Anda di halaman 1dari 9

Sistem dan Struktur Politik Ekonomi Indonesia Masa Orde

Baru (1966 – 1998)


1.Masa Transisi 1966-1967
Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soekarno yang semakin menurun,
membuat para mahasiswa di Jakarta membentuk Organisasi Federasi pada tanggal 25
Oktober 1965 yang bernama KAMI dengan anggota HMI, PMKRI, dan GMNI. Pimpinan Kami
berbentuk Presidium dengan ketua umum Zamroni (PMII).

Organisasi para mahasiswa tersebut memiliki peran penting. Tokoh-tokoh seperti


Abdul Ghafur, Cosmas Batubara, Subhan ZE, Hari Tjan Silalahi dan Sulastomo menjadi
penggerak aksi-aksi yang menuntut Soekarno agar segera menyelesaikan kemelut politik
yang terjadi.

2.Aksi-Aksi Tritura

Naiknya Letnan Jendral Soeharto ke kursi kepresidenan menimbulkan kemarahan


rakyat. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau, perekonomian memburuk.
Munculah gerakan yang dipelopori oleh pemuda-pemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI,
KAMI, KAPI), KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita), KAGI (guru) dll, yang menuntut
penyelesaian politis yang terlibat G-30/PKI.

Tanggal 26 Oktober 1965 lahir Front Pancasila. Perasaan tidak puas terhadap
keadaan saat itu mendorong munculnya TRI Tuntutan Hati Nurani Rakyat (Tritura) tanggal
12 Januari 1966 yang dipelopori oleh KAMI dan KAPPI.

Tuntutan rakyat agar Presiden Soekarno membubarkan PKI tidak dipenuhi. Presiden
kemudian mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Mentri yang
dilantik tanggal 24 Februari 1966, para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi jalan-
jalan menuju Istana Merdeka. Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa yang
menyebabkan bentrok.

Tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan Keputusan Panglima Kogam. Presiden


Soekarno membubarkan KAMI. Para mahasiswa di Bandung kemudian mengeluarkan “Ikrar
Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI.Protes pembubaran KAMI
juga dilakukan oleh Front Pancasila, pada 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa yang
melakukan demonstrasi menyerbu dan mengobrak-abrik gedung Departemen Luar Negri,
membakar kantor berita RRC, Hsin Hua. Presiden langsung mengeluarkan perintah harian
supaya agar seluruh komponen bansa waspada dan sipa sedia untuk menghancurkan setiap
usaha yang bertujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan, atau kebijakan Presiden.
3.Surat Perintah Sebelas Maret

Pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno mengadakan sidang kabinet untuk mengatasi
krisis yang memuncak. Belum lama Presiden berpidato dalam sidang, di luar istana terdapat
pasukan tanpa tanda pengenal dengan seragamnya. Presiden Soekarno yang merasa
khawatir segera meninggalkan sidang menuju Bogor dengan helikopter.

Sementara itu, tiga orang perwira tinggi TNI-AD sepakat untuk menyusul Presiden
Soekarno ke Bogor. Sebelumnya mereka bertiga meminta ijin kepada Jendral Soeharto
selaku Panlima Kopkamtib. Niat ketiga perwira itu disetujui dan Letjen Soeharto menitipkan
pesan khusus untuk Presiden Soekarno, yaitu “saya tetap pada kesanggupan saya”.

Latar belakang dari ucapan itu yaitu bahwa sejak pertemuan mereka di Bogor
tanggal 2 Oktober 1965, antara Presiden Soekarno dengan Letjen Soeharto terjadi
perbedaan pendapat. Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri untuk membubarkan
PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari Prsiden, pesan itu mengacu pada kesanggupan
tersebut.

Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan Presiden,


dengan kesimpulan pembicaraan ketiga perwira tinggi bersama dengan komandan Resiman
Cakrabirawa, Brigjen Sabur di perintahkan membuat konsep Surat Perintah 11 Maret / SP
11 Maret atau Supersemar yang berisi pemberian mandat kepada Letjen. Soeharto untuk
memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Keluarnya Supersemar dianggap
sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.

Tindakan yang pertama dilakukan oleh Soeharto adalah membubarkan dan melarang
PKI beserta organisasi dibawahnya, terhitung sejak tanggal 12 Maret 1966. Pembubaran itu
mendapat dukungan dari rakyat, karena salah satu diantara Tritura telah dilaksanakan.
Selain itu, Letjen. Soeharto menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa untuk kembali
kesekolah.

Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar adalah dikeluarkannya Kepres No. 5 tanggal


18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang mentri yang diduga terkait dengan
pemberontakan G-30-S PKI .Demi lancarnya tugas pemerinta, Letjen. Soeharto mengangkat
5 orang mentri koordinator ad Interim yang menjadi Presidium Kabinet.

4. Dualisme Kepemimpinan Nasional

Seteleh Soeharto mendapat Supersemar dari Presiden Soekarno dan Sehari


sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer , Soeharto sebagai pengemban
Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet
Ampera.Meskipun Soekarno masih sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan
dan tugas harian dipegang oleh Soeharto . kondisi ini berakibat pada munculnya “dualisme
kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pemimpin pemerintah sedangkan
Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan.

Dalam sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966
menjadikan Supersemar sebagai Tap MPRS. Dengan demikian Supersemar tidak lagi bisa
dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno dan secara hukum Soeharto mempunyai
kdudukan sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS.

Pada tanggal 22 Juni 1966, Presiden Soekarno menyampaikan pidato “Nawaksara”


dalam persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sembilan dan
“Aksara” berarti huruf/istilah. Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab
meletusnya peristiwa G-30-S PKI. Melalui Keputusan No. 5 /MPRS/1966, MPRS meminta
kepada Presiden agar melengkapi laporan pertanggung jawabannya, khususnya mengenai
sebab-sebab terjadinya G-30-S PKI dan kemrosotan ekonomi dan akhlak. Namun Presiden
menolak untuk seorang diri mempertanggung jawabkannya.

Sementara itu, terbentuk kabinet baru yaitu Kabinet Ampera yang diresmikan pada
28 Juli 1966, yang mempunyai tugas pokok untuk menciptakan stabilitas politik dan
ekonomi. Dengan adanya permasalahan yang timbul DPRGR mengajukan resolusi dan
memorandum kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa. Usaha-usah untuk
menenangkan keadaan terus berjalan. Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan
pribadi kepada Presiden Soekarno agar Ia menyerahkan kekuasaan kepada Jendral Soeharto
sebelum Sidang Umum MPRS.

Salah seorang sahabat Soekarno, Mr. Hardimemohon kepada Presiden Soekarno


agar membuka prakasa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara. Ia menyarankan
agar Soekarno menyatakan nonaktif didepan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui
pembubaran PKI. Presiden Soekarno menyetujuinya, lalu disusunlah “Surat Penugasan
mengenai Pimpinan Pemerintah Sehari-hari Kepada Pemegang Supersemar”.

Pada 7 Februari 1967, Mr.Hardi menemui Jendral Soeharto dan menyerahkan


konsep tersebut. 8 Februari 1967 Soeharto membahas surat tersebut bersama keempat
Panglima Aangkatan. Yang berkesimpulan draf surat tersebut tidak dapat diterima karena
tidak membantu menyelesaikan situasi konflik. Kemudian Soeharto mengajukan draf berisi
pernyataan bahwa Presiden berhalangan , atau menyerahkan kekuasaan kepada
pengemban Supersemar. Awalnya Presiden menolak namun kemudian sikapnya melunak.

Tanggal 22 Februarui 1967, pukul 19.30 Presiden Soekarno membacakan


pengumuman resmi pengunduran dirinya. Pada tanggal 12 Maret 1967 Jendral Soeharto
dilantik menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia. Tanggal 27 Maret 1968 Soeharto
dilantik menjadi Presiden RI. Melalui Tap No.XLIV/MPRS/1968 Jendral Soeharto dikukuhkan
yang menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan
Orde Baru.
5.Hubungan Stabilitas Negara dengan Pembangunan

Langkah pertama pembangunan nasional adalah dengan membentuk Kabinet


Pembangunan 1 pada 6 Juni 1968 yang dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet
Pembangunan. Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif melalui
Tap MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilu, pemerintah Orba melakukan
pelemahan terhadap pendukung Soekarno, kelompok PSI dan kelompok Islam
Fundamentalis. Pemerintahan Soeharto juga menciptakan kekuatan politik sipil baru yang
dikenal dengan nama Golkar.

Pada akhir tahun 1971, pemerintah Orba melemparkan gagasan penyederhanaan


partai politik sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi Pancasil. Penyebabnya bukan saja
karena persaingan antar parpol, didalam tubuh parpol antara para pemimpinnya juga tidak
jarang memicu timbulnya krisis.

Di samping melakukan penyederhanaan partai, pemerintah menetapkan pula konsep


“masa mengambang” yaitupartai-partai dilarang mempunyai cabang ditingkat kecamatan
sampai pedesaan. Pemerintah Orba berhasil melaksanakan sebanyak enam kali yang
semuanya dimenangkan oleh Golkar. Hal itu disebabkan oleh pengerahan kekuatan-
kekuatan penyokong Orde Baru yaitu aparat pemerintah (PNS) dan ABRI untuk mendukung
Golkar. Penyelenggaraan pemilu selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di
Indonesia sudah tercipta dengan baik.

Selain melakukan depolitisasi terhadap orospol ditingkat kecamatan dan desa


dilakukan juga di dunia pendidikan terutama setelah terjadi peristiwa malapetaka lima belas
Januari (Malari) tahun 1974. Peristiwa itu diawali dari kritikan mhasiswa terhadap kebijakan
pemerintah sejak awal tahun 1970-an. Para mahasiswa kemudian melakukan demonstrasi
menentang kenaikan harga bensin dan menuntut pemberantasan korupsi.

Pada akhir Repelita 1 mahasiswa mensinyalir terjadinya penyelewengan program


pembangunan nasional yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah. Untuk meredam
gerakan mahasiswa, dikeluarkan SK/028/1974 tentang petunjuk-petunjuk kebijaksanaan
dalam rangka Pembinaan Kehidupan Kampus Perguruan Tinggi.

Pemerintah Orde Baru menghimpun energi semua komponen bangsa kedalam


agenda bersama yang diformulasikan dalam bentuk Trilogi Pembangunan. Suatu rencana
kemandirian bangsa yang diletakan pada pilar stabilitas, pembangunan di segala bidang dan
pemerataan pembangunan beserta hasi-hasilnya kepada seluruh rakyat. Trilogi
Pembangunan itu tidak lain merupakan suatu rencana bangsa Indonesia yang digelorakan
Presiden Soeharto untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana amanat Pembukaan UUD
1945.
Stabilitas nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi, dan politik.
Stabilitas nasional bukan hanya prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan tetapi
merupakan amanat sila kedua pancasila.

6. Dwi Funsi ABRI

ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan
juga fungsinya di bidang poliik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama
ABRI sebagai kekuatan militer indonesia memang tidak dapat dikesampingkan. Intervensi
ABRI dalam bidang politik pada masa Orba salah satunya adalah dengan ditempatkannya
militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten.

Para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar
serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial diseluruh daerah sampai daerah-
daerah terpencil, dengan gerakan AMD. Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif sangat nyata
terutama melalui Golkar.

Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor
legislatif. Keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif dalam rangka mengamankan
kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisasi kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif.
Dalam MPR sendiri ABRI mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi
kebijakan oleh MPR.

Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI, dilihat dari
a. Banyaknya jabatan pemerintahan diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, b. ABRI
sebagai salah satu tulang punggug yang menyangga keberadaan Golkar sebagai parpol yang
berkuasa pada waktu itu, c. ABRI diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai
bidang usaha.

7. Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru

Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama adalah sangat buruk. Program rehabilitasi
ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang isinya
antara lain mengharuskan diutamakannya masalah perbaikan ekonomi rakyat diatas segala
soal-soal nasional yang lain, termasuk soal politik.

Prioritas pertama yang dilakukan pemerintah memerangi atau mengendalikan


hiperinflasi antara lain dengan menyusun APBN berimbang. Untuk menanggulangi masalah
hutang piutang luarnegri, pemerintah Orde Baru berupaya melakukan diplomasi yang
intensif dengan mengirmkan tim negosiasi ke negara para donor yaitu Perancis dan Inggris.

Sejalan dengan upaya diplomasi ekonomi, pada 10 Januari 1967 pemerintah Orba
melakukan UU No.1 tahun 1967tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Dengan PMA
lapangan kerja akan segera tercipta dengan cepat tanpa menunggu pemerintah memiliki
uang terlebih dahulu untuk menggerakan roda pembangunan nasional.
Upaya diplomasi ekonomi ke negara-negara Barat dan Jepang, tidak hanya berhasil
mengatur penjadwalan kembalipembayaran hutang negara dan swasta, tapi mampu
meyakinkan dan menggugah negara tersebut untukmembantu Indonesia. Terbukti dengan
dibentuknya lembaga konsorsium IGGI yang ketuanya adalah Belanda.

Selain dana dari luar, pemerintah Orba juga menggalang dana dari dalam negri
dengan strategi yang dilakukan pemerintah bersama BI dan bank-bank milik negara lainnya
untuk berupaya agar masyarakat mau menabung. Upaya lain menerbitkan UUPMDN No.6
1968. Untuk menindak lanjuti dan mengefektifkan UUPMA dan UUPMDN pada 19 Januari
1967 pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanaman Modal (BPPM).
Berdasarkan Kepres No.286/1968 badan itu berubah menjadi TTPM, TAHUN 1973, TTPM
digantikan oleh BKPM.

8. Bidang- bidang Pembangunan pada masa Orde Baru

a. Pertanian

Pada Pelita 1 yang dicanangkan landasan awal pembangunan pemerintah Orba,


dititik beratkan di sektor pertanian yang bertujuan mengejar keterbelakangan ekonomi
melalui proses pembaharuan sektor pertanian. Pembangunan ditekankan pada penciptaan
institusi pedesaan sebagai wahana pembangunan dengan membentuk Bimas.

Kemudian pemerintah melibatkan para petani melalui koperasi, dengan menunjuk


Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada membentuk BUUD maka lahirlah KUD.
Pemerintahan Orba membangun pabrik-pabrik pupuk untuk penyediaan pupuk bagi petani
yang diberi kemudahan memperoleh kredit bank untuk membeli pupuk. Diperkenalkan juga
manajemen usaha tani mulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus dan intensifikasi
khusus yang mampu meningkatkan produksi pangan terutama beras.

Koperasi di pedesaan terus dipacu untuk meningkatkan produktivitasnya. BUUD


kemudian ditingkatkan menjadi KUD. Instruksi Presiden No.4 1973 menjadi tonggak yuridis
keberadaan KUD. Dari sinilah lahir Penyuluhan Pertanian Lapangan dibawah Departemen
Pertanian. Selain program penyuluhan, Kelompencapir juga salah satu program
pembangunan pertanian Orba yang khas dan dijalankan oleh Departemen Penerangan yang
diresmikan pada 18 Juni 1984 dengan keputusan Mentri Penerangan RI
No.110/Kep/Menpen/1984.

b. Pendidikan

tiga hal yang patut dicatat dalam bidang pendidikan masa Orba yaitu pembangunan
SD Inpres, program wajib belajar dan pembentukan kelompok belajar yang bertujuan
memperluas kesempatan belajar terutama di pedesaan dan perkotaan yang penduduknya
berpenghasilan rendah.
Pada 1973, Soeharto mengeluarkan Inpres No.10/1973 tentang Program Bantuan
Pembangunan Gedung SD. Peningkatan jumlah sekolah dasar diikuti pula oleh peningkatan
jumlah guru. Program wajib belajar pada era Soeharto mulai dilaksanakan pada 2 Mei 1984,
di akhir Pelita III. Meskipun program wajib belajar tidak diikuti dengan kebijakan
pembebasan biaya pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu, pemerintah
berupaya mengatasi melalui program beasiswa, kemudian muncul program Gerakan
Nasional-Orang Tua Asuh (GN-OTA)

Sepuluh tahun kemudian, program wajar berhasil ditingkatkan menjadi 9, tahun


yang berarti anak Indonesia harus mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP. Kebijakan ini
diperkuat dengan dikeluarkannya Inpres No. 1 tahun 1994. Setelah perluasan kesempatan
belajar untuk anak-anak usia sekolah, sasaran selanjutnya adalah pemberantasan buta
ksara. Pemerintah Orba mencanangkan penuntasan buta huruf pada 16 Agustus 1978 yaitu
dengan pembentukan kelompok belajar atau “kejar”.Kejar merupakan program pengenalan
huruf dan angka bagi kelompok masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun.
Keberhasilan program ini salah satunya dari angka statistik penduduk buta huruf yang
menurun.

c. Keluarga Berencana (KB)

Pada masa Orba dilaksanakan program pengendalian pertumbuhan penduduk yang


dikenal dengan KB. Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas rakyat Indonesia
dan penigkatan kesejahteraannya. Keberhasilan ini dicapai melalui program KB yang
dilaksanakan oleh BKKBN.Berbagai kampanye mengenai perlunya KB dilakukan oleh
pemerintah baik melalui media masa cetak atau elektronik. Selain media masa di papan
iklan di pinggir-pinggir jalan pun banyak di pasang mengenai pentingnya KB.

Program KB di Indonesia diawali dengan ditandatanganinya Deklarasi Kependudukan


PBB pada tahun 1967 sehingga secara resmi Indonesia mengakui hak-hak untuk
menentukan jumlah dan jarak kelahiran. Keberhasilan Indonesia dalam pengendalian jumlah
Penduduk dipuji oleh UNICEF.Program KB di Indonesia sebagai salah satu yang paling sukses
di dunia. Pemerintah pun mengalokasikan sumber daya dan dana yang besar untuk program
ini.

d. Kesehatan Masyarakat, Posyandu

Perkembangan puskesmas bermula dari konsep Bandung Plan diperkenalkan oleh


dr.Y.Leimena dan dr.Patah pada tahun 1951. Bandung Plan merupakan konsep pelayanan
yang yang menggabungkan antara pelayanan kuratif dan preventiv. Konsep Bandung Plan
terus dikembangkan, tahun 1967 diadakan seminar konsep Puskesmas.

Pada tahun 1968 konsep Puskesmas ditetapkan dalam Rapat Kerja Kesehatan
Nasional dengan disepakatinya bentuk Puskesmas Type A, B & C. Tahun 1979 Puskesmas
tidak ada pentipean dan dikembangkan piranti manajeral perencanaan dan penilaian
Puskesmas yaitu ‘Micro Planing’ dan sertifikasi Puskesmas.Pada tahun 1984 dikembangkan
Posyandu, yaitu pengembangan dari pos penimbangan dan kurang gizi, dengan 5
programnya yaitu KIA, KB, Gizi, Penanggulangan Diare dan Imunisasi. Perkembangan
Puskesmas menampakan hasilnya pada era Orba, salah satu indikatornya adalah semakin
baiknya tingkat kesehatan.

9. Kondisi Politik Portugal dan Timor-Timor yang Melatar Belakangi Integrasi Timor-Timor

Integrasi Timor-Timor ke dalam wilayah Indonesia tidak terlepas dari situasi politik
Internasional saat itu, antara Blok Barat (AS) DAN Blok Timur (Uni Soviet) dengan kekalahan
AS di Vietnam pada tahun 1975. Kemenangan komunis di Indocina secara tidak langsung
membuat khawatir para elit indonesia. Pada saat yang sama di wilayah koloni Portugal
(Timor-Timor) terjadi krisis politik. Krisis itu sebagai dampak kebebasan yang diberikan oleh
pemerintah baru Portugal dibawah pimpinan Jendaral Antonio de Spinola.

Di Timor-Timur muncul tiga partai politik besar yang memanfaatkan kebebasan yang
diberikan oleh pemerintah Portugal, ketiga partai tersebut saling bersaing bahkan timbul
konflik Perang Saudara.

Pada tanggal 31 Agustus 1974 ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Ries Araujo,
menyatakan pertainyaan menghendaki bergabung dengan Republik Indonesia sebagai
provinsi ke 27, menurutnya integrasi akan menjamin stabilitas politik di wilayah tersebut.
Pernyataannya mendapat respons yang cukup positif dari para elit politik Indonesia.

10. Upaya Mempercepat Integrasi Timor-Timr

Setelah ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Ries Araujo, menyatakan pertainyaan
menghendaki bergabung dengan Republik Indonesia sebagai provinsi ke 27. Pemerintah
Indonesia tidak serta merta menerima begitu saja keinginan orang-orang Apodeti. Para
pendukung “Proklamasi Balibo” yang terdiri dari UDT BERSAMA Apodeti, Kota dan Trabalista
tanggal 30 November 1975 di kota Balibo mengeluarkan pernyataan untuk bergabung
dengan pemerintahan RI.

Tanggal 31 Mei DPR Timor-Timur mengeluarkan petisi yang mendesak pemerintahan


RI agar secepatnya menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat dan wilayah timor-timur
ke dalam Negara RI. Pemerintah Indonesia lalu menerapkan “Operasi Seroja” pada
Desember 1975. Bersamaan dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan, pemerintah
Indonesia dengan cepat juga menjalankan proses pengesahan Timor Timurke dalam NKRI.

11. Alasan Negara AS dan Australia Mendukung Integrasi Timor Timur

Keinginan bergabungnya rakyat Timor Timur dan permintaan bantuan yang diajukan,
. Pemerintah Indonesia lalu menerapkan “Operasi Seroja” pada Desember 1975. Operasi
militer ini diam-diam didukung oleh Asyang tidak ingin pemerintahan komunis berdiri di
Timor Timur.
Pemerintah Indonesia lalu mengeluarkan UU no. 7 Tahun 1976 tentang pengesahan
penyatuan Timor Timur ke dalam NKRI. Kekhawatiran akan jatuhnya Timor Timur ke tangan
komunis membuat negara-negara Barat (AS dan Australia) secara diam-diam mendukung
tindakan Indonesia.

12. Dampak Positif dan Negatif Politik Ekonomi Orde Baru

Pembangunan ekonomi yang berjalan baik dengan pertumbuhan ekonomi yang


tinggi dan hasilnya dapat terlihat secara konkret. Indoesia berhasil mengubah status dari
negara pengimpor beras menjadi bangsa yang bisa memenuhi keburuhan beras sendiri.
Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat,
penurunan angka kematian bayi dan angka partisipasi pendidikan dasar yang meningkat.

Dalam bidang politik pemerintah Orba cenderung bersifat otoriter. Peran negara
menjadi semakin kuat yang menyebabkan timbulnya pememerintahan yang sentralistis.
Pemerintah Orba dinilai gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik. Demokratisasi
yang terbentuk didasarkan pada KKN.

Dalam bidang ekonomi, akibat kebijakan Orba yang terlalu memfokuskan mengejar
pada pertumbuhan ekonomi,berdampak buruk bagi terbentuknya mentalitas dan budaya
korupsi para pejabat di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi tidak di barengi dengan
terbentuknya akses dan distribusi yang merata sumber-sumber ekonomi kepada
masyarakat.Pemerintahan Orba telah melakukan tindakan anti demokrasi dan diindikasikan
telah melanggar HAM.

Anda mungkin juga menyukai