26 Oktober 1965
Berbagai kesatuan aksi dengan gigih menuntut penyelesaian politis yang terlibat G 30 S/PKI, dan
kemudian membulatkan barisan mereka dalam satu front, yaitu Front Pancasila.
Perasaan tidak puas terhadap keadaan saat itu mendorong para pemuda dan mahasiswa
mencetuskan Tri Tuntutan Rakyat yang lebih dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan
Rakyat).
12 Januari 1966
Dipelopori oleh KAMI dan KAPPI (pemuda, mahasiswa, dan pelajar), kesatuan-kesatuan aksi yang
tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan yaitu: (1)
Pembubaran PKI, (2) Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G 30 S/ PKI, dan (3) Penurunan
harga/perbaikan ekonomi.
Nyatanya, tuntutan tersebut tidak dipenuhi oleh presiden dan untuk menenangkan rakyat,
Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri.
24 Februari 1996
Pada saat pelantikan Kabinet 100 Menteri, para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi
jalan-jalan menuju Istana Merdeka. Namun, aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa
sehingga menyebabkan bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran.
25 Februari 1996
Sebagai akibat dari aksi itu, berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang Malaysia
(Kogam), yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan.
Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung serta Front Pancasila dengan
mengeluarkan “Ikrar Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan
mengajak rakyat untuk meneruskan perjuangan.
8 Maret 1966
Para pelajar dan mahasiswa yang melakukan demonstrasi membuat kekacauan di gedung
Departemen Luar Negeri dan juga kantor berita Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua. Aksi para
demonstran tersebut menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno. Pada hari itu juga presiden
mengeluarkan perintah harian agar seluruh komponen bangsa lebih berwaspada.
11 Maret 1966
Untuk mengatasi krisis politik yang memuncak, Soekarno mengadakan sidang kabinet.
Sementara itu, tiga orang perwira tinggi TNI-AD, sepakat untuk menyusul Presiden Soekarno ke
Bogor. Sebelum berangkat, ketiga perwira tinggi itu minta ijin kepada Letnan Jenderal Soeharto
yang sedang sakit kala itu. Soeharto menitipkan pesan untuk Soekarno pada Mayjen. Basuki
Rachmat, “sampaikan saja bahwa saya tetap pada kesanggupan saya. Beliau akan mengerti”
Latar belakang dari ucapan itu ialah bahwa sejak pertemuan mereka di Bogor pada tanggal 2
Oktober 1965 setelah meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI. Antara Presiden Soekarno
dengan Letjen. Soeharto terjadi perbedaan pendapat mengenai kunci bagi usaha meredakan
pergolakan politik saat itu.
Soekarno Soeharto
Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri untuk membubarkan PKI asal mendapat
kebebasan bertindak dari presiden. Pesan Soeharto yang disampaikan kepada ketiga orang
perwira tinggi yang akan berangkat ke Bogor mengacu kepada kesanggupan tersebut.
Sesuai dengan kesimpulan pembicaraan, ketiga perwira tinggi tersebut bersama dengan
komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen. Sabur, kemudian diperintahkan membuat konsep
surat perintah kepada Letjen. Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan
pemerintah. Setelah dibahas bersama, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani surat
perintah yang kemudian terkenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar.
Supersemar berisi pemberian mandat kepada Letjen. Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat
dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Keluarnya
Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.
Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan
dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi seperti ini berakibat pada munculnya
“dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan
Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan.
Dalam Sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966 memutuskan
menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS.
22 Juni 1966
presiden Soekarno menyampaikan pidato “Nawaksara” dalam persidangan MPRS. Pidato itu
memang berisi sembilan pokok persoalan yang dianggap penting oleh Presiden Soekarno selaku
mandataris MPR. Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya
peristiwa berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Melalui Keputusan Nomor
5/MPRS/1966, MPRS memutuskan untuk minta kepada presiden agar melengkapi laporan
pertanggungjawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa Gerakan 30
September beserta epilognya dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak.
10 Januari 1967
Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara
(Pelnawaksara). Dalam Pelnawaksara itu Presiden mengemukakan bahwa Mandataris MPRS
hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-
hal yang lain. Ia juga menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan terjadinya
peristiwa Gerakan 30 September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak.
28 Juli 1966
Sementara itu, sebuah kabinet baru telah terbentuk sekaligus diresmikan dan diberi nama
Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet ini mempunyai tugas pokok untuk
menciptakan stabilitas politik dan ekonomi.
9 Februari 1967
Sehubungan dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh “Pelengkap Nawaksara” dan
bertambah gawatnya keadaan politik, DPR-GR mengajukan resolusi dan memorandum kepada
MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa. Akhirnya, Presiden menulis nota pribadi kepada
Jenderal Soeharto.
7 Februari 1967
Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima Angkatan. Para panglima
berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat
penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan situasi konflik.
10 Februari 1967
19 Februari 1967
Presiden Soekarno memerintahkan agar Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di
Bogor.
20 Februari 1967
Presiden menyetujui draft yang dibuat dan draft surat itu telah ditandatangani oleh Presiden.
22 Februari 1967
Pengumuman surat kepada khalayak sekaligus pembacaan pengumuman resmi pengunduran
diri Presiden Soekarno.
12 Maret 1967
Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS
Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik
menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS.
1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
2. Menyusun dan merencanakan Repelita;
3. Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G
30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap
Pancasila dan UUD 1945; dan
5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di
pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.
2. Stabilisasi Penyeragaman
Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara
penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan alasan Pancasila telah menjadi
konsensus nasional, keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan. Gagasan
ini disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gadjah
Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974.
Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun (Pelita) yang di
dalamnya memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa
Indonesia. Konsekuensi dari pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi akibat pelaksanaan
pembangunan tidak akan bermakna apabila tidak diimbangi dengan pemerataan
pembangunan.
Oleh karena itu, sejak Pembangunan Lima Tahun Tahap III (1 April 1979-31 Maret 1984) maka
pemerintahan Orde Baru menetapkan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
(1) pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan, sandang, dan
perumahan;
(6) pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda
dan kaum wanita;
a. Pertanian
b) Pendidikan
Pada masa Orde Baru dilaksanakan program untuk pengendalian pertumbuhan penduduk yang
dikenal dengan Keluarga Berencana (KB). Pada tahun 1967 pertumbuhan penduduk Indonesia
mencapai 2,6% dan pada tahun 1996 telah menurun drastis menjadi 1,6%.
Perkembangan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) bermula dari konsep Bandung Plan
diperkenalkan oleh dr. Y. Leimena dan dr. Patah pada tahun 1951. Bandung Plan merupakan
suatu konsep pelayanan yang menggabungkan antara pelayanan kuratif dan preventif.
C. Integrasi Timor-Timur
Integrasi Timor-Timur ke dalam wilayah Indonesia tidak terlepas dari situasi politik internasional
saat itu, yaitu Perang Dingin dimana konstelasi geopolitik kawasan Asia Tenggara saat itu terjadi
perebutan pengaruh dua blok yang sedang bersaing yaitu Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok
Timur (Uni Soviet).