Anda di halaman 1dari 13

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI NAMA : AMELIA ASTARI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


NIM : 197045024
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2019 TANGGAL : 18 NOV 2019

I. IDENTITAS DAN SINOPSIS NOVEL

Identitas Novel
Judul : GIA, The Diary of a Little Angel
Penulis : Irma Irawati
Penerbit : Bhuana Sastra
Jumlah Halaman : 140
Penyunting : Deesis Edith M
Penyelaras Akhir : Ani Nuraeni Syahara
Ilustrasi Sampul : Alivia Putri Rahmawati
Penata Letak : Astrid Arastazia
Desain Sampul : Yanyan Wijaya

Sinopsis :
Nazila Apregia Reigane atau kerap dipanggil Gia atau De Gia, seorang gadis
kecil berusia 9 th dari Ciamis, divonis mengidap Acute Myeloid Leukemia. Ia harus
berobat bolak-balik Ciamis-Bandung, menjalani kemoterapi, dan berbagai tes lain.
Dokter ahli yang menanganinya di Bandung berkata bahwa Gia menjadi pasien
ketiganya untuk penyakit leukemia langka tersebut.
Lama sebelum vonis dokter tersebut, sebenarnya Gia menyadari ada yang
aneh dari tubuhnya. Ia mudah lelah. Setelah pelajaran olahraga, ia menjadi demam.
Namun, Gia menyimpan rapat-rapat keluhannya tersebut karena tak ingin membuat
resah Apah dan Mamah, kedua orangtuanya. Ia hanya menuliskannya pada diari
kesayangan.
Menyadari di tubuhnya ada penyakit leukemia seperti ini pun tak
menyurutkan keceriaan Gia. Ia selalu nampak kuat dan tegar. Ia sangat jarang
berkeluh kesah atau menangis di hadapan orangtuanya. Bahkan ia segera
menghapus air mata ketika jarum infus dipasang, supaya Apah dan Mamah tak
khawatir.
Berbagai ujian Gia alami selama ikhtiar proses penyembuhannya. Termasuk
ketika tubuhnya drop saat musim libur lebaran. Ciamis-Bandung harus ia tempuh
selama 13 jam karena arus balik lebaran. Gia mengeluh? Tidak. Bahkan ia
menikmati rasanya naik ambulans. Ia juga menerima ketika rambutnya yang lebat
dan ikal harus digundul. Masya Allah.
Satu kali Gia benar-benar menyuarakan sakitnya ketika ia sakaratul maut.
Hingga malaikat kecil ini kembali ke Allah setelah perjuangannya selama 10 bulan
melawan leukemia.

II. ALASAN MEMILIH NOVEL

Alasan saya memilih novel ini adalah karena novel ini mengangkat kisah
nyata perjuangan seorang anak berusia 9 Tahun bernama Nazila Apregia Reigane
melawan penyakit leukemia selama 10 bulan. Hal ini mengingatkan saya pada
perjuangan kakak ipar saya, Almarhumah Syarifah Aini melawan penyakit yang
sama, Leukimia. Cerita GIA seperti membawa saya kembali ke beberapa tahun
silam, dimana tak hanya Almarhumah kak Aini saja yang berjuang dalam melawan
penyakitnya, tapi keluarga besar serta organisasi tempat dia bernaung juga turut
berjuang demi kesembuhannya. Namun takdir berkata lain, setelah berjuang selama
6 tahun dengan menjalani segala proses yang panjang, Allah SWT memanggil
Almarhumah kembali kesisiNya.

III. ANALISIS
Komunikasi Antarpribadi
Menurut Joseph A.Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication
Book (Devito, 1989:4), komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan
penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-
orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (the process of
sending and receiving messages between two persons, or among a small group of
persons, with some effect and some immediate feedback).
Secara teoritis komunikasi antarpribadi diklasifikasikan menjadi dua jenis
menurut sifatnya (Effendy, 2003) yaitu :
1. Komunikasi diadik (dyadic communication)
Komunikasi diadik adalah komunikasi antar pribadi yang berlangsung
antara dua orang yakni seorang adalah komunikator yang menyampaikan
pesan dan seorang lagi komunikan yang menerima pesan. Oleh karena perilaku
komunikasinya dua orang, maka dialog yang terjadi berlangsung secara
intensif. Komunikator memusatkan perhatiannya hanya kepada diri
komunikan.
2. Komunikasi triadik (triadic communication)
Komunikasi triadik ini adalah komunikasi antarpribadi yang pelakunya
terdiri dari tiga orang, yakni seorang komunikator dan dua orang komunikan.
Jika misalnya A yang menjadi komunikator , maka ia pertama-tama
menyampaikan kepada komunikan B, kemudian kalau dijawab atau ditanggapi
, beralih kepada komunikan C, juga secara berdialogis. Apabila dibandingkan
dengan komunikasi diadik, maka komunikasi diadik lebih efektif, karena
komunikator memusatkan perhatiannya kepada seorang komunikan, sehingga
ia dapat menguasai frame of reference komunikan sepenuhnya, juga umpan
balik yang berlangsung kedua faktor yang sangat berpengaruh terhadap efektif
tidaknya proses komunikasi.

Dan pada Novel GIA, The Diary of a little angel, jenis komunikasi yang
mendominasi percakapan adalah jenis komunikasi Diadik (Diadic
Communication). Seperti percakapan antara Gia dengan Teh Adah, Gia dengan
Mamah, atau Gia dengan Teh Nada. Salah satu contoh komunikasi diadik terdapat
pada halaman 103, percakapan antara Gia dengan Teh Nada berikut :

Mengingat pesan BBM tempo hari itu, Teh Nada


tersenyum. Ada getaran halus yang menjalari ruang hatinya.
Betapa adik kecilnya itu begitu saying dan penuh perhatian. Dan
dengan sakitnya ini, Teh Nada tak tahu harus dengan cara apa
meringankannya. Andai bisa menawar, Teh Nada rela jika harus
bertukar tempat.
“Teh Nada sayang de Gia.”
The Nada memeluk Gia dari belakang.
Gia lalu berbalik menghadap Teh Nada.
“De Gia lebih sayang lagi pada Teh Nada.”
Kedua adik-kakak itu lalu berpelukan.

Walau didominasi oleh komunikasi diadik, Novel ini juga mengandung


komunikasi triadik dimana proses komunikasi berlangsung diantara tiga pelaku.
Seperti adegan yang pada halaman 31 berikut.

Gia memandangi Apah. Lalu mendekat ke Mamah.


“Kenapa?” Tanya Mamah.
Gia berbisik di telinga Mamah. Mamah lalu berdiri dan
mendekat pada Apah sambil berbisik juga. Apah keliatan kaget.
“Ayo ke Apah,” ujar Mamah.
Gia menunduk, berjalan pelan. Lalu mendekat ke Apah.
Apah lalu memeluk dan mencium pipi juga kening Gia.
“Apah sayang De Gia”
Gia mengedipkan kelopak matanya. Ia senang sekali.
“De Gia juga sayang Apah”
Gia membalas pelukan Apah, erat.

Jalaludin Rakhmat (1994) meyakini bahwa komunikasi antarpribadi


dipengaruhi oleh persepsi interpersonal; konsep diri; atraksi interpersonal; dan
hubungan interpersonal.

Persepsi
Menurut Jalaludin Rakhmat Persepsi adalah memberikan makna pada stimuli
inderawi, atau menafsirkan informasi inderawi. Persepi interpersonal adalah
memberikan makna terhadap stimuli inderawi yang berasal dari
seseorang(komunikan), yang berupa pesan verbal dan nonverbal. Sedangkan
menurut Nurbani (2019) persepsi merupakan pengalaman kita mengenai suatu
objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperolah dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada
rangsangan pancaindra (sensory stimuli), yakni penglihatan, penciuman, peraba dan
pendengaran.
Dan pada halaman 31 novel ini, penulis mencoba menggambarkan persepsi
yang ada dipikiran Gia tentang dirinya.

Sekarang Gia melihat ke cermin di dalam kamarnya. Ah,


Teh Ajeng salah, Gia sudah besar bukan anak kecil lagi. Yang
masih suka dipeluk dan dicium sama ayahnya itu anak kecil.

Penulis juga menuliskan persepsi Gia sebagai seorang anak yang berusia 9
tahun tentang penyakit yang dideritanya, persepsi ini terbentuk dari ucapan-ucapan
motivasi Mamahnya.

Kalau Gia lemah, penyakitnya akan semakin cepat


menguasai tubuh Gia. Tapi kalau Gia gembira dan banyak
senyum, penyakit itu akan menciut dan merasa malu untuk
bertahan.
Konsep Diri
GIA, The Diary of a little angel, sebuah novel yang menceritakan perjuangan
seorang anak bernama Gia dalam melawan penyakit Acute Myeloid Leukemia.
Konsep diri pada tokoh GIA digambarkan oleh penulis dengan sangat kuat melalui
kata-kata pada baris-baris paragraph novel tersebut. Konsep diri Gia juga banyak
dituliskan oleh Gia sendiri pada diary pribadinya yang turut dikutip ke dalam novel.
Konsep diri yang tergambarkan pada novel saya tandai dengan menggunakan high
lighter berwarna merah muda.
Konsep diri merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri, dimana
persepsi ini dibentuk melalui pengalaman dan interprestasi seseorang terhadap
dirinya sendiri. Pandangan terhadap diri sendiri boleh bersifat psikologi, sosial dan
fisis (Rakhmad,2013:99).
Pada dasarnya konsep diri tersusun atas tahapan-tahapan, yang paling dasar
adalah konsep diri primer, di mana konsep ini terbentuk atas dasar pengalamannya
terhadap lingkungan terdekatnya, yaitu lingkungan rumahnya sendiri, dimana
lingkungan terdekat merupakan tempat dimana individu berkomunikasi serta
membentuk dan memberi nilai terhadap abstraksi tentang dirinya (Agustiani,
2006:138).
Dari beberapa pendapat dari para ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian konsep diri adalah cara pandang secara menyeluruh tentang dirinya yang
terbentuk melalui interaksi dengan lingkungannya, yang meliputi kemampuan yang
dimiliki, perasaan yang dialami, kondisi fisik dirinya maupun lingkungan
terdekatnya. Bisa dikatakan bahwa konsep diri merupakan gambaran dari hasil
pemikiran seseorang yang bisa dinilai oleh orang lain ketika berkomunikasi.
Dengan adanya konsep diri inilah seseorang bisa memperoleh penilaian dari
lingkungannya berdasarkan pengalaman dari seseorang terhadap dirinya.
(Wafa'uddin, 2016:23)
Pada novel ini, ada beberapa konsep diri positif dari tokoh utamanya, Gia,
yang penulis jabarkan, diantaranya :
1. Mandiri.
Konsep diri ini digambarkan penulis pada halaman 20, paragraf ke 3.

Sejak masuk sekolah Taman Kanak-kanak, gadis cantik


bermata bult seperti bola pingpong itu sudah lengket dengan
Teh Adah yang membantu Mamah merawat dan menyiapkan
segala keperluan Gia. Mengantar ke sekolah dan menemani
sepulang sekolah, saat Mamah sibuk di kampus dan di sekolah.
Meski sebetulnya Gia sangat mandiri dalam menyiapkan segala
keperluannya.

2. Bertanggungjawab.
Konsep diri bertanggungjawab dituliskan penulis pada paragraf terakhir
halaman 26.

Gia merasa lega, meski diam-diam hatinya tetap merasa


bersalah. Karena sebenarnya, mengepel teras adalah tugas dan
tanggung jawabnya.

3. Sayang orang tua.


Ini terlihat pada halaman 52. Saat Gia mengkhawatirkan kondisi Mamah.

Seandainya Mamah tahu, Gia menangis bukan karena


menangisi dirinya yang akan kesepian ditinggal Mamah. Tapi Gia
menangis karena mengkhawatirkan Mamah yang harus pergi
sendiri. Gia khawatir Mamah sakit di sana.

Emosi pembaca juga dimainkan penulis melalui baris-baris kata yang


mengunggah perasaan pembaca. Hal ini diperkuat dengan karakter tokoh utamanya
yang memiliki Multiple Selves atau identitas yang berbeda demi menutupi
perasaannya yang sesungguhnya.
Multiple selves dapat pula dipahami dalam bentuk lain. Ketika kita terlibat
dalam komunikasi antarpribadi, kita memiliki dua diri dalam konsep diri kita.
Pertama adalah persepsi mengenai diri kita, dan persepsi kita tentang persepsi kita
tentang persepsi orang lain terhadap diri kita (Nurbani, 2019). Dan beberapa
multiple selves dari tokoh utama novel ini adalah :
1. Tak mau kelihatan lemah.
Pada novel ini, Gia digambarkan sebagai anak yang kuat, yang tidak
ingin kelihatan lemah di depan orang-orang yang menyayanginya. Seperti yang
tertulis pada kutipan diary Gia pada halaman 19, paragraf kedua.

Tak terasa, air mataku meleleh saat aku menahan nyeri.


Tapi aku buru-buru menghapusnya. Takut kelihatan Mamah dan
Apah. Aku tak mau Mamah melihatku kesakitan.

2. Tak mau membuat orang lain khawatir.


Pada sebuah baris kutipan diary yang ditulis oleh Gia yang terdapat pada
halaman 25, Gia menyatakan bahwa ia menyembunyikan apa yang ia rasakan
karena takut Mamah dan Apah menjadi khawatir.
Tapi aku nggak mau bilang siapa-siapa. Takutnya nanti
Mamah dan Apah jadi khawatir.

3. Tak Mau merepotkan orang lain.


Novel ini menggambarkan Gia sebagai seorang anak dengan banyak
konsep diri positif yang tertanam pada dirinya. Tak mau merepotkan orang lain
menjadi konsep diri positif berikutnya yang digambarkan penulis pada paragraf
kedua halaman 39.

Sekarang Gia berdiri di depan cermin toilet. Mencuci


muka. Memastikan tidak ada sisa muntahan yang menempel di
bibirnya. Apah dan Mamah sedang sibuk. Gia tidak mau
merepotkan mereka.

Nonverbal
Novel ini banyak menggunakan komunikasi non-verbal dalam komunikasi
antarpribadi pemerannya. Cerita yang cukup menguras emosi ini sarat dengan
bahasa tubuh dalam menggambarkan perasaan hati para tokohnya. Bagian-bagian
yang mengandung komunikasi non-verbal saya tandai dengan highlighter berwarna
kuning.
 Gerakan Tubuh
Paul Ekman dan Wallace V. Friesen (1969) dalam Devito (2018)
membedakan lima kelas (kelompok) gerakan nonverbal berdasarkan asal usul,
fungsi, dan kode perilaku ini.
1. Emblim (emblems)
Emblim adalah perilaku nonverbal yang secara langsung
menerjemahkan kata atau ungkapan. Emblim meliputi, misalnya, isyarat
untuk “oke”, “jangan ribut”, “kemarilah”, dan “saya ingin menumpang”.
Emblim adalah pengganti nonverbal untuk kata-kta atau ungkapan
tertentu.
2. Illustrator
Illustrator adalah perilaku nonverbal yang menyertai dan secara
harfiah “mengilustrasikan” pesan verbal. Seperti kata “ayo, bangun” yang
diilustrasikan dengan gerakan kepala dan tangan kea rah menaik.
3. Affect Display
Affect display adalah gerakan-gerakan wajah yang mengandung
makna emosional; gerakan ini memperlihatkan rasa marah dan rasa takut,
rasa gembira dan rasa sedih, semangat dan kelelahan.
4. Regulator
Regulator adalah perilaku nonverbal yang “mengatur”, memantau,
memelihara, atau mengendalikan pembicaraan orang lain.
5. Adaptor
Adaptor adalah perilaku nonverbal yang bila dilakukan secara
pribadi -- atau di muka umum tetapi tidak terlihat – berfungsi memenuhi
kebutuhan tertentu dan dilakukan sampai selesai.

Pada novel GIA ada beberapa emblim yang ditunjukkan oleh para tokohnya,
antara lain :
 Pada Halaman 22 paragraf pertama.
Gia baru pulang sekolah dan hendak mengganti pakaian
seragamnya, langsung menengok ke arah suara. Ia hanya
menjawab pertanyaan Teh Adah dengan gelengan kepala, lalu
nyengir pasrah.

Emblim gelengan disini untuk menerjemahkan kata tidak, yang tidak


diungkapkan melalui kata-kata oleh pemerannya.
 Pada halaman 26 terdapat emblim yang berarti ingin berdamai. Peace.
Gia mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V.
Wajahnya yang baru disiram air wudhu menampakkan mimic
tanpa dosa. Membuat Teh Ajeng nggak jadi kesal.

 Emblim-emblim yang lain sangat banyak ditemui di Novel ini. Seperti


emblim mengangguk tanda setuju.

Contoh Affect Display yang menggambarkan situasi emosional yang diwarnai


dengan gerakan yang memperlihatkan rasa sedih, terdapat pada halaman 20
paragraf pertama pada novel.

Spontan Teh Adah menangkupkan tangannya yang


sedang menggenggam diari merah puih bergambar hello kitty.
Wajah teh Adah basah bersimbah air mata. Tenggorokannnya
tercekat. Hingga akhirnya, tangisnya pun pecah tak tertahankan
lagi. Ia tergugu di depan lemari milik Gia, gadis kecil yang selalu
ia rindukan. Gadis kecil yang begitu lengket padanya sejak usia
TK.
Affect display yang menunjukkan rasa sedih juga terlihat pada
halaman 45 paragraf pertama.
Setetes air jatuh membasahi lembaran diari. Gia buru-
buru menyeka air mata yang tak terasa meleleh di kedua
pipinya. Gia menulis sepenuh perasaanya, karena ia rindu
dengan teman-temannya dan rindu dengan Bu Nia, wali kelas
kesayangannya.

Novel Gia merupakan novel yang cukup menguras emosi. Membacanya


membuat kita turut larut ke dalam emosi para pemerannya. Seperti affect display
sedih yang digambarkan oleh Mamah pada halaman 76 berikut.
Tak terasa, mata Mamah mengembun. Perasaan sedih
meluap dalam dada, hingga hamper membobol bendungan air
mata yang Mamah tahan. Mamah pantang menangis di depan
Gia. Mamah segera tengadah untuk menahan air mata yang
ingin keluar.

Namun ternyata satu gerakan tubuh dapat mengartikan beberapa Affect


display. Seperti yang terlihat pada halaman 29.

“Waktu itu, aku pernah pergi jalan-jalan pagi sama ayah.


Ayah Cuma ajak injek-injek dain kering,” Tia lanjut bercerita.
Gia menunduk. Apah sibuk. Nggak bisa menemani Gia
setiap hari. Apalagi jalan pagi seperti Tia. Sejak sebelum subuh,
Apah sudah di masjid.

Gerakan Gia menunduk pada paragraf ini menunjukkan adanya perasaan


kecewa karena Gia tidak bisa mendapatkan apa yang Tia dapatkan dari ayahnya.
Tapi gerakan menunduk dapat juga menggambarkan perasaan malu-malu, seeprti
yang ada di halaman 31.

“Ayo ke Apah,” ujar Mamah.


Gia menunduk, berjalan pelan. Lalu mendekat ke Apah.
Apah lalu memeluk dan mencium pipi juga kening Gia.
“Apah sayang De Gia”
Gia mengedipkan kelopak matanya. Ia senang sekali.
“De Gia juga sayang Apah”
Gia membalas pelukan Apah, erat.

Pada adegan ini juga terdapat Affect Display yang menunjukkan


kegembiraan, yaitu disaat Apah mengatakan sayang kepada Gia, Gia pun
mengedipkan kelopak matanya. Pertanda bahwa Gia sangat senang sekali.
Affect display lain yang tergambar dalam novel adalah Affect Display
menggoda dan bercanda. Affect display ini terdapat pada adegan saat Gia
menggoda Teh Adah yang kebingungan melihat Gia tiba-tiba ingin memecahkan
celengannya. Itu ada di halaman 36.

“Kenapa dibuka, De? Mana lebaran masih lama lagi kan?”


Tanya teh Adah setengah protes.
Gia mengangkat wajahnya menatap Teh Adah, lalu
mengedipkan sebelah matanya.
“iiih De Gia mah, angger kalau udah godain Teh Adah,
the,” gerutu Teh Adah pura-pura marah.
“Buat apa dibuka atuh, De?”
Teh Adah makin penasaran saat melihat tangan Gia yang
memukul pantat celengan ayam jagonya, tanpa ragu. Perlahan
ia pukul bagian tengahnya. Membiarkannya bolong sedikit. LAlu
menarik lembar demi lembar lima ribuan. Isi celengan itu hanya
lembaran lima ribuan. Uang yang selalu disisihkan Gia dari uang
jajannya seminggu dua kali. Setiap hari ia mendapat uang saku
lima ribu. Mamah memberikannya langsung untuk seminggu.
Berarti semua ada 35 ribu, kalau tidak mendapat potongan saat
Gia tak sempat mengepel teras.
“Waah, banyak amat diambilnya, De?”
Teh Adah terbelalak kaget. Lagi-lagi ia berkomentar
sambil menatap sepuluh lembar uang lima ribu yang dihitung
Gia. Gadis kecil dengan rambut keriting panjang dihadapannya
malah semakin ingin menggodanya. Gia berlagak mencium-
cium tumpukan uang itu.
“Muah, muah, buat beli-beli laah, Teh Adah sayaaaang!”
“De Gia, jangan De! Nanti gimana kalau Mamah Tanya
Teh Adah tentang celengannya yang bolong?” Teh Adah
memohon.
Gia masih melanjutkan aksi menggoda Teh Adah-nya
dengan senyum-senyum, ditambah menari-nari di atas kasur
sambil mengipas-ngipan lembaran uangnya.

Regulator adalah perilaku nonverbal yang “mengatur”, memantau,


memelihara, atau mengendalikan pembicaraan orang lain. Perilaku non-verbal ini
terlihat pada halaman 45.
“Lho kok nangis?”
Tiba-tiba Mamah sudah berdiri di depan Gia. Tanggannya
menyodorkan susu kotak.
Gia tersipu, dan buru-buru mengelap wajahnya dengan
ujung jilbab.
Mamah meraih kepala Gia ke pelukannya, lalu
membrondongnya dengan ciuman.
Mamah mengambil tempat duduk di samping Gia.
Tangannya tak lepas dari pundak Gia. Tak lama, nama Gia
dipanggil dari bilik pengambilan hasil. Gia deg-degan.khawatir
disuruh dirawat.
 Gerakan Mata
Mata merupakan sistem nonverbal yang paling penting. Pesan-pesan
yang dikomunikasikan oleh mata bervariasi tergantung pada durasi, arah, dan
kualitas dari perilaku mata. Sebagai contoh, dalam setiap kultur ada aturan
yang ketat, meskipun tidak dinyatakan, mengenai berapa lama durasi kontak
mata yang patut.
Arah pandangan mata juga mengkomunikasikan sesuatu. Dalam kultur
Amerika, pandangan kita secara berganti-ganti diarahkan ke wajah lawan
bicara, kemudian menjauh, kemudian kembali lagi ke wajahnya, dan
seterusnya. Bila aturan arah ini dilanggar, makna yang berbeda akan
terkomunikasikan, minat yang terlalu besar atau terlalu rendah, sadar diri,
kegugupan selama interaksi, dan sebagainya. Berapa lebar atau sempit bukaan
mata kita selama interaksi juga mengomunikasikan makna, khususnya tingkat
minat dan emosi-emosi seperti keterkejutan, ketakutan, dan kesebalan.
Contoh gerakan mata yang mengkomunikasikan makna dapat dilihat
pada halaman 22.

“iyaaa, Teh Adah. Itu artinya uang jajan De Gia akan kena
pangkas lagi, kan ?”
Mata bulat Gia mendelik jenaka.

Delikan mata bulat Gia disini mengkomunikasikan suatu makna bahwa


Gia sedang bercanda dan juga mencari umpan balik dari Teh Adah. Dan di
halaman 24 terdapat adegan dimana Gia melakukan penghindaran kontak mata
untuk menghindari rangsangan visual dari lawan bicaranya, yaitu Teh Adah.
Disini Gia berusaha menjaga privasinya.

Gia tak menghiraukan pertanyaan Teh Adah. Ia malah


pura-pura merem.
“Yah, De Gia Mah. Katanya mau banyak-banyak nabung
biar bisa beli tas sekolah buat FAni, eh siapa teh yang tasnya
udah butut itu?” Teh Adah pantang menyerah.
Teh Adah ingat sekali dengan impian Gia untuk membeli
tas sekolah buat teman sekelasnya.
Gia tersenyum, sedang matanya tetap terpejam.
“iya yaa, lupa Teh. Sebetulnya sih….” Gia menggantung
ucapannya.
“Sebetulnya apa?” Tanya Teh Adah tak sabar.
“Akhir-akhir ini, De Gia bawaannya lemes aja, Teh.
Pengennya tiduraaan terus,” Gia berbisik. Matanya tetap
terpejam.
Pembesaran pupil mata, yang menggambarkan peningkatan minat
seseorang tentang suatu hal bisa kita lihat saat Teh Ajeng menunjukkan video
yang Apah bikin saat De Gia lagi di Pantai Pengandaran, di halaman 30 pada
novel.

“Ini loh. Teteh mau tunjukin ke De Gia. Apah bikin video saat De
Gia lagi di Pantai pangandaran, waktu itu De Gia masih kecil.”
Bola mata Gia membulat.
Teh Ajeng mulai menyalakan laptop dan mencari folder di
dalamnya. Setelah itu muncullah gambar.
Gia mengamati video yang ditunjukkan Teh Ajeng. Itu dia. Masih
kecil. Lari-lari di pasir, terus tangan Apah terbuka dan
memeluknya.

Komunikasi Sentuhan
Komunikasi sentuhan yang juga dinamai haptic (haptics), barangkali
merupakan bentuk komunikasi yang paling primitive (Montague, 1971, dalam
Devito, 2018). Dari segi perkembangan, sentuhan (touch) barangkali
merupakan rasa (sense) pertama yang kita gunakan. Bahkan sejak dalam
kandungan, bayi sudah dirangsang oleh sentuhan. Segera setelah lahir, bayi
dipeluk, dibelai, ditepuk, dan dielus. Kemudian bayi mulai mengenal dunia
melalui sentuhan (rabaan). Dalam waktu singkat, si bayi belajar
mengkomunikasikan beragam makna melalui sentuhan.
Pada novel Gia ini, penulis menggambarkan beberapa komunikasi
sentuhan yang bermakna afeksi positif. Atau sentuhan yang
mengkomunikasikan emosi positif. Diantaranya :
1. Pada halaman 23.
“kenapa malas, De Gia?” Teh Adah masih tak percaya.
Tangannya membelai rambut panjang Gia yang ikal
bergelombang.

2. Pada halaman 37.


Teh Adah menatap Gia dengan berkaca-kaca. Dan serta
merta Teh Adah memeluk Gia penuh kasih sayang.
“Duh De Gia iniii, kirain buat De Gia sendiri. Teteh tambah
sayang ama De Gia yang baik hati.”
Teh Adah terus menciumi kedua pipi Gia. Ia bangga
dengan apa yang dilakukan Gia. Menolong orang lain yang lebih
susah.

3. Pada halaman 70.


Perjalanan Ciamis-Bandung ditempuh dalam waktu
empat jam. Selama perjalanan Apah tak henti-hentinya
mengelus bagian leher Gia yang sakit. Dan Mamah memijat-
mijat kaki Gia.

4. Pada halaman 71.


Wa Eulis bela-belain mengejar ambulan yang membawa Gia karena tak
tahan ingin bertemu. Wa Eulis menangis sambil memeluk dan menciumi Gia.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Agustiani, Herdianti. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung : PT Remaja


Rosdakarya.
DeVito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Professional Books. Jakarta
DeVito, Joseph A. 2013. The Interpersonal Communication Book (13th
editin). Pearson Education Inc. Boston.
Effendy, Onong Uchjana, 2004, Dinamika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosda
Karya, cet. VI
Rakhmad, Jalaluddin, 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya
Wafa'uddin, Achmad (2016) Konsep Diri Dalam Komunikasi Antar Pribadi Santri
Putra Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan.. Undergraduate thesis,
UIN Sunan Ampel Surabaya

Anda mungkin juga menyukai