Anda di halaman 1dari 9

Nama : Elok Faiqotul Mutia

NPM : 1506812981

Analisis Penerapan UU No. 2 Tahun 2012 sebagai Solusi Konflik Pembebasan Lahan
Pembangunan PLTU Batang

Permasalahan

Sampai dengan tahun 2013, Indonesia memiliki 71 PLTU dengan total kapasitas yang
terpasang sebesar 15.554 MW yang tersebar diberbagai wilayah di Indonesia1. Saat ini,
Indonesia sedang menjalankan pembangunan PLTU terbesar se-Asia Tenggara di Kabupaten
Batang, Jawa Tengah. Dokumen pelaksanaan dan penjaminan proyek Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) Jawa Tengah ditandatangani di kantor Kementerian Koordinator Bidang
Perekonomian di Jakarta pada 6 Oktober 2011. Proyek ini melibatkan 2 negara yaitu Indonesia
dan Jepang. Konsorsium J-Power, Ithocu, dan Adaro adalah pemenang tender proyek PLTU
yang selanjutnya telah membentuk PT Bhimasena Power Indonesia sebagai entitas pelaksana
proyek2.

Proyek PLTU Jawa Tengah ini merupakan proyek skala besar pertama dengan nilai investasi
lebih dari Rp 30 Triliun, sekaligus proyek pertama yang dilaksanakan berdasarkan peraturan
presiden No. 67 tahun 2005 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam
penyediaan infrastruktur3. Di samping itu, proyek ini juga merupakan salah satu proyek yang
turut dimasukkan ke dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
(MP3EI) yang telah dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 20104.

1
PT PLN Persero. Statistik PLN 2013, Jakarta: Sekertariat Perusahaan PT PLN (Persero), 2014. Tabel 20 Hal
: 21 diakses dalam http://www.pln.co.id/dataweb/STAT/STAT2013IND.pdf pada 7 Oktober 2014
2
Greenpeace Indonesia, Greenpeace Desak Menteri Kelautan dan Perikanan Selamatkan Nasib Ribuan Nelayan
Batang dari Ancaman PLTU Batubara diakses dari
http://www.Greenpeace.org/seasia/id/press/releases/Greenpeace-Desak-Menteri-Kelautan-dan-Perikanan-
Selamatkan-Nasib-Ribuan-Nelayan-Batang-dari-Ancaman-PLTU-Batubara/ Pada 7 Oktober 2014
3
Anonymous, Proyek PLTU Jawa Tengah diakses dari Situs Resmi PLN (Persero) [online] dalam PT PLN
(Persero) http://www.pln.co.id/blog/proyek-pltu-jawa-tengah-2x1000-mw/ Pada 7 Oktober 2014
4
Anonymous, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) diakses dalam
http://www.bappenas.go.id/files/2613/5185/1240/mp3ei-indonesia__20110704174756__0.rar Pada 7 Oktober
2014
Pembangunan PLTU terbesar se-Asia Tenggara ini menimbulkan berbagai macam konflik
seperti konflik sosial dan konflik agraria. Konflik yang terjadi muncul akibat adanya pro-kontra
didalam masyarakat terkait dampak yang akan mereka rasakan dengan adanya pembangunan
PLTU tersebut. Bagi masyarakat kontra, pembangunan PLTU ini dianggap akan
mengakibatkan semakin rusaknya lingkungan di Indonesia. Selain besarnya emisi karbon yang
dikeluarkan akibat pembakaran batubara, lahan pertanian dan laut yang menjadi tempat
sebagian besar penduduk sekitar terancam rusak. Namun, untuk masyarakat yang mendukung,
menganggap bahwa dengan adanya PLTU Batang, masyarakat disekitar PLTU akan mendapat
kesejahteraan dengan lapangan kerja, CSR dari perusahaan, dan juga PLTU ini dianggap
sebagai simbol kemajuan Kabupaten Batang.

Selain itu terjadinya pro-kontra didalam masyarakat, permasalahan pembebasan lahan yang
hingga saat ini belum terselesaikan, juga menjadi penyebab adanya konflik yang akhirnya
berakibat pada penundaan pembangunan PLTU Batang. Dalam konflik ini, masyarakat yang
tidak ingin menjual lahannya, merasa terintimidasi dan terancam haknya untuk
mempertahankan sumber mata pencahariaan mereka. Masyarakat yang sampai saat ini belum
mau menjual lahan, memandang bahwasanya Pemerintah dan Perusahaan memaksa dengan
berbagai cara termasuk menggunakan preman bahkan aparat penegak hukum, untuk memaksa
mereka menjual lahannya.

Menanggapi masalah pembebasan lahan tersebut, Pemerintah menerapkan Undang-Undang


No. 2 Tahun 2012 mengenai pembebasan lahan untuk kepentingan umum. Dengan Undang-
Undang ini, masyarakat wajib menyerahkan lahannya untuk pembangunan PLTU dan proses
penggantian uang lahan akan diserahkan kepada pengadilan negeri setempat. Namun ternyata
banyak pihak yang menilai penerapan undang-undang dalam pembebasan pembangunan PLTU
Batang masih harus dikaji lebih dalam. Jika ini berhasil diterapkan, maka ini pertama kalinya
pemerintah menerapkan aturan pemaksaan penjualan lahan. Selain itu, penerapan ini juga
dinilai tidak akan menyelesaikan masalah konflik pembebasan lahan, justru menambah
permasalahan yang baru seperti pelanggaran HAM dan pelanggaran mempertahankan
lingkungan hidup yang bersih.

Penjelasan

Proyek PLTU Jawa Tengah ini merupakan proyek skala besar pertama dengan nilai investasi
lebih dari Rp 30 Triliun, sekaligus proyek pertama yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan
Presiden No. 67 tahun 2005 tentang kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam
penyediaan infrastruktur5. Di samping itu, proyek ini juga merupakan salah satu proyek yang
turut dimasukkan di dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
(MP3EI) yang telah dicanangkan oleh pemerintah pada tahun 2010.6

Gambar 1. Peta Lokasi proyek pembangunan PLTU Batang

Sumber : Dokumen Greenpeace

PLTU Batang akan dibangun di lahan seluas 226 hektar di 3 desa yaitu Karanggeneng,
Ponowareng dan Ujungnegoro, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Proyek ini dianggap
masyarakat kontra akan merusak melahap lahan pertanian produktif berupa sawah beririgasi
teknis seluas 124,5 hektar dan perkebunan melati 20 hektar, serta sawah tadah hujan seluas 152
hektar, dan akan dibangun di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, yang
merupakan kawasan kaya ikan dan terumbu karang, kawasan yang menjadi wilayah tangkapan
ikan nelayan dari berbagai wilayah di Pantai Utara Jawa.7 Masyarakat kontra juga menganggap

5
Anonymous, Proyek PLTU Jawa Tengah diakses dari Situs Resmi PLN (Persero) [online] dalam PT PLN
(Persero) http://www.pln.co.id/blog/proyek-pltu-jawa-tengah-2x1000-mw/ Pada 7 Oktober 2014
6
Anonymous, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) diakses dalam
http://www.bappenas.go.id/files/2613/5185/1240/mp3ei-indonesia__20110704174756__0.rar Pada 7 Oktober
2014
7
Greenpeace Indonesia. Batang Coal-fired Power Plant Will destroy health and livelihoods diakses di
http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/Batang-Coal-fired-Power-Plant-Will-destroy-health-
andlivelihoods/ pada 2 Februari 2015
bahwa jika dibangun, PLTU ini akan menghilangkan mata pencaharian masyarakat disekitar
lokasi yang rata-rata berkerja sebagai petani dan nelayan.

Konsorsium J-Power, Ithocu, dan Adaro adalah pemenang tender proyek PLTU Jawa Tengah
21000 MW (PLTU Batang), yang diumumkan pada tanggal 17 Juni 2011. Tiga perusahaan
ini selanjutnya membentuk PT Bhimasena Power Indonesia (PT. BPI) sebagai entitas
pelaksana proyek. Proyek ini dikembangkan dengan pola Kerja-Sama Pemerintah Swasta
(KPS). Skema KPS yang akan diterapkan di dalam proyek ini adalah Build-Own-Operate-
Transfer (BOOT) dengan masa konsesi selama 25 tahun. Pada awalnya pemerintah Indonesia
dan konsorsium PT. BPI yakin bahwa PLTU Batang bisa mulai beroperasi secara komersial
(Commercial Operation Date / COD) pada akhir 2016. Proses pencairan pinjaman (Financial
Closure) untuk proyek ini awalnya juga diperkirakan bisa ditandatangani pada tanggal 6
Oktober 2012. Selain itu, pada awalnya proyek ini diperkirakan hanya bernilai sekitar 3 Miliar
Dolar Amerika atau sekitar 30 Triliun Rupiah dengan asumsi kurs rupiah adalah Rp. 10.000/ 1
Dolar.8

Semua target yang direncanakan oleh pemerintah dan konsorsium PT. BPI tidak ada yang
tercapai dan meleset, hal ini terjadi karena penolakan yang sangat kuat dari warga sekitar lokasi
rencana proyek. Karena penolakan warga yang sangat kuat, maka PT. BPI gagal memenuhi
tenggat waktu pencairan pinjaman investasi yang ditetapkan oleh Japan Bank for International
Coorperation (JBIC) sebanyak 3 kali yaitu pada 6 Oktober 2012, 6 Oktober 2013 dan yang
terakhir 6 Oktober 2014 mengumumkan Force Majeur pada 7 Juli 20149. Penundaan proyek
ini selama hampir 4 tahun membuat nilai proyek ini membengkak menjadi sekitar 5 Miliar
Dolar Amerika atau sekitar 50 Triliun Rupiah.10

Saat ini, pembangunan PLTU Batang ini sudah dalam proses pengerukan tanah, meskipun
lahan yang masih belum terjual sekitar 12% dari total lahan yang dibutuhkan. Pemerintah akan
menerapkan Undang-Undang no. 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan

8
Anonymous, Proyek PLTU Jawa Tengah diakses dari Situs Resmi PLN (Persero) [online] dalam PT PLN
(Persero) http://www.pln.co.id/blog/proyek-pltu-jawa-tengah-2x1000-mw/ pada 7 Oktober 2014
9
Adaro. Announcement on the Declaration of Force Majeure by BPI diakses di
http://www.adaro.com/publication/view/announcement-declaration-force-majeure-bpi-2/ pada 2 Februari 2015
10
Anonymous. Dana Investasi PLTU Batang Bertambah diakses di
http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/128241-%5B_Konten_%5D-listrik0001.pdf pada 2
Februari 2015
umum11 sebagai langkah terakhir dalam sulitnya pembebasan lahan yang terjadi dalam proyek
ini.Tahun lalu, Gubernur Jawa Tengah menerbitkan surat keputusan (SK) Nomor 590/35/2015
tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Sisa Lahan Seluas 125.146 Meter
Persegi Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jateng 2 x 1.000 Megawatt di
Kabupaten Batang. Berdasarkan SK itu, PLN meminta kepada BPN untuk melakukan
pembebasan lahan yang dibutuhkan tersebut melalui skema UU No. 2 tahun 2012. Tanah-tanah
masyarakat yang telah ditetapkan tidak akan dapat menolak atau menghalang-halangi proyek
ini, uang ganti kerugian akan dititipkan dipengadilan, jika masyarakat tidak sepakat dengan
besaran ganti kerugian mereka disarankan untuk mengajukan keberatan kepada Pegadilan dan
pengadilan akan memutus perkara tersebut dalam rentang waktu 30 hari dan setelah itu
dilakukan pelepasan hak.

Penerbitan surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/35 Tahun 2015 beserta
lampirannya itu dinggap sebagian masyarakat melakukan pelanggaran, dimana tindakan
Gubernur Jawa Tengah yang menetapkan Lokasi Pengadaan Tanah untuk Pembangunan
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah 2x1.000 MW di atas tanah milik masyarakat
tanpa terlebih dahulu melakukan sosialisasi dan konsultasi yang melibatkan pihak yang berhak
sebagaimana diatur dalam UU No.2 tahun 2012. Selain itu Pengadaan tanah untuk kepentingan
umum hanya dapat dilakukan oleh pemerintah atas proyek yang direncanakan oleh pemerintah
sendiri. Proyek itu harus dimuat terlebih dahulu dalam dokumen rencana pembangunan yang
dilakukan oleh instansi yang memerlukan. Selain itu dananya harus bersumber dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD). Hubungan PT. Bhimasena Power Indonesia (BPI) dengan PT. PLN (Persero)
hanya sebatas hubungan sebagai penjual dan Pembeli, sehingga investasi ini murni kepentingan
swasta atau kepentingan bisnis. Maka terhadap hal itu, Gubernur Jawa Tengah selaku
Pemerintah tidak tepat mengeluarkan kebijakan penetapan lokasi pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yang akan digunakan oleh BPI.

Berdasarkan UU No. 2/2012, Pasal 52 ayat (1) Bahwa Pendanaan Pengadaan Tanah untuk
kepentingan umum bersumber dari APBN dan atau APBD. Ayat (2) dalam hal instansi yang
memerlukan tanah BUMN/BUMD yang mendapat penugasan khusus, pendanaan bersumber
dari Internal perusahaan atau sumber lain sesuai dengan UU. Tanah yang berasal dari

11
Supriyanto, Bambang. Proyek PLTU Batang, PLN Yakin Bisa Groundbreaking Maret 2015 diakes di
http://industri.bisnis.com/read/20150216/44/403087/proyek-pltu-batang-pln-yakin-bisa-groundbreaking-maret-
2015 pada 16 Februari 2015
pengadaan yang menggunakan Uang Negara akan menjadi asset negara, pendanaannya harus
terakomodir melalui rencana kerja yang telah ditetapkan melalui APBN/APBD. Dalam Perpres
No. 71 Tahun 2012, Pasal 116, bahwa Pendanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum dilakukan oleh instansi yang memerlukan tanah, dituangkan dalam
dokumen pengangaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

UU No 2 tahun 2012 ini juga dinilai tidak akan menyelesaikan konflik yang terjadi anatara
masyarakat, pemerintah dan investor. Diterapkannya UU ini dalam konflik pembebasan lahan
pembangunan PLTU Batang, maka pemerintah memaksakan masyarakat untuk menjual
tanahnya untuk investor asing. Selain itu pemerintah tak boleh luput, bahwasanya dibalik
penolakan penjualan tanah beberapa pemilik tanah, ada alasan perlindungan terhadap
lingkungan yang ditunjukan. Beberapa pemilik tanah yang menolak menjual menamakannya
dirinya masyarakat UKPWR, bertahan atas tanah mereka karena tidak ingin lingkungan yang
subur akan terancam keberadaannya karena menurut mereka PLTU akan membawa kerusakan
bagi lingkungan sekitar juga terhadap masyarakat. Untuk itu, penerapan UU no 2 tahun 2012
sebagai solusi atas konflik pembebasan lahan perlu dikaji lebih dalam lagi. Apakah akan akan
menjadi efektif, atau justru menimbulkan konflik baru antara pemerintah dan masyarakat.
Daftar Pustaka

Asmarani, Aulia. dkk. 2010. Ikhwal Penanganan Klaim yang bertumbukan Dalam Konflik
Agraria. Dalam Tanah Masih Dilangit. Pe-nyelesaian Masalah Penguasaan Tanah dan
Kekayaan Alam di Indonesia Yang tak Kunjung Tuntas di Era Reformasi. Banten: Yayasan
Kemala;

Bachriadi, Dianto. Tendensi Dalam penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia: Menunggu


Lahirnya Komisi Nasional Untuk Penyele-saian Konflik Agraria (KNuPKA). Jurnal
Dinamika Masyarakat. Vol. III No. 3. Ta-hun 2004. Jakarta: Kementerian Riset dan Teknologi;

Dora, Tania. Dkk. Sengketa Tanah: Suatau Bentuk Pertentangan Atas Pembebasan Ta-nah
Rakyat untuk Pembangunan. Studi Ka-sus: Pembebasan Tanah untuk Pemindah-an Bandara
Polonia Medan ke Kuala Namu Deli Serdang. Jurnal Studi Pembangun-an. Vol. 1 No. 2. April
2006. Medan: USU. tersedia diwebsite repository.usu.ac.id/ bitstream/12345678/1/stp-
apr2006(7). Pdf. diakses tanggal 20 Februari 2013;

European Commision. 2003, External Costs: Research results on socio-environmental


damages due to electricity and transport, Luxembourg: Ofce for Ofcial Publications of the
European Communities.

Fisher, S. dkk., Mengelola Konflik, Keterampilan dan Strategi Untuk Bertindak. Jakarta: SMK
Grafika Desa Putra. 2001.

Flor, Alexander G (Editor). 2002. Communication and Culture, Conflict and Cohesion.
Philippine: Foundation for Development and Communication.

Ginting, Darwin. Reformasi Hukum Tanah da-lam Rangka Perlindungan Hak atas Tanah
Perorangan dan Penanam Modal. Jurnal Hukum. Vol.18 No. 1. Januari 2011. Yog-yakarta:
FH UII;
Greenpeace International. 2008, The True Cost of Coal. A dirty fuel thats destroying the
climate, Amsterdam.

Gunanegara. 2005. Rakyat dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Jakarta:
Tatanusa;

Hariadi, Untoro dan Masruchah (Editor). 1995. Tanah, Rakyat, dan Rekokrasi. Yogyakarta:
Forum LSM-LPSM DIY\

Harter, John-Henry. Environmental Justice for Whom? Class, New Social Movement, and the
Environment: A Case Study of Greenpeace Canada, 1971-2000, Labour/Le Travail, Vol. 54
(Fall 2004).

Hendricks, W., How to Manage Conflict. Terjemahan. Jakarta: Bumi Aksara, 2001.

Jarecka, Ewelina dan Joanna Pajk. 2008, Environmental Social Movements And Their
Influence on the EU Policy-Makers A Case Study of Greenpeace and WWF, Aalborg
University.

Johnston, Hank, Enrique Larana, and Joseph R. Gusfield. 1994, New Social Movement From
Ideology to Identity, Philadelphia, Temple University Press.

Klandermans, Bert. 1984, Mobilization and participation: Socialpsychological expansions of


resource mobilization theory, American Sociological Review, Vol. 49 No. 5

Koeswahyono, Imam. Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah untuk Kepenting-an


Pembagunan bagi Umum. Jurnal Konstitusi. Vol. 1 No. 1. Agustus 2008. Malang: PPK
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang;

Lentin, Alana. 1999, Structure, strategy, sustainability: What future for New Social
Movement theory?, Sociological Research Online, Vol. 4 No. 3

Leonela, Anu dan Zakaria, Yando (Editor). 2002. Berebut Tanah: Beberapa Kajian
Berperspektif Kampus dan Kampung. Yogyakarta: Insist Press.

Miall, H. dkk., Resolusi Damai Konflik Kontemporer, Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola,


dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama, dan Ras. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. 2002.

Offe, Clause. 1985, New Social Movement: Challenging the boundaries of institutional
politics, Social Research, Vol. 52 No. 4
Saragih, Henry. 1998. Analisis Kasus-Kasus Sengketa Tanah Sepanjang OrdeBaru, dalam
Perlawanan Kaum Tani: Analisis Terhadap Gerakan Petani Indonesia Sepanjang Orde Baru.
Medan: Yayasan Sintesa-SPSU.

Scale Up. 2008. Konflik Sumber Daya Alam. An-caman Keberlanjutan. Catatan Kritis A-khir
Tahun. Jambi: ScaleUp;

Vahabzadeh, Peyman. 2001, A critique of ultimate referentiality in the New Social Movement
theory of Alberto Melucci.Canadian Journal of Sociology. 26(4). P. 611-634.

Van Susteren, Emma Conway. 2010, Going Glocal: Toward a New Social Movement
Theory, Wesleyan University.

Anda mungkin juga menyukai