Anda di halaman 1dari 4

ORDE BARU

Orde Baru (sering kali disingkat Orba) adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden
Jenderal Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11
Maret 1966.[3] Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu
tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan
praktik korupsi yang merajalela dan pengekangan kebebasan berpendapat.

1. Latar Belakang
Meski telah merdeka, Indonesia pada tahun 1950 hingga 1960-an berada dalam
kondisi yang relatif tidak stabil. Bahkan, setelah Belanda secara resmi mengakui
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, keadaan politik maupun ekonomi di Indonesia
masih labil karena ketatnya persaingan di antara kelompok-kelompok politik. Keputusan
Soekarno untuk mengganti sistem parlemen dengan Demokrasi Terpimpin memperparah
kondisi ini dengan memperuncing persaingan antara angkatan bersenjata dengan Partai
Komunis Indonesia, yang kala itu berniat mempersenjatai diri. Sebelum sempat
terlaksana, peristiwa Gerakan 30 September terjadi dan mengakibatkan diberangusnya
Partai Komunis Indonesia dari Indonesia. Sejak saat itu, kekuasaan Soekarno perlahan-
lahan mulai melemah.

2. Supersemar dan Kebangkitan


1) Kelahiran Surat Perintah Sebelas 1966 (Supersemar)
Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
pada tahun 1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya Orde Baru bertujuan
meletakkan kembali tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada
kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret


1966. Saat itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh
Presiden Soekarno sedang berlangsung. Di tengah-tengah acara, ajudan presiden
melaporkan bahwa di sekitar istana terdapat pasukan yang tidak dikenal. Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden Soekarno menyerahkan
pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. Johannes
Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr
Subandrio, dan Waperdam III Chaerul Saleh. Leimena sendiri menyusul presiden
segera setelah sidang berakhir.
Di tempat lain, tiga orang perwira tinggi, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat,
Brigadir Jenderal M. Yusuf, dan Brigadir Jenderal Amir Machmud bertemu
dengan Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat dan
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib) untuk meminta izin menghadap presiden. Segera setelah
mendapat izin, pada hari yang sama tiga perwira tinggi ini datang ke Istana Bogor
dengan tujuan melaporkan kondisi di ibu kota Jakarta meyakinkan Presiden
Soekarno bahwa Angkatan Bersenjaya Republik Indonesia, khususnya Angkatan
Darat, dalam kondisi siap siaga. Namun, mereka juga memohon agar Presiden
Soekarno mengambil tindakan untuk mengatasi keadaan ini.

Menanggapi permohonan ini, Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah


yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Soeharto selaku Menteri Panglima
Angkatan Darat untuk mengambil tindakan dalam rangka menjamin keamanan,
ketenangan, dan stabilitas pemerintahan demi keutuhan bangsa dan negara
Republik Indonesia. Perumusan surat perintah ini sendiri dibantu oleh tiga
perwira tinggi ABRI, yaitu Mayor Jenderal Basuki Rachmat, Brigadir Jenderal M.
Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Sabur,
Komandan Pasukan Pengawal Presiden Tjakrabirawa. Surat perintah inilah yang
kemudian dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.

2) Pemberangusan Partai Komunis Indonesia


Sebagai tindak lanjut keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret, Letnan Jenderal
Soeharto mengambil beberapa tindakan. Pada tanggal 12 Maret 1966, ia
mengeluarkan surat keputusan yang berisi pembubaran dan larangan bagi Partai
Komunis Indonesia serta ormas-ormas yang bernaung dan berlindung atau senada
dengannya untuk beraktivitas dan hidup di wilayah Indonesia. Keputusan ini
kemudian diperkuat dengan Keputusan Presiden/Pangti ABRI ABRI/Mandataris
MPRS No.1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966. Keputusan pembubaran Partai
Komunis Indonesia beserta ormas-ormasnya mendapat sambutan dan dukungan
karena merupakan salah satu realisasi dari Tritura.

Pada tanggal 18 Maret 1966, Soeharto mengamankan 15 orang menteri yang


dinilai tersangkut dalam Gerakan 30 September dan diragukan etika baiknya yang
dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 5 Tanggal 18 Maret 1966. Ia kemudian
memperbaharui Kabinet Dwikora yang disempurnakan dan membersihkan
lembaga legislatif, termasuk MPRS dan DPRGR, dari orang-orang yang dianggap
terlibat Gerakan 30 September. Keanggotaan Partai Komunis Indonesia dalam
MPRS dinyatakan gugur. Peran dan kedudukan MPRS juga dikembalikan sesuai
dengan UUD 1945, yakni di atas presiden, bukan sebaliknya. Di DPRGR sendiri,
secara total ada 62 orang anggota yang diberhentikan. Letnan Jenderal Soeharto
juga memisahkan jabatan pimpinan DPRGR dengan jabatan eksekutif sehingga
pimpinan DPRGR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri.

Selain dibubarkan dan dibersihkan, kader-kader Partai Komunis Indonesia juga


dibantai khususnya di wilayah pedesaan-pedesaan di pulau Jawa. Pembantaian ini
tidak hanya dilakukan oleh angkatan bersenjata. Namun, juga oleh rakyat biasa
yang dipersenjatai. Selain kader, ribuan pegawai negeri, ilmuwan, dan seniman
yang dianggap terlibat juga ditangkap dan dikelompokkan berdasarkan tingkat
keterlibatannya dengan Partai Komunis Indonesia. Sebagian diasingkan ke Pulau
Buru, sebuah pulau kecil di wilayah Maluku. Sejak pertengahan dekade 1980-an,
pada tanggal 30 September setiap tahunnya, pemerintah menayangkan film yang
menggambarkan Partai Komunis Indonesia sebagai organisasi yang keji.

3) Pembentukan Kabinet Ampera


Dalam rangka memenuhi tuntutan ketiga Tritura, Letnan Jenderal Soeharto
dengan dukungan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 membentuk kabinet
baru yang diberi nama Kabinet Ampera. Tugas utama Kabinet Ampera adalah
menciptakan stabilitas ekonomi dan stabilitas politik, atau dikenal dengan nama
Dwidarma Kabinet Ampera. Program kerja yang dicanangkan Kabinet Ampera
disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:
a) memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;
b) melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti tercantum dalam
Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
c) melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan
nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
d) melanjutkan perjuangan antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala
bentuk dan manifestasinya.

Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, namun pelaksanaannya


dilakukan oleh Presidium Kabinet yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto.
Akibatnya, muncul dualisme kepemimpinan yang menjadi kondisi kurang
menguntungkan bagi stabilitas politik saat itu. Soekarno kala itu masih memiliki
pengaruh politik, namun kekuatannya perlahan-lahan dilemahkan. Kalangan
militer, khususnya yang mendapatkan pendidikan di negara Barat, keberatan
dengan kebijakan pemerintah Soekarno yang dekat dengan Partai Komunis
Indonesia. Mengalirnya bantuan dana dari Uni Soviet dan Tiongkok pun semakin
menambah kekhawatiran bahwa Indonesia bergerak menjadi negara komunis.
Akhirnya pada 22 Februari 1967, untuk mengatasi situasi konflik yang semakin
memuncak kala itu, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal
Soeharto. Penyerahan ini tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris
MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari 1967. Pengumuman itu
didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila
presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi sebagai
pemegang jabatan presiden. Pada 4 Maret 1967, Jenderal Soeharto memberikan
keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRHR mengenai terjadinya
penyerahan kekuasaan. Namun, pemerintah tetap berpendirian bahwa sidang
MPRS perlu dilaksanakan agar penyerahan kekuasaan tetap konstitusional.
Karena itu, diadakanlah Sidang Istimewa MPRS pada tanggal 7-12 Maret 1967 di
Jakarta, yang akhirnya secara resmi mengangkat Soeharto sebagai presiden
Republik Indonesia hingga terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.

3. Kebijakan Ekonomi
4) Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita)
4. Penataan Kehidupan Poliik
5. Penataan Politik Luar Negeri
6. Penataan Kehidupan Ekonomi
7. Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru
8. Kelebihan dan Kekurangan sistem Pemerintahan Orde Baru
9. Pasca Orde Baru

Anda mungkin juga menyukai