Anda di halaman 1dari 8

A.

Sistem Politik Pemerintahan pada Masa Orde Baru, yang meliputi :


1. Pengertian Orde Baru .....

Orde Baru merupakan salah satu istilah yang cukup familiar bagi kita. Menurut KBBI, kata baru berarti
menggambarkan suatu hal yang belum pernah ada sebelumnya. Sedangkan orde berarti sistem
pemerintahan. Secara terminologi, Orde Baru berarti suatu tatanan seluruh perikehidupan rakyat,
bangsa dan negara yang diletakan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan
konsekuen.

2. Surat Perintah 11 Maret

Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah
surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret.

Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan
dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam
mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.

Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD)
yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan
bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah Supersemar yang
dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.

3. Kabinet Ampera

Kabinet Ampera adalah kabinet yang dibentuk oleh Presiden Soekarno namun dijalankan oleh Soeharto.
Kabinet Ampera terdiri dari dua periode, yaitu Kabinet Ampera I dan II. Kabinet Ampera I bertugas sejak
28 Juli 1966 sampai 11 Oktober 1967 dan Kabinet Ampera menjalani masa bakti sejak 17 Oktober 1967
sampai 10 Juni 1968. Kabinet ini dibentuk setelah adanya sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara pada 1966 yang menugaskan Soeharto untuk membentuk kabinet baru tanpa mencopot
Soekarno dari kursi jabatannya.

Program Kerja

 Memperbaiki peri-kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.


 Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli
1968. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional.
 Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.

Kabinet Ampera II atau Kabinet yang Disempurnakan

Kabinet Ampera II menjadi kabinet lanjutan dari Kabinet Ampera I yang juga disebut sebagai kabinet
yang disempurnakan. Kabinet Ampera II ini sudah bertugas di bawah kepemerintahan Presiden
Soeharto pada periode 17 Oktober 1967 sampai 10 Juni 1968

Program Kerja

 Memperbaiki peri-kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan.


 Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli
1968.
 Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional.
 Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya.

4. Dualisme Kepemimpinan Soekarno dan Soeharto

Di antara Orde Lama dan Orde Baru, Indonesia mengalami dualisme kepemimpinan. Dualisme
kepemimpinan terjadi ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan, sementara Soekarno masih
menjabat sebagai presiden.

Latar belakang dualisme kepemimpinan nasional

Di awal 1966, kondisi politik bergejolak. Soekarno diprotes keras karena G30S dan perekonomian yang
memburuk. Puncaknya, pada 11 Maret 1966. Demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran terjadi di
depan Istana Negara. Demonstrasi ini didukung tentara. Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan
Jenderal Soeharto pun meminta agar Soekarno memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik
apabila diberi kepercayaan. Maka, pada 11 Maret 1996 sore di Istana Bogor, Soekarno menandatangani
surat perintah untuk mengatasi keadaan.

Surat itu dikenal sebagai Supersemar. Isinya, Soekarno memerintahkan Soeharto untuk:

 Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan
serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan
pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar
Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan
melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
 Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan
sebaik-baiknya.
 Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya
seperti tersebut di atas.

Soeharto memimpin pemerintahan

Supersemar bertujan mengatasi situasi saat itu. Pada praktiknya, Setelah mengantongi Supersemar,
Soeharto mengambil sejumlah keputusan lewat SK Presiden No 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966 atas
nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/PBR. Keputusan tersebut yakni:

Pembubaran PKI beserta ormasnya dan menyatakannya sebagai partai terlarang

Penangkapan 15 menteri yang terlibat atau pun mendukung G30S

Pemurnian MPRS dan lembaga negara lainnya dari unsur PKI dan menempatkan peranan lembaga itu
sesuai UUD 1945.
5. Pelaksanaan dwifungsi ABRI

Gagasan akan Dwifungsi ABRI pertama kali dicetuskan oleh Jenderal Nasution yang awalnya dipraktikkan
di divisi Siliwangi. Menurut Ali Murtopo, ABRI memang sejak pertama kali dibentuk dan selama
perkembangannya tidak hanya menjadi alat pertahanan dan keamanan (hankam) negara, namun juga
alat pengendali politik. Di sinilah bagaimana Dwifungsi ABRI bekerja dengan seakan-akan tanpa
gangguan dan dibenarkan secara mutlak. Data yang dikumpulkan oleh David Jenkins menunjukkan
bahwa pada pertengahan 1970an saja, terdapat 20.000 personel militer yang sebagian besar berasal
dari kesatuan Angkatan Darat yang masuk ke ranah politik, mulai dari menteri sampai duta besar,
gubernur, dan camat, dan bahkan di ranah ekonomi seperti direktur BUMN dan pejabat bank.

Masuknya para serdadu tentara ke dalam ranah di luar hankam tidak hanya menyebabkan berkurangnya
kesempatan masyarakat sipil untuk memiliki karir, namun juga terbukti mendorong maraknya kasus
korupsi di dalam tubuh pemerintahan dan sektor ekonomi yang merugikan rakyat, namun tidak ditindak
secara tegas menurut kerangka hukum. Yang menarik adalah bahwa pemerintah Orde Baru lebih sering
mempropagandakan bahwa ancaman keamanan nasional datangnya dari dalam negeri. Misalnya seperti
kejahatan yang dilakukan preman, dan akar-akar komunisme di lapisan masyarakat, dan hal tersebut
sebenarnya membuka jalan untuk membenarkan praktik Dwifungsi ABRI untuk berkuasa baik di ranah
hankam dan non-hankam. Intinya, barisan militer pada rezim Orde Baru menjadi alat kekuasaan dengan
diterapkannya Dwifungsi ABRI.

Selain kekuatan ABRI yang besar dalam kontrol hankam, mereka juga mendapatkan suatu ‘anugerah’
pembenaran dan kebebasan mutlak untuk melakukan penindasan terhadap masyarakat. Salah satu
contohnya adalah pembenaran atas tindakan kejahatan kemanusiaan pada ratusan ribu masyarakat
Indonesia yang ditangkap, dipenjara, dan bahkan dieksekusi tanpa proses peradilan karena dianggap
berafiliasi dengan komunisme. ABRI dibenarkan untuk semua tindakan tersebut, karena memegang
otoritas hankam yang tidak bisa dipatahkan oleh pihak manapun.

Sekarang jika kita lihat pada momentum pasca kejatuhan Orde Baru, secara tertulis memang praktik
Dwifungsi ABRI tidak lagi diterapkan, namun kekuatan militer di berbagai daerah masih dianggap suatu
solusi untuk alih-alih menjaga ‘stabilitas dan keamanan negara’. Misalnya masih ada saja serdadu aktif
yang dijadikan bagian dari struktur politik masyarakat sipil seperti RT/RW dan camat. Bahkan dalam
pemberitaan pun, tokoh-tokoh militer yang pernah terkait dengan isu-isu kejahatan kemanusiaan di
masa lalu masih digambarkan sebagai sosok pahlawan yang telah menjaga keutuhan negara. Secara
mental, negara kita masih tidak bisa atau tidak mau jauh-jauh dari keagungan militerisme yang dianggap
gagah dan berjasa, dan hal tersebut tidak lain adalah untuk membentuk pencitraan ABRI atau TNI yang
masih pantas untuk terlibat di dalam ranah non-hankam negara Indonesia dan membenarkan apa yang
telah mereka lakukan di masa lalu.

6. Pemilu masa Orde Baru

Pemilu pada masa Orde Baru memiliki keunikan tersendiri dari pada pemilu yang terjadi sebelum dan
sesudahnya. Seperti yang kalian pelajari diatas, keunikan tersebut disebabkan oleh kebijakan fusi partai,
sehingga pemilihan umum sejak tahun 1977 hanya dikuti oleh 3 partai politik. Pelaksanaan Pemilu
sendiri pada masa orde baru berlangsung enam kali, yakni 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Pada pemilu 1971, peserta partai politik masih cukup banyak yakni 10 partai politik, pada pemilu ini
Golongan Karya meraih suara terbanyak. Pemilu selanjutnya dimulai sejak tahun 1977 hingga 1997
partai peserta pemilu diikuti oleh tiga partai politik yakni PPP, Golongan Karya dan PDI, pada
pelaksanaan pemilu itu pula Golongan Karya meraih suara terbanyak.

7. Penyeragaman idiologi Pancasila

Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara penyeragaman
ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan alasan Pancasila telah menjadi konsensus nasional,
keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan. Gagasan ini disampaikan oleh Presiden
Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 19 Desember
1974. Kemudian dalam pidatonya menjelang pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus
1976, di Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh rakyat agar berikrar pada diri sendiri
mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetia bagi ikrar tersebut.

Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR, Akhirnya, pada 21 Maret 1978 rancangan P4
disahkan menjadi Tap MPR No.II/MPR/1978. Setelah disahkan MPR. Tujuan penataran P4 adalah
membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi Pancasila, sehingga dengan pemahaman yang
sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan
tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.
Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari
sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.

Melalui penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan penekanan pada masalah “suku”, “agama”,
“ras”, dan “antargolongan”, (Sara). Menurut pemerintah Orde baru, “sara” merupakan masalah yang
sensitif di Indonesia yang sering menjadi penyebab timbulnya konflik atau kerusuhan sosial. Oleh karena
itu, masyarakat tidak boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan Sara. Secara tidak
langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam; dengan kata lain yang lebih halus, harus mau
bersikap toleran dalam arti tidak boleh membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang berkaitan
dengan masalah sara.

Meskipun demikian, akhirnya konflik yang bermuatan sara itu tetap tidak dapat dihindari. Pada tahun
1992 misalnya, terjadi konflik antara kaum muslim dan non muslim di Jakarta (Ricklefs, 2005: 640).
Demikian pula halnya dengan P4. Setelah beberapa tahun berjalan, kritik datang dari berbagai kalangan
terhadap pelaksanaan P4. Berdasarkan pengamatan di lapangan banyak peserta penataran pada
umumnya merasa muak terhadap P4. Fakta ini kemudian disampaikan kepada Presiden agar masalah P4
ditinjau kembali.

Setelah P4 menjadi Tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya orsospol yang diseragamkan dalam arti
harus mau menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas partai dan organisasi, yang dikenal dengan
sebutan “asas tunggal”. Gagasan asas tunggal ini disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato
pembukaan Rapat Pimpinan ABRI (Rapim ABRI), di Pekanbaru , Riau, tanggal 27 Maret 1980 dan
dilontarkan kembali pada acara ulang tahun Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) di Cijantung,
Jakarta 16 April 1980.
8. Kebijakan Politik Luar Negeri Orde Baru

Landasan kebijakan politik luar negeri Orde Baru secara legalitas ditetapkan dalam Tap No.XII/
MPRS/1966. Menurut Tap MPRS tersebut bahwa politik luar negeri RI secara keseluruhan mengabdikan
diri kepada kepentingan nasional. Oleh sebab itu, maka politik luar negeri RI yang bebas dan aktif tidak
dibenarkan memihak kepada salah satu blok ideologi yang ada.

a. Normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia

Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia setelah diumumkan Dwikora oleh Presiden Soekarno
pada tanggal 3 Mei 1964. Tindakan pemerintah Orde Lama ini jelas menyimpang dari pelaksanaan politik
luar negeri bebas aktif.

Normalisasi hubungan Indonesia–Malaysia tersebut berhasil dicapai dengan ditandatangani Jakarta


Accord pada tanggal 11 Agustus 1966. Persetujuan normalisasi hubungan Indonesia–Malaysia
merupakan hasil perundingan di Bangkok (29 Mei–1 Juni 1966). Perundingan dilakukan Wakil Perdana
Menteri/Menteri Luar Negeri Malaysia, Tun Abdul Razak dan Menteri Utama/Menteri Luar Negeri
Indonesia, Adam Malik. Perundingan telah menghasilkan persetujuan yang dikenal sebagai Persetujuan
Bangkok.

b. Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno telah aktif menjadi anggota PBB, tepatnya pada 28
September 1950. Sering perkembangan Soekarno memutuskan Indonesia untuk keluar dari organisasi
dunia tersebut pada 1 Januari 1965. Faktor utama keluarnya Indonesia dari PBB ialah diterimanya
Malaysia sebagai anggota tidak tetap PBB.

Seiring peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto pada tahun 1966, Indonesia kembali
memutuskan untuk kembali ke PBB pada 28 September. Hal tersebut didasarkan atas politik luar negeri
Indonesia yang bebas aktif. Keaktifan Indonesia dalam PBB secara nyata tampak dengan terpilihnya
Mentri Luar Negeri Indonesia, Adam Malik menjadi ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun
1974.

c. Pemerkasa ASEAN

Keaktifan Indonesia dalah hubungan luar negeri juga dibuktikan dengan terbentuknya ASEAN.
Association of Southeast Asia Nations atau ASEAN ialah perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara yang
didasari oleh rasa setia kawan, persahabatan dan kerja sama. Organisasi ini dibentuk pada 8 Austus 1967
di Bangkok, Thailand. Indonesia yang diwakili oleh Adam Malik termasuk menjadi pelopor dalam
terbentuknya ASEAN dengan menandatangani Deklarasi Bangkok tersebut.

9. Peristiwa Malari , 15 Januari 1974

Peristiwa Malari adalah demonstrasi mahasiswa yang berujung kerusuhan besar yang terjadi pada 15
Januari 1974. Peristiwa ini berawal dari rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei ke
Indonesia dan juga kisruh investasi asing saat itu. Jumlah korban peristiwa Malari adalah 11 orang
tewas, 137 orang luka-luka, 750 orang ditangkap.
Berikut kronologi Peristiwa Malari

Mahasiswa menyambut kedatangan Kakuei pada 14 Januari dengan melakukan demonstrasi di Bandara
Halim Perdanakusuma. Namun, para demonstran tak bisa masuk karena mendapat penjagaan ketat dari
aparat keamanan. Keesokan harinya, mahasiswa kembali turun ke jalan untuk menuntut
ketidaksetaraan penanaman modal asing yang menguntungkan kelompok tertentu, pemberantasan
korupsi, dan tingginya harga kebutuhan pokok. Selain tiga tuntutan itu, mahasiswa juga menuntut
dibubarkannya Asisten Penasehat Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto.

Menjelang sore hari, aksi demonstrasi mulai memanas dan berakhir ricuh. Kerusuhan besar ini diduga
terjadi karena provokator. Saat itu, terjadi sejumlah pengrusakan, pembakaran, dan penghancuran
merek mobil Jepang. Kerusuhan yang semula terjadi di Jalan Sudirman meluas hingga ke Senen. Massa
menjara dan membakar pusat perbelanjaan itu. Sejumlah gedung pun terbakar.

Dampak Peristiwa Malari

Aparat keamanan menyalahkan mahasiswa sebagai dalang di balik kerusuhan tersebut. Namun,
mahasiswa menyanggah dan menyebut aksi yang mereka lakukan dari Salemba ke Grogol berlangsung
damai. Setelah kerusuhan, Presiden Soeharto mengambil langkah dengan mencopot Panglima Komando
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Sumitro. Dia dianggap bertanggung jawab
terjadinya kerusuhan dan korban tewas.

Pencopotan juga menimpa orang-orang terdekat Sumitro. Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara
(Bakin) Sutopo Juwono dicopot dan digantikan oleh Yoga Soegomo. Sementara Ketua Dewan Mahasiswa
Universitas Indonesia yang saat itu menjadi penggerak para mahasiswa berdemonstrasi, Hariman Siregar
dinyatakan bersalah oleh pemerintah dan dijatuhi hukuman penjara. Tuntutan pembubaran Aspri
tercapai. Lembaga Asisten Pribadi Presiden pun dibubarkan. Meski begitu, Mantan pemimpin Aspri Ali
Murtopo dipindah tugaskan ke Bakin.

10. Integrasi Timor Timur pada 17 Juli 1976

17 Juli merupakan hari yang cukup bersejarah di Indonesia. Ya, tepat pada tanggal 17 Juli selalu
diperingati sebagai Hari Integrasi Timor Timur. Sejak tanggal 17 Juli 1976, Timor Timur atau yang kita
kenal dengan Timor Leste telah resmi bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejarah mencatat bahwa proses integrasi Timor Timur didahului dengan rangkaian invasi militer oleh
rezim Odre Baru serta disebut-sebut adanya dukungan dari Pemerintah Amerika Serikat.

Sejarah kolonisasi di Timtim terjadi sejak abad ke-15 Masehi. Saat itu orang-orang Portugis kerap
singgah untuk berdagang. Namun tidak berlangsung lama, dari hal itu bangsa asing Eropa ini justru telah
berhasil menduduki pulau seluas 30.777 km persegi tersebut.

Memasuki abad ke-17, mulailah muncul gangguan dari Belanda yang sangat ingin menguasai Timor
Timur. Setelah terjadi beberapa kali bentrokan akhirnya Portugis terpaksa menjalin perjanjian serta
menyerahkan sisi barat pulau Timor kepada pihak Belanda. Oleh sebab itulah mengapa wilayah Timor
Timur belum menjadi bagian dari Indonesia dari sejak awal. Hal tersebut berbeda dengan pulau Timor
bagian barat yang sudah dikuasai Belanda yang kini sudah menjadi sebuah Provinsi Nusa Tenggara
Timur.

Riwayat Perjalanan Timor Timur


Kemenangan Jepang atas Belanda pada tahun 1942 memang merubah situasi di Timor. Selain Jepang
berhasil mengambil alih wilayah Hindia Belanda, pasukan Dai Nippon juga berhasil merebut Timor
Timur. Hanya saya, setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Portugal kembali
menduduki kawasan tersebut.

Tepat pada tahun 1974, perubahan Timor Timur mulai muncul seiring dengan bergolaknya politik di
Portugal. Sejarah menyebutkan bahwa pada tanggal 25 April 1974 telah terjadi kudeta tak berdarah
yang dikenal sebagai Revolusi Anyelir.

Revolusi Anyelir tersebut dimotori oleh Movimento das Forcas Armadas (MFA) atau yang dikenal dengan
Pergerakan Tentara Darat yang berhasil menumbangkan Kekuasaan Perdana Menteri Portugal, Marcello
Caetano. Selain itu, pergolakan tersebut juga berakibat pada penarikan militer Portugis dari beberapa
wilayah jajahan termasuk Angola, Mozambik, Cape Verde dan Guinea Portugis di Afrika sampai Timor
Timur di Nusantara.

Setelah Revolusi Anyelir di Portugal usai, Timtim terbelah menjadi tigal faksi yaitu Frente Revolucionaria
de Timor-Leste Independenter (Freitilin), Partai Uniao Democratica Timorense (UDT) dan Associacao
Popular Democratica de Timor (Apodeti).

Persaingan sengit kembali terjadi antara UDT dan Fretilin untuk merebutkan simpati masyarakat Timor
Timur. UDT telah menuduh bahwa Fretilin akan membawa Timtim menjadi negara Komunis.
Perseteruan tersebut berujung pada sebuah konflik berdarah dimana banyak warga Timtim yang
mengungsi ke wilayah perbatasan dengan Indonesia.

Indonesia di Dukung Pemerintah AS Untuk Merebut Timor Timur

Saat masa Pemerintahan Orde Baru yang mana pada saat itu Indonesia dipimpin oleh Soeharto sebagai
Presiden RI sangat merasa khawatir jika Timtim menjadi komunis dan menyebarkan paham tersebut ke
Indonesia. Soeharto kemudian menjalin komunikasi dengan Gerald Rudolph Ford Jr yang merupakan
Presiden Amerika Serikat terkait hal tersebut.

Pada tanggal 6 Desember 1975, Presiden Ford serta Menteri Luar Negeri AS bernama Henry Kissinger
diterima oleh Soeharto di Jakarta. Sejarah mencatat bahwa dari pertemuannya tersebut mendapatkan
hasil yakni dilancarkannya invasi militer ke Timor Timur yang dikenal dengan “Operasi Seroja”.

Dalam invasi militer ini AS memang memiliki peran yang sangat penting, fakta menyebutkan bahwa
Amerika Serikat menyuplai 100% senjata untuk militer Indonesia pada saat itu. Sebelum Operasi Seroja
tersebut dilakukan, Pemerintah Indonesia sudah melancarkan operasi intelijen dengan nama sandi
Operasi Komodo di tahun 1974 unuk mencari info terkait politik Timtim yang berpusat di Dili.

Operasi Komodo tersebut dipimpin oleh Ai Moertopo yang bertujuan untuk memasukkan seluruh
wilayah Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia. Dari hasil penyelidikan tersebut terungkap
bahwa Fretilin yang memiliki paham komunis dan menginginkan kemerdekaan lebih diminati oleh
sebagian besar masyarakat Timor Timur. Nah, dari kejadian inilah yang menjadi pemicu alasan
pemerintah RI dan AS melancarkan Operasi Seroja pada tanggal 7 Desember 1975.
Kekuatan dari Fretilin ternyata tidak sebanding dengan pasukan perang dari RI yang disebut-sebut
mendapatkan bantuan dari AS. Tepat malam hari pada tanggal 7 Desember 1975, Dili sudah bisa
dikuasai. Tiga hari setelah itu, giliran kota besar kedua di Timor Timur yaitu Baucau yang direbut oleh
militer Indonesia.

Hanya membutuhkan waktu setengah tahun tepat pada tanggal 17 Juli 1976, Timor Timur sepenuhnya
telah dikuasai serta resmi menjadi bagian dari NKRI sebagai provinsi ke 27. Namun, setelah Soeharto
dan Orde Baru runtuh, diadakanlah sebuah referendum Timtim pada tanggal 30 Agustus 1999 yang
hasilnya wilayah tersebut lepas dari Indonesia dan berdirilah sebuah negara bernama Timor Leste.

Anda mungkin juga menyukai