2.Aksi-Aksi Tritura
Tanggal 26 Oktober 1965 lahir Front Pancasila. Perasaan tidak puas terhadap
keadaan saat itu mendorong munculnya TRI Tuntutan Hati Nurani Rakyat (Tritura) tanggal
12 Januari 1966 yang dipelopori oleh KAMI dan KAPPI.
Tuntutan rakyat agar Presiden Soekarno membubarkan PKI tidak dipenuhi. Presiden
kemudian mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Mentri yang
dilantik tanggal 24 Februari 1966, para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi jalan-
jalan menuju Istana Merdeka. Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa yang
menyebabkan bentrok.
Pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno mengadakan sidang kabinet untuk mengatasi
krisis yang memuncak. Belum lama Presiden berpidato dalam sidang, di luar istana terdapat
pasukan tanpa tanda pengenal dengan seragamnya. Presiden Soekarno yang merasa
khawatir segera meninggalkan sidang menuju Bogor dengan helikopter.
Sementara itu, tiga orang perwira tinggi TNI-AD sepakat untuk menyusul Presiden
Soekarno ke Bogor. Sebelumnya mereka bertiga meminta ijin kepada Jendral Soeharto
selaku Panlima Kopkamtib. Niat ketiga perwira itu disetujui dan Letjen Soeharto menitipkan
pesan khusus untuk Presiden Soekarno, yaitu “saya tetap pada kesanggupan saya”.
Latar belakang dari ucapan itu yaitu bahwa sejak pertemuan mereka di Bogor
tanggal 2 Oktober 1965, antara Presiden Soekarno dengan Letjen Soeharto terjadi
perbedaan pendapat. Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri untuk membubarkan
PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari Prsiden, pesan itu mengacu pada kesanggupan
tersebut.
Tindakan yang pertama dilakukan oleh Soeharto adalah membubarkan dan melarang
PKI beserta organisasi dibawahnya, terhitung sejak tanggal 12 Maret 1966. Pembubaran itu
mendapat dukungan dari rakyat, karena salah satu diantara Tritura telah dilaksanakan.
Selain itu, Letjen. Soeharto menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa untuk kembali
kesekolah.
Dalam sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966
menjadikan Supersemar sebagai Tap MPRS. Dengan demikian Supersemar tidak lagi bisa
dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno dan secara hukum Soeharto mempunyai
kdudukan sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS.
Sementara itu, terbentuk kabinet baru yaitu Kabinet Ampera yang diresmikan pada
28 Juli 1966, yang mempunyai tugas pokok untuk menciptakan stabilitas politik dan
ekonomi. Dengan adanya permasalahan yang timbul DPRGR mengajukan resolusi dan
memorandum kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa. Usaha-usah untuk
menenangkan keadaan terus berjalan. Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan
pribadi kepada Presiden Soekarno agar Ia menyerahkan kekuasaan kepada Jendral Soeharto
sebelum Sidang Umum MPRS.
ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan
juga fungsinya di bidang poliik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama
ABRI sebagai kekuatan militer indonesia memang tidak dapat dikesampingkan. Intervensi
ABRI dalam bidang politik pada masa Orba salah satunya adalah dengan ditempatkannya
militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten.
Para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar
serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial diseluruh daerah sampai daerah-
daerah terpencil, dengan gerakan AMD. Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif sangat nyata
terutama melalui Golkar.
Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor
legislatif. Keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif dalam rangka mengamankan
kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisasi kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif.
Dalam MPR sendiri ABRI mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi
kebijakan oleh MPR.
Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI, dilihat dari
a. Banyaknya jabatan pemerintahan diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, b. ABRI
sebagai salah satu tulang punggug yang menyangga keberadaan Golkar sebagai parpol yang
berkuasa pada waktu itu, c. ABRI diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai
bidang usaha.
Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama adalah sangat buruk. Program rehabilitasi
ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang isinya
antara lain mengharuskan diutamakannya masalah perbaikan ekonomi rakyat diatas segala
soal-soal nasional yang lain, termasuk soal politik.
Sejalan dengan upaya diplomasi ekonomi, pada 10 Januari 1967 pemerintah Orba
melakukan UU No.1 tahun 1967tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Dengan PMA
lapangan kerja akan segera tercipta dengan cepat tanpa menunggu pemerintah memiliki
uang terlebih dahulu untuk menggerakan roda pembangunan nasional.
Upaya diplomasi ekonomi ke negara-negara Barat dan Jepang, tidak hanya berhasil
mengatur penjadwalan kembalipembayaran hutang negara dan swasta, tapi mampu
meyakinkan dan menggugah negara tersebut untukmembantu Indonesia. Terbukti dengan
dibentuknya lembaga konsorsium IGGI yang ketuanya adalah Belanda.
Selain dana dari luar, pemerintah Orba juga menggalang dana dari dalam negri
dengan strategi yang dilakukan pemerintah bersama BI dan bank-bank milik negara lainnya
untuk berupaya agar masyarakat mau menabung. Upaya lain menerbitkan UUPMDN No.6
1968. Untuk menindak lanjuti dan mengefektifkan UUPMA dan UUPMDN pada 19 Januari
1967 pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanaman Modal (BPPM).
Berdasarkan Kepres No.286/1968 badan itu berubah menjadi TTPM, TAHUN 1973, TTPM
digantikan oleh BKPM.
a. Pertanian
b. Pendidikan
tiga hal yang patut dicatat dalam bidang pendidikan masa Orba yaitu pembangunan
SD Inpres, program wajib belajar dan pembentukan kelompok belajar yang bertujuan
memperluas kesempatan belajar terutama di pedesaan dan perkotaan yang penduduknya
berpenghasilan rendah.
Pada 1973, Soeharto mengeluarkan Inpres No.10/1973 tentang Program Bantuan
Pembangunan Gedung SD. Peningkatan jumlah sekolah dasar diikuti pula oleh peningkatan
jumlah guru. Program wajib belajar pada era Soeharto mulai dilaksanakan pada 2 Mei 1984,
di akhir Pelita III. Meskipun program wajib belajar tidak diikuti dengan kebijakan
pembebasan biaya pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu, pemerintah
berupaya mengatasi melalui program beasiswa, kemudian muncul program Gerakan
Nasional-Orang Tua Asuh (GN-OTA)
Pada tahun 1968 konsep Puskesmas ditetapkan dalam Rapat Kerja Kesehatan
Nasional dengan disepakatinya bentuk Puskesmas Type A, B & C. Tahun 1979 Puskesmas
tidak ada pentipean dan dikembangkan piranti manajeral perencanaan dan penilaian
Puskesmas yaitu ‘Micro Planing’ dan sertifikasi Puskesmas.Pada tahun 1984 dikembangkan
Posyandu, yaitu pengembangan dari pos penimbangan dan kurang gizi, dengan 5
programnya yaitu KIA, KB, Gizi, Penanggulangan Diare dan Imunisasi. Perkembangan
Puskesmas menampakan hasilnya pada era Orba, salah satu indikatornya adalah semakin
baiknya tingkat kesehatan.
9. Kondisi Politik Portugal dan Timor-Timor yang Melatar Belakangi Integrasi Timor-Timor
Integrasi Timor-Timor ke dalam wilayah Indonesia tidak terlepas dari situasi politik
Internasional saat itu, antara Blok Barat (AS) DAN Blok Timur (Uni Soviet) dengan kekalahan
AS di Vietnam pada tahun 1975. Kemenangan komunis di Indocina secara tidak langsung
membuat khawatir para elit indonesia. Pada saat yang sama di wilayah koloni Portugal
(Timor-Timor) terjadi krisis politik. Krisis itu sebagai dampak kebebasan yang diberikan oleh
pemerintah baru Portugal dibawah pimpinan Jendaral Antonio de Spinola.
Di Timor-Timur muncul tiga partai politik besar yang memanfaatkan kebebasan yang
diberikan oleh pemerintah Portugal, ketiga partai tersebut saling bersaing bahkan timbul
konflik Perang Saudara.
Pada tanggal 31 Agustus 1974 ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Ries Araujo,
menyatakan pertainyaan menghendaki bergabung dengan Republik Indonesia sebagai
provinsi ke 27, menurutnya integrasi akan menjamin stabilitas politik di wilayah tersebut.
Pernyataannya mendapat respons yang cukup positif dari para elit politik Indonesia.
Setelah ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Ries Araujo, menyatakan pertainyaan
menghendaki bergabung dengan Republik Indonesia sebagai provinsi ke 27. Pemerintah
Indonesia tidak serta merta menerima begitu saja keinginan orang-orang Apodeti. Para
pendukung “Proklamasi Balibo” yang terdiri dari UDT BERSAMA Apodeti, Kota dan Trabalista
tanggal 30 November 1975 di kota Balibo mengeluarkan pernyataan untuk bergabung
dengan pemerintahan RI.
Keinginan bergabungnya rakyat Timor Timur dan permintaan bantuan yang diajukan,
. Pemerintah Indonesia lalu menerapkan “Operasi Seroja” pada Desember 1975. Operasi
militer ini diam-diam didukung oleh Asyang tidak ingin pemerintahan komunis berdiri di
Timor Timur.
Pemerintah Indonesia lalu mengeluarkan UU no. 7 Tahun 1976 tentang pengesahan
penyatuan Timor Timur ke dalam NKRI. Kekhawatiran akan jatuhnya Timor Timur ke tangan
komunis membuat negara-negara Barat (AS dan Australia) secara diam-diam mendukung
tindakan Indonesia.
Dalam bidang politik pemerintah Orba cenderung bersifat otoriter. Peran negara
menjadi semakin kuat yang menyebabkan timbulnya pememerintahan yang sentralistis.
Pemerintah Orba dinilai gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik. Demokratisasi
yang terbentuk didasarkan pada KKN.
Dalam bidang ekonomi, akibat kebijakan Orba yang terlalu memfokuskan mengejar
pada pertumbuhan ekonomi,berdampak buruk bagi terbentuknya mentalitas dan budaya
korupsi para pejabat di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi tidak di barengi dengan
terbentuknya akses dan distribusi yang merata sumber-sumber ekonomi kepada
masyarakat.Pemerintahan Orba telah melakukan tindakan anti demokrasi dan diindikasikan
telah melanggar HAM.