Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

PERISTIWA SEJARAH YANG BERTUJUAN


MENGGANTI IDEOLOGI PANCASILA

Dosen Pengampu :
Muhammad Aini, SHI, MH

DISUSUN OLEH :
A’ANG KHUNAIFI
NPM 19810580

KELAS NON REG 2A


BANJARBARU

PROGRAM STUDI S-1 ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
2020
1. PERISTIWA G30S/PKI

Peristiwa G30S/PKI atau biasa disebut dengan Gerakan 30 September merupakan


salah satu peristiwa pemberontakan komunis yang terjadi pada bulan September sesudah
beberapa tahun Indonesia merdeka. Peristiwa G30S PKI terjadi di malam hari tepatnya pada
tanggal 30 September tahun 1965.Dalam sebuah kudeta, setidaknya ada 7 perwira tinggi
militer yang terbunuh dalam peristiwa tersebut. Partai Komunis saat itu sedang dalam kondisi
yang amat kuat karena mendapatkan sokongan dari Presiden Indonesia Pertama, Ir. H
Soekarno. Tidak heran jika usaha yang dilakukan oleh segelintir masyarakat demi
menjatuhkan Partai Komunis berakhir dengan kegagalan berkat bantuan Presiden kala itu.
Hingga sampai saat ini, peristiwa 30S PKI tetap menjadi perdebatan antara benar atau
tidaknya PartaiKomunis Indonesia yang bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut

Sejarah Mulainya Dari G30S/PKI

Sebelum peristiwa 30S PKI terjadi, Partai Komunis Indonesia sempat tercatat sebagai
partai Komunis terbesar di dunia. Hal ini didukung dengan adanya sejumlah partai komunis
yang telah tersebar di Uni Soviet dan Tiongkok. Semenjak dilakukannya audit pada tahun
1965, setidaknya ada 3,5 juta pengguna aktif yang bernaung menjalankan program dalam
partai ini. Itu pun belum termasuk dengan 3 juta jiwa yang menjadi kader dalam anggota
pergerakan pemuda komunis. Di sisi lain, PKI juga memiliki hak kontrol secara penuh
terhadap pergerakan buruh, kurang lebih ada 3,5 juta orang telah ada di bawah pengaruhnya.
Belum sampai disitu, masih ada 9 juta anggota lagi yang terdiri dari gerakan petani dan
beberapa gerakan lain. Misal pergerakan wanita, pergerakan sarjana dan beberapa
organisasi penulis yang apabila dijumlahkan bisa mencapai angka 20 juta anggota beserta
para pendukungnya. Masyarakat curiga dengan adanya pernyataan isu bahwa PKI adalah
dalang dibalik terjadinya peristiwa 30 September yang bermula dari kejadian di bulan Juli
1959, yang mana pada saat itu parlemen telah dibubarkan. Sementara Presiden Soekarno
justru menetapkan bahwa konstitusi harus berada di bawah naungan dekrit presiden. PKI
berdiri dibelakang dukungan penuh dekrit presiden Soekarno. Sistem Demokrasi Terpimpin
yang diusung oleh Soekarno telah disambut dengan antusias oleh PKI. Karena dengan
adanya sistem ini, diyakini PKI mampu menciptakan suatu persekutuan konsepsi yang
Nasionalis, Agamis dan Komunis dengan singkatan NASAKOM.

Cerita Singkat Peristiwa Dari G30S/PKI

Peristiwa G30S PKI bermula pada tanggal 1 Oktober. Dimulai dengan kasus
penculikan 7 jendral yang terdiri dari anggota staff tentara oleh sekelompok pasukan yang
bergerak dari Lapangan Udara menuju Jakarta daerah selatan. Tiga dari tujuh jenderal
tersebut diantaranya telah dibunuh di rumah mereka masing-masing, yakni Ahmad Yani, M.T.
Haryono dan D.I. Panjaitan. Sementara itu ketiga target lainya yaitu Soeprapto, S.Parman dan
Sutoyo ditangkap secara hidup-hidup. Abdul Harris Nasution yang menjadi target utama
kelompok pasukan tersebut berhasil kabur setelah berusaha melompati dinding batas
kedubes Irak. Meskipun begitu, Pierre Tendean beserta anak gadisnya, Ade Irma S. Nasution
pun tewas setelah ditangkap dan ditembak pada 6 Oktober oleh regu sergap. Korban tewas
semakin bertambah disaat regu penculik menembak serta membunuh seorang polisi penjaga
rumah tetangga Nasution. Abert Naiborhu menjadi korban terakhir dalam kejadian ini. Tak
sedikit mayat jenderal yang dibunuh lalu dibuang di Lubang Buaya. Sekitar 2.000 pasukan
TNI diterjunkan untuk menduduki sebuah tempat yang kini dikenal dengan nama Lapangan
Merdeka, Monas. Walaupun mereka belum berhasil mengamankan bagian timur dari area
ini. Sebab saat itu merupakan daerah dari Markas KOSTRAD pimpinan Soeharto. Jam 7 pagi,
Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan sebuah pesan yang berasal dari Untung
Syamsuri, Komandan Cakrabiwa bahwa G30S PKI telah berhasil diambil alih di beberapa
lokasi stratergis Jakarta beserta anggota militer lainnya. Mereka bersikeras bahwa gerakan
tersebut sebenarnya didukung oleh CIA yang bertujuan untuk melengserkan Soekarno dari
posisinya. Tinta kegagalan nyaris saja tertulis dalam sejarah peristiwa G30S/PKI. Hampir saja
pak Harto dilewatkan begitu saja karena mereka masih menduga bahwa beliau bukanlah
seorang tokoh politik. Selang beberapa saat, salah seorang tetangga memberi tahu pada
Soeharto tentang terjadinya aksi penembakan pada jam setengah 6 pagi beserta hilangnya
sejumlah jenderal yang diduga sedang dicuilik. Mendengar berita tersebut, Soeharto pun
segera bergerak ke Markas KOSTRAD dan menghubungi anggota angkatan laut dan polisi
Soeharto juga berhasil membujuk dua batalion pasukan kudeta untuk segera menyerahkan
diri. Dimulai dari pasukan Brawijaya yang masuk ke dalam area markas KOSTRAD. Kemudian
disusul dengan pasukan Diponegoro yang kabur menuju Halim Perdana Kusuma. Karena
prosesnya yang berjalan kurang matang, akhirnya kudeta yang dilancarkan oleh PKI tersebut
berhasil digagalkan oleh Soeharto. Sehingga kondisi ini menyebabkan para tentara yang
berada di Lapangan Merdeka mengalami kehausan akan impresi dalam melindungi Presiden
yang sedang berada di Istana.

Masa Berakhirnya Peristiwa G30S/PKI

G30S PKI bisa berakhir pada jam 7 malam, pasukan pimpinan Soeharto berhasil
mengambil alih atas semua fasilitas yang sebelumnya pernah dikuasai oleh G30S PKI. Jam
9 malam Soeharto bersama dengan Nasution mengumumkan bahwa sekarang ia tengah
mengambil alih tentara yang pernah dikuasai oleh PKI dan akan tetap berusaha untuk
menghancurkan pasukan kontra-revolusioner demi melindungi posisi Soekarno. Soeharto
melayangkan kembali sebuah ultimatum yang kali ini ditujukan khusus kepada pasukan di
Halim. Tak berapa lama kemudian, Soekarno meninggalkan Halim Perdana Kusuma untuk
segera menuju istana Presiden lain yang ada di Bogor. Ketujuh jasad orang yang terbunuh
dan terbuang di Lubang Buaya pada tanggal 3 Oktober berhasil ditemukan dan dikuburkan
secara layak pada tanggal 5 Oktober.

2. PERISTIWA PEMBERONTAKAN DARUL ISLAM

Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII


Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik Indonesia sebagai sebuah
Negara yang menerapkan dasar Agama Islam sebagai dasar Negara. Dalam proklamasinya
tertulis bahwa “Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam” atau
lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang tertulis bahwa “Negara Berdasarkan Islam” dan
“Hukum tertinggi adalah Al Qur’an dan Hadist”. Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII)
menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban Negara untuk membuat undang-undang
berdasarkan syari’at Islam, dan menolak keras terhadap ideologi selain Al Qur’an dan Hadist,
atau yang sering mereka sebut dengan hukum kafir. Dalam perkembangannya, Negara Islam
Indonesia ini menyebar sampai ke beberapa wilayah yang berada di Negara Indonesia
terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Setelah Sekarmadji ditangkap oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada
tahun 1962, gerakan Darul Islam tersebut menjadi terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap
sebagai gerakan ilegal oleh Negara Indonesia, pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara
Islam Indonesia) ini masih berjalan meskipun dengan secara diam-diam di Jawa Barat,
Indonesia.
Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara
Islam Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya yang disebut dengan
DI (Darul Islam) dan para tentaranya diberi julukan dengan sebutan TII (Tentara Islam
Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat provinsi Jawa Barat ditinggalkan oleh
Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam rangka
melaksanakan perundingan Renville. Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok
DI/TII ini dengan leluasa melakukan gerakannya dengan merusak dan membakar rumah
penduduk, membongkar jalan kereta api, serta menyiksa dan merampas harta benda yang
dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Namun, setelah pasukan Siliwangi menjadwalkan
untuk kembali ke Jawa Barat, kelompok DI/TII tersebut harus berhadapan dengan pasukan
Siliwangi.
Upaya Penumpasan Pemberontakan DI/TII
Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu cukup lama di karenakan oleh
beberapa faktor, yaitu:

1. Tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat
mendukung organisasi DI/TII untuk bergerilya.
2. Pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk.
3. Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik
perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan.
4. Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai politik
yang telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.

Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara Nasional


Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan Siliwangi
bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk
menumpas kelompok DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo dan para pengawalnya di tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi
Bratayudha yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah Sekarmadji
ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan bahwa Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati, dan setelah Sekarmadji meninggal,
pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.

Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat


Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo secara resmi menyatakan
bahwa organisasi Negara Islam Indonesia (NII) berdiri berlandaskan kanun azasi, dan pada
tanggal 25 Januari 1949, ketika pasukan Siliwangi sedang melaksanakan hijrah dari Jawa
Barat ke Jawa Tengah, saat itulah terjadi kontak senjata yang pertama kali antara pasukan
TNI dengan pasukan DI/TII. Selama peperangan pasukan DI/TII ini di bantu oleh tentara
Belanda sehingga peperangan antara DI/TII dan TNI menjadi sangat sengit. Hadirnya DI/TII
ini mengakibatkan penderitaan penduduk Jawa Barat, karena penduduk tersebut sering
menerima terror dari pasukan DI/TII. Selain mengancam para warga, para pasukan DI/TII juga
merampas harta benda milik warga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah


Selain di Jawa Barat, pasukan DI/TII ini juga muncul di Jawa Tengah semenjak adanya Majelis
Islam yang di pimpin oleh seseorang bernama Amir Fatah. Amir Fatah adalah seorang
komandan Laskar Hizbullah yang berdiri pada tahun 1946, menggabungkan diri dengan
pasukan TNI Battalion 52, dan bertempat tinggal di Berebes, Tegal. Amir ini mempunyai
pengikut yang jumlahnya cukup banyak, dan cara Amir mendapatkan para pasukan tersebut,
yaitu. Dengan cara menggabungkan para laskar untuk masuk ke dalam anggota TNI. Setelah
Amir Fatah mendapatkan pengikut yang banyak, maka pada tangal 23 Agustus 1949 ia
memproklamasikan bahwa organisasi Darul Islam (DI) berdiri di desa pesangrahan, Tegal.
Dan setelah proklamasi tersebut di laksanakan, Amir Fatah pun menyatakan bahwa gerakan
DI yang di pimpinnya bergabung dengan organisasi DI/TII Jawa Barat yang di pimpin oleh
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi bernama
Angkatan Umat Islam (AUI) yang di dirikan oleh seorang kyai bernama Mohammad Mahfud
Abdurrahman. Organisasi tersebut juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam
Indonesia (NII) dan bersekutu dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sebenarnya,
gerakan ini sudah di desak oleh pasukan TNI. Akan tetapi, pada tahun 1952, organisasi ini
bangkit kembali dan menjadi lebih kuat setelah terjadinya pemberontakan Battalion 423 dan
426 di Magelang dan Kudus. Upaya untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah
membentuk sebuah pasukan baru yang di beri nama Banteng Raiders dengan organisasinya
yang di sebut Gerakan Banteng Negara (GBN). Pada tahun 1954 di lakukan sebuah operasi
yang di sebut Operasi Guntur untuk menghancurkan kelompok DI/TII tersebut.

Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan


Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang Tertindas
(KRyT) yang di pimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu Hajar. Dia bersama
kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari organisasi DI/TII yang berada
di Jawa Barat. Sasaran utama yang di serang oleh kelompok ini adalah pos-pos TNI yang
berada di wilayah tersebut. Setelah pemerintah memberi kesempatan untuk menghentikan
pemberontakan secara baik-baik, akhirnya seorang mantan letnan Ibnu Hajar menyerahkan
diri. Akan tetapi, penyerahan dirinya tersebut hanyalah sebuah topeng untuk merampas
peralatan TNI, dan setelah peralatan tersebut di rampas olehnya, maka Ibnu Hajar pun
melarikan diri dan kembali bersekutu dengan kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya
pemerintahan RI mengadakan Gerakan Operasi Militer (GOM) yang di kirim ke Kalimantan
selatan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Kalimantan Selatan tersebut, dan
pada tahun 1959, Ibnu Hajar berhasil di ringkus dan di jatuhi hukuman mati pada tanggal 22
Maret 1965.

Pemberontakan DI/TII di Aceh


Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia di proklamasikan, di Aceh (Serambi Mekah)
terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam sebuah organisasi
bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang di pimpin oleh Tengku Daud Beureuh
dengan kepala adat (Uleebalang). Konflik tersebut mengakibatkan perang saudara antara
kedua kelompok tersebut yang berlangsung sejak Desember 1945 sampai Februari 1946.
Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah RI memberikan status Daerah Istimewa
tingkat provinsi kepada Aceh, dan mengangkat Tengku Daud Beureuh sebagai
pemimpin/gubernur. Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang
terbentuk pada bulan Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan sebuah
sistem penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa daerah
di Indonesia mengalami penurunan status. Salah satu dari semua daerah yang statusnya
turun yaitu Aceh, yang tadinya menjabat sebagai Daerah Istimewa, setelah operasi
penyederhanaan tersebut di mulai, status Aceh pun berubah menjadi daerah keresidenan
yang di kuasai oleh provinsi Sumatera Utara. Kejadiaan ini sangat mengecewakan seorang
Daud Beureuh, dan akhirnya Daud Beureuh membuat sebuah keputusan yang bulat untuk
bergabung dengan organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953. Setelah
Daud Beureuh bergabung dengan NII, mereka melakukan sebuah operasi untuk menguasai
kota-kota yang berada di Aceh, selain itu mereka juga melakukan propaganda untuk
memperkeruh citra pemerintahan Republik Indonesia.

Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang di pimpin oleh
Sekarmadji akhirnya di atasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan kekuatan senjata
dan operasi militer dari TNI. Setelah pemerintahan RI melakukan operasi tersebut, maka
kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis dari kota-kota yang di tempatinya. Tentara Nasional
Indonesia-pun memberikan pencerahan kepada penduduk setempat untuk menghindari
kesalah pahaman dan mengembalikan kepercayaan kepada pemerintahan Republik
Indoneisa. Tanggal 17 sampai 28 Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima Kodami
Iskandar Muda, kolonel M.Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang
musyawarah tersebut mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan
musyawarah yang di lakukan tersebut berhasil memulihkan kemanana di Aceh.
Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Selain pemberontakan DI/TII di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Selatan.
Pemberontakan DI/TII ini juga terjadi di Sulawesi Selatan yang di pimpin oleh Kahar Muzakar,
organisasi yang sudah di dirikan sejak tahun 1951 tersebut baru bisa di runtuhkan oleh
pemerintah pada Tahun 1965. Untuk menumpas organisasi tersebut di butuhkan banyak
biaya, tenaga, dan waktu karena kondisi medan yang sangat sulit. Meski demikian, para
pemberontak DI/TII sangat menguasai area tersebut. Selain itu, para pemberontak
memanfaatkan rasa kesukuan yang berkembang di kalangan masyarakat untuk melawan
pemerintah dalam menumpas organisasi DI/TII tersebut. Setelah pemerintahan Republik
Indonesia mengadakan operasi penumpasan DI/TII bersama anggota Tentara Republik
Indonesia. Barulah seorang Kahar Muzakar tertangkap dan di tembak oleh pasukan TNI pada
tanggal 3 Februari 1965. Pada akhirnya TNI mampu menghalau seluruh pemberontakan yang
terjadi pada saat itu. Karena seperti yang kita ketahui Indonesia terbentuk dari berbagai suku
dengan beragam kebudayaannya dan UUD 45 yang melindungi beberapa kepercayaan
sehingga tidak mungkin untuk menjadikan salah satu hukum agama di jadikan hukum negara.

3. PERISTIWA PEMBERONTAKAN REPUBLIK MALUKU SELATAN (RMS)

Pada tanggal 25 April 1950, Republik Maluku Selatan (RMS) diproklamasikan oleh
sekelompok orang mantan prajurit KNIL dan masyarakat Pro-Belanda yang di antaranya ialah
Dr. Christian Robert Steven Soumokil, mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur.
Pemberontakan RMS ini merupakan suatu gerakan yang tidak hanya ingin memisahkan diri
dari Negara Indonesia Timur melainkan untuk membentuk Negara sendiri yang terpisah dari
wilayah RIS. Pada awalnya, Soumokil, salah seorang mantan jaksa agung NIT ini, juga pernah
terlibat dalam pemberontakan Andi Azis. Akan tetapi, setelah upayanya untuk melarikan diri,
akhirnya dia berhasil meloloskan diri dan pergi ke Maluku. Selain itu, Soumokil juga dapat
memindahkan anggota KNIL dan pasukan Baret Hijau dari Makasar ke Ambon.

Penyebab / Latar Belakang Pemberontakan RMS


Pemberontakan Andi Azis, Westerling, dan Soumokil memiliki kesamaan tujuan yaitu, mereka
tidak puas terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI).
Pemberontakan yang mereka lakukan mengunakan unsur KNIL yang merasa bahwa status
mereka tidak jelas dan tidak pasti setelah KMB. Keberhasilan anggota APRIS mengatasi
keadaan yang membuat masyarakat semakin bersemangat untuk kembali ke pangkuan NKRI.
Namun, dalam usaha untuk mempersatukan kembali masyarakat ke Negara Kesatuan
Republik Indonesia terjadi beberapa hambatan yang diantaranya terror dan intimidasi yang di
tujukan kepada masyarakat, terlebih setelah teror yang dibantu oleh anggota Polisi yang telah
dibantu dengan pasukan KNIL bagian dari Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh seorang
kapten bernama Raymond Westerling yang bertempat di Batujajar yang berada di daerah
Bandung. Aksi teror yang dilakukannya tersebut bahkan sampai memakan korban jiwa karena
dalam aksi terror tersebut terjadi pembunuhan dan penganiayaan. Benih Separatisme-pun
akhirnya muncul. Para biokrat pemerintah daerah memprovokasi masayarakat Ambon bahwa
penggabungan wilayah Ambon ke NKRI akan menimbulkan bahaya di kemudian hari
sehingga seluruh masyarakat diingatkan untuk menghindari dan waspada dari ancaman
bahaya tersebut. Pada tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap
parlemen NIT sehingga mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya dan akhirnya
kabinet NIT dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan
yang di lakukan oleh Andi Abdoel Azis (Andi Azis) menyebabkan berakhirnya Negara
Indonesia Timur. Akan tetapi Soumokil bersama para anggotanya tidak akan menyerah untuk
melepaskan Maluku Tengah dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Bahkan
dalam perundingan yang berlangsung di Ambon dengan pemuka KNIL beserta Ir.
Manusaman, ia mengusulkan supaya daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah yang
merdeka, dan bila perlu seluruh anggota dewan yang berada di daerah Maluku Selatan
dibunuh. Namun, usul tersebut ditolak karena anggota dewan justru mengusulkan supaya
yang melakukan proklamasi kemerdekaan di Maluku Selatan tersebut adalah Kepala Daerah
Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu. Akhirnya, J. Manuhutu terpaksa hadir pada rapat kedua
di bawah ancaman senjata.

Tujuan Pemberontakan RMS di Maluku


Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil bertujuan untuk
melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum
diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS), Gubernur Sembilan Serangkai yang
beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari
Negara Kesatuan RI. Di sisi lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil
mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah. Sementara
itu, sekelompok orang yang menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya terhadap NKRI
dipandang buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS
memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu
sebagai Presiden dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para menterinya terdiri atas
Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B Pattiradjawane, P.W
Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A. Manusama, dan Z.
Pesuwarissa. Pada tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden
RMS untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan pada 3 Mei
1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku Selatan. Pada
tanggal 9 Mei, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS) dan Sersan Mayor KNIL,
D.J Samson diangkat sebagai panglima tertinggi di angkatan perang tersebut. Untuk kepala
staf-nya, Soumokil mengangkat sersan mayor Pattiwale, dan anggota staf lainnya terdiri dari
Sersan Mayor Kastanja, Sersan Mayor Aipassa, dan Sersan Mayor Pieter. Untuk sistem
kepangkatannya mengikuti system dari KNIL.
Upaya Penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku
Dalam upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan cara
berdamai. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan mengirim misi perdamaian
yang dipimpin oleh seorang tokoh asli Maluku, yakni Dr. Leimena. Namun, misi yang diajukan
tersebut ditolak oleh Soumokil. Selanjutnya misi perdamaian yang dikirim oleh pemerintah
terdiri atas para pendeta, politikus, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu langsung
dengan pengikut Soumokil. Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak
berhasil, akhirnya pemerintah melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS
dengan mengerahkan pasukan Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh seorang
kolonel bernama A.E Kawilarang, yang menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium
Indonesia Timur. Setelah pemerintah membentuk sebuah operasi militer, penumpasan
pemberontakan RMS pun akhirnya dilakukan pada tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15
Juli 1950, pemerintahan RMS mengumumkan bahwa Negara Republik Maluku Selatan
sedang dalam bahaya. Pada tanggal 28 September, pasukan militer yang diutus untuk
menumpas pemberontakan menyerbu ke daerah Ambon, dan pada tanggal 3 November
1950, seluruh wilayah Ambon dapat dikuasai termasuk benteng Nieuw Victoria yang akhirnya
juga berhasil dikuasai oleh pasukan militer tersebut. Dengan jatuhnya pasukan RMS yang
berada di daerah Ambon, maka hal ini membuat perlawanan yang dilakukan oleh pasukan
RMS dapat ditaklukan. Pada tanggal 4 sampai 5 Desember, melalui selat Haruku dan
Saparua, pusat pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang RMS berpindah ke Pulau
Seram. Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat sebagai presiden RMS
tertangkap di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya melarikan diri ke
Negara Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan sebuah organisasi di Belanda
dengan pemerintahan di pengasingan (Government In Exile). Sementara itu, Dr. Soumokil,
pada masa itu ia masih bertahan di hutan-hutan yang berada di pulau Seram sampai akhirnya
ditangkap pada tanggal 2 Desember 1963. Pada Tahun 1964, Soumokil dimajukan ke meja
hijau. Selama persidangan Soumokil berlangsung, meskipun ia bisa berbahasa Indonesia,
namun pada saat itu ia selalu memakai Bahasa Belanda, sehingga pada saat persidangan di
mulai, hakim mengutus seorang penerjemah untuk membantu persidangan Soumokil.
Akhirnya pada tanggal 24 April 1964, Soumokil akhirnya dijatuhi hukuman mati. Eksekusi pun
dilaksanakan pada tanggal 12 April 1966 dan berlangsung di Pulau Obi yang berada di
wilayah kepulauan Seribu di sebelah Utara Kota Jakarta. Sepeninggal Soumokil, sejak saat
itu RMS berdiri di pengasingan di Negeri Belanda. Pengganti Soumokil adalah Johan
Manusama. Ia menjadi presiden RMS pada tahun 1966-1992, selanjutnya digantikan oleh
Frans Tutuhatunewa sampai tahun 2010 dan kemudian digantikan oleh John Wattilete.
Dampak dari Pemberontakan RMS di Maluku
Pada Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang berada di
gedung pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut juga dilakukan oleh
beberapa kelompok yang berada di bawah pimpinan RMS, seperti kelompok Bunuh Diri di
Maluku Selatan. Dan pada tahun 1975 kelompok ini pernah merampas kereta api dan
menyandera 38 penumpang kereta api tersebut. Pada tahun 2002, pada saat peringatan
proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan, diadakan acara pengibaran bendera RMS di Maluku.
Akibat dari kejadian ini, 23 orang ditangkap oleh aparat kepolisian. Setelah penangkapan
aktivis tersebut dilakukan, mereka tidak menerima penangkapan tersebut karena dianggap
tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya mereka memperadilkan Gubernur
Maluku beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan penangkapan dan
penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai propokator dan pelaksana pengibaran
bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran bendera tersebut terus dilakukan, dan pada tahun
2004, ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera RMS di Kudamati. Akibat dari
pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang berada di bawah naungan RMS ditangkap dan
akibat dari penangkapan tersebut, terjadilah sebuah konflik antara sejumlah aktivis RMS
dengan Kelompok Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Tidak cukup dengan aksi
tersebut, Anggota RMS kembali menunjukkan keberadaannya kepada masyarakat Indonesia.
Kali ini mereka tidak segan-segan untuk meminta pengadilan negeri Den Haang untuk
menuntut Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dan menangkapnya atas kasus Hak
Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan terhadap 93 aktivis RMS. Peristiwa paling parah terjadi
pada tahun 2007, dimana pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sedang
menghadiri hari Keluarga Nasional yang berlangsung di Ambon, Maluku. Ironisnya, pada saat
penari Cakalele masuk ke dalam lapangan, mereka tidak tanggung-tanggung untuk
mengibarkan bendera RMS di hadapan presiden SBY.

4. PERISTIWA PEMBERONTAKAN ANGKATAN PERANG RATU ADIL (APRA)

Ratu Adil adalah mitologi yang sakral di dalam masyarakat Indonesia. Ratu Adil berasal
dari ramalan Jayabaya, yaitu pemimpin yang akan memerintah rakyat dengan adil dan
bijaksana, sehingga keadaan akan aman dan rakyat makmur sejahtera. Namun, bagaimana
jika mitologi tersebut justru dijadikan sebagai salah satu propaganda politik, seperti yang
dilakukan oleh Westerling beserta Angkatan Perang Ratu Adil nya (APRA). Dengan
menggunakan embel-embel Ratu Adil, Westerling mencoba mencari simpati rakyat untuk
melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Republik Indonesia.
Latar Belakang Pemberontakan APRA

Di antara anggota pasukan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) banyak yang


tidak puas terhadap hasil keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB). Ringkasnya mereka
tidak suka dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pada waktu itu
bernama RIS. Apalagi KNIL harus bergabung ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat (APRIS) bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI). Bagi TNI sebagai pejuang
kemerdekaan yang setia tentu saja agak sulit menerima kehadiran KNIL, begitupula bagi KNIL
sulit bergabung dengan TNI sebab mereka pernah berhadapan satu sama lain dalam
pertempuran pada masa Perang Kemerdekaan. Kecemburuan KNIL terhadap TNI semakin
menjadi setelah diputuskan bahwa pimpinan APRIS harus berasal dari TNI. Hal ini diperparah
dengan sambutan rakyat yang lebih simpatik terhadap keberadaan TNI. Pada titik inilah, kaum
reaksioner yang subversif memanfaatkan situasi untuk terus menyebar hasutan guna
merongrong pemerintah Indonesia. Pada pertengahan November 1949, muncul seorang
tokoh militer Belanda, Raymond Pierre Westerling, yang mulai menyusun kekuatan dengan
menarik anggota KNIL yang didemobilisasikan. Westerling dikenal sebagai seorang militer
yang berpengalaman dan kejam. Perjalanan hidupnya di Indonesia diwarnai dengan
genangan darah. Pada awalnya, ia ditugaskan sebagai Kapten Tentara Kerajaan Belanda
untuk melumpuhkan semangat juang rakyat di Sulawesi Sealatan. Kedatangannya di
Sulawesi Selatan disertai 150 anggota Corps Speciale Troepen. Dalam melaksanakan
tugasnya itu, ia membunuh 40.000 rakyat Sulawesti Selatan. Selesai bertugas di Sulawesi, ia
ditarik ke Jawa Barat sebagai pimpinan atas 1.500 orang Speciale Troepen.Westerling
kembali melakukan pembantaian terhadap penduduk di Cibarusah, Cikalong, Tasikmalaya,
dan Cirebon. Di Jawa Barat, Westerling terus berusaha melebarkan sayap. Kekejamannya itu
mendapat penghargaan dari pihak yang berjuang di pihak Belanda. Akan tetapi Pemerintah
Belanda, akhirnya memecat Westerling dari dinas ketentaraan. Namun, hal ini ternyata lebih
memberikan keleluasaan kepadanya. Ia bisa lebih dekat dan semakin aktif melakukan
kegiatan bersama unsur-unsur penentang Republik Indonesia.
Bebas dari tugas militer, Westerling justru membentuk gearakan dengan nama Ratu
Adil. Dengan nama ini gerakan Westerling semakin mendapat simpati rakyat. Dalam waktu
yang realtif singkat, ia telah berhasil mengumpulkan modal dan pengikut sebanyak 8.000
orang termasuk para bekas pasukan Belanda. Tujuan APRA dan kaum kolonialis yang ada di
belakangnya adalah mempertahankan bentuk federal di Indonesia dan mempertahankan
adanya tentara tersendiri pada setiap negara-negara bagian RIS. Tujuan ini bertolak belakang
dengan hasil Konferensi Antar-Indonesia di Yogyakarta yang telah menyetujui bahwa APRIS
adalah Angkatan Perang Nasional.
Dimulainya Serangan APRA

Tidak lama setelah APRA dibentuk, Westerling mengajukan ultimatum kepada


Pemerintah RIS agar kekuasaan militer daerah Pasundan diserahkan sepenuhnya kepada
APRA. Ia menilai TNI kurang mampu menjalankan tugas itu dan meminta agar APRA
dijadikan pasukan resmi. Pemerintah RIS menganggap ultimatum itu sebagai sebuah
kekonyolan. Oleh karena itu, Westerling mulai berusaha merebut kekuasaan dengan
kekerasan. Target utama dari kebengisan Westerling adalah Jakarta dan Bandung. Setelah
menyusun rencana, APRA mulai bergerak di sekitar Cililin, di bawah pimpinan dua orang
Inspektur Polisi Belanda, van Beeklen dan van der Meula. Gerakan APRA yang terdiri dari
sekitar 800 orang di antaranya 300 anggota KNIL bersenjata lengkap menyerang kota
Bandung pada pagi hari tanggal 23 Januari 1950. Walaupun satu hari sebelum serangan
pimpinan Divisi Siliwangi telah mensinyalir adanya suatu gerakan dari sekelompok orang
bersenjata yang bergerak dari Cimahi menuju kota Bandung, tetap saja Westerling berhasil
memasuki kota itu. Keesokan harinya APRA telah memasuki kota Bandung dan secara ganas
membunuh setiap anggota TNI yang dijumpai. Gerombolan APRA berhasil menduduki
Markas Staf Divisi Siliwangi, pertempuran tidak berimbang pun terjadi antara 150 orang APRA
melawan 18 orang anggota TNI. Pertempuran itu menyebabkan 15 orang, termasuk Lenan
Kolonel Lemboh gugur, sedangkan hanya 3 orang yang berhasil melarikan diri. Secara
keseluruhan gerakan APRA di kota Bandung menyebabkan 79 anggota APRIS gugur dan
banyak penduduk sipil menjadi korban pembantaian.

Reaksi Pemerintah Indonesia untuk Menumpas APRA

Pemerintah RIS segera bereaksi dengan mengirimkan bala bantuan ke Bandung untuk
menghentikan APRA. Di Jakarta juga segera diadakan perundingan antara Moh. Hatta
sebagai Perdana Menteri RIS dengan Komisaris Tinggi Belanda. Hasilnya, Mayor Jenderal
Engels, Komandan Tentara Belanda di Bandung mendesak Westerling untuk pergi dari kota
itu. Setelah terdesak, gerombolan APRA pergi meninggalkan Bandung. Setelah
meninggalkan Bandung, gerombolan APRA menyebar ke berbagai wilayah dan terus dikejar
oleh Apris. Dengan bantuan rakyat,, gerombolan APRA yang telah berceceran berhasil
dilumpuhkan oleh TNI. Selain ke Bandung, gerakan APRA juga diarahkan ke Jakarta. Di
daerah ini, Westerling mengadakan kerjasama dengan Sultan Hamid II yang menjadi menteri
negara tanpa portofolia di dalam kabinet RIS. Untuk mewujudkan ambisinya, Westerling dan
Sultan Hamid II menyusun rencananya sebagai berikut:
1. APRA akan menyerang gedung tempat Kabinet RIS bersideng.
2. Semua Menteri RIS akan diculik
3. Menteri Pertahanan (Sultan Hamengku Buwono IX), Sekjen Kementrian Pertahanan
(Ali Budiarjo) dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang (Kol. T. B. Simatupang) akan
dibunuh.
Supaya publik tertipu, Sultan Hamid II juga akan ditembak di tangan atau kakinya agar
orang mengira bahwa ia juga termasuk yang akan dibunuh Westerling. Sultan Hamid II
dijanjikan oleh Westerling akan dijadikan Menteri Pertahanan jika rencana itu sukses. Akan
tetapi berkat kesigapan APRIS, usaha APRA di Jakarta juga menemui kegagalan. Meskipun
demikian Westerling dengan gerombolannya masih terus mencoba untuk mencapai
tujuannya. Tetapi usahanya tetap berujung pada kegagalan. Sementara itu, Westerling yang
melihat indikasi kegagalan rencananya, memilih melarikan diri dengan pesawat Catalina
Angkatan Laut Belanda ke Singapura pada 22 Februari 1950. Di Singapura, Westerling justru
ditahan polisi setempat dengan tuduhan telah memasuki wilayah itu tanpa izin. Westerling
menjalani hukuman selama satu bulan di Singapura. Pemerintah Indonesia berusaha
menuntut agar buronannya tersebut diserahkan kepada Indonesia. Namun, tuntutan itu ditolak
mentah-mentah oleh pihak Inggris, dengan alasan bahwa RIS tidak punya perjanjian dengan
Inggris tentang hal itu. Sementara itu Sultan Hamid II yang ikut serta dalam rencana makar
tersebut baru tertangkap pada 5 April 1960. Presiden Soekarno di depan Singan DPR RIS
menyampaiakan pidato yang menegaskan sikap pemerintah untuk menumpas
pemberontakan Westerling. Selanjutnya, ia mengingatkan pula agar rakyat, khususnya umat
Islam agar tidak terpancing dan masuk gerakan pemberontak.

Dampak Kegagalan APRA

Kegagalan gerakan APRA justru meningkatkan sikap anti-federal negara-negara bagian


RIS. Usaha untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah pusat RIS semakin keras.
Pada tanggal 30 Januari 1950, R. A. A Wiranatakusumah, Wakil Negara Pasundan
mengundurkan diri dan pada tanggal 8 Februari Perdana menteri mengangkat Sewaka
sebagai penggantinya dengan jabatan komisaris RIS di Pasundan. Gerakan unitarisme juga
meluas ke daerah-daerah lain. Negara Jawa Timur yang dibentuk oleh Belanda dalam
Konferensi Bondowoso, akhirnya dibubarkan setelah dididesak oleh rakyat. Selanjutnya,
Gubernur Jawa Timur, Samadikoen, pada tanggal 27 Februari mengeluarkan suatu intruksi
kepada segenap residen, bupati, walikota serta aparat bawahannya dari bekas Negara Jawa
Timur agar menyerahkan pimpinan daerahnya masing-masing kepada pejabat Republik
Indonesia yang telah ditujuk sebelumnya. Tindakan tersebut diambil oleh Gubernur untuk
meredakan suasana panasa di kalangan rakyat yang menuntut dibubarkannya Negara Jawa
Timur. Selain Negara Jawa timur, Negara Madura juga ikut bergabung ke dalam wilayah RI.
Di Sumatra Selatan, tuntutan hampir unitarisme juga muncul dan mencapai puncaknya
pada awal tahun 1950. Oleh karena itu, RIS harus menerima pembubaran itu. Pada 24 Maret
1950, pemerintah RIS meresmikan pembubaran Negara Sumatra Selatan dan daerahnya
dimasukkan ke lingkungan provinsi Sumatra Selatan di bawah RI. Peristiwa unitarisme
Sumatra Selatan kemudian disusul dengan pembubaran Daerah Istimewa Bangka Belitung
penyerahannya dilaksanakan pada tanggal 23 April 1950. Di Sulawesi Selatan, gerakan-
gerakan menuju unitarisme mendapatkan tantangan dari golongan federal yang ingin
mempertahanakan Negara Indonesia Timur (NIT). Berbagai demonstrasi yang menuntut
pembubaran NIT terjadi di Ujungpandang, Gorontalo, Poso, Donggala, Takalar, dan
Jeneponto. Meskipun sempaat muncul peberontakan Andi Aziz, tetapi keinginan rakyat
Sulawesi untuk melepaskan diri dari NIT tidak kendor.
Sebelum pemerintah RIS dengan resmi membubarkan NIT, rakyat provinsi Sulawesi,
Maluku, dan Nusa Tenggara telah menyatakan melepaskan diri dari ikatan NIT dan
menggabungkan diri dengan RI. Pernyataan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk
proklamasi yang dikeluarkan di Polongbangkeng pada tanggal 17 April 1950 dan
ditandatangai oleh Makkaraeng Dg. Djarung yang mengatasnamakan gubernur-gubernur
Provinsi Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Tindakan Westerling di Jawa Barat serta
Pengkhinatan Sultan Hamid II juga telah diprotes oleh rakyat Kalimantan. Di daerah ini sejak
awal 1950 telah terjadi pergolokanan yang menuntut unitarisme. Pada pertengahan Januari
1950, dr. Murdjani selaku wakil Pemerintah RI mengadakan kunjungan ke Kalimantan Timur
guna menyaksikan penggabungan daerah tersebut ke dalam RI. Sementara itu, Dewan
Kalimantan Timur dalam sidangnya telah mengambil suatu resolusi yang mendesak Dewan
Gabungan Kesultanan untuk menyerahkan mandat secepatnya kepada RIS. Dalam resolusi
tersebut disepakati penggabungan daerah Kalimantan Timur sebagai daerah otonomi Negara
Kesatuan. Di Kalimantan Selatan juga terjadi pergolakan menuntut unitarise. Penggabungan
tersebut dilakukan setelah bubarnya Dewan Banjar. Peristiwa penggabungan itu juga
disaksikan oleh dr. Murdjani. Di Kalimantan Barat, kondisinya sedikit berbeda dengan daerah
lainnya. Gerakan-gerakan rakyat yang menuntu unitarisme tidak berhasil. Hambatan
utamanya adalah karena yang dikirimkan ke Kalimantan Barat sebagai wakil RIS adalah Mr.
Indrakusuma, seorang tokoh pendukung negara federal. Akibatnya, tuntutan rakya hanya
berhasil membubarkan Dewan Istimewa, tetapi tidak berhasil menuntut penggabungan.
Faktor tersebut menyebabkan Kalimantan Barat menjadi wilayah terakhir di Kalimantan yang
bergabung ke NKRI.

Anda mungkin juga menyukai