Anda di halaman 1dari 11

Darul Islam / Tentara Islam Indonesia

( DI / TII )

SMAN 5 KOTA JAMBI


TAHUN AJARAN 2018/2019
DAFTAR ISI

Daftar Isiii

Peristiwa DI/TII di Indonesia2

1. Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII3

2. Upaya Penumpasan Pemberontakan DI/TII4

3. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat5

4. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah 5

5. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan6

6. Pemberontakan DI/TII di Aceh7

7. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan8

8. Biografi Singkat 5 Pemimpin DI/TII8

ii
Peristiwa DI/TII di Indonesia
Negara Islam Indonesia (NII),  Tentara Islam Indonesia (TII) atau biasa disebut
dengan DI (Darul Islam) adalah sebuah gerakan politik yang didirikan pada tanggal 7
Agustus 1949 (12 syawal 1368 Hijriah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di
sebuah desa yang berada di kota Tasikmalaya, Jawa Barat. NII tersebut
diproklamasikan pada saat Negara Pasundan yang dibuat oleh Belanda mengangkat
seorang Raden yang bernama Raden Aria Adipati Wiranatakoesoema sebagai
pemimpin/presiden di Negara Pasundan tersebut.
1. Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII
Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah
Negara yang menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam
proklamasinya tertulis bahwa “Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah
Hukum Islam” atau lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang tertulis bahwa “Negara
Berdasarkan Islam” dan “Hukum tertinggi adalah Al Qur’an dan Hadist”. Proklamasi
Negara Islam Indonesia (NII) menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban Negara untuk
membuat undang-undang berdasarkan syari’at Islam, dan menolak keras terhadap
ideologi selain Al Qur’an dan Hadist, atau yang sering mereka sebut dengan hukum
kafir.

(Bendera NII)
Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke
beberapa wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah,
Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962, gerakan Darul Islam
tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap sebagai gerakan ilegal oleh
Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) ini
masih berjalan meskipun dengan secara diam-diam di Jawa Barat, Indonesia.
Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa

3
Negara Islam Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya yang
disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya diberi julukan dengan sebutan TII
(Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat provinsi Jawa Barat
ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan
Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.
Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII ini dengan leluasa
melakukan gerakannya dengan merusak dan membakar rumah penduduk, membongkar
jalan kereta api, serta menyiksa dan merampas harta benda yang dimiliki oleh penduduk
di daerah tersebut. Namun, setelah pasukan Siliwangi menjadwalkan untuk kembali ke
Jawa Barat, kelompok DI/TII tersebut harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.
2. Upaya Penumpasan Pemberontakan DI/TII
Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu cukup lama di
karenakan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat
mendukung organisasi DI/TII untuk bergerilya.
2. Pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk.
3. Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik
perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan.
4. Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai
politik yang telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.

Selanjutnya,untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara


Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan
Siliwangi bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan “Pagar
Betis” untuk menumpas kelompok DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dan para pengawalnya di tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam
operasi Bratayudha yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah
Sekarmadji ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan
bahwa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati, dan dan setelah
Sekarmadji meninggal, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.

3. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

4
Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo secara resmi
menyatakan bahwa organisasi Negara Islam Indonesia (NII) berdiri berlandaskan kanun
azasi, dan pada tanggal 25 Januari 1949, ketika pasukan Siliwangi sedang
melaksanakan hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, saat itulah terjadi kontak senjata
yang pertama kali antara pasukan TNI dengan pasukan DI/TII. Selama peperangan
pasukan DI/TII ini di bantu oleh tentara Belanda sehingga peperangan antara DI/TII dan
TNI menjadi sangat sengit. Hadirnya DI/TII ini mengakibatkan penderitaan penduduk
Jawa Barat, karena penduduk tersebut sering menerima terror dari pasukan DI/TII.
Selain mengancam para warga, para pasukan DI/TII juga merampas harta benda milik
warga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Selanjutnya dalam menghadapi aksi
DI/ TII pemerintah mengerahkan pasukan TNI untuk menumpas gerombolan ini. Pada tahun
1960 pasukan Siliwangi bersama rakyat melakukan operasi “Pagar Betis” dan operasi
“Bratayudha.” Pada tanggal 4 Juni 1962 SM. Kartosuwiryo beserta para pengawalnya dapat
ditangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi “Bratayudha” di Gunung Geber, daerah
Majalaya, Jawa Barat. Kemudian SM. Kartosuwiryo oleh Mahkamah Angkatan Darat dijatuhi
hukuman mati sehingga pemberontakan DI/ TII  di Jawa Barat dapat dipadamkan.
4. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah
Selain di Jawa Barat, pasukan DI/TII ini juga muncul di Jawa Tengah semenjak
adanya Majelis Islam yang di pimpin oleh seseorang bernama Amir Fatah. Amir Fatah
adalah seorang komandan Laskar Hizbullah yang berdiri pada tahun 1946,
menggabungkan diri dengan pasukan TNI Battalion 52, dan bertempat tinggal di
Berebes, Tegal. Amir ini mempunyai pengikut yang jumlahnya cukup banyak, dan cara
Amir mendapatkan para pasukan tersebut, yaitu. Dengan cara menggabungkan para
laskar untuk masuk ke dalam anggota TNI. Setelah Amir Fatah mendapatkan pengikut
yang banyak, maka pada tangal 23 Agustus 1949 ia memproklamasikan bahwa
organisasi Darul Islam (DI) berdiri di desa pesangrahan, Tegal. Dan setelah proklamasi
tersebut di laksanakan, Amir Fatah pun menyatakan bahwa gerakan DI yang di

5
pimpinnya bergabung dengan organisasi DI/TII Jawa Barat yang di pimpin oleh
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Untuk menumpas pemberontakan ini pada bulan
Januari 1950 pemerintah melakukan operasi kilat yang disebut “Gerakan Banteng Negara”
(GBN) di bawah Letnan Kolonel Sarbini (selanjut-nya diganti Letnan Kolonel M. Bachrun dan
kemudian oleh Letnan Kolonel A. Yani). Gerakan operasi ini dengan pasukan “Banteng
Raiders.”
Sementara itu di daerah Kebumen muncul pemberontakan yang merupakan bagian
dan DI/ TII, yakni dilakukan oleh “Angkatan Umat Islam (AUI)” yang dipimpin oleh Kyai Moh.
Mahudz Abdurachman yang dikenal sebagai “Romo Pusat” atau Kyai Somalangu. Untuk
menumpas pemberontakan mi memerlukan waktu kurang lebih tiga bulan.
Pemberontakan DI/ TII juga terjadi di daerah Kudus dan Magelang yang dilakukan oleh
Batalyon 426 yang bergabung dengan DI/ TII pada bulan Desember 1951. Untuk menumpas
pemberontakan ini pemerintah melakukan “Operasi Merdeka Timur” yang dipimpin oleh
Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade Pragolo.
Pada awal tahun 1952 kekuatan Batalyon pemberontak terrsebut dapat dihancurkan
dan sisa- sisanya melarikan diri ke Jawa Barat dan ke daerah GBN.
Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi  bernama Angkatan Umat Islam (AUI)
yang di dirikan oleh seorang kyai bernama Mohammad Mahfud Abdurrahman.
Organisasi tersebut juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII)
dan bersekutu dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sebenarnya, gerakan ini
sudah di desak oleh pasukan TNI. Akan tetapi, pada tahun 1952, organisasi ini bangkit
kembali dan menjadi lebih kuat setelah terjadinya pemberontakan Battalion 423 dan 426
di Magelang dan Kudus. Upaya untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah
membentuk sebuah pasukan baru yang di beri nama Banteng Raiders dengan
organisasinya yang di sebut Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954 di
lakukan sebuah operasi yang di sebut Operasi Guntur untuk menghancurkan kelompok
DI/TII tersebut.
5. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan
Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang
Tertindas (KRyT) yang di pimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu
Hajar. Dia bersama kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari
organisasi DI/TII yang berada di Jawa Barat. Sasaran utama yang di serang oleh
kelompok ini adalah pos-pos TNI yang berada di wilayah tersebut. Setelah pemerintah
memberi kesempatan untuk menghentikan pemberontakan secara baik-baik, akhirnya
seorang mantan letnan Ibnu Hajar menyerahkan diri. Akan tetapi, penyerahan dirinya
tersebut hanyalah sebuah topeng untuk merampas peralatan TNI, dan setelah peralatan

6
tersebut di rampas olehnya, maka Ibnu Hajar pun melarikan diri dan kembali bersekutu
dengan kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya pemerintahan RI mengadakan Gerakan
Operasi Militer (GOM) yang di kirim ke Kalimantan selatan untuk menumpas
pemberontakan yang terjadi di Kalimantan Selatan tersebut, dan pada tahun 1959, Ibnu
Hajar berhasil di ringkus dan di jatuhi hukuman mati pada tanggal 22 Maret 1965.
6. Pemberontakan DI/TII di Aceh
Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh
(Serambi Mekah) terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung
dalam sebuah organisasi bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang di
pimpin oleh Tengku Daud Beureuh dengan kepala adat (Uleebalang). Konflik tersebut
mengakibatkan perang saudara antara kedua kelompok tersebut yang berlangsung
sejak Desember 1945 sampai Februari 1946. Untuk menanggulangi masalah tersebut,
pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa tingkat provinsi kepada Aceh, dan
mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai pemimpin/gubernur.
Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang
terbentuk pada bulan Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan
sebuah sistem penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan
beberapa daerah di Indonesia mengalami penurunan status. Salah satu dari semua
daerah yang statusnya turun yaitu Aceh, yang tadinya menjabat sebagai Daerah
Istimewa, setelah operasi penyederhanaan tersebut di mulai, status Aceh pun berubah
menjadi daerah keresidenan yang di kuasai oleh provinsi Sumatera Utara. Kejadiaan ini
sangat mengecewakan seorang Daud Beureuh, dan akhirnya Daud Beureuh membuat
sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung dengan organisasi Negara Islam
Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Peristiwa
tersebut terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953. Setelah Daud Beureuh bergabung
dengan NII, mereka melakukan sebuah operasi untuk menguasai kota-kota yang berada
di Aceh, selain itu mereka juga melakukan propaganda untuk memperkeruh citra
pemerintahan Republik Indonesia.
Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang di
pimpin oleh Sekarmadji akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan
kekuatan senjata dan operasi militer dari TNI. Setelah pemerintahan RI melakukan
operasi tersebut, maka kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis dari kota-kota yang di
tempatinya. Tentara Nasional Indonesia-pun memberikan pencerahan kepada penduduk
setempat untuk menghindari kesalah pahaman dan mengembalikan kepercayaan
kepada pemerintahan Republik Indoneisa. Tanggal 17 sampai 28 Desember 1962, atas
nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar Muda, kolonel M.Jasin mengadakan

7
Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang musyawarah tersebut mendapat dukungan
dari para tokoh masyarakat Aceh dan musyawarah yang di lakukan tersebut berhasil
memulihkan kemanana di Aceh. Dalam menghadapi pemberontakan DI/ TII di Aceh ini
semula pemerintah menggunakan kekuatan senjata. Selanjutnya atas prakarsa Kolonel M.
Yasin, Panglima Daerah Militer I/Iskandar Muda, pada tanggal 17-21 Desember 1962
diselenggarakan “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” yang mendapat dukungan tokoh-
tokoh masyarakat Aceh sehingga pemberontakan DI/ TII di Aceh dapat dipadamkan.
7. Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan
Selatan. Pemberontakan DI/TII ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang di pimpin oleh
Kahar Muzakar, organisasi yang sudah di dirikan sejak tahun 1951 tersebut baru bisa di
runtuhkan oleh pemerintah pada Tahun 1965. Untuk menumpas organisasi tersebut di
butuhkan banyak biaya, tenaga, dan waktu karena kondisi medan yang sangat sulit.
Meski demikian, para pemberontak DI/TII sangat menguasai area tersebut. Selain itu,
para pemberontak memanfaatkan rasa kesukuan yang berkembang di kalangan
masyarakat untuk melawan pemerintah dalam menumpas organisasi DI/TII tersebut.
Setelah pemerintahan Republik Indonesia mengadakan operasi penumpasan DI/TII
bersama anggota Tentara Republik Indonesia. Barulah seorang Kahar Muzakar
tertangkap dan di tembak oleh pasukan TNI pada tanggal 3 Februari 1965.
Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang terjadi pada
saat itu. Karena seperti yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari berbagai suku dengan
beragam kebudayaannya dan UUD 45 yang melindungi beberapa kepercayaan
sehingga tidak mungkin untuk menjadikan salah satu hukum agama di jadikan hukum
negara. Untuk menghadapi pemberontakan DI/ TII di Sulawesi Selatan ini pemerintah
melakukan operasi militer. Baru pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil
ditangkap dan ditembak mati sehingga pemberontakan DI/TIT di Sulawesi dapat
dipadamkan.

8. Biografi Singkat 5 Pemimpin DI/TII

a) Sekar Marijan Kartosuwiryo (Jawa Barat)

8
Sekar Marijan Kartosuwiryo mendirikan Darul Islam (DI) dengan tujuan menentang
penjajah Belanda di Indonesia. Akan tetapi, setelah makin kuat,Kartosuwiryo
memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 17 Agustus 1949
dan tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia (TII). Upaya penumpasan dengan
operasi militer yang disebut Operasi Bharatayuda. Dengan taktis Pagar Betis. Pada tanggal
4 juni 1962, Kartosuwiryo berhasil ditanggap oleh pasukan Siliwangi di Gunung Geber,
Majalaya, Jawa Barat. Akhirnya Kartosuwiryo dijatuhi hukuman mati 16 Agustus 1962.

b) Ibnu Hadjar (Kalimantan Selatan)

Ibnu Hadjar alias Haderi bin Umar alias Angli adalah seorang bekas Letnan Dua TNI
yang kemudian memberontak dan menyatakan gerakannya sebagai
bagian DI/TII Kartosuwiryo. Dengan pasukan yang dinamakannya Kesatuan Rakyat Yang
Tertindas, Ibnu Hadjar menyerang pos-pos kesatuan tentara di Kalimantan Selatan dan
melakukan tindakan-tindakan pengacauan pada bulan Oktober 1950. Untuk menumpas
pemberontakan Ibnu Hajar ini pemerintah menempuh upaya damai melalui berbagai
musyawarah dan operasi militer. Pada saat itu pemerintah Republik Indonesia masih
memberikan kesempatan kepada Ibnu Hadjar untuk menghentikan petualangannya secara
baik-baik, sehingga ia menyerahkan diri dengan kekuatan pasukan beberapa peleton dan
diterima kembali ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia. Tetapi setelah menerima
perlengkapan Ibnu Hadjar melarikan diri lagi dan melanjutkan pemberontakannya. Pada
akhir tahun 1954, Ibnu Hajar membulatkan tekadnya untuk masuk Negara Islam. Ibnu Hajar
diangkat menjadi panglima TII wilayah Kalimantan. Perbuatan ini dilakukan lebih dari satu
kali sehingga akhirnya Pemerintah memutuskan untuk mengambil tindakan tegas
menggempur gerombolan Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 pasukan gerombolan Ibnu
Hadjar dapat dimusnahkan dan lbnu Hadjar sendiri dapat ditangkap. Gerakan perlawanan

9
baru berakhir pada bulan Juli 1963. Ibnu Hajar dan anak buahnya menyerahkan diri secara
resmi dan pada bulan Maret 1965 Pengadilan Militer menjatuhkan hukuman mati kepada
Ibnu Hajar. 

c) Daud Beureueh (Jawa Tengah)

Teungku Muhammad Daud Beureu'eh (lahir di Beureu'eh, kabupaten Pidie,Aceh, 17


September 1899 – meninggal di Aceh, 10 Juni 1987 pada umur 87 tahun) atau yang nama
lengkapnya adalah Teungku Muhammad Daud Beureu'eh adalah mantan Gubernur Aceh,
pendiri NII di Aceh dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ketika PUSA (Persatuan Ulama
Seluruh Aceh) didirikan untuk menentang pendudukan Belanda, Daud Beureu'eh terpilih
sebagai ketuanya. Pada masa perang revolusi, Daud Beureu'eh menjabat sebagai Gubernur
Militer Aceh. Sejak 21 September 1953 sampai dengan 9 Mei1962, ia melakukan
pemberontakan kepada pemerintah dengan mendirikan NII akibat ketidakpuasannya atas
pemerintahan Soekarno. Namun akhirnya ia kembali ke pangkuan Republik
Indonesia setelah dibujuk kembali olehMohammad Natsir.

d) Kahar Muzakkar (Sulawesi Selatan)

Abdul Kahar Muzakkar (ada pula yang menuliskannya dengan nama Abdul Qahhar
Mudzakkar; lahir di Lanipa, Kabupaten Luwu, 24 Maret 1921 – meninggal 3
Februari 1965 pada umur 43 tahun; nama kecilnya Ladomeng) adalah seorang figur
karismatik dan legendaris dari tanah Luwu, yang merupakan pendiri Tentara Islam
Indonesia di Sulawesi. Ia adalah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang
terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau Overste pada masa itu. Ia tidak menyetujui
kebijaksanaan pemerintahan presiden Soekarno pada masanya, sehingga balik menentang
pemerintah pusat dengan mengangkat senjata. Ia dinyatakan pemerintah pusat sebagai
pembangkan dan pemberontak. Pada awal tahun 1950-an ia memimpin para bekas
gerilyawan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara mendirikan TII (Tentara Islam
Indonesia) kemudian bergabung dengan Darul Islam (DI), hingga di kemudian hari dikenal
dengan nama DI/TII di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Pada tanggal 3 Februari 1960,
melalui Operasi Tumpas, ia dinyatakan tertembak mati dalam pertempuran antara pasukan
TNI dari satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal Kahar Muzakkar di Lasolo. Namun
tidak pernah diperlihatkan pusaranya, mengakibatkan para bekas pengikutnya
mempertanyakan kebenaran berita kejadiannya. Menurut kisah, jenazahnya dikuburkan di
Kilometer 1 jalan raya Kendari,sulawesi tengara. Tapi sampai saat ini banyak yang tidak
percaya atas kepergiannya karena belum ada bukti nyata tentang keberadaannya di sana.

10
 e) Amir Fatah (Jawa Tengah)

Amir Fatah bernama lengkap Amir Fatah Wijaya Kusumah, adalah salah satu
pimpinan Hizbullah Fisabilillah di daerah Besuki, Jawa Timur sebelum bergolaknya
pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah. Ketika Perjanjian Renville ditanda tangani oleh
pihak Belanda dan Indonesia, maka semua kekuatan Republik diharuskan hijrah ke Jawa
Tengah, termasuk kesatuan Hizbullah dan Fisabilillah yang dipimpinnya. Pada tahun 1950,
ia memproklamirkan wilayahnya merupakan bagian DI/TIIKartosuwiryo. Melalui operasi yang
dilakukan oleh TNI untuk sementara waktu kekuatan mereka melemah tetapi akibat ada
pembelot, kekuatan DI/TII Amir Fatah kembali kuat. Pada akhirnya pasukan Amir Fatah
dapat ditaklukkan di perbatasan Pekalongan - Banyumas .

11

Anda mungkin juga menyukai