Anda di halaman 1dari 3

[1/10 11.

57] +62 831-3700-8389: IDEOLOGI PKI

Partai yang menganut ideologi Marxisme-Komunisme ini ingin mengganti ideologi Pancasila. Untuk
melancarkan tujuannya menguasai keresidenan Madiun, PKI terus melakukan pembunuhan-
pembunuhan terhadap tokoh-tokoh penting

[1/10 11.58] +62 831-3700-8389: Peristiwa PKI Madiun

PKI atau Partai Komunis Indonesia merupakan partai yang telah berdiri sejak zaman pergerakan
nasional. Pada 1926, PKI pernah melakukan aksi pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda.
Para pemimpin PKI ditangkap dan dipenjarakan.

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, PKI kembali hidup. Berdasarkan catatan
Abdurakhman dan kawan-kawan dalam Sejarah Indonesia (2015:9), PKI masih beriringan dengan
pemerintah Indonesia karena anggota kelompoknya terlibat dalam pemerintahan.

Akan tetapi, mulai 1948, PKI mulai terlempar dari kedudukannya di pemerintahan sehingga menjadi
partai oposisi. Mereka menggabungkan diri dengan partai-partai golongan kiri lainnya seperti Front
Demokrasi Rakyat (FDR), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Pemuda Rakyat,
dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).

Kelompok yang berafiliasi ini menginginkan Indonesia menjadi negara berideologi komunis. Awal
September 1948, Muso yang memimpin PKI membawa kelompok tersebut melakukan pemberontakan
di Madiun.

“Perebutan kekuasaan tersebut pada jam 07.00 pagi telah berhasil sepenuhnya menguasai Madiun.
Pada pagi itu pasukan komunis dengan tanda merah mondar-mandir sepanjang jalan. Madiun dijadikan
kubu pertahanan dan titik tolak untuk menguasai seluruh wilayah RI,” ungkap Rachmat Susatyo melalui
buku Pemberontakan PKI-Musso di Madiun (2008).

Peristiwa pergolakan dengan senjata ini puncaknya terjadi pada 18 September 1948. Kala itu, Muso
memproklamasikan lahirnya negara Republik Soviet Indonesia.

[1/10 11.59] +62 831-3700-8389: Peristiwa DI/TII


Gerakan ini dipelopori oleh Kartosuwiryo, seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Perjanjian
Renville dengan Belanda yang memaksa tentara RI di daerah Jawa Barat pergi, membuat Kartosuwiryo
memutuskan mendirikan negara Islam.

Bersama pasukan bersenjata bernama Hizbullah dan Sabilillah, Kartosuwiryo membangun TII (Tentara
Islam Indonesia). Wilayah Jawa Barat yang tadinya dilindungi sebagai bagian RI, ingin dijadikan olehnya
sebagai negara Islam. Akhinrya pada Agustus 1948, Kartosuwiryo mendeklarasikan pembentukan Darul
Islam (negara Islam) dengan tentaranya yang bernama TII.

Ketika tentara Republik Indonesia kembali ke Jawa Barat, DI/TII tidak menerimanya. Dengan kata lain,
Kartosuwiryo bersama kelompoknya tidak mengakui kedaulatan Indonesia yang kala itu Jawa Barat juga
menjadi wilayahnya.

Ketegasan pemerintah Indonesia terhadap peristiwa ini pun terwujud dengan operasi “Pagar Betis”.
Tentara Indonesia mengadakan penyisiran terhadap kelompok Kartosuwiryo sehingga pergerakannya
mulai terbatas. Bahkan, operasi ini berhasil membawa Kartosuwiryo ke dalam genggaman Indonesia
dengna ditangkap pada 1962.

Gerakan DI/TII ini tidak hanya terjadi di wilayah Jawa Barat, namun juga di beberapa wilayah lain
Indonesia. Daerah yang kala itu diklaim dimotori DI/TII meliputi Jawa Tengah, Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan, dan Aceh.

[1/10 11.59] +62 831-3700-8389: Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI)

Peristiwa ini masih menimbulkan perdebatan terkait siapa yang memotorinya. Sebab ada banyak versi
terkait peristiwa ini. Akan tetapi fakta yang terjadi kala itu PKI tengah dalam pertentangan dengan
Angkatan Darat (AD) dan golongan anti PKI lain.

Situasi politik makin meruncing pada Juli 1965, Sukarno selaku presiden RI 'seumur hidup' jatuh sakit.
Kala itu, ia didiagnosa akan lumpuh atau bahkan bisa meninggal. Isu ini memungkinkan bagi pihak
berkepentingan untuk mengambilalih kekuasaan jika Sukarno benar-benar wafat.

Melalui rapat Politbiro PKI yang berlangsung dari Agustus hingga terakhir 28 September 1965, PKI
memutuskan untuk mengambil 'tindakan'.
Pada 30 September 1965, beberapa pasukan PKI yang dipimpin Letnan Kolonel Untung, perwira yang
memiliki hubungan baik dengan PKI, meluncurkan aksinya. Mereka menculik beberapa jenderal dan
perwira--yang disebut Dewan Jenderal--dengan dalih untuk dihadapkan kepada Presiden Sukarno.
Namun para jenderal yang diculik itu sebagian dibunuh saat diculik maupun di markas gerakan di Lubang
Buata.

Jenazah mereka yang mati ditaruh di dalam sebuah sumur yang terletak di Lubang Buaya, Jakarta. Di
antara jenderal dan perwira yang meninggal kala itu adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor
Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI
Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo, dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean.

Selain itu, ada satu Jenderal yang lolos ketika hendak diculik saat itu, yakni Jenderal Abdul Haris
Nasution. Bukan hanya orang-orang yang telah disebutkan meninggal di atas, namun di Yogyakarta
Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugiono juga merasakan nasib yang sama.

Dengan tidak adanya pucuk pimpinan AD setelah Jenderal Ahmad Yani diketahui wafat, Mayor Jendral
Soeharto akhirnya memutuskan untuk menggantikan posisinya. Di bawah kepemimpinannya, operasi
penumpasan G30S/PKI pun diluncurkan mulai dari Jakarta hingga ke daerah lain.

Anda mungkin juga menyukai