Film Pengkhianatan G 30 S/PKI ini mencerminkan salah satu tragedi terburuk dan
paling bersejarah di Indonesia. Skenario Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI didasarkan
pada sebuah buku tahun 1968 yang ditulis oleh sejarawan militer Nugroho Notosusanto dan
penyidik Ismail Saleh yang berjudul Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di
Indonesia. Buku yang dimaksudkan untuk melawan teori asing tentang kudeta tersebut,
menjelaskan secara rinci Gerakan 30 September ini sebagaimana pemerintah melihatnya.
Cerita ini bermula ketika subuh pada tanggal 13 januari 1965 di desa Kanigoro,
sebuah penyerangan dilakukan oleh ribuan anggota kelompok PKI. Mereka menyerang pusat
cleaning center pelajar Indonesia yang baru saja melaksanakan salat subuh kecuali
melakukan pemukulan seorang kiai dan beberapa staf pengajar, mereka menginjak-injak
kitab suci Al-Quran. Pada tanggal 15 januari 1965 di suatu desa juga di daerah Kediri ribuan
anggota PKI menyerang para petani Sudarno dengan dalih persengketaan tanah sawah, kepala
desa yang berusaha melerai tak luput dari pengeroyokan, pada tahun yang sama di Sumatera
Utara pihak PKI yang dikenal sebagai peristiwa bandar bensin, bersengketa tanah milik
negara dengan petani yang menggarap tidak sah dan sebenarnya persoalannya telah
diselesaikan dengan baik namun pihak BTIPKI menghasut untuk menggarap kembali tanah
itu secara sepihak melawan pemerintah dalam peristiwa ini seorang petugas tewas,
S.Soedjono tewas karena dikeroyok.
Aksi-aksi sepihak yang dilakukan oleh PKI ini juga terjadi di Indramayu, Klaten,
Boyolali dan berbagai tempat di Indonesia lainnya. Sebenarnya pada bulan Desember 1964
terungkap adanya dokumen tentang perebutan kekuasaan yang akan dilakukan PKI, namun
pihak PKI membantahnya dan menuduh ada yang memfitnah dan menuduh lawan politiknya,
Partai Murba, dalam hal ini Khairul Saleh dan Sukarni juga dokumen yang tersiar sebelum
menjelang pemberontakan PKI Madiun 1948 yang juga disanggahnya namun kemudian
terbukti benar. Dalam rangka persiapan perebutan kekuasaan negara, Partai Komunis
Indonesia membentuk biro khusus pada tahun 1964, yang tugasnya menyusun gerakan 30
September 1965. Atas saran Perdana Menteri Republik Rakyat Cina, Chou En Lai
melancarkan pembentukan angkatan kelima agar para buruh tani dipersenjatai, namun
tuntutan ini tidak disetujui kecuali oleh pimpinan angkatan udara, Menteri Panglima Udara
Umar Dani, sebaliknya menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal Ahmad Yani menyatakan
tidak setuju karena dengan pembentukan angkatan ke-5 menimbulkan keruwetan diskomando
maupun pengawasan kekuatan bersenjata di indonesia, gagasan ini karena gagasan Chou En
Lai yang menjanjikan sepucuk senjata ringan secara cuma-Cuma, namun pemberian senjata
tersebut tidak lepas dari penyusunan kekuatan bersenjata yang dilakukan PKI dalam gerakan
30 September 1965, karena sikap pimpinan angkatan darat yang tidak mau mendukung
tuntutan-tuntutan PKI dan juga PKI selalu mencurigai pimpinan angkatan darat sebagai
kekuatan utama yang akan merintangi semua perjuangan PKI.
Istana Negara Bogor, rombongan tim dokter RRC sedang mengobati Soekarno karena
Presiden sedang sakit. Setelah selesai, Dokter RRC mengatakan kepada D.N Aidit bahwa
keadaan Presiden dalam keadaannya kritis yang memiliki 2 kemungkinan lumpuh atau
meninggal. Pada masa itu terjadi krisis ekonomi. Di daerah lubang buaya ada sebuah latihan
militer yang dipimpin oleh Sukwan dan Sukwati anggota pemuda rakyat dan Gerwani.
Rumah Letkol Latief 6,9,13 & 19 September 1965, Syam menyampaikan bahwa ada
dewan jendral yang akan melakukan suatu gerakan apabila bung karno wafat .Untuk itu ia
mengajak untuk merapat barisan yang progresif revolusioner saling bekerjsama dalam
menyikapi hal tersebut. Mereka menggandeng brigen 1 kodam raya optimis bahwa pasukan
tersebut akan ikut demi gerakan itu,dalam pasukan pengawal pimpinan bung karno juga siap
ada 2 kompi yang dikuasai oleh letkol untung,kekuatan di Jakarta Raya ada 60000 orang
terdiri dari kodam,kodim,kostart termasuk RPKD. Juga bantuan dari pasukan sukirno dari
BatalyonA454 dan Batalyon 30 juga akan ikut dikerahkan. Dalam hal tersebut Letkol Untung
dipercaya untuk memimpin gerakan tersebut karena ia adalah orang baru di jakarta dan tidak
banyak yang mengenalnya dan dia juga sebagai pimpinan pasukan satwa cakra dengan tema
menyelamatkan pemimpin revolusi.
Di rumah Syam pada tanggal 21,23,26 & 27 September 1965, Pihak PKI sudah
menyusun rencana untuk membunuh ketujuh dewan Jendral yaitu Jenderal Ahmad yani,
Jenderal A.H Nasution, Jenderal Suprapto, Jenderal Haryono, Jenderal Parman, Jenderal
Pandjaitan, Jenderal Sutoyo. Dalam operasi ini dibagi atas 3 komando yaitu komando
penculikan dan penyergapan, komando penguasaan kota dan komando kopasus serta
komando penculikan yang diberi nama pasukan pasupati yang akan dipimpin oleh Letnan 1
Dul Arif yang tugasnya mengambil para jenderal hidup atau mati, komando penguasaan kota
diberi nama pasukan bima sakti akan diimpin oleh Suradi, dan komando kopasus yang diberi
nama pasukan gatot kaca akan dipimpin oleh jenderal mayor udara Gatot Sutrisno. Semua itu
dibawah pimpinan Letkol Untung yang dibantu oleh Suparjo, Letkol Heru Atmojo, Kolonel
Sukardi, dan ajeng komisaris polisi.
Pada tanggal 29 September 1965, sebelum mereka melancarkan aksinya, PKI kembali
rapat mengenai teknis gerakan yaitu tugas pasukan pasopati yang dipimpin Letnan Dul Arif
yaitu suatu kunci dari suatu gerakan yaitu menculik para dewan jenderal hidup atau mati.
Apabila gerakan ini gagal maka gerakan yang lain tidak ada artinya. Sebelum melakukan
aksinya, para anggota PKI mengadakan rapat terakhir dan menamai gerakannya dengan
gerakan 30 S/PKI dan menetapkan hari H adalah 1 Oktober pada Pukul 4 subuh.
PKI mulai beraksi, mereka mendatangi Kediaman Dewan Jenderal satu per satu.
Mereka dijemput oleh tentara-tentara PKI dengan dalih agar segera menghadap Presiden
karena keadaan darurat. Jika mereka tidak mau maka mereka menggunakan cara kasar,
melakukan penembakan dan mengobrak – abrik rumah para Dewan Jenderal.
Pada 1 oktober 1965, para Dewan Jenderal yang sudah tertangkap yaitu 4 orang yang
masih hidup yaitu Sutoyo, Mayjen S.Parman, Suprapto, sedangkan A.H Nasution lolos
dalam penculikan tersebut. Para pengikut PKI senang sekali mereka bersuka ria dengan
menyanyikan lagu Genjer-genjer. Lagu ini dinyanyikan ketika mereka akan menyiksa
tawanan mereka. Ada juga yang dipaksa untuk mengakui bahwa Dewan Jenderal itu ada dan
menanyakan dimana keberadaan Jenderal Nasution. Mereka disiksa habis-habisan dan di
tembak hingga mati, tapi para Jendral tetap tutup mulut. Setelah mereka tewas, kemudian
mayat-mayat para Jenderal dimasukkan dalam sebuah sumur yang sekarang diberi nama
dengan lubang buaya.
Menjelang pemilihan MPR tahun 1965, Dewan Revolusi Indonesia sesuai dengan
UUD 1945 yaitu:
Dalam sebuah acara RRI telah dibacakan tentang amanat dari soeharto bahwasanya
telah menguasai seluruh daerah, seluruh angkatan darat terkendali dan untuk sementara waktu
angkatan darat dipegang dewan revolusi Alri dan akri untuk bekerjasama dalam menumpas
perbuatan kontrarevolusioner yang dilakukan gerakan 30 September. Gerakan 30 September
telah mengambil alih kekuasaan negara, melempar kedudukan kabinet Dwikora dan telah
menculik para perwira angkatan darat. Untuk itu agar masyarakat berjuang sesuai dengan
Pancasila. Suharto memerintahkan untuk merebut kembali kawasan Halim Perdana Kusuma
yang dulu dikuasai oleh PKI.
Pihak PKI sangat resah karena keberadaan mereka diincar oleh RPKAD, mereka pun
tak mau bila gerakan mereka dihancurkan. Pada tanggal 2 Oktober 1965, Presiden Soekarno
mengangkat Soeharto sebagai yang diperintahkan untuk pemulihan keamanan dan ketertiban.
Sementara itu, para RPKAD mencari keberadaan tempat dimana para Dewan Jendral dihabisi
dan disiksa. Brigjen Soekirman, salah satu tawanan PKI yang berhasil lolos menunjukkan
tempat yang dulu digunakan untuk menyiksa para Dewan Jenderal.