Anda di halaman 1dari 17

Berbicara tentang Komando Jihad, tidak bisa lepas dari gerakan NII (DI/TII) pimpinan SM

Kartosoewirjo (SMK). Karena, seluruh tokoh penting yang terlibat di dalam gerakan Komando
Jihad ini, adalah petinggi NII (DI/TII) pimpinan SMK yang dieksekusi pada September 1962 di
sebuah pulau di Teluk Jakarta.

Boleh dibilang, gerakan Komando Jihad merupakan salah satu bentuk petualangan politik para
pengikut SMK pasca dieksekusinya sang imam. Sebelumnya, pada Agustus 1962, seluruh
warga NII (DI/TII) yang jumlahnya mencapai ribuan orang, mendapat amnesti dari pemerintah.
Termasuk, 32 petinggi NII (DI/TII) dari sayap militer, belum termasuk Haji Isma’il Pranoto
(Hispran) dan anak buahnya, yang baru turun gunung (menyerah kalah kepada pasukan Ali
Moertopo) pada 1974.

Selasa, 27 Ramadhan 1439 H / 12 Juni 2018


Home » Berita » Tahukah Anda

NII, Komando Jihad dan Orde Baru : The Untold Story

Mashadi – Selasa, 2 Jumadil Akhir 1436 H / 24 Maret 2015 07:00 WIB

Berbicara tentang Komando Jihad, tidak bisa lepas dari gerakan NII (DI/TII) pimpinan SM
Kartosoewirjo (SMK). Karena, seluruh tokoh penting yang terlibat di dalam gerakan Komando
Jihad ini, adalah petinggi NII (DI/TII) pimpinan SMK yang dieksekusi pada September 1962 di
sebuah pulau di Teluk Jakarta.

Boleh dibilang, gerakan Komando Jihad merupakan salah satu bentuk petualangan politik para
pengikut SMK pasca dieksekusinya sang imam. Sebelumnya, pada Agustus 1962, seluruh
warga NII (DI/TII) yang jumlahnya mencapai ribuan orang, mendapat amnesti dari pemerintah.
Termasuk, 32 petinggi NII (DI/TII) dari sayap militer, belum termasuk Haji Isma’il Pranoto
(Hispran) dan anak buahnya, yang baru turun gunung (menyerah kalah kepada pasukan Ali
Moertopo) pada 1974.

Dari 32 petinggi NII (DI/TII) yang telah menyerah[1] kepada pihak Soekarno tanggal 1 Agustus
1962 itu, sebagian besar menyatakan ikrar bersama, yang isinya:
“Demi Allah, saya akan setia kepada Pemerintah RI dan tunduk kepada UUD RI 1945. Setia
kepada Manifesto Politik RI, Usdek, Djarek yang telah menjadi garis besar haluan politik Negara
RI. Sanggup menyerahkan tenaga dan pikiran kami guna membantu Pemerintah RI cq alat-alat
Negara RI. Selalu berusaha menjadi warga Negara RI yang taat baik dan berguna dengan
dijiwai Panca Sila.” [2]

Sebagian kecil di antara mereka tidak mau bersumpah setia, yaitu Djadja Sudjadi, Kadar
Shalihat, Abdullah Munir, Kamaluzzaman, dan Sabur. Dengan adanya ikrar tersebut, maka
kesetiaan mereka kepada sang Imam telah bergeser, sekaligus mengindikasikan bahwa
sebagai sebuah gerakan berbasis ideologi Islam, NII (DI/TII) sudah gagal total. Dan sisa-sisa
gerakan NII pada saat itu (1962) dapat dikata sudah hancur lebur basis keberadaannya.

Setelah tiga tahun vakum, ada di antara mereka yang berusaha bangkit melanjutkan
perjuangan, namun dengan meninggalkan karakter militeristik dan mengabaikan struktur
organisasi kenegaraan NII. Mereka inilah yang meski sudah menerima amnesti namun tidak
mau bersumpah-setia sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar mantan petinggi NII lainnya.

Gerakan tersebut menamakan diri sebagai gerakan NII Fillah (bersifat Non Struktural).
Kepemimpinan gerakan dijalankan secara kolektif oleh Kadar Shalihat dan Djadja Sudjadi.
Munculnya kelompok Fillah atau NII non struktural ini, ditanggapi serius oleh pihak militer NKRI.
Yaitu, dengan menciptakan “keseimbangan”, dengan cara melakukan penggalangan kepada
para mantan “mujahid” NII yang pernah diberi amnesti dan telah bersumpah setia pada Agustus
1962 lalu.

Melalui jalur dan kebijakan Intelijen, pihak militer memberikan santunan ekonomi sebagai
bentuk welfare approach (pendekatan kesejahteraan) kepada seluruh mantan “mujahid”
petinggi NII yang menyerah dan memilih menjadi desertir sayap militer NII.
Nama-nama Tokoh Penting di Belakang Gerakan Komando Jihad.

Nama Danu Mohammad Hasan[3] yang pertama kali dipilih Ali Murtopo untuk didekati dan
akhirnya berhasil dibina menjadi ‘orang’ BAKIN, pada sekitar tahun 1966-1967. Pendekatan
intelijen itu sendiri secara resmi dimulai pada awal 1965, dengan menugaskan seorang perwira
OPSUS bernama Aloysius Sugiyanto.[4] Tokoh selanjutnya yang menyusul dibidik Ali Murtopo
adalah Ateng Djaelani Setiawan.
Tokoh lain yang diincar Ali Murtopo dalam waktu bersamaan yang didekati Aloysius Sugiyanto
adalah Daud Beureueh mantan Gubernur Militer Daerah Istimewa ACEH tahun 1947 yang
memproklamirkan diri sebagai Presiden NBA (Negara Bagian Aceh) pada 20 September 1953,
dan menyerah, kembali ke NKRI Desember tahun 1962.

Selanjutnya pendekatan terhadap para mantan petinggi sayap militer DI-TII yang lain yang
berpusat di Jawa Barat dilakukan oleh Mayjen Ibrahim Aji, Pangdam Siliwangi saat itu.[5]
Mereka yang dianggap sebagai “petinggi NII” oleh Ibrahim Aji itu di antaranya: Adah Djaelani
dan Aceng Kurnia. Kedua mantan petinggi sayap militer DI ini pada saat itu setidaknya
membawahi 24-26 nama (bukan ulama NII). Sedangkan mereka yang dianggap sebagai
mantan petinggi sayap sipil DI yang selanjutnya menyatakan diri sebagai NII Fillah –antara lain
adalah Kadar Shalihat, Djadja Sudjadi dan Abdullah Munir dan Kamaluzzaman– membawahi
puluhan ulama NII.
Pengaruh dan Akibat Kebijakan Intelijen Ali Murtopo – ORDE BARU.

Baik menurut kubu para mantan petinggi sayap militer maupun sayap sipil NII, politik
pendekatan pemerintah orde baru melalui Ibrahim Aji yang menjabat Pangdam Siliwangi
tersebut, sangat diterima dengan baik, kecuali oleh beberapa pribadi yang menolak uluran
pemerintah tersebut, yaitu Djadja Sudjadi[6] dan Abdullah Munir. Para mantan tokoh sayap
militer dan sayap sipil DI selanjutnya menjadi makmur secara ekonomi. Hampir masing-masing
individu mantan tokoh DI tersebut diberi modal cukup oleh Letkol Pitut Suharto berupa
perusahaan CV (menjadi kontraktor) dilibatkan dalam proyek Inpres, SPBU atau agen Minyak
Tanah.

Kebijakan OPSUS dan Intelijen selanjutnya menggelar konspirasi dengan meminta para
mantan laskar NII tersebut mengkonsolidasikan kekuatan melalui reorganisasi NII ke seluruh
Jawa dan Sumatra. Pada saat itu Ali Murtopo masih menjabat Aspri Presiden selanjutnya
menjadi Deputi Operasi Ka BAKIN dan merangkap Komandan OPSUS ketika mendekati
detik-detik digelarnya ‘opera’ konspirasi dan rekayasa operasi intelijen dengan sandi: “Komando
Jihad” di Jawa Timur.

Dalam waktu yang bersamaan Soeharto menyiapkan Renstra (Rencana Strategis) Hankam
(1974-1978) sebagaimana dilakukan ABRI secara sangat terorganisir dan sistematis melalui
penyiapan 420 kompi satuan operasional, 245 Kodim sebagai aparat teritorial dan 1300 Koramil
sebagai ujung tombak intelijen dalam gelar operasi keamanan dalam negeri yang diberi sandi
Opstib dan Opsus.

Selasa, 27 Ramadhan 1439 H / 12 Juni 2018


Home » Berita » Tahukah Anda

NII, Komando Jihad dan Orde Baru : The Untold Story

Mashadi – Selasa, 2 Jumadil Akhir 1436 H / 24 Maret 2015 07:00 WIB

Berbicara tentang Komando Jihad, tidak bisa lepas dari gerakan NII (DI/TII) pimpinan SM
Kartosoewirjo (SMK). Karena, seluruh tokoh penting yang terlibat di dalam gerakan Komando
Jihad ini, adalah petinggi NII (DI/TII) pimpinan SMK yang dieksekusi pada September 1962 di
sebuah pulau di Teluk Jakarta.

Boleh dibilang, gerakan Komando Jihad merupakan salah satu bentuk petualangan politik para
pengikut SMK pasca dieksekusinya sang imam. Sebelumnya, pada Agustus 1962, seluruh
warga NII (DI/TII) yang jumlahnya mencapai ribuan orang, mendapat amnesti dari pemerintah.
Termasuk, 32 petinggi NII (DI/TII) dari sayap militer, belum termasuk Haji Isma’il Pranoto
(Hispran) dan anak buahnya, yang baru turun gunung (menyerah kalah kepada pasukan Ali
Moertopo) pada 1974.

Dari 32 petinggi NII (DI/TII) yang telah menyerah[1] kepada pihak Soekarno tanggal 1 Agustus
1962 itu, sebagian besar menyatakan ikrar bersama, yang isinya:
“Demi Allah, saya akan setia kepada Pemerintah RI dan tunduk kepada UUD RI 1945. Setia
kepada Manifesto Politik RI, Usdek, Djarek yang telah menjadi garis besar haluan politik Negara
RI. Sanggup menyerahkan tenaga dan pikiran kami guna membantu Pemerintah RI cq alat-alat
Negara RI. Selalu berusaha menjadi warga Negara RI yang taat baik dan berguna dengan
dijiwai Panca Sila.” [2]

Sebagian kecil di antara mereka tidak mau bersumpah setia, yaitu Djadja Sudjadi, Kadar
Shalihat, Abdullah Munir, Kamaluzzaman, dan Sabur. Dengan adanya ikrar tersebut, maka
kesetiaan mereka kepada sang Imam telah bergeser, sekaligus mengindikasikan bahwa
sebagai sebuah gerakan berbasis ideologi Islam, NII (DI/TII) sudah gagal total. Dan sisa-sisa
gerakan NII pada saat itu (1962) dapat dikata sudah hancur lebur basis keberadaannya.

Setelah tiga tahun vakum, ada di antara mereka yang berusaha bangkit melanjutkan
perjuangan, namun dengan meninggalkan karakter militeristik dan mengabaikan struktur
organisasi kenegaraan NII. Mereka inilah yang meski sudah menerima amnesti namun tidak
mau bersumpah-setia sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar mantan petinggi NII lainnya.

Gerakan tersebut menamakan diri sebagai gerakan NII Fillah (bersifat Non Struktural).
Kepemimpinan gerakan dijalankan secara kolektif oleh Kadar Shalihat dan Djadja Sudjadi.
Munculnya kelompok Fillah atau NII non struktural ini, ditanggapi serius oleh pihak militer NKRI.
Yaitu, dengan menciptakan “keseimbangan”, dengan cara melakukan penggalangan kepada
para mantan “mujahid” NII yang pernah diberi amnesti dan telah bersumpah setia pada Agustus
1962 lalu.

Melalui jalur dan kebijakan Intelijen, pihak militer memberikan santunan ekonomi sebagai
bentuk welfare approach (pendekatan kesejahteraan) kepada seluruh mantan “mujahid”
petinggi NII yang menyerah dan memilih menjadi desertir sayap militer NII.

Nama-nama Tokoh Penting di Belakang Gerakan Komando Jihad.

Nama Danu Mohammad Hasan[3] yang pertama kali dipilih Ali Murtopo untuk didekati dan
akhirnya berhasil dibina menjadi ‘orang’ BAKIN, pada sekitar tahun 1966-1967. Pendekatan
intelijen itu sendiri secara resmi dimulai pada awal 1965, dengan menugaskan seorang perwira
OPSUS bernama Aloysius Sugiyanto.[4] Tokoh selanjutnya yang menyusul dibidik Ali Murtopo
adalah Ateng Djaelani Setiawan.

Tokoh lain yang diincar Ali Murtopo dalam waktu bersamaan yang didekati Aloysius Sugiyanto
adalah Daud Beureueh mantan Gubernur Militer Daerah Istimewa ACEH tahun 1947 yang
memproklamirkan diri sebagai Presiden NBA (Negara Bagian Aceh) pada 20 September 1953,
dan menyerah, kembali ke NKRI Desember tahun 1962.

Selanjutnya pendekatan terhadap para mantan petinggi sayap militer DI-TII yang lain yang
berpusat di Jawa Barat dilakukan oleh Mayjen Ibrahim Aji, Pangdam Siliwangi saat itu.[5]
Mereka yang dianggap sebagai “petinggi NII” oleh Ibrahim Aji itu di antaranya: Adah Djaelani
dan Aceng Kurnia. Kedua mantan petinggi sayap militer DI ini pada saat itu setidaknya
membawahi 24-26 nama (bukan ulama NII). Sedangkan mereka yang dianggap sebagai
mantan petinggi sayap sipil DI yang selanjutnya menyatakan diri sebagai NII Fillah –antara lain
adalah Kadar Shalihat, Djadja Sudjadi dan Abdullah Munir dan Kamaluzzaman– membawahi
puluhan ulama NII.

Pengaruh dan Akibat Kebijakan Intelijen Ali Murtopo – ORDE BARU.

Baik menurut kubu para mantan petinggi sayap militer maupun sayap sipil NII, politik
pendekatan pemerintah orde baru melalui Ibrahim Aji yang menjabat Pangdam Siliwangi
tersebut, sangat diterima dengan baik, kecuali oleh beberapa pribadi yang menolak uluran
pemerintah tersebut, yaitu Djadja Sudjadi[6] dan Abdullah Munir. Para mantan tokoh sayap
militer dan sayap sipil DI selanjutnya menjadi makmur secara ekonomi. Hampir masing-masing
individu mantan tokoh DI tersebut diberi modal cukup oleh Letkol Pitut Suharto berupa
perusahaan CV (menjadi kontraktor) dilibatkan dalam proyek Inpres, SPBU atau agen Minyak
Tanah.

Kebijakan OPSUS dan Intelijen selanjutnya menggelar konspirasi dengan meminta para
mantan laskar NII tersebut mengkonsolidasikan kekuatan melalui reorganisasi NII ke seluruh
Jawa dan Sumatra. Pada saat itu Ali Murtopo masih menjabat Aspri Presiden selanjutnya
menjadi Deputi Operasi Ka BAKIN dan merangkap Komandan OPSUS ketika mendekati
detik-detik digelarnya ‘opera’ konspirasi dan rekayasa operasi intelijen dengan sandi: “Komando
Jihad” di Jawa Timur.

Dalam waktu yang bersamaan Soeharto menyiapkan Renstra (Rencana Strategis) Hankam
(1974-1978) sebagaimana dilakukan ABRI secara sangat terorganisir dan sistematis melalui
penyiapan 420 kompi satuan operasional, 245 Kodim sebagai aparat teritorial dan 1300 Koramil
sebagai ujung tombak intelijen dalam gelar operasi keamanan dalam negeri yang diberi sandi
Opstib dan Opsus.
Sementara, pada saat yang bersamaan di tahun 1971-1973 tersebut Ali Murtopo juga
melindungi sekaligus menggarap Nurhasan al-Ubaidah Imam kelompok Islam Jama’ah yang
secara kelembagaan telah dinyatakan sesat dan terlarang oleh Kejaksaan Agung tahun 1971,
namun pada waktu yang sama justru dipelihara serta diberi kesempatan seluas-luasnya
melanjutkan kiprahnya dengan missi menyesatkan ummat Islam melalui lembaga baru
LEMKARI (Lembaga Karyawan Islam) di bawah naungan bendera Golkar dan berganti nama
menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang berlanjut hingga sekarang.

Dari sinilah pendekatan itu berkembang menjadi makin serius dan signifikan, ketika Ali Murtopo
mengajukan ide tentang pembentukan dan pembangunan kembali kekuatan NII, guna
menghadapi bahaya laten komunis dari utara maupun dalam rangka mengambil alih
kekuasaan. Ide Ali Murtopo ini selanjutnya diolah Danu Mohammad Hasan dan dipandu Letkol
Pitut Suharto, disambut Dodo Muhammad Darda, Tahmid Rahmat Basuki (anak SMK) dan
H.Isma’il Pranoto (Hispran).

Keberadaan dan latar belakang Letkol Pitut Suharto yang memiliki kedekatan hubungan pribadi
dengan Andi Sele di Makassar, juga dengan H. Rasyidi [7] di Gresik Jawa Timur, pada tahun
1968 akhirnya ditugaskan Ali Murtopo untuk mengolah hubungan dan keberadaan para mantan
petinggi NII yang sudah dirintisnya sejak 1965 tersebut dengan kepentingan membelah mereka
menjadi 2 faksi.

Faksi pertama diformat menjadi moderat untuk memperkuat Golkar, dan faksi kedua diformat
bagi kebangkitan kembali organisasi Neo NII.

Keterlibatan Pitut Suharto yang akhirnya dinaikkan pangkatnya menjadi pejabat Dir Opsus di
bawah Deputi III BAKIN terus berlanjut, Pitut tidak saja bertugas untuk memantau aktifitas para
mantan tokoh DI tersebut, tetapi Pitut sudah terlibat aktif menyusun berbagai rencana dan
program bagi kebangkitan NII, baik secara organisasi maupun secara politik termasuk aksi
gerakannya.

Ketika BAKIN membuat program pemberangkatan atau pengiriman pemuda (aktifis kader)
Indonesia ke Timur Tengah –seperti Mesir, Syria, Libya dan Saudi Arabia yang diantara
alumnnya kemudian terkait dengan konflik Moro (MNLF) dan kelompok perlawanan Aceh– Pitut
Suharto-lah yang ditunjuk Ali Murtopo untuk mengelola (membimbing, memantau, mengurus
dan menyelesaikan) masalah tersebut, sekalipun keberangkatan para kader aktifis Indonesia ke
Negara-negara Timur Tengah tersebut terbukti hanya untuk mempelajari pola-pola gerakan
Islam di sana, sembari mempelajari syari’ah sebagai cover, dan melakukan pelatihan militer.

Tetapi antisipasi yang dilakukan pihak pemerintah Indonesia pada saat itu terlampau maju dan
cepat, sekitar tahun 1975 keberadaan kedutaan Libya di Jakarta dipaksa tutup. Tetapi skenario
Opsus terhadap kebangkitan organisasi NII terus digelindingkan. Bahkan Pitut Suharto (pihak
intelijen/orde baru) justru menggunakan isu politik Libya di mata Barat dan bangkitnya NII
tersebut dijadikan sebagai isu sentral terkait dengan “bahaya laten kekuatan ekstrim kanan” di
Indonesia.
Kebijakan Abbuse of Power Intelijen Ali Murtopo.

Bersamaan dengan kebijakan itu (memanfaatkan situasi politik terhadap Libya tersebut) strategi
Opsus yang dilancarkan melalui Pitut Suharto berhasil meyakinkan para Neo NII tersebut untuk
sesegera mungkin menyusun gerakan jihad yang terkonsentrasi di Jawa dan Sumatra untuk
melawan dan merebut kekuasaan Soeharto. Semakin cepat hal tersebut dilaksanakan semakin
berprospek mendapat bantuan persenjataan dari Libya, yang sudah diatur Ali Murtopo.

Berkat panduan Letnan Kolonel TNI AD Pitut Suharto[8] kegiatan musyawarah dalam rangka
reorganisasi NII yang meliputi Jawa-Sumatra tersebut berlangsung beberapa hari, hal itu justru
dilaksanakan di markas BAKIN jalan Senopati, Jakarta Selatan. Di sinilah situasi dan kondisi
(hasil rekayasa BAKIN-Ali Murtopo dan Pitut Suharto melalui kubu Neo NII Sabilillah di bawah
Daud Beureueh, Danu Mohammad Hasan, Adah Djaelani, Hispran dkk) berhasil didesakkan
kepada kubu Fillah yang dipimpin secara kolektif oleh Djaja Sudjadi, Kadar Shalihat dan
Abdullah Munir dkk untuk memilih kepemimpinan.

Selasa, 27 Ramadhan 1439 H / 12 Juni 2018


Home » Berita » Tahukah Anda

NII, Komando Jihad dan Orde Baru : The Untold Story

Mashadi – Selasa, 2 Jumadil Akhir 1436 H / 24 Maret 2015 07:00 WIB

Berbicara tentang Komando Jihad, tidak bisa lepas dari gerakan NII (DI/TII) pimpinan SM
Kartosoewirjo (SMK). Karena, seluruh tokoh penting yang terlibat di dalam gerakan Komando
Jihad ini, adalah petinggi NII (DI/TII) pimpinan SMK yang dieksekusi pada September 1962 di
sebuah pulau di Teluk Jakarta.

Boleh dibilang, gerakan Komando Jihad merupakan salah satu bentuk petualangan politik para
pengikut SMK pasca dieksekusinya sang imam. Sebelumnya, pada Agustus 1962, seluruh
warga NII (DI/TII) yang jumlahnya mencapai ribuan orang, mendapat amnesti dari pemerintah.
Termasuk, 32 petinggi NII (DI/TII) dari sayap militer, belum termasuk Haji Isma’il Pranoto
(Hispran) dan anak buahnya, yang baru turun gunung (menyerah kalah kepada pasukan Ali
Moertopo) pada 1974.
Dari 32 petinggi NII (DI/TII) yang telah menyerah[1] kepada pihak Soekarno tanggal 1 Agustus
1962 itu, sebagian besar menyatakan ikrar bersama, yang isinya:
“Demi Allah, saya akan setia kepada Pemerintah RI dan tunduk kepada UUD RI 1945. Setia
kepada Manifesto Politik RI, Usdek, Djarek yang telah menjadi garis besar haluan politik Negara
RI. Sanggup menyerahkan tenaga dan pikiran kami guna membantu Pemerintah RI cq alat-alat
Negara RI. Selalu berusaha menjadi warga Negara RI yang taat baik dan berguna dengan
dijiwai Panca Sila.” [2]

Sebagian kecil di antara mereka tidak mau bersumpah setia, yaitu Djadja Sudjadi, Kadar
Shalihat, Abdullah Munir, Kamaluzzaman, dan Sabur. Dengan adanya ikrar tersebut, maka
kesetiaan mereka kepada sang Imam telah bergeser, sekaligus mengindikasikan bahwa
sebagai sebuah gerakan berbasis ideologi Islam, NII (DI/TII) sudah gagal total. Dan sisa-sisa
gerakan NII pada saat itu (1962) dapat dikata sudah hancur lebur basis keberadaannya.

Setelah tiga tahun vakum, ada di antara mereka yang berusaha bangkit melanjutkan
perjuangan, namun dengan meninggalkan karakter militeristik dan mengabaikan struktur
organisasi kenegaraan NII. Mereka inilah yang meski sudah menerima amnesti namun tidak
mau bersumpah-setia sebagaimana dilakukan oleh sebagian besar mantan petinggi NII lainnya.

Gerakan tersebut menamakan diri sebagai gerakan NII Fillah (bersifat Non Struktural).
Kepemimpinan gerakan dijalankan secara kolektif oleh Kadar Shalihat dan Djadja Sudjadi.
Munculnya kelompok Fillah atau NII non struktural ini, ditanggapi serius oleh pihak militer NKRI.
Yaitu, dengan menciptakan “keseimbangan”, dengan cara melakukan penggalangan kepada
para mantan “mujahid” NII yang pernah diberi amnesti dan telah bersumpah setia pada Agustus
1962 lalu.

Melalui jalur dan kebijakan Intelijen, pihak militer memberikan santunan ekonomi sebagai
bentuk welfare approach (pendekatan kesejahteraan) kepada seluruh mantan “mujahid”
petinggi NII yang menyerah dan memilih menjadi desertir sayap militer NII.

Nama-nama Tokoh Penting di Belakang Gerakan Komando Jihad.

Nama Danu Mohammad Hasan[3] yang pertama kali dipilih Ali Murtopo untuk didekati dan
akhirnya berhasil dibina menjadi ‘orang’ BAKIN, pada sekitar tahun 1966-1967. Pendekatan
intelijen itu sendiri secara resmi dimulai pada awal 1965, dengan menugaskan seorang perwira
OPSUS bernama Aloysius Sugiyanto.[4] Tokoh selanjutnya yang menyusul dibidik Ali Murtopo
adalah Ateng Djaelani Setiawan.
Tokoh lain yang diincar Ali Murtopo dalam waktu bersamaan yang didekati Aloysius Sugiyanto
adalah Daud Beureueh mantan Gubernur Militer Daerah Istimewa ACEH tahun 1947 yang
memproklamirkan diri sebagai Presiden NBA (Negara Bagian Aceh) pada 20 September 1953,
dan menyerah, kembali ke NKRI Desember tahun 1962.

Selanjutnya pendekatan terhadap para mantan petinggi sayap militer DI-TII yang lain yang
berpusat di Jawa Barat dilakukan oleh Mayjen Ibrahim Aji, Pangdam Siliwangi saat itu.[5]
Mereka yang dianggap sebagai “petinggi NII” oleh Ibrahim Aji itu di antaranya: Adah Djaelani
dan Aceng Kurnia. Kedua mantan petinggi sayap militer DI ini pada saat itu setidaknya
membawahi 24-26 nama (bukan ulama NII). Sedangkan mereka yang dianggap sebagai
mantan petinggi sayap sipil DI yang selanjutnya menyatakan diri sebagai NII Fillah –antara lain
adalah Kadar Shalihat, Djadja Sudjadi dan Abdullah Munir dan Kamaluzzaman– membawahi
puluhan ulama NII.

Pengaruh dan Akibat Kebijakan Intelijen Ali Murtopo – ORDE BARU.

Baik menurut kubu para mantan petinggi sayap militer maupun sayap sipil NII, politik
pendekatan pemerintah orde baru melalui Ibrahim Aji yang menjabat Pangdam Siliwangi
tersebut, sangat diterima dengan baik, kecuali oleh beberapa pribadi yang menolak uluran
pemerintah tersebut, yaitu Djadja Sudjadi[6] dan Abdullah Munir. Para mantan tokoh sayap
militer dan sayap sipil DI selanjutnya menjadi makmur secara ekonomi. Hampir masing-masing
individu mantan tokoh DI tersebut diberi modal cukup oleh Letkol Pitut Suharto berupa
perusahaan CV (menjadi kontraktor) dilibatkan dalam proyek Inpres, SPBU atau agen Minyak
Tanah.

Kebijakan OPSUS dan Intelijen selanjutnya menggelar konspirasi dengan meminta para
mantan laskar NII tersebut mengkonsolidasikan kekuatan melalui reorganisasi NII ke seluruh
Jawa dan Sumatra. Pada saat itu Ali Murtopo masih menjabat Aspri Presiden selanjutnya
menjadi Deputi Operasi Ka BAKIN dan merangkap Komandan OPSUS ketika mendekati
detik-detik digelarnya ‘opera’ konspirasi dan rekayasa operasi intelijen dengan sandi: “Komando
Jihad” di Jawa Timur.

Dalam waktu yang bersamaan Soeharto menyiapkan Renstra (Rencana Strategis) Hankam
(1974-1978) sebagaimana dilakukan ABRI secara sangat terorganisir dan sistematis melalui
penyiapan 420 kompi satuan operasional, 245 Kodim sebagai aparat teritorial dan 1300 Koramil
sebagai ujung tombak intelijen dalam gelar operasi keamanan dalam negeri yang diberi sandi
Opstib dan Opsus.

Sementara, pada saat yang bersamaan di tahun 1971-1973 tersebut Ali Murtopo juga
melindungi sekaligus menggarap Nurhasan al-Ubaidah Imam kelompok Islam Jama’ah yang
secara kelembagaan telah dinyatakan sesat dan terlarang oleh Kejaksaan Agung tahun 1971,
namun pada waktu yang sama justru dipelihara serta diberi kesempatan seluas-luasnya
melanjutkan kiprahnya dengan missi menyesatkan ummat Islam melalui lembaga baru
LEMKARI (Lembaga Karyawan Islam) di bawah naungan bendera Golkar dan berganti nama
menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang berlanjut hingga sekarang.

Dari sinilah pendekatan itu berkembang menjadi makin serius dan signifikan, ketika Ali Murtopo
mengajukan ide tentang pembentukan dan pembangunan kembali kekuatan NII, guna
menghadapi bahaya laten komunis dari utara maupun dalam rangka mengambil alih
kekuasaan. Ide Ali Murtopo ini selanjutnya diolah Danu Mohammad Hasan dan dipandu Letkol
Pitut Suharto, disambut Dodo Muhammad Darda, Tahmid Rahmat Basuki (anak SMK) dan
H.Isma’il Pranoto (Hispran).

Keberadaan dan latar belakang Letkol Pitut Suharto yang memiliki kedekatan hubungan pribadi
dengan Andi Sele di Makassar, juga dengan H. Rasyidi [7] di Gresik Jawa Timur, pada tahun
1968 akhirnya ditugaskan Ali Murtopo untuk mengolah hubungan dan keberadaan para mantan
petinggi NII yang sudah dirintisnya sejak 1965 tersebut dengan kepentingan membelah mereka
menjadi 2 faksi.

Faksi pertama diformat menjadi moderat untuk memperkuat Golkar, dan faksi kedua diformat
bagi kebangkitan kembali organisasi Neo NII.

Keterlibatan Pitut Suharto yang akhirnya dinaikkan pangkatnya menjadi pejabat Dir Opsus di
bawah Deputi III BAKIN terus berlanjut, Pitut tidak saja bertugas untuk memantau aktifitas para
mantan tokoh DI tersebut, tetapi Pitut sudah terlibat aktif menyusun berbagai rencana dan
program bagi kebangkitan NII, baik secara organisasi maupun secara politik termasuk aksi
gerakannya.

Ketika BAKIN membuat program pemberangkatan atau pengiriman pemuda (aktifis kader)
Indonesia ke Timur Tengah –seperti Mesir, Syria, Libya dan Saudi Arabia yang diantara
alumnnya kemudian terkait dengan konflik Moro (MNLF) dan kelompok perlawanan Aceh– Pitut
Suharto-lah yang ditunjuk Ali Murtopo untuk mengelola (membimbing, memantau, mengurus
dan menyelesaikan) masalah tersebut, sekalipun keberangkatan para kader aktifis Indonesia ke
Negara-negara Timur Tengah tersebut terbukti hanya untuk mempelajari pola-pola gerakan
Islam di sana, sembari mempelajari syari’ah sebagai cover, dan melakukan pelatihan militer.

Tetapi antisipasi yang dilakukan pihak pemerintah Indonesia pada saat itu terlampau maju dan
cepat, sekitar tahun 1975 keberadaan kedutaan Libya di Jakarta dipaksa tutup. Tetapi skenario
Opsus terhadap kebangkitan organisasi NII terus digelindingkan. Bahkan Pitut Suharto (pihak
intelijen/orde baru) justru menggunakan isu politik Libya di mata Barat dan bangkitnya NII
tersebut dijadikan sebagai isu sentral terkait dengan “bahaya laten kekuatan ekstrim kanan” di
Indonesia.
Kebijakan Abbuse of Power Intelijen Ali Murtopo.

Bersamaan dengan kebijakan itu (memanfaatkan situasi politik terhadap Libya tersebut) strategi
Opsus yang dilancarkan melalui Pitut Suharto berhasil meyakinkan para Neo NII tersebut untuk
sesegera mungkin menyusun gerakan jihad yang terkonsentrasi di Jawa dan Sumatra untuk
melawan dan merebut kekuasaan Soeharto. Semakin cepat hal tersebut dilaksanakan semakin
berprospek mendapat bantuan persenjataan dari Libya, yang sudah diatur Ali Murtopo.

Berkat panduan Letnan Kolonel TNI AD Pitut Suharto[8] kegiatan musyawarah dalam rangka
reorganisasi NII yang meliputi Jawa-Sumatra tersebut berlangsung beberapa hari, hal itu justru
dilaksanakan di markas BAKIN jalan Senopati, Jakarta Selatan. Di sinilah situasi dan kondisi
(hasil rekayasa BAKIN-Ali Murtopo dan Pitut Suharto melalui kubu Neo NII Sabilillah di bawah
Daud Beureueh, Danu Mohammad Hasan, Adah Djaelani, Hispran dkk) berhasil didesakkan
kepada kubu Fillah yang dipimpin secara kolektif oleh Djaja Sudjadi, Kadar Shalihat dan
Abdullah Munir dkk untuk memilih kepemimpinan.

Hasil musyawarah kedua kubu (Fillah dan Sabilillah ini) yang dilakukan pada tahun 1976 ini
menetapkan, kepemimpinan NII diserahkan kepada Tengku Daud Beureueh sekaligus
membentuk struktur organisasi pemerintahan Neo NII yang terdiri dari Kementrian dan
Komando kewilayahan (dari Komandemen Wilayah hingga Komandemen Distrik dan
Kecamatan) namun tanpa dilengkapi dengan Majelis Syura maupun Dewan Syura.

Provokasi dan jebakan OPSUS terhadap para mantan tokoh DI berhasil, Struktur organisasi NII
kepemimpinan Daud Beureueh berdiri dan berlangsung di bawah kendali Ali Murtopo yang saat
itu menjabat sebagai Deputi Operasi Ka BAKIN melalui Kolonel Pitut Suharto.

Gerakan dakwah agitasi dan provokasi neo NII Sabilillah disponsori Pitut Suharto dan Ali
Murtopo mulai berkembang ke seantero pulau Jawa. Muatan dakwah, agitasi dan provokasi
para tokoh Neo NII bentukan Ali Murtopo-Pitut Suharto hanya berkisar seputar pentingnya
struktur organisasi NII secara riil.

Karenanya kegiatan seluruh anggota kabinet Neo NII adalah melakukan rekrutmen melalui
pembai’atan secepatnya untuk mengisi posisi pada struktur wilayah (Gubernur sekaligus
sebagai Pangdam = Komandemen Wilayah) dan posisi pada struktur Distrik (Bupati sekaligus
sebagai Kodim = Komandemen Distrik) seraya menebar janji akan segera memperoleh supply
persenjataan dari Libya sebanyak satu kapal[9] yang akan mendarat di pantai selatan Pulau
Jawa.

Sasaran rekrutmen (pembai’atan) dilakukan hanya sebatas mengisi posisi pada komandemen
distrik struktur Neo NII, maka sasaran rekrutmen dipilih secara tidak selektif di antaranya adalah
para tokoh pemuda Islam dan ulama atau kiai yang nota bene sangat awam politik maupun
organisasi.

Tugas rekrutmen untuk Jawa Tengah dan Jawa Timur dilakukan oleh H. Isma’il Pranoto dan H.
Husein Ahmad Salikun. Di Jawa Timur aktifitas rekrutmen bagi kebangkitan Neo NII yang
dilakukan oleh H. Isma’il Pranoto tersebut sama sekali tidak terlihat ada tindak lanjut apapun,
baik yang berbentuk pelatihan manajemen dakwah dan organisasi maupun yang bersifat fisik
baris berbaris, menggunakan senjata atau merakit bom. Tetapi hanya terhitung selang sebulan
atau dua bulan kemudian, aparat keamanan dari Laksus tingkat Kodam, Korem dan Kodim
menggulung dan menyiksa mereka tanpa ampun.

Jumlah korban penangkapan oleh pihak Laksusda Jatim yang digelar pada tanggal 6-7 Januari
1977 terhadap para rekrutan baru H. Isma’il Pranoto mencapai sekitar 41 orang, 24 orang di
antaranya diproses hingga sampai ke pengadilan.

H. Ismail Pranoto divonis Seumur Hidup, sementara para rekrutan Hispran yang juga disebut
sebagai para pejabat daerah struktur Neo NII tersebut, baru diajukan ke persidangan pada
tahun 1982, setelah “disimpan” dalam tahanan militer selama 5 tahun, dengan vonis hukuman
yang bervariasi. Ada yang divonis 16 tahun, 15 tahun, 14 tahun hingga paling ringan 6 tahun
penjara.

H. Ismail Pranoto disidangkan perkaranya di Pengadilan Negeri Surabaya tahun 1978 dengan
memberlakukan UU Subversif PNPS No 11 TH 1963 atas tekanan Pangdam VIII Brawijaya saat
itu, Mayjen TNI-AD Witarmin[10]. Sejak itulah UU Subversif ini digunakan sebagai senjata
utama untuk menangani semua kasus yang bernuansa makar dari kalangan Islam.

Nama Komando Jihad sendiri menurut H. Isma’il Pranoto merupakan tuduhan dan hasil
pemberkasan pihak OPSUS, baik pusat maupun daerah (atas ide Ali Murtopo dan Pitut
Suharto). Sementara penyebutan yang berlaku dalam tahanan militer Kodam VIII Brawijaya –
ASTUNTERMIL di KOBLEN Surabaya, mereka dijuluki sebagai jaringan Kasus Teror Warman
(KTW).

Sementara keberadaan Pitut Suharto sendiri sejak tanggal 6 Januari 1977 – saat dimulainya
penangkapan terhadap H. Isma’il Pranoto dan orang-orang yang direkrutnya sebagai kelompok
Komando Jihad– Pitut justru pergi menyelamatkan diri dengan menetap di Jerman Barat, dan
baru kembali ke Indonesia setelah 6 atau 7 tahun kemudian.

Di Jawa Tengah sendiri aksi penangkapan terhadap anggota Neo NII rekrutan H. Isma’il
Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun oleh OPSUS, seperti Abdullah Sungkar maupun Abu
Bakar Ba’asyir dan kawan-kawan berjumlah cukup banyak, sekitar 50 orang, akan tetapi yang
diproses hingga sampai ke pengadilan hanya sekitar 29 orang. Penangkapan terhadap anggota
Neo NII wilayah Jawa Tengah rekrutan H. Isma’il Pranoto dan H. Husen Ahmad Salikun
berlangsung tahun 1978-1979.

Di Sumatera, aksi penangkapan secara besar-besaran berdasarkan isu Komando Jihad ini
terjadi sepanjang tahun 1976 hingga tahun 1980, dan berhasil menjaring dan memenjarakan
ribuan orang.

Sementara penangkapan terhadap para elite Neo NII –yang musyawarah pembentukan
strukturnya dilakukan di markas BAKIN (jalan Senopati, Jakarta Selatan)– seperti Adah Djaelani
Tirtapradja, Danu Mohammad Hasan, Aceng Kurnia, Tahmid Rahmat Basuki Kartosoewirjo,
Dodo Muhammad Darda Toha Mahfudzh, Opa Musthapa, Ules Suja’i, Saiful Iman, Djarul Alam,
Seno alias Basyar, Helmi Aminuddin Danu[11], Hidayat, Gustam Effendi (alias Ony), Abdul
Rasyid dan yang lain dengan jumlah sekitar 200 orang, mereka ditangkap Laksus sejak akhir
1980 hingga pertengahan 1981.

Namun dari sekitar 200 orang anggota Neo NII yang ditangkap OPSUS tersebut, hanya sekitar
30 elitenya saja yang dilanjutkan ke persidangan, selebihnya dibebaskan bersyarat oleh
OPSUS termasuk beberapa nama yang menjadi tokoh komando KW-9 [12], kecuali satu nama
tokoh yang dibebaskan tanpa syarat, yaitu Menlu kabinet Neo NII yang bernama Helmi
Aminuddin bin Danu, salah seorang alumni program pemberangkatan atau pengiriman pemuda
(aktifis kader) Indonesia ke Timur Tengah (Madinah, Saudi Arabia) oleh Bakin.

Akan tetapi isu dan dalih keterkaitan dengan bahaya kebangkitan NII, Komando Jihad dan
Teror Warman berdasarkan hasil pengembangan penyidikan pihak keamanan terhadap mereka
yang pernah ditangkap maupun yang diproses ke pengadilan, oleh pihak OPSUS digunakan
terus untuk melakukan penangkapan-penangkapan secara berkelanjutan dan konsisten.

Sekitar medio 1980 OPSUS Jawa Timur melakukan penangkapan terhadap 5 tokoh pelanjut
Komandemen Wilayah Jawa Timur, Idris Darmin Prawiranegara. Kemudian dilanjutkan dengan
penangkapan berikutnya pada medio 1982, terhadap orang-orang baru yang direkrut Idris
Darmin di wilayah jawa timur dengan jumlah sekitar 26 orang.

Kesimpulan
Secara substansi, makna kebangkitan Neo NII yang lahir dibidani dan buah karya operasi
intelijen OPSUS tersebut, sangat tidak layak untuk dinilai dan atau diatasnamakan sebagai
wujud perjuangan politik berbasis ideologi Islam (apalagi sampai dikategorikan sebagai jihad
suci fii sabilillah).

Misi dan orientasi kiprah gerakan reorganisasi yang dilakukan para mantan tokoh sayap militer
NII tersebut adalah lebih didorong oleh dan dalam rangka memperoleh materi dan kedudukan
politis, kemudian bertemu-bekerjasama (bersimbiosis mutualistis) dengan para tokoh intelijen
BAKIN yang benci terhadap Islam. Dengan demikian gerakan Komando Jihad, Kebangkitan
Neo NII maupun para mantan tokoh sayap militer DI tersebut sulit dinilai sebagai perjuangan
yang murni untuk tegaknya Islam.
Perjuangan dan usaha para pihak atau pribadi yang dilakukan karena semangat dan ketulusan
untuk memperjuangkan Islam, yang tidak didorong dalam rangka memperoleh jabatan politis
atau sarana materi sebagaimana halnya sikap dan tindakan para mantan tokoh sayap sipil DI
tersebut, menunjukkan posisi mereka sebagai korban pengkhianatan para mantan tokoh sayap
militer DI sendiri dalam berpolitik.

Seluruh bentuk kerugian atau efek negatif yang menimpa masyarakat Neo NII adalah karena
provokasi dan agitasi para mantan tokoh sayap militer DI, yang secara sadar dan sukarela
menyetujui dan mendukung kebijakan intelijen OPSUS (orde baru). Oleh karenanya merekalah
yang harus bertanggungjawab atas hancurnya gerakan dakwah Islam dan citra negatif citra
negatif dakwah. Dalam hal ini, ada tiga pihak yang harus bertanggung jawab :

Pihak ke I adalah aparat teritorial pemerintah Orde Baru, mulai dari tingkat Kodim, Korem
hingga Kodam yang pada masa itu disebut sebagai aparat Laksusda (DanSatgas Intel atau Intel
Balak = Intelijen Badan Pelaksana) yang bertugas melakukan penangkapan, penyiksaan hingga
pemberkasan terhadap jaringan gerakan Islam (Neo NII, Komando Jihad, Teror Warman, Teror
Imran* dan Usrah) yang menjadi target obyek operasi intelijen. Pihak berikutnya adalah para
pemrakarsa, pembuat skenario dan sutradara dari operasi intelijen yang dirancang oleh sayap
intelijen yang berkuasa penuh di bawah struktur Kopkamtib.

Pihak ke I bisa juga disebut sebagai kekuatan bayangan dari struktur kekuasaan yang ada saat
itu namun diformat memiliki kewenangan penuh untuk merancang program, mekanisme dan
pengelolaan (mengendalikan) terhadap perjalanan sistem politik, ekonomi dan pemerintahan
yang berlaku. Pihak ke I sangat dimungkinkan untuk melakukan kerjasama dan menerima
order, baik dari penguasa domestik maupun asing, mengingat hukum Politik, kepentingan
kekuasaan dan intelijen selalu mengglobal, sesuai peta dan kubu ideologi yang eksis di dunia
atau berlaku universal.

Oleh karena itu pihak ke I diberi kewenangan luar bisa, baik dalam menyusun grand ‘scenario’
hingga tingkat pelaksanaan (juklak) yang dilakukan secara rahasia dan rapi, selanjutnya
dikordinasikan penerapan aturan mainnya dengan lemhannas dan departemen-departemen
maupun kementrian. Dengan demikian tugas, peran dan keberadaan pihak ke I menurut garis
besar haluan negara merupakan hal yang legal dan wajar, sekalipun untuk kepentingan itu
harus mengorbankan apa saja (abuse of power: terhadap demokrasi dan HAM) atau membuat
sandiwara dan rekayasa apa saja. Itulah hukum yang berlaku dalam dunia politik, kepentingan
kekuasaan dan intelejen.

Selanjutnya, pihak ke I lainnya adalah mereka yang menjadi inisiator membangkitkan neo NII,
dalam rangka memberikan stigma negative terhadap umat Islam, menciptakan beban psikologis
kepada umat Islam Indonesia yang hingga kini diposisikan sebagai produsen gerakan radikal
bahkan pelaku teror. Sebagai aparat negara seharusnya mereka menggali potensi rakyat dan
memberdayakan potensi tersebut ke tempat semestinya, bukan justru dijadikan instrumen
politik untuk menggapai kekuasaan dan atau mempertahankan kekuasaan.

– Pihak ke II adalah pihak yang secara sengaja dan sadar menjalin hubungan dengan pihak ke
I, yang dikenal dan dipahami sebagai pejabat intelejen militer sekaligus sebagai pejabat
pemerintah dan Negara yang licik dan kejam.

– Pihak ke III, adalah orang-orang yang bersedia direkrut dan memposisikan dirinya sebagai
pihak yang secara sadar telah terdorong dan termotivasi untuk berjihad secara ikhlas di jalan
Islam namun terperosok dan terlanjur masuk ke dalam struktur gerakan Neo NII. Posisi mereka
adalah sebagai korban tak sadar dari abuse of Power, sistem dan kebijakan politik maupun
intelejen Orde Baru.

Keterangan Tambahan Mengenai Teror Imran:

Munculnya kasus Jama’ah Imran pada pertengahan tahun 1980 berlangsung melalui proses
yang berdiri sendiri. Dalam artian, tidak ada keterkaitan dan tidak ada hubungan –baik secara
ideologi maupun sikap politik– dengan eksistensi gerakan Neo NII atau Komando Jihad dan
Teror Warman.

Memang sempat terjadi “interaksi” antara anggota Jama’ah Imran dengan beberapa elite KW-9
(Komandemen Wilayah 9) dalam struktur Neo NII atau Komando Jihad hasil ciptaan Ali Murtopo
dan Pitut Suharto tersebut.

Bentuk “interaksi” yang terjadi pada akhir 1980-an itu, bukanlah “interaksi” yang kooperatif
tetapi justru saling kecam dan saling ancam. Hal ini terjadi, karena H.M. Subari (alm) yang
merupakan elite (orang struktur) Neo NII KW-9 pernah mengatakan, “dalam satu wilayah tidak
boleh ada 2 Jama’ah dan 2 Imam yang berlangsung secara bersamaan, kecuali salah satunya
harus dibunuh.”

FOOTNOTE
[1] Padahal, amanat/wasiat sang imam (SMK) adalah tidak boleh menyerah.

[2] Rahmat Gumilar Nataprawira, RUNISI (Rujukan Negara Islam Indonesia). Dipertegas juga
oleh pernyataan lisan dari Abdullah Munir dan tertulis dari Abdul Fatah Wirananggapati
(pemegang amanah KUKT dari SMK 1953).

[3] Mantan Panglima Divisi atau Komandan Resimen DI-TII, pada saat sidang pengadilan Militer
– MAHADPER, Agustus 1962 mengaku salah dan memberi kesaksian yang isinya
menyalahkan sikap dan kebijakan politik SM Kartosoewiryo. Hubungan ini kemudian memberi
OPSUS buah menguntungkan yang tidak disangka-sangka. “Saya berperan sebagai petugas
pengawas Danu,” kenang Sugiyanto, “dan di bulan Maret 1966, kami menggunakan dia dan
anak buahnya untuk memburu anggota BPI yang sedang bersembunyi di Jakarta.” Selanjutnya
sejak tahun 1971, Danu Muhammad Hasan dan Daud Beureueh sering terlihat di jalan Raden
Saleh 24 Jakarta Pusat (salah satu kantor Ali Murtopo), terkadang di Jalan Senopati (Kantor
BAKIN), ada kalanya di Tanah Abang III (Kantor CSIS).

[4] Menurut Sugiyanto hubungan ini kemudian memberi OPSUS bunga menguntungkan yang
tidak disangka-sangka. “Saya berperan sebagai petugas pengawas Danu,” kenang Sugiyanto,
“dan di bulan Maret 1966, kami menggunakan dia dan anak buahnya untuk memburu anggota
BPI yang sedang bersembunyi di Jakarta.” (lebih jelasnya lihat Kenneth Conboy, Intel: Inside
Indonesia’s Inteligence Services).

[5] Seperti pengakuan Ules Suja’i: “Soal pak Adah yang santer diisukan menerima jatah minyak
dari militer, memang dulu itu saya tahu pak Adah pernah menerima jatah minyak dan oli dari
RPKAD (KOPASSUS sekarang, pen), karena setiap pasukan itu kan memiliki jatah dari
Pertamina, nah oleh RPKAD jatah tersebut diberikan ke pak Adah. Itu mah lewat perjuangan.
Saya sendiri dengan pak Adah memang pernah dipanggil oleh Ibrahim Aji mendapat surat
supaya dibantu oleh Pertamina lalu masuk ke Pertamina pusat jawabannya kurang
memuaskan, malah kalau saya sendiri sampai ke WAPERDAM sampai ketemu Khaerus
Shaleh, ya Alhamdulillah berhasil.”

[6] Djadja Sudjadi akhirnya tewas dibunuh Ki Empon atas perintah Adah Djaelani. Ironisnya,
hingga akhir hayatnya Ki Empon meninggal dalam keadaan miskin dan serba susah sedangkan
Adah Djaelani hidup terpandang dan lumayan sejahtera sebagai petinggi yang lebih dihormati
dari AS Panji Gumilang di lingkungan mabes NII di Ma’had Al-Zaytun, Indramayu.

[7] H. Rasyidi, adalah bapak kandung Abdul Salam alias Abu Toto alias Syaikh A.S. Panji
Gumilang, yang kini menjadi syaikhul Ma’had Al-Zaytun yang dikenal sebagai “mabes” NII yang
kental dengan nuansa misteri intelejen. Abu Toto alias Abdul Salam Panji Gumilang sendiri
sejak mahasiswa menjadi kader intelejen kesayangan Pitut Suharto.

[8] Pitut Suharto pensiun dengan pangkat Kolonel, kini berdomisili di Surabaya.

[9] Janji serupa ini juga berulang pada diri Nur Hidayat, provokator kasus Lampung (Talangsari)
yang terjadi Februari 1989. Nur Hidayat dkk ketika itu yakin sekali bahwa rencana makarnya
pasti berhasil karena akan mendapat bantuan senjata satu kapal yang akan mendarat di
Bakauheni, Lampung.

[10] Witarmin, menurut penuturan H Isma’il Pranoto di masa pergolakan DI-TII adalah sebagai
komandan Batalyon 507 Sikatan yang sempat dilucuti oleh pasukan TII di bawah komando H.
Ismail Pranoto.

[11] Helmi Aminuddin adalah putera Danu Mohammad Hasan, alumni Universitas Madinah,
yang dikirim Bakin ke Saudi Arabia dalam Program pemberangkatan para pemuda ke Timur
Tengah, yang ketika kembali ke Indonesia aktive dalam pergerakan.
[12] Pada tahun 1984, para para elite NII Komandemen Wilayah IX (yang ditangkap OPSUS
pada pertengahan tahun 1980 hingga pertengahan tahun 1981, bersama dengan para pimpinan
Neo NII, Adah Djaelani-Aceng Kurnia) dibebaskan bersyarat dari Rumah tahanan militer
Cimanggis, tanpa melalui proses hukum (Pengadilan), mereka itu adalah: Fahrur Razi,
Royanuddin, Abdur Rasyid, Muhammad Subari, Ahmad Soemargono, Amir, Ali Syahbana,
Abdul Karim Hasan, Abidin, Nurdin Yahya dan Muhammad Rais Ahmad, dan Anshory; kecuali
Helmi Aminuddin bin Danu M Hasan yang dibebaskan tanpa syarat.

Mohamad Fatih.

Referensi:

Dengel,Holk H., Darul Islam dan Kartosuwiryo (terj.), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Jackson, Karl D., Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa
Barat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
Kansil, C.S.T. dan Julianto S.A., Sejarah Perjuangan Pergerakan Kebangsaan Indonesia,
Jakarta: Erlangga, 1982.
Kuntowidjojo, Dinamika Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia, Yogyakarta: Shalahuddin
Press, 1985.
Van Dijk, C. Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (terj.), Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 1989.
Horikoshi, Hiroko, “The Darul Islam Movement in West Java : An Experience in Historical
Process”, Indonesia, Nr.20, 1975.
Simatupang, T.B. dan Lapian, “Pemberontakan di Indonesia: Mengapa dan Untuk Apa”, Prisma,
1978.
Basri, Jusmar, Gerakan Operasi Militer VI: Untuk Menumpas DI-TII di Jawa Tengah, Jakarta:
Mega Bookstore dan Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata SAB., n.d.
Dinas Sejarah Militer TNI-AD, Penumpasan Pemberontakan DI-TII/SMK di Jawa Barat,
Bandung: Dinas Sejarah TNI-AD.
Komando Daerah Militer VII Diponegoro, Staf Umum I, Bahan Perang Urat Syaraf Terhadap
Gerombolan D.I. Kartosuwirjo.
Wawancara dengan beberapa tokoh terkait peristiwa Komando Jihad.

Anda mungkin juga menyukai