Anda di halaman 1dari 5

TUGAS 2

Sistem hukum indonesia


Dibuat oleh: Sahrul alamsyah
Nim : 044746755
FHISIP
Ilmu komunikasi
1.PERTANYAAN:
Eksistensi DPD dimunculkan pertama kali dalam Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945
tahun 2001. Ketentuan-ketentuan terkait fungsi DPD sebagaimana yang dicantumkan dalam
Pasal 22 D UUD 1945. Namun sebenarnya apabila dicermati isi ketentuan Pasal 22 D UUD 1945
dapat dikatakan bahwa fungsi DPD terkait legislasi, kontrol, bugeting dan/atau rekrutmen
adalah bersifat terbatas.
Silakan anda buktikan bahwa isi Pasal 22 D UUD 1945 menunjukkan fungsi DPD terkait legislasi,
kontrol, budgeting dan/atau rekrutmen adalah terbatas.
JAWABAN:
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah menghasilkan beberapa lembaga negarabaru,
salah satunya adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Yang menjadi gagasan dasar
pembentukan DPD adalah keinginan untuk mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus
memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan
politikuntuk soal-soal yang terutama berkaitan langsung dengan daerah .1 Keinginan tersebut
berangkat dari pemikiran bahwa pengambilan putusan yang bersifat sentralistik pada masalalu
ternyata telah mengakibatkan meningkatnya ketidak puasan daerah-daerah yang telah sampai
pada tingkat yang membahayakan keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional.2 Anggota
DPD menggantikan Utusan Daerah sebagai salah satu unsur dalam komposisi keanggotaan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
DPD memiliki fungsi dan kewenangan yang salah satunya terkait dengan pembentukan undang-
undang. Kewenangan DPD dalam pembentukan undang-undang telahdiatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).Terdapat tiga kewenangan
DPD dalam pembentukan undang-undang yang disebutkan oleh pasal 22 D UUD 1945, yaitu:
“dapat mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepadaDewan Perwakilan Rakyat (DPR)”,
“ikut membahas RUU”, dan “memberikan pertimbangankepada DPR”, terhadap rancangan
undang-undang tertentu. Ketentuan dalam UUD 1945 memerlukan penjabaran atau
pengaturan lebih lanjut. Pada saat ini terdapat dua undang-undang yang menjabarkan
ketentuan tersebut, yaitu Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Penjabaran ketentuan di dalam kedua undang-undang tersebut menerjemahkan
ketentuan mengenai beberapa hal, misalnya “DPD mengajukan RUU kepada DPR” maka RUU
tersebut kemudian menjadi RUU DPR; “DPD ikut membahas RUU tertentu” maka pembahasan
tersebut dilakukan sebatas memberikan pandangan dan pendapat. Sedangkan “memberikan
pertimbangan” dijabarkan bahwa pertimbangan tersebut dalam bentuk tertulis dan
disampaikan sebelum dimulainya pembahasan.
Ketentuan di dalam kedua undang-undang tersebut memunculkan keberatan DPD yang
menganggap ketentuan tersebut mereduksi kewenangan yang seharusnya atau yang diberikan
oleh UUD 1945. Kemudian DPD mengajukan uji materi terhadap kedua undang- undang
tersebut ke Mahkamah Konstitusi.Hal yang dimohonkan oleh DPD adalah:
1.Kewenangan DPD dalam mengusulkan RUU sebagaimana diatur di dalam Pasal 22D ayat(1)
UUD 1945, yang menurut DPD, RUU dari DPD harus diperlakukan setara dengan RUU dari
Presiden dan DPR;
2. Kewenangan DPD ikut membahas RUU yang disebutkan dalam Pasal 22D UUD 1945 bersama
DPR dan Presiden;
3. Kewenangan DPD memberi persetujuan atas RUU yang disebutkan dalam Pasal 22DUUD
1945;
4. Keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas yang menurut DPD sama halnya
denganketerlibatan Presiden dan DPR;
5. Kewenangan DPD memberi pertimbangan terhadap RUU yang disebutkan dalam Pasal22D
UUD 1945;
Mahkamah Konstitusi telah melakukan sidang dan telah memutuskan permohonan judicial
review tersebut. Putusan Mahhkamah Konstitusi pada dasarnya adalah mengabulkan sebagian
permohonan DPD, bukan semua permohonan. Namun demikian putusan yang menerima
permohonan DPD dapat dikatakan memberikan perubahan besar pada pelaksanaan fungsi DPD
di bidang legislasi. Dengan demikian, menjadi kajian yang menarik, bagaimana memahami
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan bagaimana mengimplementasikannya.
Berkenaan dengan fungsi legislasi DPD, Tim Hukum Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi,
Sekretariat Jenderal DPR pada tahun 2003 telah melakukan Penelitian mengenai“Ruang Lingkup
dan Mekanisme Pelaksanaan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah”.Dilihat dari tahun
penelitian yang dilakukan, dapat diketahui undang-undang yang dianalisisadalah UU No. 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Namun demikian,
isu-isu yang terdapat dalam putusan MK tersebut telah menjadi obyek penelitian.Penelitian
juga menggunakan metode historis dengan membandingkan keberadaan Senat pada masa
berlakunya Konstitusi RIS kesimpulan penelitian juga menemukan kelemahan yang salah
satunya adalah kewenangan yang dimiliki DPD tidak seimbang dengan ongkos dan nilai
pemilihan umum yang demokratis.3 Sementara analisis dalam kajian ini, meskipun
menyinggung juga peraturan yang melandasi mekanisme kerja DPD periode sebelumnya,
namun akan lebih dikaitkan dengan peraturan yang berlaku padaDPD periode sekarang, yaitu
UU No. 27 Tahun 2009 dan UU No. 12 tahun 2011 yang menjadi obyek dalam uji materi yang
diajukan oleh DPD kepada Mahkamah Konstitusi.
Proses amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara baru sebagai
konsekuensi pelaksanaan demokrasi dalam kerangka penciptaan pemerintahan yang bersih
dan akuntabel. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk sebagai pemenuhan keterwakilan
aspirasi daerah dalam tatanan pembentukan kebijakan ditingkat pusat. Pasal 22D UUD 1945
telah menyebutkan kewenangan DPD dibidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu,ikut
membahas bersama DPR dan Pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu, pemberian
pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu, pemberian pertimbangan terhadap RUU
tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak,pendidikan, dan agama, serta
pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu.
3.PERTANYAAN:
Buktikan bahwa perjanjian kerjasama dengan pihak ketiga yang dilakukan salah satu pesero CV
CM tanpa persetujuan dari pesero lain adalah sah berdasarkan ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata!
JAWAB :
Pasal 1320 ayat (1) KUH PerdataPasal 1320 ayat (1) menyatakan enga ni salah satu syarat sahnya
suatu perjanjian diperlukan adanya “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Pasal 1338 ayat
(1) menentukan bahwa“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya”.Berdasar pasal dalam KUH Perdata tersebut,
dapatlah dikatakan berlakunya asas konsensualisme di dalam hukum perjanjian memantapkan
adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa “sepakat” dari salah satu pihak yang membuat
perjanjian, maka perjanjian yang dibuat tidak sah, sehingga dapat dibatalkan. Orang tidak
dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa disebut
Contradictio interminis, adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat.Adanya enga nis
dari para pihak, maka menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana undang-undang
(pacta sunt servanda). Asas pacta sunt servanda menjadi kekuatan mengikatnya
perjanjian. Ini bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaan
nya wajib di taati, konsekuensinya hakim maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi
perjanjian yang dibuat para pihak tersebut.Perkataan “semua” mengandung arti meliputi
seluruh perjanjian, baik yang engan dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang.
Asas ini berhubungan enga nisi perjanjian,yaitu kebebasan menentukan “apa” dan “siapa”
perjanjian diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini
mempunyai kekuatan mengikat (Badrul zaman,2001:84).Maka dari uraian diatas dapat kita
simpulkan bahwa syarat sahnya perjanjian Pasal 1320KUH Perdata yaitu : adanya kesepakatan
mereka yang mengikatkan dirinya; Tuan Ali meminjam uang dari Nn. Barbie sebesar Rp.
400 juta sebagaimana tertuang didalam akta pengakuan hutang No. 22 yang dibuat dihadapan
notaris pada tanggal 10 Januari 2017 dan uang tersebut harus dikembalikan selambat-
lambatnya tanggal 10 April 2017, kecakapan untuk membuat suatu perikatan Suatu pokok
persoalan tertentu suatu sebab yang tidak terlarang.
3. PERTANYAAN:
Silakan dianalisis cara menentukan perbuatan “penyalahgunaan wewenang” yang dilakukan
oleh pejabat pemerintah berkualitas sebagai mal-adminstrasi, dengan indikator yang digunakan
adalah :
>Ketentuan perundang-undangan, yakni UU No. No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.
>Asas Spesialitas dalam pemberian wewenang
JAWAB :
>Penyalahgunaan wewenang dapat diidentifikasi sebagai tindakan mal-administrasi yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah berkualitas.
Penyalahgunaan wewenang terjadi ketika seorang pejabat pemerintah menggunakan
kekuasaannya untuk tujuan yang tidak sah atau tidak sesuai dengan wewenang yang diberikan
kepadanya.
Indikator penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah berkualitas dapat diidentifikasi
dengan mengacu pada ketentuan perundang-undangan, terutama UU No. 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan.
Pasal 4 ayat (1) UU tersebut mengatur bahwa prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan
yang baik meliputi:
a. terwujudnya tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, partisipatif, dan responsif.
b. penggunaan sumber daya publik yang efektif, efisien, dan berkeadilan.
c. penegakan hukum, pencegahan tindak pidana korupsi, dan perlindungan hak asasi manusia.
d. pemenuhan hak atas layanan publik yang baik, cepat, sederhana, dan terjangkau.
e. pengelolaan informasi publik yang terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat.
f. peningkatan kualitas aparatur pemerintah melalui pemberian dukungan sumber daya
manusia, pendidikan, dan pelatihan.
>Dalam konteks penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan terhadap prinsip-prinsip tersebut
dapat terjadi ketika seorang pejabat pemerintah tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan, atau ketika ia menggunakan wewenangnya untuk kepentingan
pribadi atau kelompok tertentu, atau ketika ia melanggar prinsip asas spesialitas.
Asas Spesialitas adalah prinsip dalam pemberian wewenang di mana pejabat pemerintah hanya
diberikan wewenang yang sesuai dengan jabatan dan kewenangan yang dimilikinya.
Hal ini berarti bahwa pejabat pemerintah tidak dapat melakukan tindakan atau keputusan yang
melampaui batas wewenang yang diberikan kepadanya.
Dengan demikian, apabila seorang pejabat pemerintah melakukan tindakan atau keputusan
yang tidak sesuai dengan wewenang yang dimilikinya, hal ini dapat dikategorikan sebagai
penyalahgunaan wewenang yang merupakan tindakan mal-administrasi.
Sumber:
> Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 4.
>Setyawati, R. (2019). "Asas Spesialitas dalam Sistem Pemerintahan Indonesia". Jurnal Ilmu
Pemerintahan dan Sosial Politik, 7(1), 49-60.

Anda mungkin juga menyukai