Anda di halaman 1dari 28

SEJARAH DAN KRONOLOGIS PERISTIWA G 30 S/PKI

             
Sebenarnya Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah lama meniupkan hawa perlawanan
dan pemberontakan terhadap Indonesia. Kelompok ini bersikeras untuk mengganti dasar
negara Republik Indonesia, yakni Pancasila menjadi negara yang berdasar asas komunis.
Perlawanan PKI yang tidak diterima oleh setiap kalangan ini, menjadikan kelompok ini
merencanakan sebuah rencana yang besar.

KRONOLOGIS PENUMPASAN PKI


1.    Tanggal 1 Oktober 1965
Operasi penumpasan G 30 S/PKI dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1965 sore hari.
Gedung RRI pusat dan Kantor Pusat Telekomunikasi dapat direbut kembali tanpa
pertumpahan darah oleh satuan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo,
pasukan Para Kujang/328 Siliwangi, dan dibantu pasukan kavaleri. Setelah diketahui bahwa
basis G 30 S/PKI berada di sekitar Halim Perdana Kusuma, sasaran diarahkan ke sana.
2.     Tanggal 2 Oktober 1965
                Pada tanggal 2 Oktober, Halim Perdana Kusuma diserang oleh satuan RPKAD di
bawah komando Kolonel Sarwo Edhi Wibowo atas perintah Mayjen Soeharto. Pada pikul
12.00 siang, seluruh tempat itu telah berhasil dikuasai oleh TNI – AD.
3.    Tanggal 3 Oktober 1965
Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Mayor
C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang Buaya. Setelah usaha pencarian perwira TNI
– AD dipergiat dan atas petunjuk Kopral Satu Polisi Sukirman yang menjadi tawanan G 30
S/PKI, tetapi berhasil melarikan diri didapat keterangan bahwa para perwira TNI – AD
tersebut dibawah ke Lubang Buaya. Karena daerah terebut diselidiki secara intensif, akhirnya
pada tanggal 3 Oktober 1965 titemukan tempat para perwira yang diculik dan dibunuh
tersebut.. Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang bergaris
tengah ¾ meter dengan kedalaman kira – kira 12 meter, yang kemudian dikenal dengan
nama Sumur Lubang Buaya.
4.    Tanggal 4 Oktober 1965
                Pada tanggal 4 Oktober, penggalian Sumur Lubang Buaya dilanjutkan kembali
(karena ditunda pada tanggal 13 Oktober pukul 17.00 WIB hingga keesokan hari) yang
diteruskan oleh pasukan Para Amfibi KKO – AL dengan disaksikan pimpinan sementara TNI
– AD Mayjen Soeharto. Jenazah para perwira setelah dapat diangkat dari sumur tua tersebut
terlihat adanya kerusakan fisik yang sedemikian rupa. Hal inilah yang menjadi saksi bisu bagi
bangsa Indonesia betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum wafat.
5.     Tanggal 5 Oktober 1965
                Pada tanggal 5 Oktober, jenazah para perwira TNI – AD tersebut dimakamkan di
Taman Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya disemayamkan di Markas Besar
Angkatan Darat.
6.    Pada tanggal 6 Oktober, dengan surat keputusan pemerintah yang diambil dalam Sidang
Kabinet Dwikora, para perwira TNI – AD tersebut ditetapakan sebagai Pahlawan Revolusi.
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI adalah sebuah kejadian
yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 di mana enam pejabat tinggi militer Indonesia
beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha pemberontakan yang disebut
sebagai usaha kudeta yang dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

Latar Belakang
PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan
Uni Sovyet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan
pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota
dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk
pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI
mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah
dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan
angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi
Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk
persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan
NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum
burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani,
gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.
PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk
memperkuat dukungan untuk rezim Demokrasi Terpimpin dan, dengan persetujuan dari
Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai
pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin
PKI mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit
mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit
menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada
angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat
"massa tentara" subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para
tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para
pemilik tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI
mengimbau semua pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan
terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain,
termasuk angkatan bersenjata.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak
milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi.
Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet
Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia
berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari
antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para
komunis".
Rejim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok
di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah
milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan
rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan
bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan
mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang
berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa
yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-
jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit
menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan
kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di
Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer
dan negara sedang diubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Peristiwa
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh
dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal
kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi
Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap
gerakan tersebut.
Korban

Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:


•    Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani, 
•    Mayjen TNI R. Suprapto 
•    Mayjen TNI M.T. Haryono 
•    Mayjen TNI Siswondo Parman 
•    Brigjen TNI DI Panjaitan 
•    Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo
Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun dia
selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution
dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:


•    AIP Karel Satsuit Tubun 
•    Brigjen Katamso Darmokusumo 
•    Kolonel Sugiono
Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang
dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.
Pasca kejadian
Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi
pembentukan Dewan Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan
Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan
nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian
kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan
organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak
melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Sovyet Brezhnev, Mikoyan dan
Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira
untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh
minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan
menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan
Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas
penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi
terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto.
Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan
"penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-
Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan
Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang
dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk
bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia."
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto
kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk
mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk
melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali
digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya,
Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-
Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24
November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau
mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang
diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan
ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi
di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui
dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara lainnya
2.000.000 orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam
bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
    Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi
muslim sayap-kanan melakukan pembunuhan-pembunuhan massa, terutama di Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi
penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung
PKI telah menjadi korban pembunuhan dan puluhan ribu dipenjarakan di kamp-kamp
konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung
dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan
pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga
pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana
udara yang lembab membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini
bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-
mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di Pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000
orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai
Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari
Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang
ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak
berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus. Di daerah-daerah
lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan
kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Cina" terjadi.
Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai
protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir
1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk beberapa dozen sejak
tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus
Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan
30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada
masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebut juga
ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September.
Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila
Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi
di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi
dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang
peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok
Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun
tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia,
Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban
tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, Sasmaja, dan
Putmainah
G-30-S/PKI
1.         LATAR BELAKANG

a.         Adanya tuntutan PKI kepada Presiden Soekarno untuk membentuk dan


mempersenjatai “angkatan ke-5” (kaum buruh dan tani). Menteri/Panglima Angkatan
Darat menolak. Menteri/Panglima Angkatan Udara menyetujui.
b.         Isu “Dewan Jenderal”, Mei 1965
c.         Isu “Dokumen Gilchrist”

I discussed with the American Ambassador the questions set out in your No.:67786/65. The
Ambassador agreed in principal [sic] with our position but asked for time to investigate
certain aspects of the matter.
To my question on the possible influence of Bunker's visit, to Jakarta, the Ambassador state
[sic] that he saw no reason for changing our joint plans. On the contrary, the visit of the US.
President's personal envoy would give us more time to prepare the operation the utmost detail
[sic]. The Ambassador felt that further measures were necessary to bring our efforts into
closer alignment. In this connection, he said that it would be useful to impress again on our
local army friends that extreme care discipline [sic] and coordination of action were essential
for the success of our enterprise.
I promised to take all necessary measures. I will report my own views personally in due
course.

GILCHRIST

d.         Isu Presiden Soekarno sakit keras

2.         SABOTASE, AKSI TEROR DAN AKSI SEPIHAK MENJELANG PERISTIWA G30S


PKI

   SABOTASE

1.         Tindakan Sabotase terhadap Transportrasis Umum Kereta Api oleh Serikat Buruh
Kereta Api, Tanggal 6 Februari 1964, kasus tabrakan antara dua rangkaian Kereta
Api juga terjadi di Kallyasa, Sala, Jawa Tengah. Pada tanggal 30 April 1964,
peristiwa yang sama terjadi di Kroya, Jawa Tengah. Tanggal 14 Mei 1964 di Cirebon
dan Semarang, serta tanggal 6 Juli 1964 di Cipapar, Jawa Barat. Menyusul
kemudian beberapa kasus lepas dan larinya gerbong-gerbong dari rangkaian
lokomotifnya di Tanah Abang  tanggal 18 agustus 1964, di Bandung tanggal 31
Agustus  1964, Tasikmalaya tanggal 11 Oktober 1964.Seminggu kemudian tanggal
18 Oktober 1964 di daerah yang sama yaitu Tasikmalaya terjadi kasus kecelakaan
yang menimpa 20 rangkaian gerbong KA yang mengangkut peralatan Militer.
2.         Aksi-Aksi Sepihak BTI (Barisan Tani Indonesia), Pada tanggal 23 Mei 1964,
setelah kegiatan HUT ke-44 PKI yang dilaksanakan di Semarang. ketua CC PKI D.N
Aidit serta 58 tokoh PKI termasuk didalamnya Himpunan Sarjana Indonesia (HSI)
yang terpengaruh oleh PKI mengadakan gerakan Turba (Turun Kebawah) yang
sekaligus melakukan penelitian yang bertujuan untuk membuktikan bahwa petani di
daerah Jawa sangat miskin dan sangat potensial untuk digerakkan mendukung
program PKI melalui aksi-aksi melawan tuan tanah di desa-desa.

   Aksi-aksi Teror

1.         Peristiwa Kanigaro Kediri, Tanggal 13 Januari 1965 sekitar pukul 04.30 massa


anggota PKI yang di pimpin oleh Ketua Pengurus Cabang Pemuda Rakyat Daerah
Kediri, Soerdjadi, mengadakan terot denagn melakukan penyerbuan terhadap para
akytivis Pelajar Islam Indoneisa (PII) yang sedang mengadakan pelatihan mental di
desa Kanigoro, Kediri. Pada kesempatan itu PKI/PR melakukan pemukulan dan
penganiayaan terhadap para Kyai  dan Imam masjid serta merusak rumah ibadah
bahkan menginjak-injak kitab suci Al-Qur’an.
2.         Aksi Massa dan Demonstrasi Anti Amerika, Pada tanggal 11 Desember 1964,
Wakil Ketua Umum Panitia Aksi Pembikotan Film Amerika Ny. Oetami Soeryadarma
menuntut agar American Motion Pictures association Of 
Importers (AMPAI)dibubarkan.

   Aksi Sepihak :

1.         Peristiwa Jengkol pada tanggal 15 November 1961 merupakan aksi sepihak PKI


yang mengerahkan anggota-anggotanya untuk merebut tanah perkebunan negara
yang sedang ditertibkan. Aksi sepihak ini dipelopori oleh BTI (Barisan Tani
Indonesia), Pemuda Rakyat, dan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).
2.         Peristiwa Indramayu (15-16 Oktober 1964) yang merupakan aksi pengeroyokan
oleh anggota PKI terhadap tujuh anggota polisi kehutanan di Indramayu.
3.         Peristiwa Boyolali (November 1964)
4.         Demonstrasi Anti-Amerika (10-11 Desember 1964) yang memprotes kehadiran
USIS (United State Information Service/ Kantor Penerangan Amerika) dan
pengusiran Dubes AS saat itu, yaitu Bill Palmer dari Indonesia.
5.         Peristiwa Kanigoro, Kediri (13 Januari 1965) di mana anggota-anggota PKI
menyerbu para aktivis, pelajar Islam, dan Kyai serta tempat ibadah di Kanigoro.
6.         Peristiwa Bandar Betsi (14 Mei 1965) merupakan aksi penyerobotan tears milik
negara oleh simpatisan PKI di Sumatera Utara.
3.         KONFLIK PKI VS TNI

Puncak konflik politik ketika kelompok perwira dipimpin Letkol Untung,


menyodorkan anggota Dewan Jenderal kepada Bung Karno. Namun atas perintah
Syam Kamaruzaman Dewan Jenderal itu harus dieksekusi. Syam yang disebut
tokoh "misterius" menurut berbagai versi, pernah menjadi kader PSI, dan menjadi
intel Kodam Jaya yang disusupkan PKI. Dia mengaku kepada aparat yang
memeriksa dalam suatu penyidikan, Syam adalah kader kepercayaan DN Aidit untuk
membentuk Biro Khusus yang tugasnya menginfiltrasi TNI-AD.
Anehnya, tak satu pun jajaran anggota Politbiro PKI mengetahui Biro Khusus
itu dan di mana Syam berada. Suatu hal yang sama misteriusnya dengan Aidit yang
dieksekusi TNI-AD di Boyolali. Eksekusi itu menutup kemungkinan pembuktian Biro
Khusus PKI.
Peter Dale Scott, melihat banyak kejanggalan. Dalam siaran di RRI, Letkol
Untung mengatakan Presiden Soekarno aman di bawah lindungan Dewan Revolusi.
Padahal Bung Karno berada di Halim Perdana Kusuma.
Dalam susunan Dewan Revolusi Letkol Untung sama sekali tidak pernah
menyebut Bung Karno terlibat tragedi 1965. Anehnya di seberang RRI adalah
markas Kostrad yang tidak pernah tersentuh. Sama seperti Biro Khusus PKI peran
Letkol Untung sulit diketahui. Ia sama seperti Aidit dieksekusi dalam pelariannya di
Jawa Tengah.
Sedangkan Kol Latief dalam pledoinya menyebut dekat dengan Mayjen
Soeharto dan sudah dua kali menyampaikan informasi mengenai rencana kudeta
Dewan Jenderal itu. Namun, Soeharto tidak memberi reaksi karena sedang
menunggui Tommy anaknya yang sakit di RS Gatot Subroto. Latief disebut sebagai
orang kedua setelah Letkol Untung, dalam pledoinya, "Dewan Jenderal itu ada dan
ingin menggulingkan Bung Karno".
Pengungkapan kembali tragedi ini penting, bisa memulihkan penderitaan sejuta
rakyat yang pernah disiksa atas tuduhan terlibat G-30-S/PKI, tanpa tahu
kesalahannya.

4.         PROSES TERJADINYA G30S PKI

1.         Pembagian pasukan : pasukan penculik, pasukan yang menguasai objek vital di


sekitar monumen nasional, dan pasukan penerima tawanan
2.         Aksi penculikan dan pembunuhan terhadap :
a.        Jenderal TNI A.H. Nasution, namun gagal, yang diculik seorang ajudan Jenderal
Lettu Czi. Pierre Andreas Tendean
b.        Letjen TNI Achmad Yani
c.         Mayjen TNI Soeprapto
d.        Mayjen TNI S. Parman
e.        Mayjen TNI Haryono M. T.
f.          Brigjen TNI Sutojo S.
g.        Brigjen TNI D. I. Pandjaitan

3.         Penguasaan gedung Studio RRI Jakarta di Jalan Merdeka Barat dan gedung
Telekomunikasi di Jalan Merdeka Selatan
4.         Pembentukan Dewan Revolusi dan Komando Gerakan 30 September

5.         PENUMPASAN G30S PKI

Dalam situasi yang tidak menentu pimpinan angkatan darat diambil alih oleh
Panglima Kostrad Mayor Jendral Soeharto. Ia melakukan konsolidasi pasukan TNI
yang masih setia kepada pemerintahan. Dengan kekuatan ini, Mayor Jendral
Soeharto melakukan serangkaian operasi penumpasan G30S/PKI. Setelah merebut
kembali stasiun telekomunikasi RRI, Mayor Jendral Soeharrto menjelaskan melalui
siaran radio bahwa telah terjadi penghianatan yang dilakukan Gerakan 30
September/PKI. Mereka telah menculik beberapa perwira TNI AD. Lebih lanjut
Mayjen soeharto menyampaikan bahwa Presiden Soekarno dan Jendral A. H.
Nasution dalam keadaan sehat dan situasi Jakarta telah dikendalikan.
Langkah selanjutnya adalah merebut Bandara Halim Perdana Kusuma yang
diduga sebagai pusat Gerakan 30 September/PKI. Dalam waktu singkat tempat ini
dapat dikuasai pasukan RPKAD.
Dari bukti-bukti yang telah dikumpulkan ABRI dan masyarakat menyimpulkan
bahwa dibalik Gerakan 30 September/PKI ini telibat PKI. Maka dimulailah operasi
pengejaran terhadap anggota PKI ini. Pada operasi di Tegal, Letkol Untung berhasil
di tangkap, semetara D. N. Aidit tertembak mati di Daerah Boyolali. Para tokoh PKI
yang tertangkap kemudian diadili. Di antaranya ada yang di hukum mati

6.         BERBAGAI VERSI MENGENAI DALANG G30S PKI

   Partai Komunis Indonesia


Versi Resmi yang di pegang Pemerintahan RI

1.        G30S digerakan oleh biro khusus PKI yang mendorong Letkol Untung CS melakukan


gerakan tersebut.
2.        Tertangkapnya ketua CDB (comite daerah besar), PKI Jakarta Raya “ memang kita
sudah tahu bahwa PKI-lah yang menjadi dalangnya, tapi kita belum bisa
mengetahui/menemukan bukti hukum itu”

   Cornell Paper
Para akademisi dari Universitas Cornell, Amerika Serikat

1.       Peristiwa G-30-S 1965 merupakan masalah intern dalam tubuh Angkatan Darat,


khususnya kelompok militer yang berasal dari Divisi Diponegoro
2.        Lebih merupakan revolusi permira menengah terhadap para perwira tinggi AD

   Antonio C.A. Dake


Sejarawan Barat

1.        Tidak menutup kemungkinan bahwa dalang utama peristiwa G-30-S itu


adalah Presiden Soekarnosendiri.
2.        Soekarno berada di daerah Halim tanggal 1 Oktober 1965 tempat para pelaku utama
G-30-S bermarakas.
3.        Soekarno tidak menunjukkan sikap empati atas kematian para Jenderal AD.

   W.F. Wertheim
Sosiolog dan Sejarawan Belanda

1.         Bahwa dalang utama peristiwa G-30-S itu adalah Jenderal Soeharto.


2.         Ketiga pelaku utama G-30-S (Untung, Latief, dan Syam Kamaruzaman) adalah bekas
anak buah dan teman baik Soeharto sejak zaman revolusi Indonesia
3.         Jenderal Soeharto didatangi Latief pada tanggal 30 September 1965 yang
melaporkan akan adanya G30S

   Peter Dale Scott


Mantan Pejabat Intelijen Amerika Serikat

1.        Bahwa peristiwa G30S yang pada gilirannya menjatuhkan Presiden Soekarno itu
didalangi oleh CIA
2.        Amerika Serikat tidak senang dengan tindakan-tindakan Soekarno yang ingin
menjadi pemimpin baru bagi negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Daftar Pustaka

1.    http://www.psb-psma.org/content/powerpoint/4489-peristiwa-g-30-spki-1965
2.      http://anggiewidya.wordpress.com/2012/03/01/peristiwa-g30spki/
3.    http://sejarahind.byethost11.com/praperistiwa.htm
4.    http://rohmanf2.wordpress.com/2010/06/21/makalah-sejarah-pemberontakan-g30s-
pki/
5.      www.suaramerdeka.com/harian/0709/29/opi04.htm
Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan
September Tiga Puluh), Gestok(Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi
selewat malam tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di saat tujuh perwira tinggi
militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha
percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia.

Daftar isi
  [sembunyikan] 

 1 Latar belakang
o 1.1 Angkatan kelima
o 1.2 Isu sakitnya Bung Karno
o 1.3 Isu masalah tanah dan bagi hasil
o 1.4 Faktor Malaysia
o 1.5 Faktor Amerika Serikat
o 1.6 Faktor ekonomi

 2 Peristiwa
o 2.1 Isu Dewan Jenderal
o 2.2 Isu Dokumen Gilchrist
o 2.3 Isu Keterlibatan Soeharto
o 2.4 Korban

 3 Pasca kejadian
o 3.1 Penangkapan dan pembantaian
o 3.2 Supersemar
o 3.3 Pertemuan Jenewa, Swiss

 4 Peringatan
 5 Lihat pula
 6 Referensi dan bacaan lebih lanjut
 7 Pranala luar

Latar belakang[sunting sumber]

Perayaan Milad PKI yang ke 45 di Jakarta pada awal tahun 1965


Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di
luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta,
ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh
yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang
mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis
dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit
presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan
bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno
menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno
dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu
antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.

Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi
wabah.
Angkatan kelima[sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Angkatan Kelima

Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan


100.000 pucuk senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian dilaporkan
ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai meletusnya G30S.

Pada awal tahun 1965 Bung Karno atas saran dari PKI akibat dari tawaran perdana mentri RRC,
mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri terlepas dari ABRI. Tetapi petinggi
Angkatan Darat tidak setuju dan hal ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara
militer dan PKI.

Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-
bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga
menginfiltrasi polisi dan tentara denga slogan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat".
Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan
Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap
sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri
untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya mereka.

Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan petani bergerak merampas tanah yang bukan hak
mereka atas hasutan PKI. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para
pemilik tanah.

Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani
berhak atas setiap tanah, tidak peduli tanah siapapun (milik negara = milik bersama).
Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di sana rakyat dan partai
komunis menyita milik Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.

Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak
milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan
dengan resmi. Pada waktu yang sama, jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi
anggota kabinet. Jendral-jendral tersebut masuk kabinet karena jabatannya di militer oleh
Sukarno disamakan dengan setingkat mentri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya
(Menpangab, Menpangad, dan lain-lain).

Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno
ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwaangkatan bersenjata
adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".

Pengangkatan Jenazah di Lubang Buaya

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia


berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari
antara tentara Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para
komunis".

Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di
industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik
pemerintahan NASAKOM.

Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer,
menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang
terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa
yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu,
kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam
ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha
menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke
Komite Sentral PKI bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka
akan bekerjasama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap berusaha
menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan Mei 1965, Politbiro PKI masih
mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara sedang diubah untuk mengecilkan aspek
anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Isu sakitnya Bung Karno[sunting sumber]
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung
Karno. Hal ini meningkatkan kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno
meninggal dunia. Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit
ringan saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Isu masalah tanah dan bagi hasil[sunting sumber]
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-
Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia
Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari
wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik
pada masa itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak
jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak pemilik tanah
yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya dengan melibatkan backing
aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka ini antara lain peristiwa Bandar Betsi
di Sumatera Utara dan peristiwa di Klaten yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian
digunakan sebagai dalih oleh militer untuk membersihkannya.

Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU, tapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah)
itu pada dasarnya terjadi di hampir semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan
di provinsi-provinsi lain juga terjadi hal demikian, PKI di beberapa tempat bahkan sudah
mengancam kyai-kyai bahwa mereka akan disembelih setelah tanggal 30 September 1965 (hal
ini membuktikan bahwa seluruh elemen PKI mengetahui rencana kudeta 30 September
tersebut).

Faktor Malaysia[sunting sumber]


Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah
satu faktor penting dalam insiden ini[1]. Konfrontasi Indonesia-Malaysiamerupakan salah satu
penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang
menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada
akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.

Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran menyerbu


“ gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda
Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan
memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak. ”
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang
negara Indonesia[2] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang
terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah
sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat
untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di
satu pihak LetjenAhmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan
anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan
skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju
dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI
untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.

Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka
dapat mengalahkan Inggris, dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang
mengamuk jika mereka tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk
berperang setengah hati di Kalimantan. Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan
pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati dan ia merasa
operasinya disabotase dari belakang[3]. Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di
Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan gerilya.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan
berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno,
seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga
diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya
meng"ganyang Malaysia".

Soekarno adalah seorang individualis. Manusia jang tjongkak dengan suara-batin yang
“ menjala-njala, manusia jang mengakui bahwa ia mentjintai dirinja sendiri tidak mungkin
mendjadi satelit jang melekat pada bangsa lain. Soekarno tidak mungkin menghambakan diri
pada dominasi kekuasaan manapun djuga. Dia tidak mungkin menjadi boneka. ”
Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang Malaysia" yang mereka
anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu untuk
keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan Soekarno tidak
sepenuhnya idealis.

Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi
keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman,
ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan
adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal
ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI
untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di
lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (20 Januari 1965).

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang
bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para
pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi
Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan
bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau
musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya
akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang." [2]

Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak
tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi
Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan
berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan
dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.
Faktor Amerika Serikat[sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Aktivitas CIA di Indonesia

Amerika Serikat pada waktu itu sedang terlibat dalam perang Vietnam dan berusaha sekuat
tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika
Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50 juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam
Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-
bulan yang menentukan ini dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka
merasa ditarik oleh Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.

Salah satu pandangan mengatakan bahwa peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar,
hal ini dapat dilihat dari telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8
Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di
Indonesia tidak memberikan hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada
Presiden Johnson tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan ketidakpercayaan kepada tindakan
PKI yang dirasa tidak masuk akal karena situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan
mereka, dan hingga akhir Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa
Tengah, Jawa Timur, danBali dilakukan oleh PKI atau NU/PNI.

Pandangan lain, terutama dari kalangan korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika
menjadi aktor di balik layar dan setelah dekrit Supersemar Amerika memberikan daftar nama-
nama anggota PKI kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan
tersebut tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.
Faktor ekonomi[sunting sumber]
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu yang sangat rendah mengakibatkan dukungan
rakyat kepada Soekarno (dan PKI) meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan
"ganyang Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.

Inflasi yang mencapai 650% membuat harga makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan
terpaksa harus antri beras, minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya.
Beberapa faktor yang berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk
menaikkan gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang
menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat Indonesia yang
sehari-hari hanya makanbonggol pisang, umbi-umbian, gaplek, serta bahan makanan yang tidak
layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam
jenderal tersebut, yang berakibat adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang
yang dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat lainnya.

Peristiwa[sunting sumber]

Sumur Lubang Buaya

Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam
upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal
kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi
Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap
gerakan tersebut.
Isu Dewan Jenderal[sunting sumber]
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan
Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas
terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-
sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk
diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan jenderal-
jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi dan membunuh Letjen
Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Isu Dokumen Gilchrist[sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Dokumen Gilchrist

Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew
Gilchrist beredar hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang
oleh beberapa pihak disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di bawah
pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia, menyebutkan adanya "Teman Tentara Lokal
Kita" yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli oleh pihak Barat [4].
Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama anggota PKI kepada
tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari
berbagai sumber, salah satunya seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang
menulis buku "Indonesian Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of Living
Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan untuk mendapatkan fasilitas
teleks untuk mengirimkan berita.
Isu Keterlibatan Soeharto[sunting sumber]
Hingga saat ini tidak ada bukti keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut.
Satu-satunya bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat
sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan
Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan Kolonel Abdul
Latief di Rumah Sakit Angkatan Darat.

Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak
penelitian ilmiah yang sudah dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan
Suharto dan CIA. Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson
and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres and the
CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL Historical Files,
Indonesia, 1963-1965. Secret; Priority; Roger Channel; Special Handling), John Roosa (Pretext
for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof.
Dr. W.F. Wertheim (Serpihan Sejarah Th65 yang Terlupakan).
Korban[sunting sumber]
Keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:

 Letjen TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando


Operasi Tertinggi)
 Mayjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)
 Mayjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang
Perencanaan dan Pembinaan)
 Mayjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
 Brigjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
 Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat)

Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama, selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan dia, Lettu
CZI Pierre Andreas Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal
sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:

 Bripka Karel Satsuit Tubun (Pengawal kediaman resmi Wakil Perdana Menteri II dr.J.


Leimena)
 Kolonel Katamso Darmokusumo (Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)
 Letkol Sugiyono Mangunwiyoto (Kepala Staf Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta)

Pasca kejadian[sunting sumber]


Pemakaman para pahlawan revolusi. Tampak Mayjen Soeharto di sebelah kanan

Literatur propaganda anti-PKI yang pasca kejadian G30S banyak beredar di masyarakat dan menuding PKI
sebagai dalang peristiwa percobaan "kudeta" tersebut.

Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua sarana komunikasi
vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan
Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September
yang ditujukan kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan
kudeta terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai
oleh Letkol Untung Sutopo.

Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso
(Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem
072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh
karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1
Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan
Revolusioner oleh para "pemberontak" dengan berpindah kePangkalan Angkatan Udara Halim di
Jakarta untuk mencari perlindungan.

Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional",


yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan.
Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-
organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan
bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".

Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-


Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-
rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita
mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia
untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara
mendalam."

Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima


Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto
pada saat Suharto disumpah[5]:

Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya
“ saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan dari pada Republik
Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan
Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di
atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri
atas prinsip Manipol-USDEK.

Manipol-USDEK telah ditentukan oleh lembaga kita yang tertinggi sebagai haluan negara
Republik Indonesia. Dan oleh karena Manipol-USDEK ini adalah haluan daripada negara
Republik Indonesia, maka dia harus dijunjung tinggi, dijalankan, dipupuk oleh semua kita.
Oleh Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Angkatan Kepolisian Negara. Hanya
jikalau kita berdiri benar-benar di atas Panca Azimat ini, kita semuanya, maka barulah
revousi kita bisa jaya.
Soeharto, sebagai panglima Angkatan Darat, dan sebagai Menteri dalam kabinetku, saya


perintahkan engkau, kerjakan apa yang kuperintahkan kepadamu dengan sebaik-baiknya.
Saya doakan Tuhan selalu beserta kita dan beserta engkau!

Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet


berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan
dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat
Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia
mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-
usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di
Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir
usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para
pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri
Indonesia."
Penangkapan dan pembantaian[sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Pembantaian di Indonesia 1965–1966

Penangkapan Simpatisan PKI
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang
dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan
ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp
tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa
Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa
jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif
menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang.
Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan
yang mengikuti kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi


muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan
pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-
laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".

Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI
telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp
konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung
dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan
pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:

"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga


pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di
mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-
daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar
terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang
menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elitePartai
Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus
dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau
dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para
petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.

Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk
membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-
Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi
mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.

Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi.
Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada
akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang
sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon
Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Supersemar[sunting sumber]
Wikisumber memiliki
naskah sumber yang
berkaitan dengan artikel
ini:

Surat Perintah (11 Maret


1966)

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Supersemar

Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan
tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil
"langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi
keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh
Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno
dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret1967.

Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-
Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24
November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Pertemuan Jenewa, Swiss[sunting sumber]
Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan
antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada
bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan
minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British
American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper
Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase
Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah,
cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.

Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di
situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi
bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport
mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil
mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan
ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.

Peringatan[sunting sumber]
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya

Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30


September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian
Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian
tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal
30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera
di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di
makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film
itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.

Pada 29 September - 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian


acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga
jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam
rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara
itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit,
Haryo Sasongko, dan Putmainah.
Sejarah Singkat Gerakan 30 September 1965 / PKI

Gerakan 30 September 1965 / PKI atau G30S/PKI adalah peristiwa pengkhianatan terhadap
Bangsa Indonesia terbesar yang pernah terjadi. peristiwa ini terjadi malam hari tepat saat
pergantian dari tanggal 30 September (Kamis) menjadi 1 Oktober (Jumat) 1965 saat tengah
malam. peristiwa ini melibatkan anggota PKI dan pasukan Cakrabirawa.

Gerakan ini bertujuan untuk menggulingkan Soekarno dan mengubah Indonesia menjadi
komunis. Gerakan ini diprakarsai oleh Dipa Nusantara Aidit yang merupakan ketua dari PKI saat
itu. DN. Aidit saat itu melancarkan hasutan-hasutan kepada rakyat Indonesia untuk mendukung
PKI menjadikan Indonesia sebagai "negara yang lebih maju". DN Aidit dinyatakan sebagai
dalang dari G30S/PKI oleh Pemerintah Republik Indonesia pada masa Presiden Soeharto.

Gerakan ini bergerak atas perintah Letnan Kolonel Untung Syamsuri yang saat itu adalah
Komandan Batalyon I Cakrabirawa. Gerakan ini meluncur di Jakarta dan Yogyakarta dimana
gerakan ini mengincar para Dewan Jendral dan perwira tinggi. Gerakan di Jakarta sebenarnya
bermaksud untuk menculik para jendral dan membawanya ke Lubang Buaya. namun, beberapa
prajurit Cakrabirawa ada yang memutuskan untuk membunuh beberapa jendral di tempat dia
diculik. yaitu diantaranya Ahmad Yani dan Karel Satsuit Tubun. dan sisanya meninggal secara
perlahan karena luka mereka di Lubang Buaya. dan mereka yang meninggal saat gerakan ini
adalah:

1. Letnan Jendral Anumerta Ahmad Yani (Meninggal di rumahnya di Jakarta Pusat.


sekarang rumahnya menjadi Museum Sasmita Loka Ahmad Yani)
2. Mayor Jendral Raden Soeprapto 
3. Mayor Jendral Mas Tirtodarmo Haryono
4. Mayor Jendral Siswondo Parman
5. Brigadir Jendral Donald Isaac Panjaitan
6. Brigadir Jendral Sutoyo Siswodiharjo
7. Brigadir Polisi Ketua Karel Satsuit Tubun (Meninggal di rumahnya)
8. Kolonel Katamso Darmokusumo (Korban G30S/PKI di Yogyakarta)
9. Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto (Korban G30S/PKI di Yogyakarta)
10. Kapten Lettu Pierre Andreas Tendean (Meninggal di kediaman Jendral Abdul Haris
Nasution)
11. Ade Irma Suryani Nasution (Putri Abdul Haris Nasution yang meninggal di kejadian ini)

Atas kejadian ini, rakyat menuntut Presiden Soekarno untuk dengan segera membubarkan PKI.
dan dengan sangat terpaksa, Soekarno akhirnya membubarkan PKI yang merupakan kekuatan
terbesar yang mendukung gerakan "Ganyang Malaysia" milik Soekarno. Soekarno kemudian
memerintahkan Mayor Jendral Soeharto untuk membersihkan unsur pemerintahan dari
pengaruh PKI. perintah itu pun dikenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret 1966 yang sesuai
dengan pernyataan Soekarno berisi mengenai pengamanan diri pribadi presiden, pengamanan
jalannya pemerintahan, pengamanan ajaran presiden dan pengamanan wibawa presiden.
SEJARAH PEMBERONTAKAN G 30 S/ PKI
SEJARAH PEMBERONTAKAN G 30 S/ PKI

Peristiwa sejarah terbunuhnya tujuh jendral TNI Angkatan Darat akibat pemberontakan
Partai Komunis Indonesia (PKI) hingga kini masih menyisakan sejumlah tanya. Buntut
dari kejadian yang dikenal dengan G30SPKI itu juga mengakibatkan tewasnya ratusan
ribu penduduk Indonesia yang diduga penganut paham ataupun keturunan komunis.

Pemberontakan yang menurut versi Orde Baru disebut-sebut sebagai sebuah peristiwa
yang merusak keutuhan Pancasila dimana terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap
7 orang jenderal yaitu Jendral TNI Ahmad Yani, Letjen TNI MT Haryono, Letjen TNI S
Parman, Letjen TNI Suprapto, Mayjen TNI Sutoyo, Mayjen TNI DI Panjaitan dan Jenderal
AH Nasution yang berhasil lolos sehingga ajudannya Letnan Pierre Tandean yang diculik
oleh gerombolan PKI. Selang hanya satu hari yaitu pada 1 Oktober 1965 para pelaku
pemberontakan itu berhasil diringkus dan ke 7 korban penculikan dan pembunuhan
berhasil ditemukan di kawasan Lubang Buaya, Halim, Jakarta Timur dibawah komando
seorang perwira tinggi yang lolos dari target penculikan dan pembunuhan yaitu Mayjen
TNI Soeharto.
pada tanggal 30 September 1965 meletuslah pemberontakan PKI. Pada tanggal 1
Oktober 1965 dini hari menjelang subuh, PKI mengadakan penculikan terhadap perwira-
perwira Angkatan Darat dan mengumumkan adanya Dewan Revolusi. Penculikan-
penculikan itu dilakukan oleh beberapa anggota pasukan Cakrabirawa (Barisan Pengawal
Presiden) di bawah pimpinan Kolonel Untung. Mereka menculik dan menyiksa para
perwira Angkatan Darat tanpa mengenal perikemanusiaan.

Setelah itu jasad para perwira tadi dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya di
Jakarta. Adapun beberapa perwira TNI Angkatan Darat yang diculik tersebut adalah:
1. Letnan Jenderal Akhmad Yani
2. Mayor Jenderal Suprapto
3. Mayor Jenderal M.T. Haryono
4. Mayor Jenderal S. Parman
5. Brigadir Jenderal Panjaitan
6. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo

Kemudian usaha penculikan terhadap diri Jenderal A.H. Nasution gagal, tetapi ajudannya
Lettu Pierre Tendean berhasil diculik dan dibunuh di Lubang Buaya juga. Bahkan putri
tercinta A.H Nasution, Ade Ima Suryani yang baru berusia 5 tahun juga menjadi korban
keganasan para penculik PKI.

Peltu Polisi Karel Sasuit Tubun juga gugur dalam melawan gerombolan penculik yang
sedang memasuki halaman rumah Leimena. Disamping itu, pembunuhan juga
berlangsung di berbagai daerah. Di Yogyakarta kaum pemberontak telah menculik
Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono.

Kemudian kesepuluh perwira di atas, oleh pemerintah Indonesia ditetapkan sebagai


Pahlawan Revolusi.

Melihat keadaan yang cukup gawat itu, maka Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima
KOSTRAD (Komando Strategi Angkatan Darat), segera mengambil tindakan tegas.
Tanggal 1 Oktober 1965 keadaan ibu kota sudah dapat dikuasai. Kemudian untuk
menumpas kekuatan G 30 S/PKI di berbagai daerah di kirimkanlah pasukan RPKAD
dibawah pimpinan Kolonel Sarwo Edi. Dalam waktu singkat PKI dapat dilumpuhkan.
Pemimpin-pemimpinnya ditangkap. Sedang D.N Aidit yang merupkan pimpinan utama
PKI tertembak mati di daerah Surakarta. Dengan demikian keadaan keamanan dapat
dipulihkan.

Peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 merupakan tragedi nasional. Pada hari itu Dasar
Negara Pancasila akan diganti komunisme oleh PKI. Berkat pertolongan Tuhan Yang
Mahakuasa dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, maka ABRI dan rakyat di bawah
pimpinan Mayor Jenderal Soeharto dapat menggagalkan usaha PKI. Pancasila tetap
kokoh sebagai dasar negara RI.

Oleh karena itu, maka pada setiap tanggal 1 Oktober kita peringati sebagai Hari
Kesaktian Pancasila. 
PKI merupakan partai yang mendapat dukungan dari Soekarno begitupun sebaliknya PKI
sangat mendukung kepemimpinan Soekarno yang anti Amerika dan pro kepada Uni
Soviet dimana politik sosialis demokratik dan azas pemerataan diutamakan itulah yang
membuat PKI merasa sangat berkepentingan untuk mencegah pemberontakan dewan
jenderal tersebut. Setelah melakukan pertemuan-pertemuan diantara petinggi PKI
akhirnya disepakati bahwa aksi penumpasan dewan jenderal akan dilakukan pada
tanggal 30 September 1965. Dalam rapat-rapat yang dilakukan para pimimpin PKI tidak
disinggung sedikitpun tentang Soeharto meskipun termasuk seorang perwira berpangkat
tinggi tapi mungkin dianggap tidak membahayakan kepentingan mereka.

Hingga pada tanggal 30 September 1965 pukul 4 pagi dilaksanakanlah aksi penumpasan
para jenderal dengan menculik 7 jendral yang dijadikan target PKI. Para jenderal
tersebut kemudian dibawa ke lubang buaya dimana disana telah menunggu massa
pendukung PKI, mereka telah berkumpul sejak tanggal 29 September sore. Massa
pendukung PKI diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja terhadap ketujuh orang
jenderal tersebut yang dianggap telah menyengsarakan rakyat. Sebelum melakukan
penyiksaan dan pembunuhan mereka bernyanyi-nyanyi dan berpesta pora di lubang
buaya tersebut.

Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto segera
bertindak cepat, penculikan dan pembunuhan para jenderal tersebut telah membuat
lumpuhnya TNI Angkatan Darat. Dan sesuai kebiasaan yang berlaku bahwa apabila
Menteri/Panglima Angkatan Darat berhalangan maka Penglima Kostrad yang
mewakilinya sehingga untuk sementara pucuk pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh
Mayor Jenderal Soeharto. Berdsarkan laporan lengkap yang disampaikan oleh Panglima
Komando Daerah Militer V/Jaya yang saat itu dijabat Mayor Jenderal Umar
Wirahadikusumah maka diambil langkah-langkah mengkoordinasikan kesatuan-kesatuan
yang berada di Jakarta, kecuali Angkatan Udara yang ternyata panglimanya adalah salah
seorang pendukung G 30 S/PKI tersebut.

Setelah dilakukan penelitian dan penilaian maka Panglima Kostrad mengambil


kesimpulan sebagai bahwa penculikan dan pembunuhan para Jenderal merupakan
bagian daripada usaha perebutan kekuasaan pemeritah; pimpinan Angkatan Udara
terlibat dalam membantu usaha tersebut; pasukan-pasukan Batalyon 454/Para Divisi
Diponegoro dan Batalyon 530/Para Divisi Brawijaya yang berada di lapangan Merdeka,
berdiri di pihak yang melakukan perebutan kekuasaan. Kedua pasukan ini di datangkan
ke Jakarta dalam rangka hari ulang thaun ABRI 5 Oktober 1965.

TNI dibawah komando Soeharto pada 1 Oktober berhasil menguasai pangkalan udara
Halim Perdanakusumah dan Lubang Buaya, kemudian keesokan harinya yaitu tanggal 2
Oktober 1965 jenazah perwira TNI AD berhasil di temukan di Lubang Buaya dan
dimakamkan bertepatan dengan ulang tahun ABRI yaitu tanggal 5 Oktober 1965 di TMP
Kalibata. Beberapa orang yang terlibat dalam pemberontakan G 30 S/PKI kemudian
melarikan diri ke berbagai tempat di Pulau Jawa termasuk Letkol Untung yang akhirnya
berhasil ditangkap di Tegal pada tanggal 11 Oktober 1965, D.N. Aidit sebagai pimpinan
PKI waktu itu ditangkap di Surakarta pada 22 November 1965 dan tokoh-tokoh PKI
lainnya.

Tuntutan untuk membubarkan PKI, bubarkan kabinet seratus menteri dan turunkan
harga kemudaian dikumandangkan oleh para mahasiswa yang melakukan aksi
demonstrasi hingga salah seorang mahasiswa dari Universitas Indonesia Arif Rahman
Hakim tewas dalam aksi demonstrasi tersebut yang kemudian mendapat gelar pahlawan
amanat penderitaan rakyat (Ampera). Gejolak politik yang terjadi pada saat itu
membuat Soekarno mengeluarkan surat perintah yang dibuat pada tanggal 11 Maret
1966 yang kemudian dikenal dengan Supersemar, isinya memberikan amanat kepada
Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan demi mencapai keamanan dan
ketenangan. Supersemar ini merupakan titik awal berdirinya rezim Orde Baru karena
pada tanggal 12 Maret 1966 PKI dinyatakan sebagai partai terlarang di seluruh
Indonesia, semua orang yang diindikasikan terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI
dibersihkan dari kabinet dan berdirilah kabinet Orde Baru yang berkuasa lebih dari 30
tahun.

Anda mungkin juga menyukai