Mohamad Ibnu Sayuti atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik (lahir
di Sleman, Yogyakarta, 22 November 1908 – meninggal di Jakarta, 27 Februari 1989 pada
umur 80 tahun), dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai pengetik naskah proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia. Dia adalah suami dari Soerastri Karma Trimurti, seorang
wartawati dan aktivis perempuan di zaman pergerakan dan zaman setelah kemerdekaan.
Sayuti Melik
Masa Muda
Dilahirkan pada tanggal 22 November 1908, anak dari Abdul Mu'in alias Partoprawito,
seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta[1]. Sedangkan ibunya bernama
Sumilah. Pendidikan dimulai dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di desa Srowolan,
sampai kelas IV dan diteruskan sampai mendapat Ijazah di Yogyakarta.
Nasionalisme sudah sejak kecil ditanamkan oleh ayahnya kepada Sayuti kecil. Ketika itu
ayahnya menentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menggunakan sawahnya untuk
ditanami tembakau.
Ketika belajar di sekolah guru di Solo, 1920, ia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya
yang berkebangsaan Belanda, H.A. Zurink. Pada usia belasan tahun itu, ia sudah tertarik
membaca majalah Islam Bergerak pimpinan K.H. Misbach di Kauman, Solo, ulama yang
berhaluan kiri. Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme
sebagai ideologi perjuangan untuk menentang penjajahan. Dari Kiai Misbach ia belajar
Marxisme. Perkenalannya yang pertama dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada 1926.
Pada tahun itu juga Mereka mendirikan koran Pesat di Semarang yang terbit tiga kali
seminggu dengan tiras 2 ribu eksemplar. Karena penghasilannya masih kecil, pasangan
suami-istri itu terpaksa melakukan berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga urusan percetakan,
dari distribusi dan penjualan hingga langganan.
Trimurti dan Sayuti Melik bergiliran masuk keluar penjara akibat tulisan mereka mengkritik
tajam pemerintah Hindia Belanda. Sayuti sebagai bekas tahanan politik yang dibuang ke
Boven Digul selalu dimata-matai dinas intel Belanda (PID).
Pada zaman pendudukan Jepang, Maret 1942 koran Pesat diberedel Japan, Trimurti
ditangkap Kempetai, Jepang juga mencurigai Sayuti sebagai orang komunis.
Pada 9 Maret 1943, diresmikan berdirinya Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dipimpin “Empat
Sekawan” Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Mas Mansoer. Saat itu
Soekarno meminta pemerintah Jepang membebaskan Trimurti, lalu membawanya ke Jakarta
untuk bekerja di Putera, dan kemudian di Djawa Hookoo Kai, Himpunan Kebaktian Rakyat
Seluruh Jawa. Dan lalu Trimurti dan Sayuti Melik dapat hidup relatif tenteram. Sayuti terus
berada di sisi Bung Karno[2].
Anggota PPKI
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) dibentuk 7 Agustus 1945 dan diketuai oleh
Ir. Soekarno, menggantikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
dibubarkan cepat. Anggota awalnya adalah 21 orang. Selanjutnya tanpa sepengetahuan
Jepang, keanggotaan bertambah 6 orang termasuk didalamnya Sayuti Melik[3].
Peristiwa RengasdengklokSunting
Sayuti Melik termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan
Sukarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 (Peristiwa Rengasdengklok). Para pemuda
pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, bersama Shodanco Singgih, salah
seorang anggota PETA, dan pemuda lain, membawa Soekarno
(bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok.
Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang[4].
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para
pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.[5] Di Jakarta, golongan muda,
Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad
Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta[6]. maka
diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok[7]. Mereka
menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo
berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan
kemerdekaan[8].
Naskah Proklamasi
Konsep naskah proklamasi disusun oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo di
rumah Laksamana Muda Maeda[1]. Wakil para pemuda, Sukarni dan Sayuti Melik. Masing-
masing sebagai pembantu Bung Hatta dan Bung Karno, ikut menyaksikan peristiwa tersebut.
Setelah selesai, dinihari 17 Agustus 1945, konsep naskah proklamasi itu dibacakan di
hadapan para hadirin. Namun, para pemuda menolaknya. Naskah proklamasi itu dianggap
seperti dibuat oleh Jepang.
Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar teks proklamasi
ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya
diterima dan Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia
mengubah kalimat "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menjadi "Atas nama bangsa Indonesia".
Menentang SukarnoSunting
Sebenarnya Sayuti dikenal sebagai pendukung Sukarno. Namun, ketika Bung Karno
berkuasa, Sayuti justru tak "terpakai". Dalam suasana gencar-gencarnya memasyarakatkan
Nasakom, dialah orang yang berani menentang gagasan Nasakom(nasionalisme, agama,
komunisme). Ia mengusulkan mengganti Nasakom menjadi Nasasos, dengan mengganti
unsur "kom" menjadi "sos" (sosialisme). Ia juga menentang pengangkatan Bung Karno
sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS. Tulisannya, Belajar Memahami
Sukarnoisme dimuat di sekitar 50 koran dan majalah dan kemudian dilarang[10]. Artikel
bersambung itu menjelaskan perbedaan Marhaenisme ajaran Bung Karno dan Marxisme-
Leninisme doktrin PKI. Ketika itu Sayuti melihat PKI hendak membonceng kharisma Bung
Karno.
Setelah Orde Baru nama Sayuti berkibar lagi di kancah politik. Ia menjadi
anggota DPR/MPR, mewakili Golkar hasil Pemilu 1971 dan Pemilu 1977.
Mangkat
Sayuti Melik meninggal pada tanggal 27 Februari 1989 setelah setahun sakit, dan
dimakamkan di TMP Kalibata
Penghargaan
B.M. Diah
Nama asli B.M. Diah yang sesungguhnya hanyalah Burhanuddin. Nama ayahnya adalah
Mohammad Diah, yang berasal dari Barus, Sumatra Utara. Ayahnya adalah seorang pegawai
pabean di Aceh Barat yang kemudian menjadi penerjemah. Burhanuddin kemudian
menambahkan nama ayahnya kepada namanya sendiri.
Ibunya, Siti Sa'idah (istri pertama Diah) adalah wanita Aceh yang menjadi ibu rumah tangga.
Burhanuddin, anak bungsu dari 8 bersaudara, juga mempunyai dua orang saudara tiri dari
istri kedua ayahnya.
Mohammad Diah adalah seorang yang terpandang dan kaya di lingkungannya. Namun
hidupnya boros, sehingga ketika ia lahir Burhanuddin tidak dapat menikmati kekayaan
ayahnya. Ditambah lagi karena seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia.
Ibunya kemudian mengambil alih tanggung jawab memelihara keluarganya. Untuk itu ia
terjun ke dunia usaha berjualan emas, intan, dan pakaian. Namun delapan tahun kemudian
Siti Sa'idah pun berpulang, sehingga Burhanuddin diasuh oleh kakak perempuannya, Siti
Hafsyah.
Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke Jakarta dan belajar di Ksatriaan Instituut
(sekarang Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh Dr. E.E. Douwes Dekker. Burhanuddin
memilih jurusan jurnalistik, namun ia banyak belajar tentang dunia kewartawanan dari
pribadi Douwes Dekker.
Burhanuddin sesungguhnya tidak mampu membayar biaya sekolah. Namun melihat tekadnya
untuk belajar, Dekker mengizinkannya terus belajar dan bahkan memberikan kesempatan
kepadanya menjadi sekretaris di sekolah itu.
Setelah tamat belajar, Burhanuddin kembali ke Medan dan menjadi redaktur harian Sinar
Deli. Ia tidak lama bekerja di sana, karena satu setengah tahun kemudian ia kembali
ke Jakarta dan bekerja di harian Sin Po sebagai tenaga honorer. Tak lama kemudian ia pindah
ke Warta Harian. Tujuh bulan kemudian, koran itu dibubarkan karena dianggap
membahayakan keamanan. Burhanuddin kemudian mendirikan usahanya sendiri,
bulanan Pertjatoeran Doenia.
Pada Mei 1945 diadakan Kongres Pemuda di Villa Isola di Bandung untuk
membentuk Angkatan Baroe, yaitu sebuah federasi kelompok pemuda untuk perjuangan
kemerdekaan Indonesia, B.M. Diah terpilih menjadi salah satu pemimpin utamanya.[2]
Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah Burhanuddin bertemu dengan Herawati, seorang
penyiar lulusan jurnalistik dan sosiologi di Amerika Serikat. Mereka berpacaran, dan tak
lama kemudian, pada 18 Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka ini dihadiri
pula oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Pada 1 Oktober 1945 B.M. Diah mendirikan Harian Merdeka. Diah menjadi pemimpin
redaksi, Joesoef Isak menjadi wakilnya, dan Rosihan Anwar menjadi redaktur. Diah
memimpin surat kabar ini hingga akhir hayatnya, meskipun belakangan ia lebih banyak
menangani PT Masa Merdeka, penerbit Harian "Merdeka".
Ketika baru berdiri Diah menjadi Pemimpin Redaksi, Isak sebagai Wakil, dan Rosihan
sebagai Redaktur. Belakangan Joesoef Isak, seorang Soekarnois, terpaksa diberhentikan atas
desakan pemerintah Orde Baru. Sementara Rosihan Anwar mendirikan surat kabarnya
sendiri, Harian "Pedoman".
Pada April 1945, bersama istrinya Herawati, Diah mendirikan koran
berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Ia dinilai sebagai penulis editorial yang baik,
seorang nasional pro-Soekarno dan menentang militerisme. Ia pernah bertolak pandangan
dengan pihak militer setelah Peristiwa 17 Oktober, sehingga ia terpaksa berpindah-pindah
tempat untuk menghindari kejaran petugas-petugas militer.
Ketika pemerintah Orde Baru memutuskan untuk mengubah sebutan "Tionghoa" menjadi
"Cina" dan "Republik Rakyat Tiongkok" menjadi "Republik Rakyat Cina", Harian
"Merdeka"—bersama Harian "Indonesia Raya"—dikenal sebagai satu-satunya pers yang
gigih tetap mempertahankan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok".
Setelah Indonesia merdeka, pada 1959, B.M. Diah diangkat menjadi duta besar
untuk Cekoslowakia dan Hongaria. Dari sana kemudian ia dipindahkan ke Inggris, lalu
ke Thailand - semuanya untuk jabatan yang sama. Pada 1968 ia diangkat oleh
Presiden Soeharto menjadi menteri penerangan. Belakangan Diah diangkat menjadi
anggota DPR dan kemudian anggota DPA.
Pada usia tuanya, Diah mendirikan sebuah hotel di Jakarta, Hyatt Aryadutta, di tempat yang
dulunya merupakan rumah orangtua Herawati. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah
sebagai Presiden Direktur PT Masa Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT Hotel Prapatan-
Jakarta.
Keluarga
B.M. Diah meninggalkan dua orang istri, Herawati Diah dan Julia binti Abdul Manaf, yang
dinikahinya diam-diam ketika ia bertugas di Bangkok, Thailand. Dari Herawati, ia
memperoleh dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki, sementara dari istri
keduanya ia memperoleh dua orang anak: laki-laki dan perempuan.