Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ETIKA PROFESI
MORAL

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
1. OKTARIANI
2. RIA SRI WAHYU
3. VENDRA ARDIANSYAH

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
TAHUN 2021

0
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullah Wabarakatu


Segala puji milik Allah SWT, tuhan semesta alam yang terus memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga pada saat ini kita dalam keadaan sehat, beriman, dan bertakwa kepada-
Nya. Salawat dan salam mari kita kirimkan kepada nabi besar kita, syaidina Muhammad
SAW. Manusia mulia; sumber tauladan rasa, tauladan kata, dan tauladan perilaku—
meneladaninya insyaAllah memasukkan ke dalam bahagia. Aamiin.
Pendidik merupakan profesi mulia, untuk menjalani profesi mulia dengan
professional, perlu pemahaman yang baik, baik secara teoretis maupun praktis. Untuk itu,
kami mencoba membuat dan menyelesaikan makalah dengan judul ― MORAL-‖
dengan makalah ini diharapkan penulis dan mahasiswa akan lebih dapat memahami
bagaimana etika moral dan latar belakang pendidikan guru di Indonesia.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi penulis dan mahasiswa
pada umumnya, dan sedikit banyak membantu dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapi pada proses belajar. Taklupa penulis ucapkan terimakasih pada pengampuh mata
kuliah Etika profesi, Dr. Hj. Missriani, M.Pd, dan Dr. Siti Rukiyah, M.Pd., Atas bimbingan
dan ilmunya. Penulis juga ucapkan mohon maaf, karena sangat disadari bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan dalam pembuatan, untuk itu penulis mengharapkan masukan baik
saran maupun keritik yang kiranya dapat membangun dan memberikan manfaat khususnya
bagi kita semua

Palembang, 25 September 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. 1


DAFTAR ISI .............................................................................. 2
BAB 1
PENDAHULUAN ..............................................................................
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 3
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 3
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................. 4
1.4 Manfaat .............................................................................. 4

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian moral .............................................................................. 5
2.2 jenis moral .............................................................................. 6
2.3 teori pendidikan moral .............................................................................. 6
2.4 tujuan pendidikan moral .............................................................................. 7
2.5 pelaksanaan pendidikan moral .............................................................................. 9
dalam pendidikan di Indonesia

BAB III
Kesimpilan .............................................................................. 11
Saran .............................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 12


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suatu bangsa dianggap maju apabila ia menjadikan pendidikan sebagai tolak ukur
kesuksesannya. Oleh sebab itu, pemerintah selaku penanggung jawab atas pelaksanaan
pendidikan formal melakukan berbagai upaya dalam menghasilkan pendidikan yang bermutu.
Pergantian kurikulum, aturan dan regulasi menjadi bukti nyata keseriusan pemerintah dalam
memperbaiki mutu pendidikan saat ini. Hal tersebut tidaklah berjalan efektif jika seorang guru
yang notabene merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan.
Selaku ujung tombak dalam pelaksanaan proses pendidikan, pemerintah terus melakukan
berbagai upaya untuk meningkatkan mutu seorang guru dengan melakukan berbagai kegiatan
seperti pendidikan dan pelatihan, memberikan kesempatan kepada guru untuk melanjutkan
pendidikan, forum seminar, workshop, symposium dan lain sebagainya. Tujuan itu semua tidak
lain untuk meningkatkan mutu guru yang ujungnya ialah meningkatnya mutu pendidikan.
Dengan meningkatnya mutu pendidikan, sumber daya manusia yang dihasilkan akan memiliki
kualitas yang baik.
Namun serangkaian kegiatan tersebut belumlah cukup untuk menjamin mutu guru dalam
melaksanakan fungsi dan tugasnya. Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, sebagai seorang
guru haruslah menjunjung tinggi moral. Dengan menjunjung tinggi nilai tersebut diharapkan
seorang guru mampu menghasilkan pembelajaran yang bermutu. Selain dituntut mampu
menguasi materi serta memiliki teknik kemampuan mengajar, seorang guru dalam melaksanakan
tugasnya juga memiliki integritas dan kepribadian yang dapat diandalkan, serta mampu menjadi
role model bagi siswa, keluarga dan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah pada makalah ini, yaitu:
1) Apa pengertian moral?
2) Apa sajakah jenis moral?
3) Apa sajakah teori pendidikan moral?
4) Apa tujuan pendidikan moral?
5) Bagaimana pelaksanaan pendidikan moral yang efekif dalam dunia pendidikan?
1.3 Tujuan Penulisan
1) Memahani pengertian moral.
2) Memahami jenis moral.
3) Memahami teori pendidikan moral.
4) Memahami tujuan pendidikan moral.
5) Mengetahui pelaksanaan pendidikan moral yang efekif dalam dunia pendidikan .
1.4 Manfaat
1) Dapat memahami pengertian etika.
2) Dapat memahami jenis moral.
3) Dapat memahami teori pendidikan moral.
4) Dapat mengetahui tujuan pendidikan moral.
5) Dapat mengetahui pelaksanaan pendidikan moral yang efektif dalam dunia
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Moral
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin,
bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat ( Fauzi.
2018:15) . Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989: 592), moral diartikan
sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis, terdapat berbagai
rumusan pengertian moral, yang dari segi substantif materiilnya tidak ada
perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda. Widjaja (1985: 154) menyatakan
bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan dan kelakuan
(akhlak). Al-Ghazali (1994: 31) mengemukakan pengertian akhlak, sebagai
padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa
manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya secara
mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya. Sementara
itu Wila Huky, sebagaimana dikutip oleh Bambang Daroeso (1986: 22)
merumuskan pengertian moral secara lebih komprehensip rumusan formalnya
sebagai berikut :
1. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar
tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
2. Moral adalah ajaran tentang laku hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau
agama tertentu.
3. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan pada kesadaran, bahwa
ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik , sesuai dengan nilai dan norma
yang berlaku dalam lingkungannya.
Agar diperoleh pemahaman yang lebih jelas perlu diberikan ulasan bahwa
substansi materiil dari ketiga batasan tersebut tidak berbeda, yaitu tentang tingkah
laku. Akan tetapi bentuk formal ketiga batasan tersebut berbeda. Batasan pertama
dan kedua hampir sama, yaitu seperangkat ide tentang tingkah laku dan ajaran
tentang tingkah laku. Sedangkan batasan ketiga adalah tingkah laku itu sendiri Pada
batasan pertama dan kedua, moral belum berwujud tingkah laku, tapi masih
merupakan acuan dari tingkah laku. Pada batasan pertama, moral dapat dipahami
sebagai nilai-nilai moral. Pada batasan kedua, moral dapat dipahami sebagai nilai-
nilai moral atau norma-norma moral. Sedangkan pada batasan ketiga, moral dapat
dipahami sebagai tingkah laku, perbuatan, atau sikap moral. Namun demikian
semua batasan tersebut tidak salah, sebab dalam pembicaraan sehari-hari, moral
sering dimaksudkan masih sebagai seperangkat ide, nilai, ajaran, prinsip, atau
norma. Akan tetapi lebih kongkrit dari itu , moral juga sering dimaksudkan sudah
berupa tingkah laku, perbuatan, sikap atau karakter yang didasarkan pada ajaran,
nilai, prinsip, atau norma.

2.2 Jenis Moral


Menurut Immanuel Kant dalam santaria dan Syam (2020) , filsafat Yunani
moralitas masih dibedakan menjadi dua, yaitu moralitas heteronom dan moralitas
otonom. Dalam moralitas heteronom, suatu kewajiban ditaati, tapi bukan karena
kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak
orang itu sendiri, misalnya karena adanya imbalan tertentu atau karena takut pada
ancaman orang lain. Sedangkan dalam moralitas otonom, kesadaran manusia akan
kewajibannya yang harus ditaati sebagai sesuatu yang ia kehendaki, karena diyakini
sebagai hal yang baik. Dalam hal ini, seseorang yang mematuhi hukum lahiriah
adalah bukan karena takut pada sanksi, akan tetapi sebagai kewajiban sendiri, karena
mengandung nilai kebaikan. Prinsip moral semacam ini disebutnya sebagai otonomi
moral, yang merupakan prinsip tertinggi moralitas. Jika dihubungkan dengan teori
perkembangan penalaran moral-nya Kohlberg, kesesuaian sikap dan tindakan
semacam ini sudah memasuki tahapan perkembangan yang ke-6 atau tahapan
tertinggi, yakni orientasi prinsip etika universal.
2.3 Teori Pendidikan Moral
Menurut Sagala (2007:201) menyatakan bahwa pada dasarnya tujuan
pendidikan adalah mengembangkan kemampuan intelektual dan moral. Prinsip-
prinsip psikologi dan etika dapat membantu sekolah untuk meningkatkan seluruh
tugas pendidikan dalam membangun kepribadian siswa yang kuat. Menurut Shaver
dalam Suparno (2002:142) mengemukakan bahwa sekolah sebagai lembaga
pendidikan bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan
kecakapan siswa dalam menetapkan suatu keputusan untuk bertindak atau untuk
tidak bertindak. Menurut Goods dalam Wibowo (2001:100) menyatakan bahwa
pendidikan moral dapat dilakukan secara formal maupun insidental, baik di sekolah
maupun di lingkungan rumah.
Akan tetapi menurut Durkheim dalam Wibowo (2001:124) menekankan agar
pendidikan moral dipindahkan dari lingkungan rumah ke sekolah karena sekolah
mempunyai tugas khusus dalam hal moral. Lebih tegas lagi menurut Raths dalam
Wibowo (2001:167) menyatakan bahwa sekolah harus lebih sensitif pada masalah
kemampuan berpikir moral dan keterampilan berperilaku moral. Sekolah bukan saja
harus memerhatikan secara khusus aspek intelektual dan perilaku moral, tetapi lebih
dari dua yaitu seluruh fungsi dan isi pendidikan di sekolah harus didasarkan pada
suatu rencana kerja serta kurikulum yang mengarah kepada usaha nyata demi
tercapainya peningkatan moral. (Wibowo, 2001:86)
Menurut Suni (2008:61) menyatakan Pasal 1 ayat (1) UndangUndang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
negara. Selanjutnya pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Menurut Ardhana (2007:143) menyatakan bahwa negara Indonesia
merupakan suatu negara yang menaruh perhatian besar pada masalah pendidikan
moral. Kurikulum sekolah mulai dari tingkat yang paling rendah hingga paling
tinggi, mengalokasikan waktu yang cukup banyak bagi bidang studi yang potensial
untuk pembinaan moral, antara lain Pendidikan Agama, Pendidikan
Kewarganegaraan, dan Ilmu Pengetahuan sosial.
Menurut Rosjidan (2007:128) bahwa yang penelitiannya menggunakan
responden siswa, orang tua siswa, dan guru, mengungkapkan bahwa faktor
penyebab adanya perilaku negatif yang dilakukan para remaja ialah karena kurang
efektifnya pendidikan moral disekolah. Oleh karena itu, responden menyarankan
agar pendidikan moral di sekolah lebih ditingkatkan dan diintensifkan.
Dengan demikian berbicara mengenai pendidikan, apapun dan
bagaimanapun tidak dapat menghindari tugas pengembangan moral dan etika.
Kemampuan tersebut terkait dengan nilai-nilai, terutama nilai yang bersifat humanis.
Oleh karena itu, sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai beban dan
tanggung jawab untuk melaksanakan pendidikan moral dan membantu siswa
mengembangkan cara berpikirnya dalam menetapkan keputusan moralitasnya.
2.4 Tujuan Pendidikan Moral
Adapun tujuan pendidikan moral menurut Nurul Zuriah (2008:36) adalah: a.
Anak mampu memahami nilai-nilai budi pekerti di lingkungan keluarga, lokal,
nasional, dan internasional melalui adat istiadat, hukum, undang-undang, dan
tatanan antar bangsa. b. Anak mampu mengembangkan watak atau tabiatnya secara
konsisten dalam mengambil keputusan budi pekerti di tengahtengah rumitnya
kehidupan bermasyarakat saat ini. c. Anak mampu menghadapi masalah nyata dalam
masyarakat secara rasional bagi pengambilan keputusan yang terbaik setelah
melakukan pertimbangan sesuai dengan norma budi pekerti. d. Anak mampu
menggunakan pengalaman budi pekerti yang baik bagi pembentukan kesadaran dan
pola perilaku yang berguna dan bertanggung jawab.
Menurut Bergling dalam Wibowo (2001:146) bahwa mengembangkan dua
macam metode pendidikan moral yang diprediksi memiliki kemampuan yang sama
dalam meningkatkan pertimbangan moral siswa. Kesamaan kekuatannya dapat
ditemukan pada tujuannya, yakni meningkatkan moralitas siswa. Tinggi atau
rendahnya moralitas siswa dapat dilihat dari tingkat pertimbangan moralnya.
Menurut Kohlberg dalam Nina Syam (2011:211) bahwa menyatakan
menekankan tujuan pendidikan moral adalah merangsang perkembangan tingkat
pertimbangan moral siswa. Kematangan pertimbangan moral jangan diukur dengan
standar regional, tetapi hendaknya diukur dengan pertimbangan moral yang benar-
benar menjungjung nilai kemanusiaan yang bersifat unviersal, berlandaskan prinsip
keadilan, persamaan, dan saling terima.
Menurut Kohlberg dalam Nina Syam (2011:212) menyatakan bahwa untuk
tercapainya tujuan pendidikan moral tersebut, konsep pengembangan pembelajaran
yang lebih sesuai adalah melalui imposisi, tidak menyatakan secara langsung sistem
nilai yang konkret. Oleh karena itu, dianjurkan agar para pendidik di sekolah harus
meningkatkan pemahamannya mengenai hakikat pengembangan moral serta
memahami metode-metode komunikasi moral. Menurut Frankena dalam Nina Syam
(2011:224) menyatakan bahwa tugas program pendidikan moral menyampaikan dan
mempertahankan moral sosial, meningkatkan kemampuan berpikir moral secara
maksimal.
Lebih khusus lagi menurut Maritain dalam Nurul (2008:123) menegaskan
bahwa tujuan pendidikan moral adalah terbentuknya kejujuran dan kebebasan
mental spiritual. Lebih lanjut menurut Frankena, Nina Syam (2011:395)
mengemukakan lima tujuan pendidikan moral sebagai berikut: a. Mengusahakan
suatu pemahaman “pandamgan moral” ataupun cara-cara moral dalam
mempertimbangkan tindakan-tindakan dan penetapan keputusan apa yang
seharusnya dikerjakan, seperti membedakan hal estetika, legalitas, atau pandangan
tentang kebijaksanaan. b. Membantu mengembangkan kepercayaan atau
pengadopsian satu atau beberapa prinsip umum yang fundamental, ide atau nilai
sebagai suatu pijakan atau landasan untuk pertimbangan moral dalam menetapkan
suatu keputusan. c. Membantu mengembangkan kepercayaan pada dan atau
pengadopsi norma-norma konkret, nilai-nilai, kebaikan-kebaikan seperti pada
pendidikan moral tradisional yang selama ini dipraktikkan. d. Mengembangkan
suatu kecenderungan untuk melakukan sesuatu yang secara moral baik dan benar.
Meningkatkan pencapaian refleksi otonom, pengendalian diri atau kebebasan
mental spiritual, meskipun itu disadari dapat membuat seseorang menjadi pengkritik
terhadap ide-ide dan prinsipprinsip, dan aturan-aturan umum yang sedang berlaku.
Menurut Kohlberg dalam Aryani (2010:128) bahwa menggabungkan tujuan
pendidikan moral dengan tujuan pendidikan Civics (Pendidikan Kewarganegaraan).
Dinyatakan bahwa selain harus mempertimbangkan tercapainya tujuan moral secara
filosofis, juga mengembangkan tingkat pertimbangan moral yang secara ideal
menentukan apa yang seharusnya dilakukan.
Tujuan moral secara filosofis menyerukan kebebasan dan kebiasaan berpikir
sehingga mampu melahirkan pertimbangan moral yang bernilai universal untuk
seluruh umat manusia. Prinsip moral secara filosofis tidak membedakan seluruh
peraturan, sedangkan nilai moral secara konkret didasarkan pada aturan khusus yang
berlaku untuk suatu masyarakat tertentu. (Kohlberg dalam Aryani, 2010:129)
Menurut Beddoe dalam Nurul (2008:119) menyarankan agar pendidikan moral
hendaknya dilaksanakan dengan mengembangkan suatu kehidupan yang
memungkinkan seseorang memiliki sikap respect yang mendalam kepada orang lain.
Pembelajaran yang dianjurkan ialah dengan cara memecahkan masalah melalui
konflik moral agar mampu meningkatkan pertimbangan moral.
Berangkat dari tujuan tersebut diatas maka dalam pelaksanaannya terdapat
tiga faktor penting dalam pendidikan moral di Indonesia yang perlu diperhatikan
yaitu:
a. Peserta didik yang sejatinya memiliki tingkat kesadaran dan dan perbedaan perkembangan
kesadaran moral yang tidak merata maka perlu dilakukan identifikasi yang berujung pada
sebuah pengertian mengenai kondisi perkembangan moral dari peserta didik itu sendiri.
b. Nilai-nilai (moral) Pancasila, berdasarkan tahapan kesadaran dan perkembangan moral
manusia maka perlu diketahui pula tingkat tahapan kemampuan peserta didik. Hal ini
penting mengingat dengan tahapan dan tingkatan yang berbeda itu pula maka semua nilai-
nilai moral yang terkandung dalam pendidikan moral tersebut memiliki batasan-batasan
tertentu untuk dapat terpatri pada kesadaran moral peserta didik.
c. Guru Sebagai fasilitator, apabila kita kembali mengingat teori perkembangan moral
manusia dari Kohlberg dengan 4 dalilnya maka guru seyogyanya adalah fasilitator yang
memberikan kemungkinan bagi siswa untuk memahami dan menghayati nilainilai
pendidikan moral itu.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya tujuan
pendidikan moral di sekolah membantu siswa mempertinggi tingkat pertimbangan,
pemikiran, dan penalaran moralnya sesuai dengan tahapan dan tingkatannya.
2.5 Pelaksanaan Pendidikan Moral Yang Efekif dalam Dunia Pendidikan
Ketericapaian pendidikan moral dapat terwujud melalui pembelajaran
efektif, oleh sebab itu perlu beberapa aspek yang menjadi fokus perhatian. Pada
seseorang pendidik seharusnya cara penyampaiannya pun harus bermoral pula.
Dimana seorang pendidik mulai dari SD sampai PT harus memiliki moralitas yang
terdapat dijadikan teladan oleh peserta didiknya. Seorang pendidik harus memiliki
akhlak mulia, jujur, bertaqwa, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, santun,
disiplin, tidak plin-plan, berlaku adil di dalam kelas, keluarga dan masyarakat.
Pendidikan moral dapat dilakukan dengan pendekatan yang bersifat
integrated, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu pengetahuan. Serta harus
didukung oleh kemauan, kerjasama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh
dari keluarga, rumah tangga, sekolah dan lingkungan masyarakat. Yang turut
bertanggung jawab terutama mengenai aspek efektifnya melalui mata pelajaran yang
diajarkan dan contoh teladan dalam tingkah laku serta perbuatan-perbuatan.
Namun sesungguhnya pengendali moral yang paling penting adalah nilai
agama yang telah ditanamkan dalam diri individu sejak kecil. Karena sebenarnya
kerusakan-kerusakan yang terjadi saat ini bukan karena kegagalan agama dalam
membangun masyarakat yang bermoral, melainkan kegagalan umat memahami
pesan moral agama dan keggalan mengamalkan ajarannya dalam kehidupan sehari-
hari. Untuk itu, demi menyelematkan generasi yang akan datang, perlunya
penanaman nilai agama yang lebih efektif.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Moral adalah sebagai seperangkat ide, nilai, ajaran, prinsip, atau norma. Akan tetapi lebih
kongkrit dari itu , moral juga sering dimaksudkan sudah berupa tingkah laku, perbuatan, sikap
atau karakter yang didasarkan pada ajaran, nilai, prinsip, atau norma.
Jenis-jenis moral:
1. Moralitas heteronom
2. Moralitas otonom

3.2 Saran

Kami selaku penulis atau penyusun makalah ini menyarankan kepada pembaca agar
memahami apa yang dimaksud dengan moral, karena moral merupakan hal penting bagi setiap
orang terutama pendidik Kami juga menyarankan kepada pembaca agar memahami hubungan
etika dan moral.
Daftar Pustaka

Sagala, S. 2007. Manajemen strategik dalam peningkatan mutu pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Fauzi, Imron. 2018. Etika profesi Keguruan. Jember: IAIN Jember Prees.
Syam . Asri Ashari, Santaria Rustan. 2020. Moralitas dan Profesionalisme Guru sebagai Upaya
Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jurnal Studi Guru dan Pembelajaran.3(2), 296-302.

Anda mungkin juga menyukai