Anda di halaman 1dari 36

STRATEGI PEMBELAJARAN

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Belajar dan Pembelajaran
yang dibina oleh Dr. Munzil, M.Si

Disusun Oleh:
Kelompok 1
Offering C

Anggia Kusuma (150341604721)


Ariadna Safitri (150341607210)
Atiqah Miftakhul J (15034160)
Dewi Karomika (150341601038)
Septian Dwi P (150341600502)

The Learning University

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI
Maret 2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu masalah yang hingga kini masih dihadapi dalam pelaksanaan sistem
pendidikan di Indonesia adalah rendahnya kualitas pendidikan. Perkembangan arah
pengajaran yang bernuansa kompetitif dan banyak pengajar yang dalam melaksanakan
belajar mengajarnya tidak bisa mencapai tujuan atau kompetensi yang ditentukan.
Penyebabnya adalah pembelajaran tidak sesuai dengan karakteristik siswa, sehingga bisa
saja menyebabkan tidak ada sinergitas antara pengajar dan siswa. Karakteristik siswa
merupakan salah satu faktor penyebab efektif dan tidaknya pembelajaran.
Dalam pembelajaran kita mengenal istilah pendekatan pembelajaran, strategi
pemebelajaran dan metode pembelajaran. Ketiga istilah itulah yang menjadi fokus
pembahasan dalam makalah ini. Karena itu merupakan komponen yang sangat mendukung
untuk memahami karakteristik siswa demi tercapainya tujuan pembelajaran. Proses
pembelajaran akan berjalan efektif jika pendidik paham dan mengetahui pendekatan
pembelajaran yang berlanjut terhadap pemahaman strategi pembelajaran dan memahami
metode pembelajaran. Ketiga komponen ini merupakan satu kesatuan yang akan
mendukung terhadap pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan kompetensi dan karakteristik
siswa.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian pendekatan, strategi, dan
metode pembelajaran yang di dalamnya dipaparkan mengenai perbedaan Teacher Centered
dan Student Centered serta macam-macam strategi pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendekatan, Strategi, dan Metode Pembelajaran
Pendekatan (approach), menurut T. Raka Joni (1991), menunjukan cara
umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian, sehingga berdampak, ibarat
seorang yang memakai kacamata dengan warna tertentu di dalam memandang alam
sekitar. Kacamata berwarna hijau akan menyebabkan lingkungan kelihatan kehijau-
hijauan dan seterusnya.
Contoh pendekatan ekonomis dalam memandang permasalahan pendidikan
akan menyebabkan hampir semua pengkajiannya dibawa ke dalam terminologi
investasi dan hasil usaha, pendekatan CBSA dalam memandang pembelajaran selalu
peserta didik yang menjadi orientasi setiap kegiatan.
lstilah pendekatan ini juga digunakan oleh Fred Percival dan Henry
Ellington (1984), untuk menyebut pendekatan yang berorientasi pada lembaga atau
guru dan pendekatan yang berorientasi pada peserta didik. Ketepatan dalam pemilihan
suatu pendekatan akan menjadi pedoman atau orientasi dalam pemilihan komponen
kegiatan pembelajaran lainnya terutama strategi dan metode pembelajaran.
Strategi (strategy), menurut T Raka Joni (1991) adalah ilmu dan kiat dalam
memanfaatkan segala sumber yang dintiliki dan/atau yang dapat dikerahkan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemudian A.J. Romiszowski (1981)
berpendapat bahwa strategi adalah suatu pandangan umum tentang rangkaian tindakan
yang diadaptasi clari perintah-perintah terpilih untuk metode pembelajaran. Lebih
lanjut ditunjukkan bahwa strategi pembelajaran itu banyak ragamnya, ibarat berada
dalam satu rentangan (continum) antara dua ujung yang saling berlawanan, yaitu
ekspositori dan diskoveri atau inkuiri. Selanjutnya Dick & Carey (1990), menyatakan
bahwa strategi menunjukan komponen umum suatu set bahan ajar instruksional dan
prosedur yang akan digunakan bersama bahan ajar tersebut untuk memperoleh hasil
belajar tertentu. Komponen yang dimaksud, meliputi kegiatan pra-instruksional,
penyajian informasi, partisipasi peserta didik, tes, dan tindak lanjut. Dengan demikian
strategi menunjukkan langkah-langkah kegiatan (syntax) atau prosedur yang digunakan
dalam menyajikan bahan ajar untuk mencapai tujuan, kompetensi, hasil belajar. Suatu
strategi dipilih untuk melaksanakan metode-metode pembelajaran terpilih.
Barangkali dalam setiap langkah strategi yang mencerminkan suatu metode
pembelajaran, mendorong lvor K. Davies (1981), untuk memaknai bahwa strategi
merupakan metode dalam arti luas yang menggambarkan cara mengajarkan dan
mengolah tugas-tugas mengajar, contoh: strategi perkuliahan/ceramah, tutorial, dan
studi kasus. Pandangan Davies tersebut sejalan dengan Jerome Brunner dalam
menggunakan terminologi metode pembelajaran induktif (berpikir induktif, berpikir
evaluatif), metode belajar bagaimana belajar (learning how to learn) atau berpikir
divergen ala Guildford.
Metode pembelajaran pengetahuan Brunner ini, di samping inkuiri, diskoveri,
pengatasan masalah (problem solving), dan sainstifik merupakan metode-metode yang
banyak memberikan peluang dan tanggung-jawab pada peserta didik untuk mandiri,
berpikir kritis dan kreatif dalam rangka menilai kebenaran dan kebermaknaan tentang
sesuatu objek (Conny Semiawan, 1997).
Pandangan tentang strategi sebagai metode dalam arti luas tersebut juga
diikuti oleh Muhibbin Syah (1995) bahwa dibandingkan dengan strategi, metode
secara umum kurang berorientasi pada tujuan (less goal-oriented) karena metode
dianggap lebih luas daripada strategi. Gagasan ini bukan berarti mengurangi
signifikansi metode, lantaran strategi itu ada dan berlaku dalam kerangka metode
pembelajaran.
Ketepatan dalam memilih strategi sangat memungkinkan keterlaksanaan
metode-metode terpilih dapat mewujudkan terciptanya kondisi pembelajaran yang
kondusif, menyenangkan, sehingga peserta didik rnerasa dipermudah dalam
mewujudkan hasil belajar yang diharapkan. Dengan demikian, strategi merupakan
komponen pembelajaran yang memungkinkan terlaksananya metode-metode terpilih
untuk menyajikan bahan ajar selama kegiatan pembelajaran.
Metode (method), menurut Fred Percival dan Henry Ellington (1984) adalah
cara yang umum untuk menyampaikan pelajaran kepada peserta didik atau
mempraktikkan teori yang telah dipelajari dalam rangka mencapai tujuan belajar.
Batasan ini hampir sama dengan pendapat Tardif dalam Muhibbin Syah (1995) bahwa
metode diartikan sebagai cara yang berisi prosedur baku untuk melaksanakan
kegiatan penyajiart materi pelajaran kepada peserta didik.
Selanjutnya Reigeluth (1983) mengartikan bahwa metode mencakup rumusan
tentang pengorganisasian bahan ajar, strategi penyampaian, dan pengelolaan kegiatan
dengan memperhatikan tujuan, hambatan, dan karakteristik peserta didik sehingga
diperoleh hasil yang efektif, efisien, dan menimbulkan daya tarik pembelajaran.
Pendapat Reigeluth tersebut didukung oleh Jerome Brunner (dalam Conny Semiawan,
1997) dengan menyebut metode pembelajaran induktif atau berpikir induktif.
Kemudian J.E. Kemp (1994) menggunakannya untuk mengelompokan pola mengajar
dan belajar, yaitu klasikal, mandiri, dan interaksi guru-peserta didik atau pengajaran
kelompok.
Berbagai pendapat di atas, menunjukkan bahwa metode berhubungan dengan
cara yang memungkinkan peserta didik memperoleh kemudahan dalam rangka
mempelajari bahan ajar yang disampaikan oleh guru. Ketepatgunaan dalam memilih
metode sangat berpeluang bagi terciptanya kondisi pembelajaran yang kondusif,
menyenangkan, sehingga kegiatan pembelajaran (instructional activities) dapat
berlangsung secara efektif dan efisien dalam memfasilitasi peserta didik untuk dapat
meraih hasil belajar sesuai yang diharapkan. Dengan'demikian metode merupakan
suatu komponen yang sangat menentukan terciptanya kondisi selama berlangsungnya
kegiatan pembelajaran.
Dalam konteks kondisi pembelajaran yang menyenangkan itu, lvor K Davies
(1981) menegaskan bahwa suatu kegiatan pembelajaran tidak selalu menjamin orang
(baca: peserta didik) akan dapat belajar, Hal ini menunjukkan bahwa sebaik apapun
seorang guru dalam merancang/mendesain suatu program pembelajaran, kiranya tidak
akan dapat secara optimal mewujudkan ketercapaian kompetensi yang diharapkan,
apabila tidak didukung oleh pemilihan sekaligus penggunaan metode secara tepat.
2.2 Pengertian Teacher Center and Study Center
Pada sistem pembelajaran model Teacher Centered Learning, guru lebih banyak
melakukan kegiatan belajar-mengajar dengan bentuk ceramah (lecturing). Pada saat
mengikuti kuliah atau mendengarkan ceramah, siswa sebatas memahami sambil membuat
catatan, bagi yang merasa memerlukannya. Guru menjadi pusat peran dalam pencapaian
hasil pembelajaran dan seakan-akan menjadi satu-satunya sumber ilmu. Model ini berarti
memberikan informasi satu arah karena yang ingin dicapai adalah bagaimana guru bisa
mengajar dengan baik sehingga yang ada hanyalah transfer pengetahuan.
Pendekatan teacher center di mana proses pembelajaran lebih berpusat pada guru
hanya akan membuat guru semakin cerdas tetapi siswa hanya memiliki pengalaman
mendengar paparan saja. Output yang dihasilkan oleh pendekatan belajar seperti ini tidak
lebih hanya menghasilkan siswa yang kurang mampu mengapresiasi ilmu pengetahuan,
takut berpendapat, tidak berani mencoba yang akhirnya cenderung menjadi pelajaran yang
pasif dan miskin kreativitas.
Pengertian Student Centered Learning (SCL) adalah proses pembelajaran yang
berpusat pada siswa (learner centered) diharapkan dapat mendorong siswa untuk terlibat
secara aktif dalam membangun pengetahuan, sikap dan perilaku. Melalui proses
pembelajaran yang keterlibatan siswa secara aktif, berarti guru tidak lagi mengambil hak
seorang peserta didik untuk belajar. Aktivitas siswa menjadi penting ditekankan karena
belajar itu pada hakikatnya adalah proses yang aktif dimana siswa menggunakan pikirannya
untuk membangun pemahaman (construcivism approach).
Proses pembelajaran yang berpusat pada siswa atau peserta didik, maka siswa
memperoleh kesempatan dan fasilitas untuk dapat membangun sendiri pengetahuannya
sehingga mereka akan memperoleh pemahaman yang mendalam yang pada akhirnya dapat
meningkatkan mutu kualitas siswa. Melalui penerapan pembelajaran yang berpusat pada
siswa, maka siswa diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif, selalu ditantang untuk
memiliki daya kritis, mampu menganalisa dan dapat memecahkan masalahnya sendiri.
Perbedaan Teacher Center Learning dan Student Center Learning

TEACHER CENTER LEARNING (TCL) STUDENT CENTER LEARNING (SCL)

Berfokus pada guru Berfokus pada siswa

One Way Traffic Two Way Traffic

Guru sebagai sumber ilmu utama Dosen sebagai fasilitator dan mitra
pembelajaran

Siswa diberi materi pelajaran oleh guru Siswa bertanggung jawab atas
pembelajarannya dan menciptakan kemitraan
antara siswa dan guru

2.3 Teacher Centered Learning


2.3.1 SPE (Strategi Pembelajaran Ekspositori)
Strategi Pembelajaran Ekspositori (SPE) adalah strategi pembelajaran yang
menekankan kepada proses penyampaian materi secara verbal (bisa dilakukan dengan
kombinasi diskusi dan ceramah) kepada sekelompok siswa, agar siswa mampu untuk
berpikir lebih kritis untuk menguasai materi (Sanjaya, 2011:179). Roy Killen (1998)
menamakan stategi ekspositori ini dengan istilah strategi pembelajaran langsung (direct
insruction), karena materi pelajaran disampaikan langsung oleh guru. Strategi ekspositori
ini lebih menekankan kepada proses bertutur (chalk and talk).
Menurut Prasetyo (2016), strategi pembelajaran yang dimaksud adalah
pembelajaran yang berpusat kepada guru (teacher oriented), guru sebagai fasilitator dalam
pembelajaran dan mengajak siswa untuk berpikir lebih kritis pada kegiatan diskusi yang
dilakukan dalam pembelajaran. Siswa dilatih untuk memecahkan masalah dengan bantuan
guru pada masalah autentik. Masalah autentik dapat diartikan sebagai suatu masalah yang
sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pemberian masalah yang autentik,
siswa dapat membentuk makna dan bahan pelajaran melalui proses belajar dan meyimpan
dalam ingatan sehingga sewaktu-waktu digunakan. Keberhasilan pembelajaran akan lebih
bermakna lagi jika apa yang diperoleh dari pembelajaran dapat diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Melalui strategi ini guru menyampaikan materi pembelajaran secara
tersetruktur dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan itu dapat dikuasai siswa
dengan baik. Fokus utama strategi ini adalah kemampuan akademik (academic
achievement) siswa.
Ciri-ciri dari strategi pembelajaran ekspositori menurut Sanjaya (2011) adalah:
a. Dilakukan dengan cara menyampaikan materi pelajaran secara verbal, yakni bertutur
secara lisan merupakan alat utama dalam melakukan strategi ini, oleh karena itu sering
diidentikkan dengan ceramah.
b. Biasanya materi yang disampaikan adalah materi yang sudah jadi seperti data atau
fakta, konsep-konsep tertentu yang harus dihafal sehingga tidak menuntut siswa untuk
berpikir ulang.
c. Tujuan utama dari strategi ini adalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri. Artinya
setelah proses pembelajaran selesai siswa diharapkan menguasai materi yang telah
diuraikan.
R. Ibrohim dan Nana (1996) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran
ekspositori adalah pembelajaran yang menempatkan guru sebagai peran yang lebih aktif
baik pada tahap perencanaan maupun dalam proses pelaksanaan. Dan sebaliknya siswa
berperan lebih pasif tanpa banyak melakukan pengolahan materi pembelajaran, karena telah
menerima materi yang telah jadi dari guru. Selain itu, R. Ibrohim dan Nana (1996) juga
menyatakan bahwa metode pembelajaran ceramah dan demonstrasi termasuk bagian dari
strategi pembelajaran.
Strategi ini lebih cenderung dipengaruhi oleh aliran psikologi behavioristik yang
menekankan pada pemahaman bahwa perilaku manusia pada dasarnya adalah keterkaitan
antara stimulus dan respon, maka dari itu dalam implementasinya peran guru sebagai
pemberi stimulus merupakan faktor yang sangat menentukan (Sanjaya, 2011). Peran guru
dalam memfasilitasi koneksi antara stimulus dengan respon benar-benar menjadi kunci dari
kesuksesan pembelajaran dengan strategi ekspositori, atau dengan kata lain semakin baik
stimulus semakin baik juga respon yang datang dari siswa sebagai feedback.
Dalam strategi pembelajaran ekspositori memiliki prinsip-prinsip yang harus
diperhatikan oleh setiap guru. Menurut Sanjaya (2011), prinsip-prinsip tersebut
diantaranya:
a. Berorientasi pada tujuan
Tujuan menjadi pertimbangan utama dalam penggunaan strategi ini. Sebelum
strategi ini diterapkan terlebih dahulu, guru harus merencanakan dan merumuskan
tujuan pembelajaran secara jelas dan terukur. Tujuan pembelajaran harus dirumuskan
dalam bentuk tingkah laku yang dapat diukur atau berorientasi pada kompetensi yang
harus dicapai oleh siswa dan memfokuskan pada materi sehingga tidak terjadi perluasan
yang lain (kurang penting). Contoh penyimpangan dari prinsip ini adalah guru yang
lebih cenderung bercerita tentang kehidupan pribadinya sehingga pembahasan terfokus
pada guru bukan lagi materi dari pembelajaran yang disampaikan.
b. Komunikasi yang efektif
Dalam proses komunikasi, selalu terjadi urutan pemindahan pesan (informasi) dari
sumber pesan (guru) ke penerima pesan (siswa). Sistem komunikasi dikatakan efektif
manakala pesan itu dapat mudah ditangkap oleh penerima pesan secara utuh, dan
sebaliknya, sistem komunikasi dikatakan tidak efektif manakala penerima pesan tidak
dapat menangkap setiap pesan yang disampaikan. Sebagai suatu strategi pembelajaran
yang menekankan pada proses penyampaian, maka prinsip komunikasi merupakan
prinsip yang yang sangat penting untuk diperhatikan. Artinya, bagaimana upaya yang
bisa dilakukan agar setiap guru dapat menghilangkan setiap gangguan (noise) yang bisa
mengganggu proses komunikasi.
c. Kesiapan siswa
Dalam teori belajar koneksionisme, kesiapan merupakan salah satu hukum
belajar. Inti dari hukum belajar ini adalah bahwa setiap individu akan merespon dengan
cepat dari setiap stimulus manakala dalam dirinya sudah memiliki kesiapan, sebaliknya
tidak mungkin setiap individu akan merespon setiap stimulus yang muncul manakala
dalam dirinya belum memiliki kesiapan. Oleh karena itu, sebelum kita menyampaikan
informasi terlebih dahulu kita yakinkan apakah dalam otak anak sudah tersedia file
yang sesuai dengan jenis informasi yang akan disampaikan atau belum, kalau
seandainya belum maka terlebih dahulu harus kita sediaan dahulu file yang akan
menampung setiap informasi yang akan kita sampaikan.
d. Prinsip Berkelanjutan
Proses pembelajaran ekspositori harus dapat mendorong siswa untuk mau
mempelajari materi pelajaran lebih lanjut. Ekspositori yang berhasil adalah manakala
melalui proses penyampaian dapat membawa siswa pada situasi ketidakseimbangan
(disequilibrium), sehingga mendorong mereka untuk mencari dan menemukan atau
menambah wawasan melalui proses belajar mandiri.
Ibid (2008) mengatakan bahwa dalam menerapkan strategi ekspositori dalam
pembelajaran terdapat langkah-langkah yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Persiapan (Preparation)
Tahap persiapan berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran.
Tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan persiapan adalah:
- Mengajak siswa keluar dari kondisi mental yang pasif
- Membangkitkan motifasi dan minat siswa untuk belajar.
- Merangsang dan menggugah rasa ingin tahu siswa.
- Menciptakan suasana dan iklim pembelajaran yang terbuka.
Beberapa hal yang harus dilakukan dalam langkah persiapan diantaranya adalah:
a. Memberi sugesti yang positif dan hindari sugesti yang negative
b. Memulai dengan mengemukakan tujuan yang harus dicapai.
c. Membuka file dalam otak siswa
2. Penyajian (Presentation)
Langkah penyajian adalah langkah penyampaian materi pelajaran sesuai dengan
persiapan yang telah dilakukan.Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pelaksanaan langkah ini adalah :
a. Penggunaan bahasa
Yang harus diperhatiakan dalan penggunaan bahasa:
- Bahasa yang digunakan sebaiknya bahasa yang bersifat komunikatif dan mudah
dipahami.
- Dalam penggunaan bahasa guru harus memperhatikan tingkat perkembangan
audiens atau siswa.
b. Intonasi suara
Yaitu pengaturan suara sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan.
c. Menjaga kontak mata dengan siswa
Dalam penyajian materi pelajaran kontak mata (eye contact) merupakan hal yang
sangat penting untuk membuat siswa memperhatikan pelajaran. Melalui kontak
mata yang selamanya terjaga, siswa bukan hanya akan merasa dihargai oleh guru,
akan tetapi juga mereka seakan-akan diajak terlibat dalam proses penyajian.
d. Menggunakan joke-joke yang menyegarkan
Menggunakan joke adalah kemampuan guru untuk menjaga agar kelas tetap hidup
dan segar melalui penggunaan kalimat atau bahasa yang lucu. Beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam menggunkan joke diantaranya:
- Joke yang digunakan harus relevan dengan isi materi yang sedang dibahas.
- Sebaiknya joke muncul tidak terlalu sering.
3. Korelasi (Correlation)
Langkah korelasi adalah langkah menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman
siswa atau dengan hal-hal lain yang memungkinkan siswa dapat menangkap
keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang telah dimilikinya. Langkah korelasi
dilakukan tiada lain untuk memberikan makna terhadap materi pelajaran, baik makna
untuk memperbaiki struktur pengetahuan yang telah dimilikinya maupun makna untuk
meningkatkan kualitas kemampuan berfikir dan kemampuan motoric siswa.
4. Menyimpulkan (Generalization)
Menyimpulkan adalah tahapan untuk memahami inti (core) dari materi pelajaran yang
telah disajikan. Langkah menyimpulkan merupakan langkah yang sangat penting dalam
strategi ekspositori, sebab melalui langkah menyimpulkan siswa akan dapat mengambil
intisari dari proses penyajian. Menyimpulkan berarti pula memberikan keyakinan
kepada siswa tentang kebenaran suatu paparan. Menyimpulkan bias dilakukan dengan
beberapa cara, diantaranya pertama mengulang kembali inti-inti materi yang menjadi
pokok persoalan. Kedua, Memberikan beberapa pertanyaan yang relevan dengan materi
yang telah disajikan. Ketiga, dengan cara maping melalui pemetaan keterkaitan
antarmateri pokok-pokok materi.
5. Mengaplikasikan (Application)
Langkah aplikasi adalah langkah unjuk kemampuan siswa setelah mereka menyimak
penjelasan guru. Langkah ini merupakan langkah yang sangat penting dalam proses
pembelajaran ekspositori, sebab melalui langkah ini guru akan dapat mengumpulkan
informasi tentang penguasaan dan pemahaman materi pelajaran oleh siswa. Teknik yang
dapat dilakukan pada langkah ini diantaranya, pertama dengan membuat tugas yang
relevan dengan materi yang telah disajikan. Kedua, dengan memberikan tes yang sesuai
dengan materi pelajaran yang telah disajikan.
Strategi Pembelajaran ekspositori akan efektif apabila:
1. Guru akan menyampaikan bahan-bahan baru serta kaitannya dengan yang akan dan
harus dipelajari siswa.
2. Apabila guru menginginkan agar siswa mempunyai gaya model intelektual
tertentu,misalnya agar siswa bisa mengingat bahan pelajaran,sehingga ia akan dapat
mengungangkapkannya kembali manakala diperlukan.
3. Jika bahan pelajaran yang akan diajarkan cocok untuk dipresentasikan,artinya
dipandang dari sifat dan jenis materi pelajaran memang materi itu hanya mungkin
dapat dipahami oleh siswa manakala disampaikan oleh guru,misalnya materi
pelajaran hasil penelitian berupa data-data khusus.
4. Jika ingin membangkitkan keingintahuan siswa tentang topic tertentu.
5. Guru menginginkan untuk mendemonstrasikan suatu teknik atau prosedur,biasanya
merupakan suatu teknik atau prosedur tertentu untuk kegiatan praktik.
6. Apabila seluruh siswa memiliki tingkat kesulitan yang sama sehingga guru perlu
menjelaskan untuk seluruh siswa.
7. Apabila guru akan mengajar pada sekelompok siswa yang rata-rata memiliki
kemampuan rendah.
8. Jika ligkungan tidak mendukung untuk menggunakan strategi yang berpusat pada
siswa, misalnya tidak adanya sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
9. Jika tidak memiliki waktu yang cukup untuk menggunakan pendekatan yang berpusat
pada siswa.
Strategi pembelajaran ekspositori ini memiliki keunggulan dan kelemahan pada
setiap penerapannya. Keunggulan yang diperoleh adalah:
a. Guru bisa mengontrol urutan dan keluasan materi pelajaran.
b. Strategi pembelajaran ekspositori dianggap sangat efektif apabila materi pelajaran
yang harus dikuasai siswa cukup luas, sementara waktu yang dimiliki untuk belajar
terbatas.
c. Siswa dapat mendengar melalui penuturan (kuliah) tentang materi suatu pelajaran,
juga sekaligus siswa bias melihat atau mengobservasi (melalui pelaksanaan
demonstrsi).
d. Bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.
Sedangkan kelemahan yang dirasakan adalah:
a. Strategi pembelajaran ini hanya mungkin dapat dilakukan terhadap siswa yang
memiliki kemampuan mendengar dan menyimak secara baik. Untuk siswa yang tidak
memiliki kemampuan seperti itu perlu digunakan strategi yang lain.
b. Strategi ini tidak mungkin dapat melayani perbedaan setiap individu baik perbedaan
kemampuan, perbedaan pengetahuan, minat dan bakat, serta perbedaan gaya belajar.
c. Karena strategi lebih banyak diberikan melalui ceramah, maka akan sulit
mengembangkan kemampuan siswa dalam hal kemampuan sosialisasi, hubungan
interpersonal, serta kemampuan berpikir praktis.
d. Keberhasilan strategi pembelajaran ekspositori sangat tergantung pada apa yang
dimiliki guru, seperti persiapan, pengetahuan, rasa percaya diri,semangat, antusiasme,
motivasi dan berbagai kemampuan seperti bertutur (berkomunikasi), dan kemampuan
mengelola kelas.
e. Oleh karena gaya komunikasi strategi pembelajaran lebih banyak terjadi satu arah
(one-way communication), maka kesempatan untuk mengontrol pemahaman siswa
akan materi pelajaran akan sangat terbatas pula. Di samping itu komunikasi satu arah
bisa mengakibatkan pengetahuan yang dimiliki siswa akan terbatas pada apa yang
diberikan guru.
2.4 Student Centered Learning
2.4.1 Strategi Pembelajaran Inkuiri
2.4.1.1 Definisi Strategi Pembelajaran Inkuiri
Istilah inkuiri berasal dari Bahasa Inggris, yaitu inquiry yang berarti pertanyaan
atau penyelidikan. Anggraeni dkk., (2013) menyarakan bahwaStrategi pembelajaran inkuiri
adalah suatu rangkaian kegiatan yang melibatkan kegiatan belajar secara maksimal seluruh
kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis,
sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Strategi pembelajaran inkuiri merupakan bagian dari pembelajaran student centered,
hal ini sesuai dengan pendapat Hamalik (2001:63) mengemukakan bahwa pembelajaran
berdasarkan inquiry (inquiry based teaching) adalah suatu strategi yang berpusat pada
siswa di mana kelompok-kelompok siswa dibawa ke dalam suatu persoalan atau mencari
jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di dalam suatu prosedur dan struktur kelompok
yang diharuskan secara jelas.
Menurut Sanjaya (2006), pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan
pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk
mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.
Pembelajaran inkuiri dibangun dengan asumsi bahwa sejaklahir manusia memiliki
dorongan untuk menemukan sendiri pengetahuannya. Rasa ingin tahu tentang keadaan alam
di sekililingnya tersebut merupakan kodrat sejak ia lahir ke dunia, melalui indra
penglihatan, indra pendengaran,dan indra-indra yang lainnya. Keingintahuan manusia terus
menerus berkembang hingga dewasa dengan menggunakan otak dan pikirannya.
Pengetahuan yang dimilikinya akan menjadi bermakna manakala didasari oleh
keingintahuan tersebut.
Dari definisi yang dikemukakan diatas, dapat diketahui bahwa strategi pembelajaran
inkuiri adalah strategi pembelajaran yang mempersiapkan siswa pada situasi untuk
melakukan eksperimen sendiri sehingga dapat berpikir secara kritis untuk mencari dan
menemukan jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan
2.4.1.2 Tujuan dan Manfaat Strategi Pembelajaran Inkuiri
Tujuan utama pembelajaran inkuiri adalah menolong siswa untuk dapat
mengembangkan disiplin intelektual dan keterampilan berpikir dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan dan mendapatkan jawaban atas dasar rasa ingin tahu mereka. Selain
itu inkuiri dapat mengembangkan nilai dan sikapyang sangat dibutuhkan agar siswa mampu
berpikir ilmiah, seperti :
a) Keterampilan melakukan pengamatan, pengumpulan dan pengorganisasian data
termasuk merumuskan dan menguji hipotesis serta menjelaskan fenomena,
b) Kemandirian belajar
c) Keterampilan mengekspresikan secara verbal
d) Kemampuan berpikir logis
e) Kesadaran bahwa ilmu bersifat dinamis dan tentatif.
Menurut Suryosubroto (2002), manfaat diterapkannya strategi pembelajaran sebagai
berikut:
a. Merupakan suatu cara belajar siswa aktif
b. Melalui penemuan sendiri, dan menyelidiki sendiri, maka hasil yangdiperoleh akan
tahan lama dalam ingatan, tak mudah dilupakan.
c. Pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul- betul dikuasai
dan mudah ditransfer dalam situasi lain.
d. Anak belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan problema yang dihadapi
sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat.
2.4.1.3 Macam-macam Pelaksanaan Metode Inkuiri
Sund dan Trow Bridge (1973) dalam Mulyasa 2008) mengemukakan tiga macam
metode pembelajaran inkuiri, sebagai berikut:
(1) Inquiry terpimpin (Guide Inquiry)
Siswa memperoleh pedoman sesuai dengan yang dibutuhkan. Pedoman-
pedoman tersebut biasanya berupa pertanyaan-pertanyaan yang membimbing.
Metode ini digunakan terutama bagi siswa yang belum berpengalaman belajar
dengan metode inquiry discovery learning, dalam hal ini guru memberikan
bimbingan dan pengarahan yang cukup luas. Tahap awal pembelajaran, bimbingan
lebih banyak diberikan, dan sedikit demi sedikit dikurangi sesuai dengan
pengembangan pengalaman siswa. Pelaksanaannya, sebagian besar perencanaan
dibuat oleh guru. Siswa tidak merumuskan permasalahan. Petunjuk yang cukup
luas tentang bagaimana menyusun dan mencatat data diberikan oleh guru.
Kegiatan pembelajaran menggunakan model inkuiri terbimbing terdiri atas
enam langkah yang dimulai dari menyajikan masalah, membuat hipotesis,
merancang percobaan, melakukan percobaan, menganalisis data, dan membuat
kesimpulan (Trianto, 2007: 141-142).
Pada tahap menyajikan masalah keterampilan yang dapat diperoleh oleh
siswa berupa keterampilan dalam mengajukan pertanyaan. Pada tahap membuat
hipotesis, siswa diperkenalkan tentang keterampilan mengajukan hipotesis atau
dugaan sementara terhadap hasil penelitian/menjawab pertanyaan yang sudah
diajukan pada tahap menyajikan masalah. Pada tahap merencanakan percobaan, di
sini siswa dilatih untuk merancang sebuah percobaan sesuai tujuan percobaan dan
peralatan yang tersedia, tidak lupa juga untuk mencari jawaban atas permasalahan
atau membuktikan hipotesis yang telah dibuat. Selanjutnya yaitu tahap melakukan
percobaan, siswa mendapat berbagai macam keterampilan proses pada tahap ini di
antaranya yaitu keterampilan mengamati, mengelompokkan, dan menggunakan
alat/bahan. Setelah melakukan percobaan, data yang diperoleh harus dianalisis
oleh siswa pada tahap menganalisis data. Pada tahap menganalisis data siswa
mendapat keterampilan untuk menganalisis hasil percobaan di lapangan, untuk
mencari jawaban yang sesuai dengan hipotesis dan tujuan percobaan. Tahap
terakhir yaitu menyimpulkan, siswa menyampaikan data hasil percobaan yang
sudah dianalisis kepada teman-teman sekelas untuk saling ditanggapi dan untuk
disimpulkan bersama. Pada tahap terakhir ini siswa mendapat keterampilan proses
berupa komunikasi yang baik sesama teman dalam menyampaikan hasil percobaan
(Riyadi., dkk 2015),
Menurut Wulanningsih, dkk. (2012) menyatakan bahwa model pembelajaran
inkuiri terbimbing sangat cocok diterapkan dalam pembelajaran biologi untuk
meningkatkan keterampilan proses, karena sintaks dan tahap-tahap pembelajaran
inkuiri terbimbing dibangun melalui metode ilmiah sehingga dapat melatih
keterampilan proses sains pada siswa. Pembelajaran inkuiri terbimbing
memungkinkan adanya interaksi yang aktif antara sesama siswa.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Riyadi., dkk (2015), penerapan
model pembelajaran inkuiri terbimbing (guided inquiry) dapat meningkatkan
keterampilan proses sains siswa kelas XI IPA 3 SMA Batik 2 Surakarta tahun
pelajaran 2013/2014. Penelitian tersebut ddilakukan dengan menggunakan metode
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan oleh peneliti berkolaborasi
dengan guru. Penelitian tindakan kelas terdiri dari 4 tahapan dasar yang saling
terkait dan berkesinambungan yaitu perencanaan (planning), pelaksanaan (acting),
pengamatan (observing) dan refleksi (reflecting) dengan diawali tahapan
pratindakan untuk mengetahui keadaan awal proses pembelajaran.
(2) Inquiry bebas (Free Inquiry)
Siswa harus dapat mengidentifikasi dan merumuskan
berbagai topik permasalahan yang hendak diselidiki. Pelaksanaannya, melibatkan
siswa dalam kelompok tertentu. Setiap anggota kelompok memiliki tugas,
misalnya koordinator, pembimbing teknis, pencatatan data dan mengevaluasi
proses.
Pada umumnya pendekatan ini digunakan bagi siswa yang telah
berpengalaman belajar dengan pendekatan inkuiri. Karena dalam pendekatan
inkuiri bebas ini menempatkan siswa seolah-olah bekerja seperti seorang ilmuwan.
Siswa diberi kebebasan menentukan permasalahan untuk diselidiki, menemukan
dan menyelesaikan masalah secara mandiri, merancang prosedur atau langkah-
langkah yang diperlukan.
Selama proses ini, bimbingan dari guru sangat sedikit diberikan atau bahkan
tidak diberikan sama sekali. Salah satu keuntungan belajar dengan metode ini
adalah adanya kemungkinan siswa dalam memecahkan masalah open ended dan
mempunyai alternatif pemecahan masalah lebih dari satu cara, karena tergantung
bagaimana cara mereka mengkonstruksi jawabannya sendiri. Selain itu, ada
kemungkinan siswa menemukan cara dan solusi yang baru atau belum pernah
ditemukan oleh orang lain dari masalah yang diselidiki.
Sedangkan belajar dengan metode ini mempunyai beberapa kelemahan,
antara lain:
a. Waktu yang diperlukan untuk menemukan sesuatu relatif lama sehingga
melebihi waktu yang sudah ditetapkan dalam kurikulum,
b. Karena diberi kebebasan untuk menentukan sendiri permasalahan yang
diselidiki, ada kemungkinan topik yang diplih oleh siswa di luar konteks yang ada
dalam kurikulum,
c. Ada kemungkinan setiap kelompok atau individual mempunyai topik
berbeda, sehingga guru akan membutuhkan waktu yang lama untuk memeriksa
hasil yang diperoleh siswa,
d. Karena topik yang diselidiki antara kelompok atau individual berbeda,
ada kemungkinan kelompok atau individual lainnya kurang memahami topik yang
diselidiki oleh kelompok atau individual tertentu, sehingga diskusi tidak berjalan
sebagaimana yang diharapkan.
(3) Inquiry bebas yang dimodifikasi (Modified Free Inquiry)
Pada inquiry discovery learning ini guru memberikan permasalahanatau
problem, selanjutnya siswa diminta untuk memecahkan permasalahan tersebut
melalui pengamatan, eksplorasi, dan prosedur penelitian.
Menurut Sanjaya (2006), langkah-langkah dalam pelaksanaan model
pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut : orientasi, merumuskan masalah,
merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis dan merumuskan
kesimpulan.
Pendekatan ini merupakan kolaborasi atau modifikasi dari dua pendekatan
inkuiri sebelumnya, yaitu: pendekatan inkuiri terbimbing dan pendekatan inkuiri
bebas. Meskipun begitu permasalahan yang akan dijadikan topik untuk diselidiki
tetap diberikan atau mempedomani acuan kurikulum yang telah ada. Artinya,
dalam pendekatan ini siswa tidak dapat memilih atau menentukan masalah untuk
diselidiki secara sendiri, namun siswa yang belajar dengan pendekatan ini
menerima masalah dari gurunya untuk dipecahkan dan tetap memperoleh
bimbingan. Namun bimbingan yang diberikan lebih sedikit dari Inkuiri terbimbing
dan tidak terstruktur.
Dalam pendekatan inkuiri jenis ini guru membatasi memberi bimbingan,
agar siswa berupaya terlebih dahulu secara mandiri, dengan harapan agar siswa
dapat menemukan sendiri penyelesaiannya. Namun, apabila ada siswa yang tidak
dapat menyelesaikan permasalahannya, maka bimbingan dapat diberikan secara
tidak langsung dengan memberikan contoh-contoh yang relevan dengan
permasalahan yang dihadapi, atau melalui diskusi dengan siswa dalam kelompok
lain.
Menurut Sund & Trowbridge (1973: 71-72) modified free inquiry dibedakan
dari free inquiry dalam satu aspek penting bahwa dalam modified free inquiry,
guru memberikan suatu permasalahan dan siswa diberikan kesempatan untuk
dapat mengatasi permasalahan, baik secara individu maupun kelompok. Guru
berperan dalam memberikan bantuan yang dibutuhkan untuk memastikan bahwa
siswa melakukan penyelidikan dengan tidak ada rasa putus asa atau banyak
mengalami kegagalan. Guru dapat memberikan bantuan dalam bentuk pertanyaan
yang dapat membantu siswa untuk memikirkan tentang prosedur penyelidikan
yang mungkin dilakukan. Hal tersebut akan lebih baik dengan bertanya kepada
siswa untuk memberikan arahan daripada menceritakan atau menjelaskan tentang
apa yang harus dilakukan. Pertanyaan ini diberikan sebagai stimulan bagi siswa
untuk dapat memecahkannya dengan ide penyelidikan yang kreatif.
2.4.1.4 Keunggulan Dan Kelemahan Pembelajaran Inkuiri
Menurut Syah (2010), keunggulan dan kelemahan pembelajaran inkuiri adalah
sebagai berikut:
Keunggulan dari pembelajaran inkuiri:
a. Menekankan pada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik
secara seimbang.
b. Siswa menjadi aktif dalam mencari dan mengolah sendiri informasi.
c. Siswa mengerti konsep-konsep dasar dan ide-ide secara lebih baik.
d. Memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar
mereka.
e. Siswa yang memiliki kemampuan diatas rata-rata tidak akan terhambat oleh
siswa yang lemah dalam belajar.
f. Membantu siswa dalam menggunakan ingatan dalam transfer konsep yang
dimilikinya kepada situasi-situasi proses belajar yang baru.
g. Mendorong siswa untuk berfikir intuitif dan merumuskan hipotesisnya sendiri.
h. Dapat membentuk dan mengembangkan konsep sendiri (self-concept) pada diri
siswa sehingga secara psikologis siswa lebih terbuka terhadap pengalaman baru,
berkeinginan untuk selalu mengambil dan mengeksploitasi kesempatan-
kesempatan yang ada.
i. Memungkinkan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber yang
tidak hanya menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar.
Kelemahan dari pembelajaran inkuiri:
a. Jika guru tidak dapat merumuskan teka-teki atau pertanyaan kapada siswa
dengan baik, untuk memecahkan permasalah secara sistematis, maka akan
membuat murid lebih bingung dan tidak terarah.
b. Kadang kala guru mengalami kesulitan dalam merencanakan pembelajaran oleh
karena terbentur dengan kebiasaan siswadalam belajar.
c. Dalam implementasinya memerlukan waktu panjang sehingga guru sering sulit
menyesuaikannya dengan waktu yang ditentukan.
d. Pada sistem klasikal dengan jumlah siswa yang relatif banyak; penggunaan
pendekatan ini sukar untuk dikembangkan dengan baik
e. Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa
menguasai materi, maka pembelajaran ini sulit diimplementasikan oleh guru.
2.4.2 Strategi Pembelajaran Kooperatif
2.4.2.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil
siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan
belajar.
2.4.2.2 Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif
Pada dasarnya manusia mempunyai perbedaan, dengan perbedaan itu manusia
saling asah, asih, asuh ( saling mencerdaskan ). Dengan pembelajaran kooperatif
diharapkan saling menciptakan interaksi yang asah, asih, asuh sehingga tercipta masyarakat
belajar ( learning community ). Siswa tidak hanya terpaku belajar pada guru, tetapi dengan
sesama siswa juga.
Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja
mengembangkan interaksi yang silih asuh untuk menghindari ketersinggungan dan
kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan, sebagai latihan hidup di
masyarakat.
2.4.2.3 Ciri-Ciri Pembelajaran Kooperatif
Didalam pembelajaran kooperatif terdapat elemen-elemen yang berkaitan. Menurut
Lie ( 2004 ):
1. Saling ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang mendorong agar
siswa merasa saling membutuhkan atau yang biasa disebut dengan saling
ketergantungan positif yang dapat dicapai melalui : saling ketergantungan mencapai
tujuan, saling ketergantungan menyelesaikan tugas, saling ketergantungan bahan atau
sumber, saling ketergantungan peran, saling ketergantungan hadiah.
2. Interaksi tatap muka
Dengan hal ini dapat memaksa siswa saling bertatap muka sehingga mereka akan
berdialog. Dialog tidak hanya dilakukan dengan guru tetapi dengan teman sebaya juga
karena biasanya siswa akan lebih luwes, lebih mudah belajarnya dengan teman sebaya.
3. Akuntabilitas individual
Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok.
Penilaian ditunjukkan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran
secara individual. Hasil penilaian ini selanjutnya disampaikan oleh guru kepada
kelompok agar semua kelompok mengetahui siapa kelompok yang memerlukan
bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan,maksudnya yang dapat mengajarkan
kepada temannya. Nilai kelompok tersebut harus didasarkan pada rata-rata, karena itu
anggota kelompok harus memberikan kontribusi untuk kelompnya. Intinya yang
dimaksud dengan akuntabilitas individual adalah penilaian kelompok yang didasarkan
pada rata-rata penguasaan semua anggota secara individual.
4. Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi
Keterampilan sosial dalam menjalin hubungan antar siswa harus diajarkan. Siswa
yang tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi akan memperoleh teguran dari guru
juga siswa lainnya.
2.4.2.4 Unsur Unsur Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Roger dan David Johnson ada 5 unsur dalam model pembelajaran
kooperatif, yaitu:
1. Positive interdependence (saling ketergangtungan positif)
Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada 2
pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan kepada
kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara individu mempelajari
bahan yang ditugaskan tersebut.
Beberapa cara membangun saling ketergantungan positif yaitu :
a. Menumbuhkan perasaan peserta didik bahwa dirinya terintegrasi dalam kelompok,
pencapaian tujuan terjadi jika semua anggota kelompok mencapai tujuan.
b. Mengusahakan agar semua anggota kelompok mendapatkan penghargaan yang
sama jika kelompok mereka berhasil mencapai tujuan.
c. Mengatur sedemikian rupa sehingga setiap peserta didik dalam kelompok hanya
mendapatkan sebagian dari keseluruhan tugas kelompok.
d. Setiap peserta didik ditugasi dengan tugas atau peran yang saling mendukung dan
saling berhubungan, saling melengkapi dan saling terikat dengan peserta didik lain
dalam kelompok.
2. Personal responsibility ( tanggung jawab perorangan )
Tanggung jawab perorangan merupakan kunci untuk menjamin semua anggota
yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama.
3. Face to face promotive interaction ( interaksi promotif )
Unsur ini penting untuk dapat menghasilkan saling ketergantungan positif. Ciri
ciri interaksi promotif adalah :
a. Saling membantu secara efektif dan efisien
b. Saling memberi informasi dan sarana yang diperlukan
c. Memproses informasi bersama secara lebih effektif dan efisien
d. Saling mengingatkan
e. Saling percaya
f. Saling memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama
4. Interpersonal skill ( komunikasi antar anggota / ketrampilan )
Dalam unsur ini berarti mengkoordinasikan kegiatan peserta didik dalam
pencapaian tujuan peserta didik, maka hal yang perlu dilakukan yaitu :
a. Saling mengenal dan mempercayai
b. Mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius
c. Saling menerima dan saling mendukung
d. Mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif.
5. Group processing ( pemrosesan kelompok )
Dalam hal ini pemrosesan berarti menilai. Melalui pemrosesan kelompok dapat
diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan dari anggota
kelompok. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas anggota dalam
memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok.
2.4.2.5 Tujuan Pembelajaran Kooperatif
1. Meningkatkan hasil belajar akademik
Meskipun pembelajaran kooperatif meliputi berbagai macam tujuan social,
tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas tugas akademik.
Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami
konsep konsep yang sulit.
2. Penerimaan terhadap keragaman
Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbada latar
belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas tugas
bersama.
3. Pengembangan ketrampilan social
Mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi untuk saling
berinteraksi dengan teman yang lain.
2.4.2.6 keuntungan Penggunaan Pembelajaran Kooperatif
Keuntungan pembelajaran kooperatif diantaranya adalah :
1. Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan social
2. Memungkinkan para siswa saling belajar mengenai sikap, ketrampilan, informasi,
perilaku sosial, dan pandangan-pandangan.
3. Memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial.
4. Memungkinkan terbentuk dan berkembangnya nilai nilai sosial dan komitmen.
5. Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau egois.
6. Membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa.
7. Berbagi ketrampilan sosial yang diperlukan untuk memelihara hubungan saling
membutuhkan dapat diajarkan dan dipraktekkan.
8. Meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama manusia.
9. Meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari berbagai perspektif.
10. Meningkatkan kesediaan menggunakan ide orang lain yang dirasakan lebih baik.
11. Meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang perbedaan kemampuan, jenis
kelamin, normal atau cacat, etnis, kelas sosial, agama dan orientasi tugas
2.4.2.7 Teknik Teknik Pembelajaran Kooperatif
1. Metode STAD ( Student Achievement Divisions )
Metode ini dikembangkan oleh Robert Slavin dan kawan kawan dari
universitas John Hopkins. Metode ini digunakan para guru untuk mengajarkan
informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu, baik melalui penilaian verbal
maupun tertulis. Langkah langkahnya:
a) Para siswa di dalam kelas dibagi menjadi beberapa kelompok atau tim, masing
masing terdiri atas 4 atau 5 anggota. Tiap kelompok memiliki anggota yang
heterogen, baik jenis kelamin, ras, etnik, maupun kemampuan (tinggi, sedang,
rendah).
b) Tiap anggota tim/kelompok menggunakan lembar kerja akademik dan kemudian
saling membantu untuk menguasai bahan ajar melalui tanya jawab atau diskusiantar
sesama anggota tim/kelompok.
c) Secara individual atau tim, tiap minggu atau tiap dua minggu akan mengevaluasi
untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan akademik yang telah
dipelajari.
d) Tiap siswa dan tiap tim diberi skor atas penguasaannya terhadap bahan ajar, dan
kepada siswa secara individual atau tim yang meraih prestasi tinggi atau
memperoleh skor sempurna diberi penghargaan. Kadangkadang beberapa atau
semua tim memperoleh penghargaan jika mampu meraih suatu kriteria atau srandar
tertentu.
2. Metode Jigsaw
Langkahlangkahnya:
a) Kelas dibagi menjadi beberapa tim yang anggotanya terdiri 4 atau 5 siswa dengan
karakteristik yang heterogen.
b) Bahan akademik disajikan kepada siswa dalam bentuk teks dan setiap siswa
bertanggung jawab untuk mempelajari suatu bagian dari bahan akademik tersebut.
c) Para anggota dari beberapa tim yang berbeda memiliki tanggung jawab untuk
mempelajari suatu bagian akademik yang sama dan selanjutnya berkumpul untuk
saling membantu mengkaji bagian bahan tersebut (kelompok pakar / expert group).
d) Selanjutnya para siswa yang berada dalam kelompok pakar kembali ke kelompok
semula ( home teams )untuk mengajar anggota lain mengenai materi yang telah
dipelajari dalam kelompok pakar.
e) Setelah diadakan pertemuan dan diskusi dalam home teams para siswa dievaluasi
secara individual mengenai bahan yang telah dipelajari.
3. Metode G ( Group Investigation )
Metode ini dirancang oleh Herbet Thelen dan diperbaiki oleh Sharn. Dalam
metode ini siswa dilibatkan sejak perencanaan baik dalam menentukan topik maupun
mempelajari melalui investigasi. Dalam metode ini siswa dituntut untuk memiliki
kemampuan yang baik dalam komunikasi dan proses memiliki kelompok.
Langkah-langkahnya:
a) Seleksi topic
b) Merencanakan kerjasama
c) Implementasi
d) Analisis dan sintesis
e) Penyajian hasil akhir
f) Evaluasi selanjutnya
4. Metode structural
Metode ini dikembangkan oleh Spencer Kagan, yang menekankan pada
strukturstruktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi polapola interaksi
siswa. Contoh teknik pembelajaran metode struktural yaitu:
a. Mencari Pasangan (Make a Match)
Dikembangkan oleh Larana Curran, dimana keunggulan teknik ini adalah
siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topic dalam
suasana yang menyenangkan. Langkahlangkahnya:
1) Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik
yang cocok untuk sesi review ( persiapan menjelang tes atau ujian ).
2) Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
3) Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan
kartunya.
4) Siswa bisa juga bergabung dengan dua atau tiga siswa lain yang memegang
kartu yang cocok.
5) Para siswa mendiskusikan penyelesaian tugas secara bersama sama.
6) Presentasi hasil kelompok atau kuis.
b. Bertukar Pasangan
Langkahlangkahnya:
1) Setiap siswa mendapatkan satu pasangan (guru bisa menunjukkan
pasangannya atau siswa melakukan prosedur / teknik mencari pasangan).
2) Guru memberikan tugas dan siswa mengerjakan tugas dengan pasangannya.
3) Setelah selesai setiap pasangan bergabung dengan satu pasangan yang lain.
4) Kedua pasangan tersebut bertukar pasangan. Masing masing pasangan
yang baru ini kemudian saling menanyakan dan mengukuhkan jawaban
mereka.
5) Temuan baru yang didapatkan dari pertukaran pasangan kemudian dibagikan
pada pasangan semula.
c. Berkirim Salam dan Soal
Langkahlangkahnya:
1) Guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan setiap kelompok
ditugaskan untuk menuliskan beberapa pertanyaan yang akan dikirim ke
kelompok lain. Guru bisa mengawasi dan membantu memilih soal-soal yang
cocok.
2) Kemudian masing-masing kelompok mengirimkan satu orang utusan yang
akan menyampaikan salam dan soal dari kelompoknya.
3) Setiap kelompok mengerjakan soal kiriman dari kelompok lain.
4) Setelah selesai jawaban masingmasing kelompok dicocokan dengan
jawaban kelompok yang membuat soal.
d. Bercerita Berpasangan
Teknik ini menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan dan
berbicara. Langkahlangkahnya:
1) Pengajar membagi bahan pelajaran menjadi dua bagian.
2) Pengajar memberikan pengenalan topik yang akan dibahas dalam pelajaran.
3) Siswa dipasangkan
4) Bagian pertama bahan diberikan kepada siswa yang pertama sedangkan
siswa yang kedua menerima bagian yang kedua.
5) Kemudian siswa disuruh membaca atau mendengarkan bagian mereka
masing-masing
6) Sambil membaca/mendengarkan siswa mencatat beberapa kata atau frase
kunci yang ada dalam bagian masing-masing.
7) Siswa berusaha untuk mengarang bagian lain yang belum
dibaca/didengarkan berdasarkan kata kunci.
8) Setelah selesai menulis, beberapa siswa bisa diberi kesempatan untuk
membacakan hasil karangan mereka.
9) Pengajar membagiakan bagian cerita yang belum terbaca kepada masing
masing siswa.
10) Diskusi mengenai topik tersebut.
5. Think Pair Share
Langkah-langkah :
a) Thinking: guru mengajukan pertanyaan atau isu terkait dengan pelajaran untuk
dipikirkan oleh peserta didik.
b) Pairing: guru meminta peserta didik berpasangpasangan. Member kesempatan
kepada pasanganpasangan untuk berdiskusi.
c) Sharing: hasil diskusi intersubjektif di tiaptiap pasangan hasilnya dibicarakan
dengan pasangan seluruh kelas. Dalam kegiatan ini diharapkan terjadi tanya jawab
yang mendorong pada pengkonstuksian pengetahuan secara integratif.
6. Bamboo Dancing
Langkahlangkahnya:
a) Pembelajaran diawali dengan pengenalan topik oleh guru.
b) Guru membagi kelas menjadi 2 kelompok besar dan berpasangan.
c) Membagikan tugas kepada setiap pasangan untuk dikerjakan atau dibahas (diskusi).
d) Usai berdiskusi pasangan berubah dengan menggeser posisi mengikuti arah jarum
jam sehingga tiap- tiap peserta didik mendapat pasangan baru dan berbagi
informasi, demikian seterusnya hingga kembali kepasangan awal.
e) Hasil diskusi tiaptiap kelompok besar kemudian dipresentasikan kepada seluruh
kelas
f) Guru memfasilitasi terjadinya intersubjektif, dialog interaktif, tanya jawab sehingga
pengetahuan yang diperoleh dapat diobjektivikasi dan menjadi pengetahuan
bersama seluruh kelas.
2.4.2.8 Kelemahan Pembelaajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif selain memiliki keunggulan juga memiliki kelemahan
kelemahan antara lain:
1. Dalam pembelajaran kooperatif apabila kelompoknya tidak dapat bekerjasama
dengan baik dan kompak maka akan terjadi perselisihan karena adanya berbagai
perbedaan yang dapat menyebabkan perselisihan.
2. Terkadang ada anggota yang lebih mendominasi kelompok dan ada yang hanya
diam, sehingga pembagian tugas tidak merata.
3. Dalam pembelajarannya memerlukan waktu yang cukup lama sebab harus saling
berdiskusi bersama teman teman lain untuk menyatukan pendapat dan pandangan
yang dianggap benar.
4. Karena sebagian pengetahuan didapat dari teman dan yang menerangkan teman
maka terkadang agak sulit dimengerti, sebab pengetahuan terbatas.
2.4.3 Strategi Pembelajaran Afektif
2.4.3.1 Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif
Menurut Sanjaya, (2007:126). Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai
perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapi tujuan
pendidikan tertentu. sedangkan menurut Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi
pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa
agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien, dan menurut Dick and
Caret (1985) mengartikan strategi pembelajaran adalah suatu set materi dan prosedur
pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada
siswa.
Strategi Pembelajaran Afektif memang berbedadengan strategi pembelajaran
kognitif dan keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur,
oleh sebab itu menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam diri siswa. Dalam
batasan tertentu memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi
penilaiannya untuk sampai kepada kesimpulan yang bisa dipertanggungj awapkan
membutuhkan ketelitian dan observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah
untuk dilakukan. Apabila menilai perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran
yang dilakukan guru disekolah kita tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik,
misalnya dilihat dari kebiasaan bahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat
dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan
guru dalam keluarga dan lingkungan sekitar.
Strategi pembelajaran afektif pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi
yang mengandung konflik atau situasi yang problematis, dan pengajar dapat membina
dalam menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan tingkat nilai kemampuan masing-
masing.
2.4.3.2 Nilai-Nilai Karakter Dalam Strategi Pembelajaran Afektif
Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai
ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi
seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk
ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan
dari perasaan. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan
yang menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada pelajaran
dimaknai positif, sedang kecemasan dimaknai negatif. Bila intensitas dan arah perasaan
ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif berada dalam suatu skala yang kontinum.
Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan
merupakan karakteristik afektif yang ditinjau, ada beberapa kemungkinan target. Peserta
didik mungkin bereaksi terhadap sekolah, matematika, situasi sosial, atau pembelajaran.
Tiap unsur ini bisa merupakan target dari kecemasan. Kadang-kadang target ini diketahui
oleh seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui. Seringkali peserta didik merasa
cemas bila menghadapi tes di kelas. Peserta didik tersebut cenderung sadar bahwa target
kecemasannya adalah tes.
Ada 5 (lima) tipe nilai karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep
diri, nilai, dan moral.
1. Sikap
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak
suka terhadap suatu objek. Sikap dapat dibentuk melalui cara mengamati dan
menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima informasi
verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang ingin
dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian
yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi
pembelajaran, pendidik, dan sebagainya.
2. Minat
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan
adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah
intensitasnya. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki
intensitas tinggi.
3. Konsep Diri
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu
dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir
yang tepat bagi peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah
untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari
penilaian diri adalah sebagai berikut.
a. Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik.
b. Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai.
c. Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
d. Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik.
e. Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
f. Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui standar
input peserta didik.
g. Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.
h. Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya.
i. Melatih kejujuran dan kemandirian peserta didik.
j. Peserta didik mengetahui bagian yang harus diperbaiki.
k. Peserta didik memahami kemampuan dirinya.
l. Pendidik memperoleh masukan objektif tentang daya serap peserta didik.
m. Mempermudah pendidik untuk melaksanakan remedial, hasilnya dapat untuk
instropeksi pembelajaran yang dilakukan.
i. Peserta didik belajar terbuka dengan orang lain.
ii. Peserta didik mampu menilai dirinya.
iii. Peserta didik dapat mencari materi sendiri.
iv. Peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.
4. Nilai
Manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga objek ini
menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya satuan
pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang
bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal
dan memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.
5. Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak.
Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan
tindakan moral. Ia hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran
respon verbal terhadap dilema hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana
sesungguhnya seseorang bertindak.
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang
lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu
orang lain, membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis.
Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan
perbuatan yang berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan
keyakinan seseorang.
2.4.3.3 Proses Pembentukan Sikap Dalam Strategi Pembelajaran Afektif
Terbentuknya sebuah sikap pada diri seseorang tidaklah secara tiba-tiba, tetapi
melewati proses yang terkadang cukup lama. Proses ini biasanya dilakukan lewat
pembiasaan dan modeling (percontohan).
1. Pola pembiasaan
Dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara di sadari maupun tidak, guru
dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan, misalnya
sikap siswa yang setiap kali menerima perilaku yang tidak menyenangkan dari guru,
satu contoh mengejek atau menyinggung perasaan anak. Maka lama kelamaan akan
timbul perasaan benci dari anak yang pada akhirnya dia juga akan membenci pada guru
dan mata pelajarannya, untuk mengembalikannya pada sikap positif bukanlah pekerjaan
mudah.
Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu juga dilakukan oleh Skinner
melalui teorinya operant conditioning. Proses pembentukan sikap melalui pembiasaan
yang dilakukan oleh Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan
oleh Skinner. Pembentukan sikap yang dilakukan oleh Skinner menekankan pada proses
peneguhan respon anak. Setiap kali anak berprestasi yang baik diberikan penguatan
(reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau perilaku yang menyenangkan,
lama-kelamaan anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.
2. Modeling
Pembelajaran sikap dapat juga dilakukan melalui proses modeling yaitu
pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses pencontoaan. Salah satu
karakteristik anak didik yang sedang berkembang adalah keinginan untuk melakukan
peniruan (imitasi). Hal yang di tiru itu adalah perilaku-perilaku yang di peragakan atau
di demontrasikan oleh orang yang menjadi idolanya. Prinsip peniruan in ilah yang
disebut dengan modeling, jadi modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang
lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya.
Proses penanaman sikap anak terhadap suatu objek melalui proses
modeling pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi
pemahaman mengapa hal itu dilakukan. Misalnya: guru perlu menjelaskan mengapa
kita harus telaten terhadap tanaman, atau mengapa kita harus berpakaian bersih dan
rapi. Hal ini diperlukan agar sikap tertentu yang muncul benar-benar didasari oleh suatu
keyakinan kebenaran sebagai suatu sistem nilai.
2.4.3.4 Model-Model Strategi Pembelajaran Afektif
Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi
yang mengandung konflik atau situasi problematis, melalui situasi ini di harapkan siswa
dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang dianggapnya baik. Di bawah ini
disajikan beberapa model strategi pembelajaran pembentukan sikap :
1. Model Konsiderasi
Model konsiderasi dikembangkan oleh MC. Paul, seorang
humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan
pengembangan kognisi yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah
pembentukan pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab
itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk
kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian
terhadap orang lain.
Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan-tahapan
pembelajaran seperti berikut:
a. Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik,yang
sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.Ciptakan situasiSeandainya siswa
ada dalam masalah tersebut.
b. Menyuruh siswa untuk menganalisis sesuatu masalah dengan melihat bukan
hanya yang tampak,tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut,misalnya
perasaan,kebutuhan,dan kepentingan orang lain.
c. Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang
dihadapi.Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menelaah perasaannya sendiri
sebelum mendengar respons orang lain untuk dibandingkan.
d. Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori
dari setiap respons yang diberikan siswa.
e. Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap
tindakan yang diusulkan siswa.Dalam tahapan ini siswa diajak berpikir tentang
segala kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan tindakannya.
f. Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang
untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai
dengan nilai yang dimilikinya.
g. Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai
dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.
2. Model Pengembangan Kognitif
Model pengembangan kognisi dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model
ini banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey yang berpendapat bahwa
perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang
berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu.
3. Tehnik Mengklarifikasikan Nilai.
Tehnik volume clarification technic Que atau VCT dapat diartikan sebagai
tehnik pengajaran untuk memebantu siswa dalam menerima dan menentukan suatu nilai
yang di aggapnya baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis
nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. VCT menekankan bagaimana
sebenarnya seseorang membangun nilai yang menurut anggapannya baik, yang pada
akhirnya nilai nilai tersebut akan mewarnai perilaku dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat.
Salah satu karakteristik VTC sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran
sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah
ada sebelumnya dalam diri siswa, kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru
yang hendak ditanamkan. John Jarolimek (1974) menjelaskan langkah pembelajaran
dengan VCT dalam 3 tingkatan:
a. Kebebasab memilih
b. Menghargai
c. Berbuat mengulangi perilaku sesuai dengan pilihannya .
4. Pengembangan moral kognitif
Model ini bertujuan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan
mempertimbangkan nilai moral secara kognitif. Langkah-langkah pembelajaran moral
kognitif:
a. Menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau
pertentangan nilai.
b. Siswa diminta salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu.
c. Siwa diminta untuk mendiskusikan atau menganalisis kebaikan dan
kejelekannya.
d. Siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lbih baik.
e. Siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.
5. Model non direktif
Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri.
Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif.
Guru hendaknya menghargai potensi dan kemampuan siswa, dan berperan sebagai
fasilitator atau konselor dalam pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan model ini
bertujuan untuk membantu siswa mengaktualisasikan dirinya. Langkah pembelajaran
nondirek:
a) Menciptakan sesuatu yang peermisif melalui ekspresi bebas.
b) Pengungkapan: siswa mengemukakan perasaan, pemikiran, masalah-masalah
yang dihadapinya, kemudian guru menerima dan memberikan klasifikasi.
c) Pengembangan pemahaman: siswa mendiskusikan masalah dan guru
memberikan dorongan.
d) Perencanaan dan penentuan keputusan: siswa merencanakan dan menentukan
keputusan, kemudian guru memberikan klarifikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, N.W., Ristiati, N.P & Widiyanti, N, L , P , M. 2013. Implementasi Strategi
Pembelajaran Inkuiri Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Pemahaman
Konsep Ipa Siswa SMP. Jurnal Pendidikan, vol 3.
Davies, lvor K. 1981. lnstructional Technique. New York: McGraw-Hill Book
Company.
Dr.H.Hamruni. 2009. strategi dan model-model pembelajaran aktif dan menyenangkan,
Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga.
Hamalik, O. 1991. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV Sinar Baru.
Joni, T. Raka. 1991. Strategi Belajar Mengaja: Acuan Konseptual Pengelolaan Kegiatan
Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka.
Kemp, Jerrold E. 1994. Proses Perancangan Pengajaran: The lnstructional Design
Process, Penerjemah: Asril Marjohan. Bandung: lTB.
Mulyasa. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet 11, hlm.
109.
Percival, Fred dan Henry Ellington. 1984. Teknologi Pendidikan, Alih Bahasa
Sudjanruo S. Jakarta: Erlangga.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian
Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah.
Prasetyo, Selamet. 2016. Penerapan Strategi Pembelajaran Ekspositori untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas X SMA Negeri 8 Lubuklinggau
Tahun Pelajaran 2015/2016. (Online),
(http://mahasiswa.mipastkipllg.com/repository/JURNAL%20SKRIPSI
%20SLAMET.pdf), diakses 19 Maret 2017.
R, Ibrohim dan Nana, S.S. 1996. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Reigeluth, Charles M. 1983. lnstructional-Design Theories and Models: An Overuiew
of Their Current Sfafus. London: Lawrence Erlbaum Associate.
Riyadi, I. P., Prayitnob., B.A & Marjono. 2015. Implementation of Guided Inquiry in
Coordination System Material to Improve Science Process Skill at Class XI IPA 3
Students in SMA Batik 2 Surakarta in Academic Year 2013/2014. Jurnal
Pendidikan Biologi, Volume 7, Nomor 2, 80-93.
Romiszowski, A.J. 1981. Designing lnstructional Sysfem: Decision Making in Course
Planning and Curriculum Design. New York: Nicohls Publishing Company.
Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana, hlm.194.
Sanjaya, W. 2011. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Semiawan, Coony. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: PT Grasindo.
Sund, Robert B. & Leslie W. Trowbridge. (1973). Teaching science by inquiry in the
secondary school. Second edition. London: Charles E. Merrill Publishing Company.
Suryosubroto. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah Jakarta. Jakarta: PT Rineka
Cipta, hlm. 191-192.
Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Wulanningsih, Sri., Prayitno, B.A., dan Probosari, R.M. 2012. Pengaruh Model
Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Terhadap Keterampilan Proses Sains Ditinjau dari
Kemampuan Akademik Siswa SMA Negeri 5 Surakarta. Jurnal Pendidikan Biologi,
Volume 4, Nomer 2, 33-43.

Anda mungkin juga menyukai