Disusun oleh :
Stikosa-AWS
SURABAYA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Film ini menggambarkan masa menjelang kudeta dan beberapa hari setelah
peristiwa tersebut. Dalam kala kekacauan ekonomi, enam jenderal diculik dan
dibunuh oleh PKI dan TNI Angkatan Udara, konon untuk memulai kudeta terhadap
Presiden Soekarno. Jenderal Soeharto muncul sebagai tokoh yang menghancurkan
gerakan kudeta tersebut, setelah itu mendesak rakyat Indonesia untuk memperingati
mereka yang tewas dan melawan segala bentuk komunisme.
Film ini menggambarkan gerakan G30S sebagai gerakan kejam yang telah
merencanakan "setiap langkah dengan terperinci", menggambarkan sukacita dalam
penggunaan kekerasan yang berlebihan dan penyiksaan terhadap para jenderal,
penggambaran yang telah dianggap menggambarkan bahwa "musuh negara adalah
bukanlah manusia".
1.2 RUMUSAN MASALAH
PEMBAHASAN
Peristiwa Kanigoro
Peristiwa penganiayaan ini terjadi pada tanggal 13 Januari 1965 sekitar Shubuh
di desa Kanigoro yang terletak tidak jauh dari Kota Kediri. Tiba-tiba ribuan orang-
orang PKI berpakaian hitam-hitam termasuk PR (Pemuda Rakyat), BTI (Barisan
Tani Indonesia) menyerbu (TC) Training Center tempat Pelajar Islam Indonesia.
Pimpinan penyerbu itu adalah Suryadi dan Harmono.
Massa gerombolan brutal itu menyerbu seluruh kompleks mental training. Dari
sebelah Barat mereka berteriak-teriak dan mengancam, ‘Hayo, ke Timur! Bunuh!
Hayo, masuk! Awas jangan sampai bisa lari, kalau lari bunuh saja!’. Bermacam
teriakan dan ancaman itu makin mengerikan. Gerombolan itu membawa senjata
yang terhunus, di antaranya berupa pedang, parang, klewang, sabit, clurit, belati,
pecok(kapak), golok, linggis, palu-besar, rantai sepeda, pentung/kentes,
doran/luyung (kayu gagang cangkul), alu, dan lain-lain. Bahkan diketahui ada
yangmembawa senjata api. Seluruh peserta dan panitia menjadi panik dan kacau-
balau, sementara gerombolan itu terus melancarkan serangan.
Para peserta diserang oleh ribuan laki-laki yang tidak karuan bentuk coraknya.
Mereka menggeledah dengan paksa dan melanggar kesusilaan bahkan ada yang
ditempeleng dan disiksa. Semua buku dan catatan-catatan, baik buku bacaan, buku
agama, maupun Al-Qur’an, mereka rampas dan dimasukkan ke dalam karung dan
diinjak-injak dengan kaki. Dengan sombong, salah satu di antara mereka menjinjing
Al-Qur’an dengan tangan kiri, dan berkata “Awas ojo didemek lo, marai gudigen! Iki
to sing marai gudiken kuwi?” (Awas, jangan dipegang, ini yang menyebabkan
penyakit kudis! Apakah ini yang menyebabkan penyakit kudis itu?). Mereka juga
merampok uang, dan harta benda lainnya milik peserta training. Kemudian, mereka
memaksa para pelajar keluar dan berbaris di halaman. Suara caci-maki dan hinaan
serta ancaman-ancaman dengan kata-kata kotor terdengar tanpa henti.
Segera setelah itu Suryadi dan Harmono sebagai benggol BTI dan Ketua
Pemuda Rakyat memberikan perintah agar semua yang ada di situ berbaris dua-dua.
Lalu para korban digiring ke kantor Polisi Sektor Kras, dengan sengaja mengambil
jalan yang jaraknya lebih jauh 4 km. Kami berangkat dengan disertai ejekan-ejekan,
hinaan, dan caci maki yang mendirikan bulu roma di sepanjang jalan. Tidak cukup
dengan itu saja, jalan desa yang becek dan berkubang harus tetap dilalui. Mereka
akan menghardik; jika kami berhenti karena lelah atau kesakitan. Dan, dalam
perjalanan itu setiap bertemu orang yang lewat maupun petani yang ada di pinggir
jalan mereka mengatakan, “Ganyang Masyumi, setuju Pak/Mbok?” Tentu saja
mereka bilang setuju karena tidak tahu, takut atau ngeri melihat senjata yang
diacung-acungkan.
Sebelum sampai kantor polisi, kami dihentikan di suatu tempat dan dihadapkan
ke tembok. Dalam kesempatan itu mereka mencoba menteror mental kami, dengan
berpidato “Bunuh kader-kader Masyumi, bunuh antek-antek kapitalis”. Teriakan-
teriakan seperti itu terus menteror kami. Di antara para pelajar ada yang terkencing-
kencing, ketakutan, atau menangis. Kami menanti dan menanti apa yang bakal
terjadi. Kepala siapa yang akan pecah dulu terkena peluru PKI. Tubuh siapa yang
bakal roboh dulu. Alhamdulillah, yang kami takutkan tak terjadi. Suryadi
memerintahkan kami untuk berjalan lagi. Kami menjadi tontonan para petani itu.
Sesampainya di kantor polisi kurang lebih pukul 06.10 pagi, ternyata Kepala
Polisi Sektor Kras telah siap di kantornya. Para peserta Mentra diserahkan kepada
Kepala Polisi oleh gerombolan tersebut yang diwakili oleh Suryadi dan Harmono.
Suryadi berpidato lagi, penuh agitasi dan yel-yel. Lalu sebelum pergi, para peserta
Mentra diperintahkan untuk masuk halaman belakang kantor polisi sektor Kras.
Dengan tenang dan patuh kami duduk di halaman belakang sambil menantikan
keputusan yang sedang dirundingkan oleh pejabat-pejabat setempat. Hadir dalam
kesempatan itu Camat Kras Bapak Sumadi. Dalam pidatonya, Bapak Sumadi
berlinang air mata. Beliau mengatakan, “Saya minta maaf dan menyesal atas
perbuatan orang-orang yang tidak bertanggungjawab itu. Saya harapkan Saudara
sabar dan bertambah tawakal kepada Tuhan YME atas terjadinya peristiwa ini.
Sekarang saya perkenankan kembali ke asrama lagi....”. Maka akhirnya, kami
kembali berjalan kaki ke desa Kanigoro.
Peristiwa Kediri (Jengkol)
Dua hari setelah pasca teror Kanigoro, pada tanggal 15 Januari 1965 di suatu
desa juga di Kediri, ribuan orang-orang PKI menyerang petani Soedarno dengan
dalih Sengketa Sawah secara paksa karena luasnya dibilang melebihi jatah dengan
membawa lembu, alat-alat pertanian, dan menyatakan perang dengan umat Islam.
Kepala desa yang mencoba meleraikan dan menengahi tidak luput pula dari
pengeroyokan dan penganiayaan. Peristiwa itu kemudian terkenal dengan peristiwa
Jengkol, yaitu di perusahaan pabrik kopi Sepawon, Jengkol, Badek dan Satak.
Bandar Betsy
Pada tahun yang sama, tanggal 14 Mei di Kec. Bandar Perhuluan, Kabupaten
Simalungun, Sumatera Utara yang berjarak waktu sekitar 4 jam dari kota Medan,
disini terjadi aksi sepihak PKI yang dikenal sebagai “Peristiwa Bandar Betsy”.
Peristiwa ini merupakan sengketa tanah milik negara dengan kaum tani yang
menggarap secara tidak sah dan sebenarnya persoalannya telah diselesaikan
secara baik. Tetapi kemudian kaum tani dihasut oleh orang-orang PTIPKI untuk
menduduki kembali tanah itu secara sepihak melawan pemerintah.
Dalam peristiwa ini seorang petugas Pembantu Letnan Satu (Peltu) Sudjono
yang kala itu bertugas sebagai anggota pengaman Perusahaan Perkebunan Karet
Negara IX Bandar Betsy. Ia gugur karena dikeroyok dan dianiaya oleh massa
Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan organisasi sayap Partai Komunis
Indonesia (PKI) dengan menggunakan cangkul dan peralatan tani lainnya.
Model bangunan Tugu Sudjono sama dengan Monumen Tugu Tujuh Pahlawan
Revolusi di Komplek Lubang Buaya, Jakarta. Bedanya, agak ke depan dari
monumen itu ada patung Letda Sudjono, seolah memimpin ke tujuh jenderal itu.
Harus diakui, tugu itu menyimpan aura mistis dan kharisma bagi khalayak yang
mengunjunginya.
Namun cerita itu ada di era Orde Baru. Kini tugu itu bagai monumen tanpa arti
sama sekali. Simbol revolusioner rakyat Sumatera Utara itu, seolah kesepian,
karena tak lagi mendapat perhatian. Di sekitar tugu banyak ditumbuhi rumput dan
tanaman liar. Bahkan beberapa bagian patung juga sudah rusak akibat tangan jahil
orang tak bertanggungjawab.
Pada hari hari biasa Tugu Sujono sangat jarang didatangi pengunjung. Selain
karena tidak ada fasilitas umum untuk para pengunjung, jalan menuju lokasi yang
belum diaspal juga menyebabkan pengunjung enggan datang.
Tugu Sujono biasanya akan ramai dikunjungi setiap tanggal 1 Oktober, karena di
lokasi ini dijadikan tempat upacara Hari Kesaktian Pancasila. Setelah itu Tugu
Sujono pun kembali terlupakan.
Aksi-aksi sepihak yang didalangi PKI ini juga terjadi di Indramayu, Boyolali,
Klaten, dan berbagai tempat lainnya di Indonesia. Peristiwa Indramayu terjadi pada
tanggal 15 Oktober 1964, melakukan penganiayaan tujuh orang polisi hutan.
Peristiwa Boyolali terjadi pada bulan November 1964, melibatkan bentrok antara PKI
dan PNI. Lalu Peristiwa Klaten terjadi pada tanggal 25 Maret 1964
mempermasalahkan sengketa sawah.
Menjelang terjadinya G-30 S/PKI, suasana di sekitar wilayah Klaten dan Solo
tegang sekali. Dimana-mana terdengar pidato dan tersebar slogan-slogan.
“Ganyang Tiga Setan Kota, Ganyang Tujuh Setan Desa, Ganyang Kapitalisme
Birokrat,” begitu bunyi slogan yang sering terdengar.
Berbagai aksi sepihak pun bermunculan. Orang yang menggarap tanah oleh
aktivis PKI diiming-imingi janji manis bahwa setelah nanti menang mereka bisa
segera memiliki sawah itu. Buruh-buruh yang di Solo pun terbelah dua. Mereka yang
ikut PKI diberi janji bahwa suatu waktu nanti pabrik yang menjadi tempat mereka
bekerja akan menjadi miliknya.
Para kader PKI juga punya jaringan yang luas. Mereka mempunyai hubungan
yang sangat kuat dengan pihak luar negeri. Bahkan, begitu kuat pengaruhnya, wali
kota Solo waktu itu sampai bisa menghadirkan presiden dan kosmonot dari Uni
Soviet.
4. Menilai Nasakom sebagai “impian seorang idealis” yang pada hakekatnya bersifat
“revisionisme”, dan
Namun dokumen itu ditolak oleh DN Aidit, sehingga terjadi perdebatan yang seru
hingga kemudian bisa diselesaikan secara musyawarah oleh Ir Soekarno.
Tuntutan PKI ini tidak mendapat dukungan kecuali dari Kepala Angkatan Udara
dan Angkatan Laut. Sebaliknya menteri panglima AD, Letnan Jenderal Ahmad Yani
secara tegas menolaknya karena menurut perhitungannya pembentukan angkatan
kelima akan menimbulkan keruwetan dalam garis komando maupun pengawasan
kekuasaan di Indonesia. Perlu dicatat, gagasan ini sebenarnya tidak lepas dari
kesanggupan Zhou Enlai yang menjanjikan 100.000 pucuk senjata ringan secara
cuma-cuma.
Dalam kenyataannya kemudian meskipun pembentukan angkatan kelima tidak
terwujud, namun pemberian senjata dari RRC ini tidak terlepas dari penyusunan
kekuatan bersenjata yang digunakan oleh PKI dalam Gerakan 30 September 1965.
Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung
Samsuri. Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana – Cakra Birawa, ia
memang harus tanggap terhadap segala kemungkinan yang membahayakan
keselamatan Presiden. Untung gelisah. Lantas Untung punya rencana mendahului
gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka. Rencana ini
disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu Soeharto mendukung. Malah
Untung dijanjikan akan diberi bantuan pasukan.
Pada 1958, Presiden Soekarno sedang sakit dan tim dokter dari RRC di Istana
Bogor mendiagnosa bahwa Presiden Soekarno dalam kondisi kritis, ada 2
kemungkinan yang akan terjadi terhadap kesehatan Presiden Soekarno yaitu
lumpuh atau meninggal dunia. Versi lain mengenai sakitnya Presiden Soekarno
menjelang meletusnya Peristiwa 30 Oktober 1965, diungkapkan oleh Soebandrio.
”Pada saat itu Bung Karno diperiksa oleh seorang dokter Cina yang dibawa oleh
Aidit, tetapi dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter Cina dari
Kebayoran Baru, Jakarta, yang dibawa oleh Aidit. Fakta lain: Bung Karno sebelum
dan sesudah diperiksa dokter itu juga saya periksa. Pemeriksaan yang saya lakukan
didampingi oleh dr. Leimena. Jadi ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno.
Penyakit Bung Karno saat itu adalah: masuk angin. Ini jelas dan dokter Cina itu juga
mengatakan kepada Bung Karno di hadapan saya dan Leimena bahwa Bung Karno
hanya masuk angin. DN Aidit juga mengetahui penyakit Bung Karno ini. Tetapi kabar
yang beredar adalah bahwa Bung Karno sakit parah.”
Kemiskinan Indonesia
Pemanipulasian PKI
PKI berada dibawah pimpinan D.N Aidit dan tempat latihannya di daerah Lubang
Buaya, Kolonel Untung Suyatno dan Kolonel A.Latief juga ikut dalam gerakan
tersebut. PKI melatih Sukwan dan Sukwati (anggota Pemuda Rakyat dan Gerwani).
Pada tanggal 08-12 Agustus 1965 di Rumah DN Aidit, menurut Aidit yang berhasil
hembuskan danmenyebarkan kepada masyarakat tentang isu bahwa Dalam TNI-AD
terdapat suatu “Dewan Jendral” yang mengadakan coup atau perebutan dan
mendesak bung karno agar tutup mulut terhadap musuh-musuh PKI. Mereka juga
membicarakan mengenai kelangsungan politik mereka jika kekuasaan bung karno
tergeser. Dan lagi AD akan menyerang angkatan progresif revolusi. Untuk itu Aidit
harus bertindak “siapa cepat dia dapat, siapa tepat dia selamat”. Dan dia
memerintahkan kepada temannya untuk menghubungi seluruh perwira yang
mendukung PKI dan mengumpulkan pasukan baik pusat maupun daerah.
Rapat PKI
Pada tanggal 14 Agustus 1965, diadakan rapat PKI di rumah Syam yang dihadiri
oleh (Waluyo, Poco, dll ). Berikut pesan DN Aidit kepada peserta rapat :
2. Sasaran utama gerakan adalah para jenderal yang tergabung dalam apa yang
dinamakan Dewan Jenderal dan tokoh-tokoh anti PKI.
3. Gerakan ini harus menguasai instalasi-instalasi vital seperti Telkom, RRI, Kereta
Api.
4. Untuk memimpin gerakan ini kita sepakat mengajukan 3 nama calon yaitu Letnan
Kolonel Untung, Kolonel A. Latief, dan Mayor Udara Suyono.
Rencana Diam-Diam
1. Sidang sepakat kemungkinan gub dewan jenderal lebih baik mendahului aksi
dalam bentuk operasi militer, serta membentuk dewan revolusi guna
mengganti kandidat dwikora
2. Menetapkan dewan kerja.
a. Soal-soal yang berhubungan dengan operasi militer termasuk penentuan
hari H diserahkan kepada ketua
b. Soal-soal politik terutama komposisi dewan revolusi diserahkan dewan
harian politik biro.
c. Pengelompokan kader-kader untuk dikirim ke daerah-daerah terutama di
luar Jawa yang diserahkan kepada Sutisman
d. Penentuan tenaga cadangan sebanyak 2000 orang yang diserahkan
kepada Nyono, termasuk koordinatnya untuk dilatih di Lubang Buaya
e. Agar semua berada di pos-pos masing-masing mendengarkan instruksi
sesuai dengan perkembangan.
Pada tanggal 6, 9, 13, dan 19 September 1965 di Rumah Kolonel Latif, diadakan
rapat PKI. PKI menyebarkan isu adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan
suatu gerakan apabila Bung Karno wafat. Untuk itu dia mengajak untuk merapa
barisan yang progresif revolusioner saling bekerjasama dalam menyikapi hal
tersebut. Mereka menggandeng Brigen 1 Kodam Raya yang optimis bahwa pasukan
tersebut akan ikut demi gerakan itu, dalam pasukan pengawal pimpinan Bung
Kawno juga siap ada 2 kompi yang pemimpin gerakan militernya adalah Letnan
Kolonel Untung. Kekuatan Jakarta Raya ada 60.000 orang terdiri dari kodam, kodim,
kostart, termasuk RPKD. Juga bantuan dari pasukan Sukirno dari Batalyon A4 54
dan Batalyon 30 juga akan ikut dikerahkan. Letkot Untung dipercaya untuk
memimpin gerakan tersebut karena ia adalah orang baru di Jakarta dan tidak
banyak yang mengenalnya dan dia juga sebagai pimpinan pasukan satwa cakra
dengan tema menyelamatkan pemimpin revolusi.
Susunan rencana
Pada tanggal 21, 23, 26 & 27 Septembet 1965 di rumah Syam, PKI sudah
menyusun rencana untuk memerintahkan untuk membawa ketujuh jenderal dalam
keadaan hidup atau mati. Sasaran penculikan PKI adalah:
Dalam operasi ini pasukan terdiri atas 3 komando yaitu komando penculikan dan
penyergapan disebut Pasukan Pasopati yang dipimpin oleh Letnan Satu Dul Arief
yang tugasnya mengambil para Jenderal hidup atau mati, komando penguasaan
kota disebut Pasukan Bimasakti yang dipimpin oleh Suradi, dan komando kopasus
dipimpin oleh Jenderal Mayor Udara Sukrisno disebut Pasukan Gatot Kaca atau Tri
koro darmo. Semua itu dibawah pimpinan Letkol Untung yang dibantu oleh Suparjo,
Letkol Heru Atmojo, Kolonel Sukardi, dan Ajeng Komesaris Polisi.
Tragedi G-30S/PKI
PKI sudah mulai beraksi. Mereka mendatangi kediaman Dewan Jenderal satu
persatu dan dibunuh. Mereka dijemput oleh tentara-tentara PKI dengan dalih agar
segera mengharap Presiden karena keadaan darurat. Jika mereka tidak mau maka
menggunakan cara kasar, melakukan penembakan dan mengobrak-abrik rumah
para Dewa Jenderal.
Pada 1 Oktober 1965, para dewan jenderal yang sudah tertangkap yaitu 4 orang
yang masih hidup yaitu Brigjen Sutoyo Siswomiharjo, Mayjen S. Parman, Mayjen
Suprapto, dan Jenderal A.H. Nasution namun berhasil melarikan diri melompati
tembok, sementara Lettu CZI Pierre Andreas Tendean datang berlari keluar dengan
memegang pistol. Tendean dengan cepat ditangkap, dan ketika ditanya di mana
Nasution, mengaku dirinya adalah jenderal tersebut.
Tiga orang yang sudah dalam keadaan terbunuh yaitu Mayjen MT.Haryono,
Brigjen DI Panjaitan dan Letjen Ahmad Yani. Seorang ajudan dari A.H Nasution,
Lettu CZI Pierre Andreas Tendean diculik oleh PKI karena berusaha
menyembunyikan keberadaan Jenderal AH.Nasution. sementara putri bungsu dari
AH.Nasution, Ade Irma Suryani Nasution menjadi korban penembakan dalam
peristiwa ini. Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban, yaitu
Bripka Karel Satsuit Tubun, Kolonel Katamso Darmokusumo, dan Letkol Sugiyono
Mangunwiyoto.
Mayat dan tahanan yang dibawa ke kamp G30S/PKI di Lubang Buaya, di mana
para korban yang tersisa disiksa dan dibunuh. Tubuh mereka kemudian dilemparkan
ke dalam sumur.
Para pengikut PKI senang sekali. Mereka bersuka ria dengan menyanyikan lagu
Genjer-Genjer. Lagu ini dinyanyikan ketika mereka akan menyiksa tawanan mereka.
Kemudian salah seorang Gerwani mengatakan bahwa “penderitaan ini sangat pedih
Jendral, sepedih sayatan silet ini, tapi tak sepedih penderitaan rakyat”, kemudia
sang Gerwani menyayat muka sang Jenderal dengan siletnya. Ada juga yang
dipaksa untuk mengakui bahwa Dewan Jenderal itu ada dan menanyakan dimana
keberadaan Jenderal Nasution. Mereka disiksa habis-habisan, dipukuli, dan di
tembak hingga mati seperti tidak memiliki sifat kemanusiaan, tapi para Jenderal
tetap tutup mulut.
Pasca Tragedi
Pagi berikutnya, anak buah Letnan Kolonel Untung mengambil alih kantor RRI
dan memaksa staf disana untuk membaca pidato Untung yang menyatakan bahwa
G30S telah bergerak dan Letkol Untung menyelamatkan Soekarno dari Dewan
Jenderal dan mengumumkan pembentukan “Dewan Revolusi” yang diketuai Letkol
Untung Sutopo. Anak buah G30S/PKI lain pergi ke istana untuk mengamankan
presiden tapi menemukan bahwa ia telah pergi meninggalkan istana.
PENUTUP
Saran serta kritik membangun demi perbaikan penulisan makalah ini dan penulis
nantikan agar dalam penyusunan makalah selanjutnya dapat tersajikan dengan lebih
baik dan lebih sempurna lagi.
https://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila
https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September
https://id.wikipedia.org/wiki/Penumpasan_Pengkhianatan_G_30_S_PKI
http://ranihartatiregulerb.blogspot.co.id/
http://anandavelia.blogspot.co.id/2013/05/analisa-film-pengkhianatan-g-30-s-
pki.html