Anda di halaman 1dari 7

KASUS PELANGGARAN HAM PADA MASA ORDE BARU

GURU PEMBIMBING

Ludisa Putra S.Pd

DISUSUN OLEH

1. Fadev Muhammad H
2. Sri Maharani A.D
3. Misael Nandito
4. Lilis Nover B.R.S
5. Agus Martin S
6. Krisma Wardhani

SMPN 41 MUKOMUKO

KELAS IX (SEMBILAN) A

TUGAS KELOMPOK PPKN

2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak Asasi Manusia atau disingkat HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum dan pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta harkat dan martabat manusia

.1. Urgensinya penghormatan terhadap hak asasi karena diberikan oleh Tuhan secara lansung sejak lahir sehingga tak bisa
dikurangi oleh siapapun bahkan negara. Gagasan atau ide tentang HAM, muncul setelah berakhirnya perang dunia II (dua)
bahwa hak asasi tersebut harus dilindungi oleh hukum. Maka dari itu, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai lembaga
dunia kemudian membahas mengenai gagasan HAM yang terdiri atas: aspek universal, kepatutan-kepatutan dan
kemerdekaan yang harus tetap ditegakan tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik maupun
pendapat lain yang berlainan mengenai asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan
lainnya.

Lihat Pasal 1 UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Yang berbunyi “Setiap orang dilahirkan bebas dengan
harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati murni untuk hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.”

2 Fakor-faktor inilah yang melatar belakangi deklarasi memorial kemanusiaan

Deklarasi Universal PBB Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, pasal 2; Setiap Orang Berhak Atas Semua Hak Dan Kebebasan-
Kebebasan Yang Tercantum Didalam Deklarasi Ini Tampa Perkecualian Apapun, Seperti Ras Warna Kulit, Jenis Kelamin,
Bahasa, Agama, Politik, Atau Pendapat Yang Berlainan, Asal Mula Kebangsaan Atau Kemasyarakatan, Hak Milik Kelahiran
Atau Kedudukan Lain. Disamping Itu, Tidak Diperbolehkan Melakukan Perbedaan Atas Dasar Kedudukan pada tanggal 10
Desember 1948, The Universal Declaration Of human Rights yang didukung oleh 160 Negara. Penghormatan terhadap HAM
sangat penting karena hak yang terkandung dalam diri manusia merupakan pemberian Tuhan oleh karenanya harus dihormati
dan dilindungi. Menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM merupakan tiga obligasi sebuah negara dalam menjalankan
roda pemerintahan, namun selama 32 tahun pada masa Orde Baru obligasi tersebut seolah dilupakan dan bahkan Orde Baru
seakan menjadi momok dalam bangsa ini dan merupakan mimpi buruk bagi rakyat. Hal tersebut dikarenakan pada masa
pemerintahan Orde Baru dalam menjalankan roda pemerintahan selalu menggunakan pola-pola yang cenderung otoriter.
Melihat sikap pemerintah terjadilah gerakan mahasiswa yang merupakan akumulasi dari kekecewaan rakyat Indonesia
terhadap sikap pemerintah yang otoriter tersebut. Reformasi Tahun 1998 merupakan exkalasi dari perlawanan kaum
revolusioner dan telah menjadi catatan tersendiri dalam sejarah bangsa Indonesia yang melahirkan tatanan pemerintah yang
baru dan demokratis. Berangkat dari tragedi Reformasi Tahun 1998 yang membawa perubahan dalam sistem pemerintah di
Indonesia, karena dalam tuntutan pada saat itu tentang mengusut tuntas kasus-kasus masa lalu melalui penegakan hukum dan
juga penguatan dibidang ekonomi. Seperti diketahui pada saat rezim Orde Baru memimpin telah terjadi beberapa
pelanggaran HAM yang telah ditimbulkan baik yang bersifat vertical Politik, Hukum Atau Kedudukan Internasional Dari
Negara Atau Dari Daerah Mana Seorang Berasal,Baik Dari Negara yang Merdeka, yang Berbentuk Wilayah-Wilayah
Perwalian, Jajahan Atau yang Berada Dibawah Batasan Kedaulatan Yang Lain.

Terkait pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia, sesungguhnya bukanlah hanya terjadi di Tahun 1998. Akan tetapi, dari
hasil penyelidikan Komnas HAM. Komisi tersebut telah menyimpulkan bahwa kategori kejahatan terhadap kemanusiaan itu
terjadi beberapa kali dengan tempat dan tenggang waktu yang berbeda. Seperti yang terjadi dalam kasus Marsinah (1993),
Peristiwa pembantaian PKI pada Tahun (1965-1966), Tanjung Priok (1984), Talang Sari, Lampung (1989), penghilangan
orang secara paksa (1997-1998), kerusuhan Mei (1998), Trisakti (1998), Semanggi I (1998) dan Semanggi I I (1999), Timor-
Timur (1999), Kasus wartawan Uddin(1996)
1. KASUS MARSINAH PADA TAHUN (1993)

Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan
Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2
Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo. 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman temannya bekerja. Komando Rayon Militer
(Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh. 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan,
termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per
hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah
masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah
seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik
Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat
gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan
keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah
lenyap.Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah
menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993. Kasus pembunuhan Marsinah merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
berat. Alasannya adalah karena telah melanggar hak hidup seorang manusia. Dan juga karena sudah melanggar dari unsur
penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang di luar putusan pengadilan terpenuhi. Dengan demikian, kasus tersebut
tergolong patut dianggap kejahatan kemanusiaan yang diakui oleh peraturan hukum Indonesia sebagai pelanggaran HAM
berat. Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), jelas bahwa
tindakan pembunuhan merupakan upaya berlebihan dalam menyikapi tuntutan marsinah dan kawan-kawan buruh. Jelas
bahwa tindakan oknum pembunuh melanggar hak konstitusional Marsinah, khususnya hak untuk menuntut upah sepatutnya.
Hak tersebut secara tersurat dan tersirat ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI tahun 1945, bahwa setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Source:https://www.kompas.com/tren/read/2020/05/08/142047065/cerita-marsinah-pahlawan-buruh-yang-terbunuh-pada-8-mei-1993?page=all

2. PERISTIWA PEMBANTAIAN PKI PADA TAHUN (1965-1966)

Pembantaian PKI di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di
Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September di Indonesia. Diperkirakan dari setengah juta orang dibantai
dan dari satu juta orang dipenjara terbantai dalam peristiwa tersebut. Pembersihan ini merupakan peristiwa penting dalam
masa transisi ke Orde Baru: Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan jatuhnya presiden
Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada Soeharto. Kudeta yang gagal menimbulkan kebencian terhadap
komunis karena kesalahan dituduhkan kepada PKI. Komunisme dibersihkan dari kehidupan politik, sosial, dan militer, dan
PKI dijelaskan sebagai partai terlarang. Pembantaian dimulai pada Oktober 1965 dan memuncak selama sisa tahun sebelum
yang belakang sekalinya mereda pada awal tahun 1966. Pembersihan dimulai dari ibu kota Jakarta, yang belakang menyebar
ke Jawa Tengah dan Timur, lalu Bali. Ribuan vigilante (orang yang menegakkan hukum dengan metodenya sendiri) dan
tentara tingkatan darat menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Meskipun pembantaian
terjadi di semua Indonesia, namun pembantaian terburuk terjadi di basis-basis PKI di Jawa Tengah, Timur, Bali, dan
Sumatera Utara.Usaha Soekarno yang mau menyeimbangkan nasionalisme, agama, dan komunisme melewati Nasakom telah
bubar. Pilar pendukung utamanya, PKI, telah secara efektif dilenyapkan oleh dua pilar lainnya-militer dan Islam politis dan
militer berada pada perlintasan menuju kekuasaan. Pada Maret 1967, Soekarno dicopot dari kekuasaannya oleh Parlemen
Sementara, dan Soeharto menjadi Presiden Sementara. Pada Maret 1968 Soeharto secara resmi terpilih menjadi presiden.
Pembantaian ini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Indonesia, dan hanya memperoleh sedikit perhatian dari
orang Indonesia maupun masyarakat internasional.Penjelasan memuaskan bagi kekejamannya telah menarik perhatian para
pandai dari berbagai prespektif ideologis. Probabilitas keadaan pergolakan serupa dianggap sebagai faktor dalam
konservatisme politik "Orde Baru" dan kontrol ketat terhadap sistem politik. Kewaspadaan terhadap ancaman komunis
menjadi ciri dari masa kepresidenan Soeharto. Di Barat, pembantaian dan pembersihan ini digambarkan sebagai kemenangan
atas komunisme pada Perang Dingin.

Source: https://id.wikipedia.org/wiki/Pembantaian_di_Indonesia_1965%E2%80%931966
3. KASUS TANJUNG PRIOK PADA TAHUN (1984)

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta,
Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok
massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki
mereka.Sedikitnya, 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat. Pada tanggal
10 September 1984, Sersan Hermanu, seorang anggota Bintara Pembina Desa tiba di Masjid As Saadah di Tanjung Priok,
Jakarta Utara, dan mengatakan kepada pengurusnya, Amir Biki, untuk menghapus brosur dan spanduk yang mengkritik
pemerintah. Biki menolak permintaan ini, lantas Hermanu memindahkannya sendiri; Saat melakukannya, dia dilaporkan
memasuki area sholat masjid tanpa melepas sepatunya (sebuah pelanggaran serius terhadap etiket masjid). Sebagai
tanggapan, warga setempat, yang dipimpin oleh pengurus masjid Syarifuddin Rambe dan Sofwan Sulaeman, membakar
motornya dan menyerang Hermanu saat dia sedang berbicara dengan petugas lain. Keduanya kemudian menangkap Rambe
dan Sulaeman, serta pengurus lain, Achmad Sahi, dan seorang pria pengangguran bernama Muhamad Noor. Dua hari pasca
penangkapan, ulama Islam Abdul Qodir Jaelani memberikan sebuah khotbah menentang asas tunggal Pancasila di masjid As
Saadah. Setelah itu, Biki memimpin sebuah demonstrasi ke kantor Kodim Jakarta Utara, di mana keempat tahanan tersebut
ditahan.Seiring waktu, massa kelompok tersebut meningkat, dengan perkiraan berkisar antara 1.500 sampai beberapa ribu
orang Protes dan kerusuhan tidak berhasil menuntut pembebasan tahanan tersebut. Sekitar pukul 11 malam waktu setempat,
para pemrotes mengepung komando militer. Personel militer dari Batalyon Artileri Pertahanan Udara ke-6 menembaki para
pemrotes. Sekitar tengah malam, saksi mata melihat komandan militer Jakarta Try Sutrisno dan Kepala Angkatan Bersenjata
L. B. Moerdani yang mengawasi pemindahan korban; mayat-mayat itu dimasukkan ke dalam truk militer dan dikuburkan di
kuburan yang tidak bertanda, sementara yang terluka dikirim ke Rumah Sakit Militer Gatot Soebroto. Setelah kerusuhan
tersebut, militer melaporkan bahwa mereka dipicu oleh seorang pria berpakaian militer palsu yang membagikan selebaran
anti-pemerintah bersama dengan 12 komplotannya; dilaporkan dari orang yang ditahan. Jenderal Hartono Rekso Dharsono
ditangkap karena diduga menghasut kerusuhan tersebut. Setelah menjalani persidangan empat bulan, dia divonis bersalah;
dia akhirnya dibebaskan pada bulan September 1990, setelah menjalani hukuman penjara lima tahun. Setelah kerusuhan
tersebut, setidaknya 169 warga sipil ditahan tanpa surat perintah dan beberapa dilaporkan disiksa. Para pemimpin ditangkap
dan diadili karena tuduhan subversif, kemudian diberi hukuman panjang. Yang lainnya, termasuk Amir Biki, termasuk di
antara mereka yang terbunuh. Laporan awal menyebutkan 20 orang tewas.Catatan resmi saat ini memberikan total 24 korban
tewas dan 54 terluka (termasuk militer), sementara korban selamat melaporkan lebih dari seratus orang tewas.Masyarakat
Tanjung Priok memperkirakan total 400 orang terbunuh atau hilang, sementara laporan lainnya menyarankan hingga 700
korban.

Source: https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Tanjung_Priok

4. KASUS TALANG SARI, LAMPUNG PADA TAHUN (1989)

Peristiwa Talangsari terjadi di Provinsi Lampung pada 7 Februari 1989. Dalam peristiwa Talangsari, sebanyak 27 orang
tewas akibat pembunuhan di luar proses hukum, 5 orang diculik, 78 orang dihilangkan secara paksa, 23 orang ditangkap
secara sewenang-wenang, dan 24 orang mengalami pengusiran. Detail data korban Peristiwa Talangsari 1989 tersebut
dikutip dari laporan hasil investigasi KontraS bertajuk "Kasus Talangsari 1989: Sebuah Kisah Tragis Yang Dilupakan."
Mengutip Buku Pendamping Guru untuk Pembelajaran HAM terbitan Komnas HAM, tragedi berdarah dalam Peristiwa
Talangsari 1989 terjadi di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabutapen Lampung Timur
(sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa Talangsari melibatkan aparat keamanan (militer di era Orde
Baru) dengan kelompok yang dipimpin oleh Warsidi. Sementara itu, operasi militer dalam Peristiwa Talangsari berada
dikomandoi oleh Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung saat itu, yakni Kolonel AM Hendropriyono. Peristiwa ini
bermula dari keputusan pemerintahan Presiden Soeharto yang menerbitkan UU nomor 3 tahun 1985 dan UU Nomor 8 Tahun
1985. Dua UU itu mewajibkan semua partai politik dan organisasi masyarakat di Indonesia menjadikan Pancasila sebagai
asas tunggal. Asas lain selain Pancasila tidak diperbolehkan. Penerbitan UU tersebut memicu polemik. Penolakan keras
bahkan muncul dari sejumlah kelompok Islam. Mereka yang menjadi korban dalam Peristiwa Talangsari, sebagian terlibat
dalam gerakan menolak asas tunggal. Pada akhir tahun 1988, terjadi eksodus sejumlah orang ke Dukuh Cihideung, Desa
Talangsari, Lampung Timur. Menurut Abdul Syukur dalam Gerakan Usroh di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989 (2001),
orang-orang tersebut berniat membentuk sebuah desa yang memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari,
sebagaimana yang jadi keyakinan mereka. Salah satu pentolan dari orang-orang ini adalah pimpinan pengajian bernama Nur
Hidayat. Dia merupakan salah satu orang yang menolak azas tunggal. Ia juga terafiliasi dengan gerakan Usroh, sebuah
kelompok muslim kecil di Lampung yang ditumpas pemerintah Orde Baru dengan dalih subversif. Dalam kelompok Nur
Hidayat, juga ada Warsidi, guru mengaji dari Lampung. Warsidi yang sudah dijadikan tokoh agama di Talangsari, kemudian
dipilih sebagai pemimpin desa bentukan Nur Hidayat dan kawan-kawan. Akan tetapi, pemerintah Orde Baru menilai
keberadaan desa yang dipimpin oleh Warsidi itu sebagai gerakan yang subversif. Kelompok Warsidi bahkan dituding hendak
menggulingkan pemerintahan dan mendirikan negara Islam. Pemerintah Orde Baru juga menuduh kelompok Warsidi
mengajarkan ajaran sesat karena membangun komunitas yang tertutup dan tidak berinteraksi secara terbuka dengan
masyarakat umum. Warsidi juga dianggap sering kali menyampaikan ceramah bernada ekstrem saat pengajian. Lantas, pada
5 Februari 1989, aparat militer melakukan penculikan terhadap beberapa pengikut kelompok Warsidi. Hal ini membuat
khawatir para anggota komunitas tersebut. Keesokan harinya, rombongan pejabat lokal, baik sipil maupun militer,
mendatangi kelompok Warsidi di Cihideung. Namun, rombongan ini diserang oleh kelompok Warsidi karena dikira hendak
menangkap guru mengaji itu. Dalam bentrokan tersebut, Kapten Sutiman dan Prajurit Satu Budi dari pihak militer tewas. Hal
ini menyebabkan bentrokan bertambah panjang. Esok harinya, sekitar tengah malam 7 Februari 1989, pasukan militer yang
dikomandoi Kolonel AM Hendropriyono, menyerbu kelompok Warsidi. Majalah Tempo edisi 18 Februari 1989 melaporkan
diduga sebanyak 246 pengikut Warsidi tewas akibat serbuan itu. Di antara yang tewas termasuk Warsidi. Menurut laporan
investigasi KontraS, seorang bocah dari kelompok Warsidi bernama Ahmad (10 tahun), dipaksa menyiramkan bensin ke
sejumlah rumah dan membakarnya. Secara berurutan, Ahmad diperintahkan—di bawah ancaman senjata—untuk membakar
rumah-rumah kelompok Warsidi, pondok pesantren, dan bangunan-bangunan yang diduga berisi 80-100 orang. Bayi, anak-
anak, ibu-ibu (banyak di antaranya yang sedang hamil), remaja, dan orang tua dilaporkan ikut terlalap api dalam kebakaran
tersebut. Saat kebakaran terjadi, aparat militer juga dilaporkan menghujankan tembakan ke langit untuk "meredam" suara-
suara teriakan korban yang terdengar. Kasus Talangsari telah dinyatakan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM
berat. Namun, proses penyelesaian hukum kasus Talangsari masih macet. Hingga saat ini, Kejaksaan Agung sebagai penegak
hukum yang berwenang belum menindaklanjuti laporan hasil penyelidikan yang diserahkan oleh Komnas HAM.

Source: https://tirto.id/contoh-pelanggaran-ham-di-indonesia-peristiwa-talangsari-1989-gi6K

5. KASUS PENGILANGAN ORANG SECARA PAKSA PADA TAHUN (1997-1998)

Penculikan aktivis 1997/1998 adalah peristiwa penghilangan orang secara paksa atau penculikan terhadap para aktivis pro-
demokrasi yang terjadi menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1997 dan Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1998. Peristiwa penculikan ini ditentukan berlangsung dalam tiga tahap: Menjelang
pemilu Mei 1997, dalam saat dua bulan menjelang sidang MPR bulan Maret, dan dalam periode tepat menjelang
pengunduran diri Soeharto pada 21 Mei. Pada bulan Mei 1998, sembilan di antara mereka yang diculik selama periode kedua
dilepas dari kurungan dan muncul kembali. Beberapa di antara mereka bercakap secara terbuka tentang pengalaman mereka.
Tapi tak satu pun dari mereka yang diculik pada periode pertama dan ketiga muncul. Selama periode 1997/1998, KONTRAS
(Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mencatat 23 orang telah dihilangkan oleh alat-alat negara. Dari
angka itu, 1 orang ditemukan meninggal (Leonardus Gilang), 9 orang dilepaskan penculiknya, dan 13 lainnya sedang hilang
hingga hari ini. Sembilan aktivis yang dilepaskan adalah Desmond Junaidi Mahesa, Haryanto Taslam, Pius Lustrilanang,
Faisol Reza, Rahardjo Walujo Djati, Nezar Patria, Aan Rusdianto, Mugianto dan Andi Arief.MKe-13 aktivis yang sedang
hilang dan belum kembali adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Wiji Thukul, Yani Afri, Sonny, Dedi
Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Siahaan, Hendra Hambali, Yadin Muhidin, dan Abdun Nasser. Mereka berasal dari
bermacam organisasi, seperti Partai Rakyat Demokratik, PDI Pro Mega, Mega Bintang, dan Mahasiswa. Kasus ini diselidiki
oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdasar UU No 26/2000 Tentang Pengadilan HAM dan hasilnya telah diserahkan
ke Jaksa Agung pada 2006. Tim penyelidik Komnas HAM untuk kasus penghilangan orang secara paksa ini bekerja sejak 1
Oktober 2005 hingga 30 Oktober 2006. Abdul Hakim Garuda Nusantara (Ketua Komnas HAM pada 2006) mempersilakan
supaya hasil penyelidikan yang diperoleh mampu dilanjutkan oleh Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidik, karena
telah diperoleh bukti awal yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara itu,
asisten tim ad hoc penyidik peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, Lamria, menyalakan ada beberapa
orang dari 13 aktivis yang sedang dibicarakan hilang tersebut diketahui pernah terletak di Pos Komando Taktis (Poskotis)
Kopassus yang terletak di Cijantung, Jakarta. Komnas HAM menyimpulkan ada bukti awal pelanggaran HAM berat dalam
kasus penghilangan orang secara paksa selama 1997-1998. Kesimpulan ini didasarkan penyelidikan dan kesaksian 58 korban
dan warga masyarakat, 18 bagian dan purnawirawan Polri, serta seorang purnawirawan TNI. Pada 22 Desember 2006
Komnas HAM mempersilakan DPR supaya mendesak Presiden mengerahkan dan memobilisasi semua aparat penegak
hukum untuk menuntaskan masalah. Ketua DPR Agung Laksono pada 7 Februari 2007 juga mempersilakan Presiden
Yudhoyono memerintahkan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh memperagakan penyelidikan dan penyidikan berlandaskan
temuan Komnas HAM untuk menuntaskan kasus penculikan 13 aktivis.

Source: https://p2k.unkris.ac.id/id3/3073-2962/Penculikan-Aktivis-1997-1998_42604_p2k-unkris.html

6. KASUS KERUSUHAN MEI PADA TAHUN (1998)

Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei–15 Mei 1998,
khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia
dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12
Mei 1998. Hal inipun mengakibatkan penurunan jabatan Presiden Soeharto, serta pelantikan B. J. Habibie. Pada kerusuhan
ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa—terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa.
Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia
keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di
bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga
diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan
ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis. Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut
ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi" karena penyerang hanya
fokus ke orang-orang Tionghoa. Beberapa dari mereka tidak ketahuan, tetapi ada juga yang ketahuan bukan milik pribumi.
Sebagian masyarakat mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938
yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal yang sistematis
atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah
Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus
pemerkosaan tersebut, tetapi pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak
diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju
bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak
Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap orang Tionghoa, walaupun masih menjadi
kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau
perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat.Tidak lama setelah kejadian berakhir
dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki masalah ini. TGPF ini mengeluarkan sebuah laporan
yang dikenal dengan "Laporan TGPF" Mengenai pelaku provokasi, pembakaran, penganiayaan, dan pelecehan seksual,
TGPF menemukan bahwa terdapat sejumlah oknum yang berdasar penampilannya diduga berlatar belakang militer.[4]
Sebagian pihak berspekulasi bahwa Pangab saat itu (Wiranto) dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin melakukan
pembiaran atau bahkan aktif terlibat dalam provokasi kerusuhan ini.Pada 2004 Komnas HAM mempertanyakan kasus ini
kepada Kejaksaan Agung namun sampai 1 Maret 2004 belum menerima tanggapan dari Kejaksaan Agung.Pada bulan Mei
2010, Andy Yentriyani, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan), meminta supaya dilakukan amendemen terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Menurut
Andy, Kitab UU Hukum Pidana hanya mengatur tindakan perkosaan berupa penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin
perempuan. Namun pada kasus Mei 1998, bentuk kekerasan seksual yang terjadi sangat beragam. Sebanyak 85 korban saat
itu (data Tim Pencari Fakta Tragedi Mei 1998) mengalami pemerkosaan anal, oral, dan/atau disiksa alat kelaminnya dengan
benda tajam. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut belum diatur dalam pasal perkosaan Kitab UU Hukum Pidana.

Source: https://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Mei_1998

7. KASUS TRISAKTI TAHUN (1998)

Demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahan Orde Baru terjadi pada 12 Mei 1998 atau 24 tahun yang lalu. Kejadian
tersebut lalu dikenal dengan Tragedi Trisakti, karena terdapat empat mahasiswa dari Universitas Trisakti yang meninggal
dunia dalam peristiwa itu. Keempat mahasiswa tersebut tewas tertembak di dalam kampus saat mengikuti demonstrasi yang
menuntut turunnya Soeharto dari jabatan presiden. Akibat kejadian tersebut membuat perlawanan mahasiswa dalam
menuntut reformasi semakin besar. Puncaknya pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto resmi mengundurkan diri dari
jabatannya, serta menandai akhir dari rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Lantas, bagaimana kronologi
kejadian Tragedi Trisakti dan siapa saja korbannya? Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri
Hertanto (1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1978 - 1998). Kronologi kasus tersebut yaitu
pada awal tahun 1998 perekonomian di Indonesia terganggu akibat adanya krisis finansial Asia sepanjang 1997 sampai 1999.
Pada 12 Mei 1998, para mahasiswa termasuk mahasiswa Trisakti kemudian melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke
Gedung Nusantara. Mahasiswa Trisakti melakukan aksi damai dari Kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pukul 12.30
WIB. Namun, aksi tersebut dihalangi olek pihak kepolisian yang disusul oleh kedatangan militer. Beberapa perwakilan
mahasiswa kemudian melakukan negosiasi dengan polisi terkait aksi tersebut. Pada pukul 17.15 WIB, para mahasiswa
bergerak mundur dengan diikuti majunya pergerakan aparat keamanan. Aparat keamanan memukul mundur mahasiswa
dengan menembakkan peluruh ke arah para mahasiswa Akibatnya, para mahasiswa tercerai berai karena panik. Sebagian
besar melarikan diri dan berlindung di Universitas Trisakti. Karena aparat tidak berhentik melakukan tembakan, satu persatu
korban mulai berjatuhan dan dilarikan ke Rumah Sakit Sumber Waras. Selain tembakan yang dilakukan aparat keamanan
dihadapat para mahasiswa, juga terdapat tembakan yang berasal dari atas fly over Grogol dan jembatan penyeberangan.
Aparat keamanan tidak hanya menembaki mereka dengan peluru karet, tetapi juga menggunakan peluru tajam. Insiden
tersebut menewaskan enam orang korban dan dipastikan bahwa empat diantaranya adalah mahasiswa Trisakti.

Source:https://www.kompas.com/tren/read/2022/05/12/093000965/sejarah-tragedi-penembakan-mahasiswa-trisakti-12-mei-1998?page=all.

Anda mungkin juga menyukai