Anda di halaman 1dari 8

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Kontradiksi Hak Asasi Manusia Pada Era Orde Baru 1966-1998

Dosen Pengampu : Takdir Ali Mukti, S. Sos., M.Si.

Disusun oleh:

Laila Rezvina Baswedan

20130510111

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016
Pendahuluan

Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) menjadi titik awal dari kepemimpinan Jenderal
Besar TNI (Purn.) H. M. Soeharto, menggantikan kepimpinan Soekarno yang sering disebut
Orde Lama. Pada jangka waktu 1966 hingga 1998 perekonomian Indonesia berkembang cukup
pesat pada kepemimpinan Presiden Soeharto, ditandai dengan swasembada beras dan lahirnya
kebijakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Presiden Soeharto berhasil
membangun kembali kondisi ekonomi Indonesia setelah rentan akibar krisis moneter pada tahun
1965 sehingga butuh bantuan World Bank dan Dana Moneter Internasional (IMF). Berdasarkan
wawancara yang dilakukan Tempo pada tahun 1997 dengan Anwar Nasution, pengamat ekonomi
dan guru besar Universitas Indonesia, keadaan inflasi yang tinggi pada tahun 1965 membuat
Indonesia tidak mampu membayar hiutang luar negerinya yang tinggi dan akhirnya menerima
bantuan dari IMF dan World Bank1.

Adapun dari segi perpolitikan, militer mendapatkan peran lebih dalam wewenang menjaga
stabilitas keamanan pemerintahan. Militer, yang mengambil kekuasaan, menjadi kekuatan sosial-
politik yang paling menentukan di Indinesia2. Kebijakan politik yang lahir di bawah kepimpinan
Soeharto diantarnya adalah Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
turut campur tangan dalam pemerintahan, penyerderhanaan partai politik, pembubaran Partai
Komunis Indonesia (PKI) yang kemudian menjadi cikal bakal masalah pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) di kemudian hari, dan diadakannya Pemilihan Umum sebayak enam kali dalam
30 tahun kepemimpinan Soeharto. Dalam masanya pun, Soeharto menekankan pemahaman
nasionalisme pancasila kepada seluruh lapisan masyarakat sebagai pedoman bangsa Indonesia
dalam kehidupan bernegaranya.

Secara perspektif global, kondisi perang dingin tidak lagi berbicara soal kekuatan hegemoni
ideologi antara Amerika Serikat di sayap Kanan dengan Uni Soviet di sayan Kiri. Lahirlah
kekuatan ekonomi baru seperti negara-negara di Eropa Barat dan Jepang yang mulai berkembang
bahkan GDP negara hampir mendekati angka GDP Amerika Serikat. Bersamaan pula dengan
krisis minyak 1973 membuat negara-negara dunia ketiga memiliki kesempatan untuk membuat
kekuatannya sendiri. Meski demikian, ada banyak tekanan yang negara dunia ketiga terima yang

1
http://tempo.co.id/ang/min/02/32/utama4.htm diakses pada 27 Mei 2016
2
Leo Suryadinata Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto LP3ES 1998 hal43
justru membuat konflik domestik pecah. Bagi Indonesia sendiri, tahun 1965-1966 menjadi titik
balik pemerintahan dan stabilitas negara dengan terjadinya pembunuhan massal anggota,
simpatisan, dan orang yang dituduh sebagai bagian dari PKI. Kemudian pada masa Presiden
Soeharto pun terjadi beberapa pelanggaran yang masuk dalam kategori pelanggaran HAM dalam
rezim internasional, diantaranya hak warga non-pribumi, kebebasan berpendapat dan
mengekspresikan politik, dan lainnya. Dari puluhan ribu dokumen mengenai hubungan Amerika
Serikat dengan Soeharto hingga tahun 1998, tidak ada bukti bahwa Amerika Serikat pernah
menggunakan tekanan agar rezim Soeharto mengindahkan hak asasi manusia manupun
demokrasi3. Hal ini menjadi kontradiksi dimana baik Amerika Serikat maupun Soeharto yang
menjunjung ideologi liberalis telah mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi
nilai jual Amerika Serikat pada masa Perang Dingin.

Kondisi Regulasi dan Praktek Hak Asasi Manusia di Indonesia masa Orde Baru

Peraturan atau Kebijakan HAM Serta Aktor Pembela HAM Pada 1966-1998

Pasca pembantaian PKI yang menjadi sejarah kelam Indonesia atas praktek genosida yang terjadi,
perjuangan HAM mengalami dinamika yang fluktualif. Pada masa awal Orde Baru, pemerintah
menyelenggarakan seminar HAM guna kembali mensosialisasikan HAM kepada masyarakat
agar HAM dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Kemudian di pertengahan Orde Baru,
hegemoni HAM mengalami penurunan akibat HAM yang tidak lagi dihormati dan peran
pemerintah yang bersifat defensif dan represif dalam merekonstruksi hukum HAM. Adapun yang
mengawali hal tersebut adalah adanya anggapan bahwa HAM merupakan produk Barat dan
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Namun, di akhir Orde Baru, peran Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dalam memobilisasi masyarakat dan advokasi terhadap pentingnya HAM
mendapat apresiasi yang baik oleh masyarakat luas terutama generasi muda. Advokasi yang
dilakukanpun tidak hanya terbatas pada masyarakat namun juga melakukan pembentukan
jaringan internasional dan lobi internasional, sehingga mendapat dukungan penuh dari LSM
internasional yang bergerak di bidang kemanusiaan.

3
http://www.dw.com/id/amerika-serikat-buka-dokumen-rahasia-soeharto/a-3095247 diakses pada 27 Mei 2016
Pada tahun 1966, pemerintahan Soeharto mengeluarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara Republik Indonesia No. XIV/MPRS/1966 tentang pembentukan panitia-panita
tim Ad Hoc yang salah satu tugasnya adalah menyusun rincian hak-hak azasi manusia. Pada
pasal 1 ayat 4 berisi tentang bahan-bahan pedoman penyusunan rincian HAM, diantaranya dari
karya Prof. Dr. Sunawar Sukowati S.H, Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965, rumusan-
rumusan Konstituante dan anjuran Presiden yang termuat dalam pidato “Respublica sekali lagi
Respublica”, serta bahan lainnya 4 . Sedangkan dalam Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965
telah dijelaskan bahwa asas dari Demokrasi-Terpimpin diantaranya menjamin kebebasan
berpikir dan berbicara mengeluarkan pendapat dalam setiap permusyawaratan, dalam batas-batas
keselamatan Negara, kepentingan Rakyat banyak, kepribadian Bangsa, kesusilaan dan
pertanggunganjawab kepada Tuhan5. Tahun 1990, keluarkan Keputusan Presiden No. 36 tentang
Hak Anak, ini merupakan salah satu luaran dari ketetapan dan advokasi yang dilakukan pihak
non-pemerintah dalam menegakkan HAM. Namun, ketetapan MPRS ini hanya sekedar hitam di
atas putih karena tidak ada lagi Undang-Undang, Keputusan Presiden, maupun Peraturan
Pemerintah lebih lanjut terkait regulasi HAM.

Meskipun pergerakan LSM sangat terlihat jelas pada akhir masa Orde Baru, sejak 1966 telah
lahir LSM HAM pertama di Indonesia bernama Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM)
oleh dua aktivis kemanusiaan Yap Thiam Hien dan H. Jan Conelius Princen. LPHAM
dipersiapkan untuk menghadang upaya sporadic pemerintahan Orde Baru yang melakukan
banyak pelanggaran HAM seperti pembunuhan, penangkapan, dan lainnya pada simpatisan,
anggota, maupun yang tertuduh berhubungan dengan PKI. LPHAM juga menggagas
terbentuknya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) yang resmi tahun 1970, Indonesian
Front for Defence of Human Rights (INFIGHT) tahun 1990, Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tahun 1998, yang juga bergerak di bidang penegakkan
HAM dan kemanusiaan. Upaya advokasi LSM pada akhir rezim Orde Baru berhasil membuat
pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 tentang berdirinya Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang bertugas mengakomodir segala bentuk
laporan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

4
http://www.tatanusa.co.id/tapmpr/66TAPMPR-XIV.pdf diakses pada 27 Mei 2016
5
http://www.tatanusa.co.id/tapmpr/65TAPMPR-VIII.pdf diakses pada 27 Mei 2016
Pelanggaran Hak Asasi Manusia Pada Tahun 1966-1998

Keteraturan tidak akan terwujud apabila tidak adanya sinkronisasi antara regulasi yang telah
disepakati dengan para eksekutor. Regulasi terkait HAM telah mulai dibangun dari Ketetapan
MPRS tahun 1966, namun faktanya masih terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM yang
dilakukan pemerintah kepada warga negaranya sendiri, khususnya terkait pada ras, suku, dan
latar belakang politik. Presiden Soeharto terkenal ahli dalam menjaga stabilitas
kepemimpinannya, salah satunya adalah dengan memanfaatkan kekuatan militernya. Dwi
Fungsi ABRI yang diwewenangkan Soeharto kepada para militer menjadi salah satu cara
baginya untuk mengerakkan Partai Politiknya agar terpilih kembali dalam Pemilu. Pada akhirnya,
dalam 32 tahun kepemimpinan Soeharto, ia menggunakan kekerasan dan represi untuk
mempertahannya kekuasaannya. Meskipun itu berarti mengesampingkan HAM yang juga ada
dalam kaidah Pancasila. Penculikan, pembunuhan, dan penahanan tanpa peradilan menjadi hal
yang biasa bagi lingkungan pemerintahan Soeharto, karena menurutnya ini salah satu cara untuk
menjaga stabilitas keamanan negara. Dilansir dari Tempo, 23 Januari 2004, Komnas HAM
mengungkap lima kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada rezim Orde Baru 6. Diantaranya
adalah peristiwa penangkapan dan penahanan di luar hukum terhadap orang-orang tertuduh PKI
ke Pulau Buru, peristiwa penembakan misterius (Petrus), peristiwa Tanjung Priok, empat kasus
Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dan Papua, serta peristiwa 27 Juli.

Pelanggaran lain yang bersangkutan dengan rasisme dirasakan oleh etnis Tionghoa yang
menetap di Indonesia maupun peranakan Tionghoa. Pada Desember 1966, sekolah-sekolah
Tionghoa mulai dilarang beroperasi, setahun kemudian koran-koran berbahasa Cina juga ditutup
peredarannya. Tidak hanya sampai disitu, perlakuan berbeda terus menerus diterima oleh etnis
Tionghoa. Pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda
Penduduk bagi etnis Tionghoa, pelarangan menjadi pegawan negeri sipil dan tentara negara,
pelarangan memiliki tanah di pedesaan, dan lainnya. Adapun Keputusan Presiden pada
Desember 1967 oleh Soeharto yang berisi kebijakan asimilasi etnis Tionghoa dengan cara
mengganti nama Tionghoa menjadi nama pribumi, melarang penggunaan aksara Cina,

6
http://m.tempo.co/read/news/2004/01/23/05538767/Komnas-HAM-Lima-Pelanggaran-HAM-Berat-di-Masa-
Soeharto diakses pada 27 Mei 2016
membatasi kegiatan keagamaan, dan lainnya7. Usaha asimilasi budaya ini tentu dalam kacamata
HAM internasional sangat menyimpang, karena memiliki, melestarikan, mempraktikan
kebudayaan masing-masing marupakan hak bagi setiap individu.

Rezim Internasional Memandang Hak Asasi Manusia pada Orde Baru

Secara umum, HAM secara internasional melihat dari adanya civil rights atau Hak sebagai
Warga Sipil, Hak berpolitik, Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Kebudayaan. Sumber ham yang
melandasi Hukum Kemanusiaan/HAM Internasional juga dapat berasal dari hukum perjanjian
internasional, kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum, keputusan hakim, dan
pendapat dari ahli hukum internasional. Berbicara soal HAM dalam masa Orde Baru, dapat
dilihat melalui perspektif International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang
mulai diusung tahun 1954 dan di resmikan pada tahun 1966. Indonesia pada tahun tersebut tidak
turut andil dalam perjanjian ini, namun pada tahun 2005, perjanjian ini diaksesi melalui Undang-
Undang No. 12 Tahun 2005. Berdasarkan data United Nation Human Rights, pada kurun waktu
1966 hingga 1998, Indonesia hanya meratifikasi 2 perjanjian internasional yang diusung United
Nation, yakni Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women
pada tahun 1984 dan Convention on the Rights of the Child tahun 19908.

ICCPR merupakan perjanjian yang diusung oleh United Nations General Assembly tahun 1966
dan benar-benar dapat berjalan efektif sejak 1976. Perjanjian ini meyepakati bahwa semua
negara yang setuju wajib menghormati hak sipil dan hak berpolitik yang dimiliki setiap individu
di negaranya. Ini juga termasuk hak untuk hidup, hak kebebasan memilih keyakinan, hak untuk
mengeluarkan pendapat, dan hak untuk berkumpul dan berdialog9. Melihat poin-poin hak yang
sangat menjunjung tinggi hak individu sebagai warga negara, praktek HAM yang terjadi pada era
Orde Baru sangat bertentangan di beberapa poin.

Pertama adalah hak warga sipil untuk dapat dengan bebas berpendapat, berkumpul dan berdialog
pada era Orde Baru sangat sulit untuk diwujudkan. Mengingat adanya petrus dan ABRI yang

7
http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru/
diakses pada 27 Mei 2016
8
http://indicators.ohchr.org/ diakses pada 27 Mei 2016
9
http://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/ccpr.aspx diakses pada 26 Mei 2016
siap menghentikan kegiatan-kegiatan yang dirasa membahayakan keamanan negara, terutama
yang berhubungan dengan komunis. Kemudian, hak untuk berpolitik, pada Orde Baru warga
negara dibebaskan untuk mengikuti Pemilihan Umum setiap 5 tahun sekali, namun ada kekuatan
pemerintah khususnya Soeharto dan Partai Golkar yang menciptakan opini publik untuk
membesarkan nama partainya. Seluruh PNS pada akhirnya memilih partai tersebut jika tidak
ingin kehilangan pekerjaannya.

Penutup

Indonesia telah mengalami banyak perubahan dalam segala aspek, baik aspek politik, ekonomi,
sosial budaya, dan lainnya. Menegakkan HAM terus menjadi pekerjaan bersama seluruh lapisan
masyarakat, setidaknya masyarakat paham akan hak-hak dan kewajiban selaku warga negara
Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak regulasi-regulasi negara yang tidak
memihak pada pihak yang benar. Peradilan dan hukum menjadi tajam ke luar namun tumpul ke
dalam akibat warisan sejarah bernama korupsi, kolusi, dan nepotisme. Banyak kontradiksi yang
terjadi antara regulasi terkait HAM pada Orde Baru dan praktiknya. Meskipun regulasi HAM
dapat terbilang berkembang, namun perlakuan diskriminatif dan pelanggaran HAM juga
terbilang banyak terjadi. Adapun regulasi yang justru semakin merampas HAM sekelompok
seperti yang terjadi pada etnis Tionghoa.

HAM menjadi salah satu hal penting bagi bangsa Indonesia, berkaca pada penafsiran sederhana
ideologi sekaligus dasar negara Indonesia, Pancasila. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi
bangsa Indonesia untuk menyerah akan penegakkan HAM. Pada sila pertama, Ketuhanan Yang
Maha Esa, artinya bangsa Indonesia memiliki kebebasan untuk memilih dan mempraktekan
agama bertuhan yang mereka yakini, dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian sila kedua,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dapat diartikan bahwa bangsa Indonesia memiliki hak
yang sama untuk hidup selayaknya manusia yang beradab. Beradab disini ialah mendapatkan
pendidikan yang layak, layanan kesehatan, pekerjaan, kesejahteraan, keamanan, dan lainnya
Telah menjadi tugas inti bagi negara untuk memfasilitasi hak-hak warganya.

Sila ketiga yakni Persatuan Indonesia, yang dapat dimaknai adanya hak bangsa Indonesia untuk
merasa memiliki Indonesia secara kesatuan. Sila ke empat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, bangsa Indonesia memiliki hak
untuk di wakilkan dalam pemerintahan dan hak untuk memilih siapa yang berhak mewakili
dirinya. Secara umum dapat dikatakan sebagai hak untuk berpartisipasi dalam politik. Kemudian
bangsa Indonesia juga memiliki hak kebebasan mengeluarkan pendapatnya pada musyawarah
maupun lainnya. Sila terakhir, Keadilah Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dimaksudnya
adanya hak perlakuan hukum yang memperoleh keadilan yang sama bagi seluruh lapisan
masyarakat.

Tentu apabila berkaca pada penafsiran HAM berdasar Pancasila tersebut, hingga saat ini masih
banyak masyarakat, terutama masyarakat kecil yang belum mendapatkan hak nya secara penuh.
Namun, saat ini jauh lebih baik dibandingkan pada masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
Baik hak untuk berpartisipasi politik dan berpendapat mendapat batasan yang sangat jelas dari
kepala negara. Pergerakan politik di batasi dengan hanya 3 partai politik yang diperbolehkan
beroperasi, setelah mengalami fusi antara Partai Politik lainnya. Kemudian hak kebebasan
berpendapat yang telah direngut dengan keberadaan Petrus dan media informasi yang hanya
berjumlah 1 dan dikuasai oleh pemerintah, menjadikan warga terbatas mengakses informasi dari
luar.

Anda mungkin juga menyukai