam Pengadilan (PN PTUN dan Sidang
Adat)
Dalam sengketa tanah: perseorangan dan/atau sekelompok (kelompok tani-
nelayan), badan hukum vs Instansi/Lembaga Pemerintah, BUMN/BUMD, Badan
Usaha dalam skema KPBU;
Dalam sengketa Hukum Adat-Tanah ulayat: Masyarakat Hukum Adat,
Pemangku/tokoh-tokoh adat vs Instansi/Lembaga Pemerintah, BUMN/BUMD,
Badan Usaha dalam skema KPBU;
Dalam sengketa Lingkungan Hidup: perseorangan, Kelompok Masyarakat
(gugatan perwakilan), LSM Lingkungan Hidup berbadan hukum vs
Instansi/Lembaga Pemerintah, BUMN/BUMD, Badan Usaha dalam skema KPBU;
Dalam sengketa tumpang tindih: perseorangan, masyarakat hukum adat,
pemegang IUP, pemegang PSC, Pemegang HPH, pemegang HGU Perkebunan,
38
Kementerian Kehutanan, Instansi/Lembaga Pemerintah, BUMN/BUMD,
Gubernur/Bupati/Wako, dan/atau Badan Usaha dalam skema KPBU.
Mitigasi risiko hukum adalah upaya maksimal yang dilakukan dalam membekali diri dan
memiliki kemampuan secara hukum untuk mengantisipasi, mencegah, menghadapi dan
melindungi diri terhadap kemungkinan munculnya resiko hukum saat itu dan di kemudian
hari yang dapat merugikan hak dan kepentingan hukum dalam proses pengadan tanah untuk
pembangunan infrastruktur. Adapun maksud dan tujuan dari mitigasi risiko hukum
diantaranya adalah:
Kegiatan mitigasi risiko hukum sudah harus dilakukan sejak awal proses pembangunan
infrastruktur sampai dengan selesainya pemanfaatan/penggunaan tanah. Cara melaksanakan
mitigasi risiko hukum diantaranya adalah:
1. Secara umum;
Mitigasi risiko hukum dianggap telah dilaksanakan dengan baik jika “telah
melaksanakan dan memenuhi secara sempurna seluruh persyaratan dan prosedur yuridis
proses pembangunan infrastruktur tersebut, dimulai dari adanya rencana pembangunan
infrastruktur, sosialisasi awal, proses perizinan, proses tendernya (Skema KPBU), proses
dan tahapan pengadaan tanah, proses pembangunan fisik proyek, sampai dengan
kegiatan operasional dan pemanfaatan proyek infrastruktur tersebut nanti”.
39
2. Secara Khusus
a. Mempelajari dan memahami terlebih dahulu seluruh ketentuan hukum relevan
sesuai hirarki peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah Peraturan
Dasar (UUD 1945, UU sampai dengan peraturan teknis/aturan pelaksananya)
prinsip atau azas hukum bersifat umum sumber-sumber hukum relevan
lainnya.
b. melaksanakan dan memenuhi seluruh persyaratan yuridis, berupa persyaratan
administrasi (kelengkapan surat dan/atau dokumen) dan tahapan-tahapan
pembangunan infrastruktur sesuai atau sama dengan yang
diperintahkan/diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan relevan, dalam
rangka pemenuhan persyaratan yuridis standar/minimal (”PYS”) yang disebut
atau ditentukan UU dan Peraturan Teknis terkait.
c. Memaksimalkan dan menyempurnakan PYS menjadi pemenuhan
“Persyaratan Yuridis Maksimum”/”PYM”, dengan cara:
- Menambah dan menyempurnakan kelengkapan dokumen, fakta, data, dan
informasi (termasuk Data Yuridis dan Data Fisik tanah) PYS sehingga
mencapai PYM, dengan contoh sebagai berikut:
o kewajiban hukum standar atas jumlah saksi adalah 2 (dua) orang
saksi = PYS, kemudian untuk kepentingan mitigasi risiko hukum,
jumlah saksi tersebut ditambah menjadi 3 atau 5 (jika available)
sehingga tercapai PYM;
o dokumen kesepakatan (perjanjian) secara hukum dapat dituangkan
dibawah tangan (segel/meterai), bahkan secara lisan juga boleh
(kecuali disyaratkan khusus oleh UU). Tetapi dalam mitigasi resiko
hukum, maka kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk akta
notaris agar memiliki nilai pembuktian sempurna dan tidak mudah
dibantah di kemudian hari (Psl. 1868 dan 1870 KUHPerdata jo. Psl.
165 HIR).
d. Berbagi resiko dengan pihak ketiga yang memiliki keahlian khusus,
profesional dan independen untuk kegiatan atau bagian-bagian tertentu/khusus
40
sepanjang dibolehkan atau tidak dilarang secara hukum, seperti dengan para
(konsultan perizinan, konsultan AMDAL-Izin Linkungan, Konsultan Hukum,
Appraisal- Surveyor berlisensi, dan/atau konsultan teknis terkait lainnya);
e. Keseimbangan antara sisi legal formal dan sisi legal material Azas
Keterbukaan dan Keikutsertaan Psl 2 UU No.2/2012:
Praktek umum dalam pengadaan tanah biasanya didominasi oleh pemeriksaan
dan pemenuhan sisi formalitas dokumen formal. Dalam rangka mitigasi risko
hukum, perlu keseimbangan antara sisi formalitas dokumen dan kebenaran
materil (faktual/substansial), khususnya pada proses indentifikasi/verifikasi,
konsultasi publik, negosiasi. Caranya adalah:
Menemui, memberitahu dan/atau mengundang secara langsung dan patut
masing-masing pihak yang memiliki hak dan kepentingan hukum, tidak
cukup hanya satu kali, usahakan pihaknya langsung tanpa mengurangi
prinsip pemberian kuasa dan perwakilan menghindari error
impersona;
Memberikan keleluasaan, kebebasan, berpendapat dan ketersediaan waktu
yang cukup tanpa diarahkan, Agar terhindar dari isu rekayasa, tekanan,
pemaksaan;
Membuat kriteria pengelompokan yang jelas atas kelompok-kelompok
status tanah dan perlakuan yang sama atas status tanah yang sama sesuai
kriteria yang telah ditentukan tertsebut (menghindari kecurigaan,
diskriminasi, atau pilih kasih).
f. Pemahaman Tanah Berfungsi Sosial dan Kewenangan Konsinyasi dan
Pencabutan Hak Atas Tanah Psl 42 UU No.2/2012, Psl 6 dan Psl 18 UUPA
dan UU No.20/1961 : Lakukan sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat
bahwa tanah milik siapapun di Indonesia adalah berfungsi sosial dan jika
negara / pemerintah membutuhkan untuk kepentingan umum, masyarakat
harus melepaskan hak nya, atau negara/pemerintah berwenang menitipkan
uang ganti kerugian di PN atau mencabut dan melepaskan hak atas tanah
masyarakat tersebut Tidak semua masyarakat tahu dan paham dengan azas
41
tanah berfungsi sosial tersebut, masyarakat hanya tahu tanah adalah hak nya
yang harus dijaga dan dipertahankan terhadap siapapun;
g. Pemahaman bahwa Hak Atas Tanah adalah Hak Konstitusional, Hak Azasi
Manusia, hak terkuat dan terpenuh yang memiliki hubungan special dengan
pemegangnya dan turunannya Psl 28 H UUD 1945, Psl 20 UUPA, Psl. 36 dan
37 UU HAM: Sebaliknya, Penyelenggara pengadaan tanah juga harus paham
bahwa disamping tanah berfungsi sosial, maka hak atas tanah merupakan hak
konstitusional, hak terkuat dan tertinggi. Selain itu, hubungan tanah dengan
pemegangnya merupakan hubungan bersifat khusus, emosional (lahiriah dan
batiniah) dan melekat sampai pada turunan-turunannya (abadi);
h. Pemahaman dan penerapan azas hukum Psl 2 UU No.2/2012 dalam proses
pengadanan tanah: Memperhatikan dan melaksanakan 10 (sepuluh) azas-azas
pengadaan tanah Pasal 2 UU No.2/2012 agar tercipta keserasian antara
prinsip-prinsip pengakuan dan perlindungan hak kepemilikan atas tanah
dengan prinsip tanah berfungsi sosial tersebut di atas;
i. Memaksimalkan tahapan pendataan/identifikasi, konsultasi publik,
pelaksanaan (pengumpulan dan penguasaan dokumen tanah, musyawarah,
pelepasan hak dan ganti kerugian):
Mempersiapkan Check List;
Survey / legal research atas status hukum tanah, penguasaan dan/atau
pemilikan, pihak-pihak, kelengkapan Data Yuridis dan Data Fisik, data
NJOP dan Zona Nilai Tanah (ZNT);
Menemui, memanggil, memberitahu dan/atau mengundang langsung
dan secara patut seluruh pihak memiliki hak dan kepentingan hukum,
dilakukan lebih dari satu kali maksimal 3 kali;
Pemeriksaan lapangan, pengukuran ulang masing-masing bidang tanah,
dihadiri dan disetujui oleh si-pemegang hak yang sah, para pemegang
batas sekeliling bidang tanah bersangkutan, dihadapan atau disaksikan
langsung oleh perwakilan pemerintah setempat (RT/RW/Kepala
Desa/Lurah), tokoh adat / masyarakat setempat;
42
Identifikasi dan pengelompokan pihak berhak dan/atau memiliki
kepentingan hukum berdasarkan status tanah dan status
penguasaan/pemilikan tanah, seperti: Kelompok Penggarap;
Kelompok Pemegang Hak Milik Adat; Kelompok Pemegang Sertipikat;
kelompok Masyarakat Hukum Adat (“MSA”); Kelompok pihak-pihak
ketiga berkepentingan, dilengkapi dengan data letak, luas dan batas-
batas tanah, serta permasalahannya (jika ada);
Melengkapi atau menyempurnakan kelengkapan Data Yuridis dan Data
Fisik yang belum lengkap dan sempurna; Penguasaan seluruh dokumen
Data Yuridis dan Data Fisik terkait dengan riwayat tanah dan proses
pengadaan tanah;
Pengumpulan dan pengusaan Data Yuridis dan Data Fisik tanah;
Siap dengan usulan/alternatif bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian
vide Pasal 36 UU No.2/2016, dengan mempertimbangkan status hukum
atas tanah, status penguasaan dan/atau pemilikan, NJOP, Harga ZNT,
harga direkomendasikan oleh Penilai, dan usulan / permintaan
masyarakat;
Melakukan musyawarah/negosiasi secara proposional sesuai kelompok
pesertanya (kelompok penggarap di atas 20 tahun dan dibawah 20
tahun; kelompok pemegang hak bersertipikat – hak adat belum
bersertipikat; kelompok pemegang hak badan hukum; kelompok
pemegang hak masyarakat Hukum Adat);
Jika masih ada “Penolakan”, diantisipasi dengan penjelasan ahli
independen bahwa lokasi tidak dapat dipindahkan;
Pendokumentasian dan pengarsipan secara regular/manual dan
ditambah dengan foto dan rekaman video.
Mempersiapkan konsep kesepakatan, pelepasan dan/atau pemutusan
hubungan hukuim dalam BAP-BAP, sesuai format Lampiran UU
No.2/2012;
43
Signing secara terbuka dan acara khusus di tempat netral/Balai
Desa/suatu tempat umum, dibacakan, ditanyakan, diberi kesempatan
terakhir, dan pembubuhan tanda tangan;
Pembayaran harga/kompensasi dilakukan sesuai kesepakatan, terbuka,
dikonfirmasi balik, ada bukti pembayaran/setoran dan bukti penerimaan
yang sah;
Pendokumentasian dan pengarsipan dilengkap dengan foto dan rekaman
video.
j. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Penerbitan Penetapan Lokasi dan
Publikasinya:
Melaksanakan dan memenuhi seluruh persyaratan adminsitrasi dan
tahapan-tahapan dalam proses penerbitan Penetapan Lokasi vide Psl 16
– 26 UU No.2/2012;
Publikasi terbitnya Penetapan Lokasi:
o di tempat-tempat umum lokasi proyek seperti Kantor Desa, Kantor
Camat, Mesjid, Balai Pemuda, Kantor/Balai pertemuan Kelompok
Tani – Nelayan, sebaiknya juga di media massa lokal dan
nasional;
o Tujuannya adalah disamping untuk kelancaran proyek, juga
sekaligus untuk memenuhi kewajiban hukum kepada masyarakat
berupa azas keterbukaan vide Psl 2 UU No.2/2012.
Kesiapan menghadapi kemungkinan diajukan gugatan pembatalan
Penetapan Lokasi ke PTUN Setempat vide Psl 23 UU No.2/2012;
Bentuk kesiapan tersebut adalah:
Kesiapan Tim-nya (SDM) untuk berlitigasi di PTUN;
Kesiapan materi-nya bahwa seluruh proses dan tahapan hukum dalam
penerbitan Penetapan Lokasi sudah terlaksana secara sempurna;
Kesiapan alat bukti (surat-dokumen, saksi, ahli dan alat bukti sah
lainnya);
44
Kepastian bahwa Penetapan Lokasi telah diumumkan dengan benar
sesuai tata cara pemberitahuan menurut Perpres Pasal 26 UU
No.2/2012.
k. Sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat bahwa tidak ada Dampak
negatif atas LH:
Sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat atas dampak LH dari proyek
pembangunan infrastruktur diperlukan sebagai antisipasi dan penyeimbang
informasi yang bersumber dari pihak ketiga (LSM LH), yang dalam praktek
hampir selalu ada. Kemudian juga diperlukan untuk antisipasi munculnya
penolakan, protes dan sengketa Lingkungan Hidup, khususnya pada
pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan berbahan bakar batubara
(PLTU), waduk, migas, panas bumi, jalan tol (yang melewati kawasan hutan),
pelabuhan dan bandara.
l. Sosialisasi dan pemahaman bahwa proyek infrastruktur sungguh-sungguh
untuk kepentingan masyarakat:
Tak jarang masyarakat pesimis dan bahkan hampir selalu curiga bahwa
proyek pembangunan inftrastruktur tersebut hanya untuk kepentingan bisnis
investor (bagi infrastruktur dengan pola KPBU), sehingga masyarakat tidak
antusias, sulit menerapkan UU No.2/2012 dan bahkan cenderung menolak.
Sosialisasi dengan pendekatan khusus (pedesaan/adat/sosial/cultural) yang
sederhana dan mudah difahami masyarakat perlu dilakukan bahwa proyek
inrastruktur tersebut adalah betul-betul untuk kepentingan masyarakat;
m. Pendekatan khusus pada Masyarakat Hukum Adat:
Karakter dan kultur MSA tentu tidak sama dengan perseorangan/masyarakat
non MSA, sehingga terkait dengan Tanah Ulayat, perlu dilakukan pendekatan
adat dan budaya sesuai Hukum Adat dan Adat Istiadat setempat. Keberadaan
MSA telah diakui dan dilindungi oleh hukum dan konstitusi, sehingga harus
ada penghargaan dan penghormatan terhadapnya, agar sensitivisme adat tidak
muncul, dan MSA bisa memahami arti penting proyek infrastruktur bagi
mereka.
45
C. Kendala dan Solusi Dalam Konversi Tanah Ulayat untuk Pembebasan Lahan
Hukum adat (Adat Recht / Adat Law) adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di
satu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan di pihak lain dalam keadaan tiadk dikodifikasi
(adat). Menurut Prof. Mr. Cornelis Van Vollenhoven, Indonesia sendiri terbagi ke dalam 19
wilayah hukum adat. Hukum adat menurut Ter Harr mencakup pula seluruh peraturan-
peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang
mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta di dalam pelaksanaannya berlaku secara serta
merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut.
Sedangkan yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat berdasarkan Pasal 1 angka 3
Permen ATR No.9 Tahun 2015 adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan. Selain itu, menurut UU Lingkungan Hidup, masyarakat hukum
adat adalah sekelompok masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat
dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial dan hukum. Kemudian menurut UU Sumber Daya Air masyarakat hukum adat
didefinisikan sebagai Sekelompok orang yang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adat yang didasarkan atas kesamaan tempat
tinggal atau atas dasar keturunan.
Berdasarkan Pasal 3 UUPA dan Penjelasannya, hak milik atau “beschikkingsrecht dalam
pelaksanaannya harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan
Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan UU dan
peraturan yang lebih tinggi. Oleh karenanya, terdapat suatu hak komunal atas tanah yang
merupakan hak milik bersama atas tanah yang diberikan kepada masyarakat yang berada
dalam kawasan hutan atau perkebunan. Dalam konteks masyarakat hukum adat, terdapat pula
suatu hak yang disebut hak ulayat. Para ahli hukum adat memberikan pengertian hak ulayat
sebagai berikut:
46
• Hak penguasaan tertinggi atas wilayah hukum adat tertentu termasuk tanah yang meliputi
semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum adat tertentu,
dan merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya;
• Kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas
wilayah tertentu (termasuk tanah) yang merupakan lingkungan warganya,
memperbolehkan masyarakatnya mengambil manfaat dari sumber daya alamnya
termasuk tanah bagi kelansungan hidupnya, dan memiliki hubungan secara lahiriah dan
batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan
wilayah hukum adat bersangkutan.
Dengan adanya hak ulayat dalam hukum adat, maka terdapat pula tanah ulayat yang
merupakan bidang tanah baik tanah non hutan maupun berupa hutan di wilayah hukum adat
tertentu yang diatasnya terdapat hak ulayat masyarakan suku adat bersangkutan.
Masyarakat hukum adat itu sendiri telah diakui dan dilindungi dalam UUD 1945 Pasal 18 B.
Konstitusi NKRI mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain oleh Konstitusi NKRI,
pengakuan dan perlindungan juga diberikan dalam berbagai UU dan Aturan Pelaksananya,
diantaranya:
UUPA;
UU HAM;
UU Pemerintah Daerah;
UU Kehutanan
UU Perkebunan;
UU PPLH;
UU Sumber Daya Air;
UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil;
Selain itu, masyarakat hukum adat juga diakui dalam yurisprudensi tetap Mahkamah Agung
RI dan Doktrin Hukum Adat.
47
Kriteria MSA dengan Hak Ulayat-nya (termasuk atas Tanah Ulayat), diatur dalam berbagai
UU, pada pokoknya adalah:
Beberapa MSA di Indonesia yang sudah memenuhi kriteria yuridis formal, diantaranya:
MSA di wilayah kesatuan adat Alam Minangkabau dikenal dengan Nagari (Kerapatan
Adat Nagari/KAN, LKAAM) ulayat kaum, ulayat suku, ulayat nagari, ulayat Alam
Minangkabau;
MSA Papua, dikenal dengan Lembaga Masyarakat Adat (LMA)marga, suku,
kumpulan suku;
MSA Dayak, dikenal dengan Kedamangan / Damang, Dewan Adat Dayak (DAD)
Kedamangan, Damang, DAD Kabupaten, DAD Propinsi, DAD Nasional.
Dalam hal tanah ulayat dalam masyarakat suku adat, terdapat beberapa kendala saat
mengkonversi tanah ulayat. Kendala konversi tanah ulayat muncul karena:
1.2. Azas pemanfaatan Hak Ulayat vs sistem pelepasan hak kepemilikan dalam pengadaan
tanah. Praktek pengadaan tanah UU No.2/2012 cenderung berujung pada pelepasan hak
kepemilikan atas tanah, kecuali atas tanah Kawasan Hutan. Sedangkan prinsip umum pada
MSA yang berlaku adalah azas pemanfaatan tanah ulayat bukan pelepasan hak ulayatnya.
1.3. Adanya hak-hak Masyarakat Hukum Adat (Hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat)
yang diakui dan dilindungi oleh Negara, diantaranya:
49
1.4. Adanya kewajiban Negara yang belum terlaksana untuk seluruh wilayah Hukum Adat
Indonesia (UUD 1945, UUPA, UU Kehutanan,, UU HAM, UUPLH, UU Perkebunan, UU
Pemda), khususnya mengenai kewajiban negara untuk mengukuhkan secara formal eksistensi
suatu Masyarakat Hukum Adat (melalui Perda), sehingga:
Timbul persoalan hukum mengenai eksistensi MSA, meskipun pada kenyataannya MSA
tersebut nyata ada dan hidup;
Sebaliknya, masyarakat Hukum Adat merasa tidak memerlukan formalitas pengukuhan
eksistensi mereka, sehingga tetap merasa sebagai pemegang hak ulayat dan satu-satunya
yang berwenang atas tanah ulayat tesebut.
1.5 Strategi dan pendekatan (approach) yang salah atau tidak tepat karena MSA memiliki
karakteristik, ego dan sensitivisme yang tidak sama satu dengan lainnya, sehingga tak jarang
menimbulkan ketersinggungan adat yang sulit diluruskan kembali (terjadi kebuntuan
komunikasi);
1.7. Kesulitan dalam menentukan dan memastikan luas dan batas-batas tanah ulayat,
karena ketiadaan fakta pendukung (tertulis);
1.8. Munculnya dualisme / lebih kesatuan MSA dan/atau pemangku adat/Tua Adat,
sehingga sulit menentukan MSA dan/atau Pemangku Adat yang mana yang sah;
1.9. Tidak memahami dan/atau tidak melaksanakan prosedur dan tatacara pembebasan
Tanah Ulayat menurut Hukum Adat asli suatu MSA, sehingga tak jarang proses pembebasan
Tanah Ulayat dilakukan dengan tatacara pembebasan tanah pada umumnya.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka solusi atas kendala konversi tanah ulayat dalam
proses pembebasan lahan diantaranya adalah:
50
Eksistensi MSA tersebut, baik eksistensi kelembagaan menurut Hukum Adat,
maupun sisi yuridis formil pengukuhan eksistensi MSA tersebut;
Sistem / pranata kepengurusan, kekerabatan, atau struktur organisasi MSA tersebut
menurut Hukum Adat dari suatu MSA tersebut;
Prosedur dan tata cara pemilihan, pengangkatan, dan pengukuhan/pelantikan
Pemangku Adat atau Pucuk Pimpinan Adat dari MSA tersebut menurut Hukum
Adat dan Adat Istiadat setempat;
Batasan yurisdiksi Hak Ulayat dari MSA tersebut, apakah mengenal/membolehkan
pengalihan/pelepasan hak ulayat atau tidak;
Status Tanah Ulayat (batas, luas. Pemanfaatan yang ada, letak (hutan/bukan hutan)
MSA tersebut;
Prosedur dan tata cara penggunaan, pemanfaatan, pengalihan/pelepasan,
kompensasi, penyerahan kompensasi Tanah Ulayat menurut Hukum Adat – Adat
Istiadat dari MSA tersebut.
2. Bedasarkan hasil legal research tersebut, persiapkan rencana, strategi penanganan, dan
kiat / seni melakukan pendekatan kepada Pemangku Adat MSA tersebut yang dimulai
sejak tahap awal proses pembebasan Tanah Ulayat tersebut;
3. Libatkan pemangku adat yang sah dari MSA yang sah tersebut dalam seluruh dan setiap
tahapan rencana pembangunan infrastruktur termasuk proses pengadaan tanah;
4. Hati-hati dalam menerapkan sistem perwakilan, apalagi sistem pemberian kuasa, karena
Hak Ulayat bukan hak individu atau hak para pemangku adatnya, tetapi hak komunal
turun temurun bahkan turunan yang akan lahir dan besar nanti dianggap berhak atas Hak
Ulayat tersebut;
5. Proses musyawarah (Rapat Adat), pengambilan keputusan dan/atau penyelesaian suatu
tahapan pengadaan tanah atas Tanah Hak Ulayat harus dilaksanakan sesuai dengan
Hukum Adat atau tatacara adat istiadat setempat, seperti sistem keterwakilan atau
kehadiran langsung anggota MSA, sistem / cara Rapat Adat, dan lokasi Rapat Adat;
6. Memperhatikan dan berusaha menyesuaikan diri dengan tata krama adat setempat, tak
jarang ketersinggungan adat muncul hanya disebabkan oleh masalah sepele seperti cara
51
memberi salam dan bertegur sapa, bahasa dalam korespondensi, dll, yang bisa berakibat
fatal berupa mandeg-nya proses Rapat Adat bahkan bisa muncul penolakan;
7. Menyesuaikan diri dan melakukan pendekatan khusus untuk penyiapan dan penyediaan
kelengkapan administrasi (absensi, notulen rapat, dll), karena tidak semua MSA
mengenal sistem administrasi bahkan ada yang tabu dengan tulis menulis;
8. Tetap berupaya melakukan upaya pendokumentasian dan sistem administrasi modern
termasuk foto dan rekaman video untuk kepentingan pembuktian, tanpa menimbulkan
ketersinggungan adat.
Terdapat dua jalur yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa pertanahan, yaitu
melalui penyelesaian di luar pengadilan dan di dalam pengadilan. Jalur penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dapat dilakukan melalui:
53
• Rapat Adat/Sidang Adat dalam Sengketa Hak Ulayat atau Penyelesaian Sengketa
Perseorangan Melalui Tua-Tua Adat.
Penyelesaian sengketa pertanahan melalui Rapat Adat atau Sidang Adat dapat dilakukan
sesuai dengan tata cara – adat istiadat masing-masing Hukum Adat dari MSA
bersangkutan.
Jangka waktu:
Gugatan diajukan 30 hari sejak dikeluarkanya Penetapan Lokasi vide Psl 23 (1) UU
No.2/2012;
PTUN memutus gugatan 30 hari sejak diterimanya gugatan (Psl 23 (2) UU
No.2/2012;
Tidak ada upaya hukum banding ke PT TUN;
Kasasi diajukan 7 hari setelah menerima putusan PTUN;
Pemeriksaan Kasasi 30 hari sejak permohonan kasasi diterima MA.
55
• Keperdataan-PN
Penyelesaian sengketa pertanahan secara perdata diajukan ke Pengadilan Negeri
setempat.
Bentuk Perkara:
56
Permohonan Keberatan atas Bentuk dan/atau Besarnya Ganti Kerugian vide Pasal
37 dan Pasal 39 UU No.2/2012;
Permohonan Penitipan Uang Ganti Kerugian (Konsinyasi);
Gugatan perdata umum PMH dan Wan Prestasi berdasarkan KUHPerdata.
57
58
• Pidana-LP
Dugaan tindak pidana dalam proses pengadaan tanah yang sering muncul bersumber dari
tindakan penyerobotan, masuk tanpa izin (trespassing), pengrusakan, penggelapan tanah,
pemalsuan dokumen, rekayasa surat kuasa/perwakilan.
59
3. Adanya proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemutusan (kewenangan
penyidikan oleh Negara);
4. Pembuktian tidak hanya bersifat formil tetapi juga materil;
5. Putusan bersifat penghukuman pidana bukan ganti rugi atau tindakan-tindakan
keperdataan;
6. Penyelesaian secara perdata tidak menghapus unsur pidana;
7. Posisi Tersangka atau terdakwa yang aktif membela diri, sedangkan posisi pelapor
terbantu oleh penyidik;
8. Terlapor, tersangka, atau terdakwa adalah subyek hukum pribadi (orang) dan bukan
subyek hukum berbentuk badan hukum kecuali untuk tindak pidana rekayasa yang diatur
UU;
9. Berlaku azas-azas hukum pidana; legalitas, praduga tak bersalah, dll;
10. Putusan pidana merupakan alat bukti kuat dalam perkara perdata.
60
SESI TANYA JAWAB II (INTERAKTIF)
Q1 : Ketika membangun jalan tol, lahan yang sudah disiapkan untuk dibebaskan
ada bagian lahan kererta api, dan niatnya kita akan menyewa terhadap lahan
tersebut. Apakah ini termasuk tumpang tindih atau tidak? Sedangkan untuk
aset jalan tol itu aset pemerintah atas nama kementerian PU.
A1 : Ya itu salah satu tumpang tindih tapi itu bisa diselesaikan oleh UU No.
2/2012. Karena PT KAI itu BUMN. Karena UU No. 2/2012 itu dasarnya
kesepakatan. BUMN itu kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan negara,
dengan demikian memiliki kekayaan tersendiri.
Berdasarkan UU No. 2/2012 ada pelepasan tanah dari instansi dengan ada
kompensas. Untuk BUMN itu pelepasan aset nya juga ada aturannya.
Kesepakatan solusi sewa itu tidak ada potensi untuk sengketa. Yang
berpotensi sengketa itu kalau tidak sepakat.
61
yang melakukan kadasateral? Apakah tidak ada masa expired-nya?
A3 : Jika sudah ada pengkuruan resmi, berarti sudah ada surat ukur. HGU punya
jangka waktu.Pada 10 tahun lalu sudah ada proses kadasteral. Di kantor
pertanahan setempat, sudah ada proses pendaftaran tapi belum selesai. Bukti
kepemilikan secara hukum belum selesai.
Menurut saya ada masa expirednya. Kalau sudah mendaftar, berarti itu
sudah bebas. Tidak bisa mendaftarkan tanah orang lain. Pendaftaran tanah
harus ada orang yang berhak.
Kita mengenal istilah yuridis dan fisik. Penguasaan tanah ada yuridis dan
fisik. Jika salah satu tidak ada akan menjadi timpang dan bersengketa.
Q4 : Misal pemilik lahan adalah PT lalu pemilik proyek adalah PT tersebut. Dari
proses mekanisme penggantian rugi tanah sampai penyerahan tanah ke
pemilik proyek, mekanismenya seperti apa? Penentuan harganya seperti
apa, apakah berdasarkan appraisal ?
Itu bisa masuk ranah korupsi, namanya mark up. Pengadaan tanah itu ada
panitianya, mungkin PT itu ada di dalamnya. Tapi bukan PT itu yang
62
berkuasa.
Q5 : Sudah sampai pembuatan peta bidang tanah, dari 4 yang kami undang
untuk membuat peta, 1 tidak datang. Ketika seperti itu apakah tetapi
diteruskan? Apabila tidak datang dan diteruskan sah tidak?
A5 : Untuk mitigasi yang bagus, cukup para pihak saja seperti kepala desa atau
ketua pemuda. Ketika tidak datang pada saat itu sedangkan kita sudah
menyiapkan segala sesuatunya, itu tetap dilangsungkan tapi di berita acara
tetap dituliskan siapa yang ga datang. Dipatok dulu saja.
Sampaikan surat lagi beserta gambar yang sudah disepakati oleh pihak yang
datang. Jika ia balas dan tidak setuju dan minta ukur ulang, harus diukur
ulang. Karena harus disepakati.
Q6 : Ada tanah masyarakat yang masuk ke jalan tol. Ketika berbatasan dengan
jalan, kadang BPN langsung mencatat itu jalan. Padahal itu harus
dikonfirmasi lagi ke kementerian terkait. Tapi itu sering di by pass oleh
BPN. Bagaimana prosedur yang seharusnya dilakukan?
63
A7 : Tidak ada sanksi dalam UU 2/2012 sehingga jika terjadi pelanggaran, maka
akan sulit proses penyelesaiannya. Semua hukum acara mengatur jadwal
atau waktu penyelesaian. Seharusnya pengadilan lebih memprioritaskan
sengketa tanah ini, karena menyangkut kepentingan umum dan menyangkut
APBN/D. Tetapi jika tidak dipatuhi tidak bisa pula dibilang cacat, karena
UU tidak mengatur. Tidak ada implikasinya terhadap objek perkara tersebut
ketika prosedurnya molor.
64