Anda di halaman 1dari 5

MASA TRANSISI 1966-1967

Disusun

Kelompok 1

Amanda

Chindy Irwinda

Florianty Bere Bintura

Je Kurniawan

Peni

Suwinty

Thania Stevani

Ucok Ordinata

SMAN 7 SINGKAWANG

Tahun pelajaran 2022/2023


A. Masa Transisi 1966-1967

1. Aksi-aksi Tritura

naiknya letnan jendral Soeharto ke kursi kepresidenan tisldak dapat dilepaskan dari peristiwa
G 30 S/PKI.peristiwa yang menjadi titik awal berakhirnya kekuasaan presiden Soekarno dan
hilangnya kekuasaan politik Indonesia.

pada saat itu keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau, keadaan perekonomian
makin memburuk dimana inflas mencapai 600%, sedangkan upaya pemerintah melakukan
deflarasi rupiah dan kenaikan menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.penyesalan yang
seadil-adilnyatethadap pelaku G 30 S/PKI semakin meningkat .Gerakan tersebut dipelopori oleh
kekuasaan aksi pemuda-pemuda , mahasiswa,dan pelajar(KAPPI,KAMI,KAPI), kemudian muncul
pula KABI(buruh),KASI(sarjana),KAWI(wanita),KAGI(guru),dan lain-lain. pada tanggal 26 Oktober
1965 membulatkan mereka dalam satu front,yaitu front Pancasila

pada tanggal 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang
tergabung dalam front Pancasila mendatangi DPR -GR mengajukan tiga buah tuntunan yaitu:

1.pembubaran PKI

2.pembersihan kabinet dari unsur-unsur G 30 S/PKI

3.penurunan harga/perbaikan ekonomi

Tuntutan rakyat banyak agar presiden Soekarno membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi
presiden. Pada pelantikan kabinet 100 menteri pada tanggal 24 februari 1966 para mahasiswa
pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan menunju istana merdeka. Aksi itu dihadang oleh
pasukan Cakrabirawa sehingga menyebabkan bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan
para demonstran yang menyebabkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arief
Rachman Hakim. Sebagai akibat dari aksi itu keesokan harinya yaitu pada tanggal 25 Pebruari
1966 berdasarkan keputusan panglima Komando Ganyang Malaysia ( Kogam) yaitu presiden
Soekarno sendiri, KAMI bubarkan.

Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan "Ikrar
Keadilan dan Kebenaran" yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat untuk
meneruskan perjuangan. Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front
Pancasila dan meminta kepada pemerintah agar meninjau kembali pembubaran KAMI. Pada 8
Maret 1966.

2. Surat Perintah Sebelas Maret


Untuk mengatasi kritis politik yang memuncak, pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno
mengadakan sidang kabinet. Sidang ini ternyata diboikot oleh para demonstran yang tetap
menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan PKI, dengan melakukan pengempesan ban-
ban mobil pada jalan-jalan yang menuju ke istana.

Belum lama lama presiden berpidato dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen Sabur, Komandan
Cakrabirawa bahwa di luar istana terdapat pasukan tanpa tanda pengenal dengan seragamnya.
Meskipun ada jaminan dari Pangdam V/Jaya Amir Machmud, yang hadir waktu itu, bahwa
keadaan tetap aman, Presiden Soekarno tetap merasa khawatir dan segera meninggalkan
sidang. Sidang kemudian di tutup oleh Waperdam II Dr.J.Leimena yang kemudian menyusul ke
Bogor dengan mobil. Sebelum berangkat, ketiga perwira tinggi itu minta ijin kepada atasannya
yakni Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto yang juga merangkap selaku
panglima kompkamtib.

Pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah meletusnya pemberontakan G30S/PKI antara Presiden
Soekarno dengan Letjen Soeharto terjadi perbedaan pendapat mengenai kunci bagi usaha
merendahkan pergolakan politik saat itu. Menurut Letjen Soeharto pergolakan rakyat tidak
akan reda sebelum rasa keadilan rakyat dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan
jalan membubarkan PKI yang telah melakukan pemberontakan. Sebaliknya Presiden Soekarno
menyatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan
Doktrin Nasakom yang telah dicanangkan ke seluruh dunia.

Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan Presiden yang
didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J Leimena dan Dr. Chaerul Saleh. Sesuai dengan kesimpulan
pembicaraan, ketiga perwira tinggi tersebut bersama dengan komandan Resimen Cakrabirawa,
Brigjen. Setelah dibahas bersama akhirnya Presiden Soekarno menandatangani surat perintah
yang kemudian terkenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).

Supersemar berisi pemberian mandat kepada Letjen. Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat
dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Tindakan
pertama yang dilaksanakan Soeharto setelah menerima surat perintah itu membubarkan dan
melarang PKI beserta organisasinya , terhitung sejak 12 Maret 1966. Selain itu Letjen Soeharto
juga menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa untuk kembali ke sekolah. Tindakan itu
kendala keputusan presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri
yang diduga terkait dengan G30S/PKI. Demi lancarnya tugas pemerintahan Letjen Soeharto
mengangkat lima orang menteri koordinator ad interim yaitu Sultan Hamengkubuwono IX,
Adam Malik, Dr. Roeslan Abdulgani, Dr.K.H. Idham Chalid, dan Dr.J. Leimena.

3. Dualisme Kepemimpinan Nasional


Di awal 1966, kondisi politik bergejolak. Soekarno diprotes keras karena G30S dan
perekonomian yang memburuk. Puncaknya, pada 11 Maret 1966. Demonstrasi mahasiswa
secara besar-besaran terjadi di depan Istana Negara. Demonstrasi ini didukung tentara.
Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto pun meminta agar Soekarno
memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik apabila diberi kepercayaan. Tujuannya
adalah untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno dan mengubah Indonesia
menjadi negara komunis. Di malam 1 Oktober 1965, Gerakan ini mengincar perwira tinggi TNI
AD. Tiga dari enam orang yang menjadi target langsung dibunuh di kediamannya.

Dalam sidang mprs yang digelar sejak akhir bulan juni sampai awal juli 1966 memutuskan
menjadikan supersemar sebagai ketetapan (tap) MPRS. Dalam sidang MPRS itu juga, majelis
mulai membatasi hak progratif soekarno selaku presiden. secara eksplisit dinyatakan bahwa
gelar " Pemimpin Besar Repolusi"tidak lagi mengandung keluatan hukum. Pada tanggal 22 juni
1966,presiden soekarno menyampaikan pidato "naskawara" dalam persidangan MPRS. isi
pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebap-sebap meletusnya pristiwa berdarah yang
terjadi pada tanggal 30 september 1965. melalui keptusan Nomor 5/MPRS/1966,MPRS
memutuskan untuk meminta keoada presiden agar melengkapi laporan
pertanggungjawabannya,beserta epiognya dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak.

Pada tanggal 10 january 1967 presiden menyampaikan surat kepada pemimpin MPRS yang
berisi perlengkapan naskawarah (pelnawaksara). dalam pelnawaksara itu mengemukakakan
bahwa mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan garis-garis besar
haluan negara dan bukan hal-hal yang lain. naskawara baginya hanya sebagai progres report
yang ia sampaikan secara sukarela. ia juga menolak untuk seorang diri
mempertanggungkawabkan terjadinya gerakan 30 septrmber, kemesorotan ekonomi dan
akhlak.

Seorang sahabat Soekarno, Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno dan memohon agar
Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara,
karena dualisme kepemimpinan inilah yang menjadi sumber konflik politik yang tidak kunjung
berhenti. Mr. Hardi menyarankan agar Soekarno sebagai mandataris MPRS, menyatakan non
aktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI. Presiden Soekarno
menyetujui saran Mr. Hardi. Maka di susunlah “Surat Penugasan mengenai Pimpinan
Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966.

Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari 1967, Mr. Hardi
menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan konsep tersebut. Pada 8 Februari 1967,
Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima Angkatan. Para panglima
berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat penugasan
tersebut tidak membantu menyelesaikan situasi konflik. Kesimpulan itu disampaikan Soeharto
kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967. Soeharto mengajukan draft berisi
pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban
Surat Perintah 11 Maret 1966. Presiden Soekarno tidak berkenan dengan usulan draft tersebut,
kemudian sikap Presiden Soekarno melunak, dan memerintahkan agar Soeharto beserta
Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari 1967, Presiden
menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari draft surat itu telah ditandatangani
oleh Presiden. Ia meminta agar diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967. Tepat
pada pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.
Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat Presiden Republik
Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setahun menjadi pejabat presiden,
Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam
Sidang Umum V MPRS. Melalui Tap No. XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan
sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu.
Pengukuhan itu menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya
pemerintahan Orde Baru.

Anda mungkin juga menyukai