Anda di halaman 1dari 3

KELOMPOK : 4

NAMA ANGGOTA : 1.David Torkis

2. farhan wirayuda

3. Febyona Jolest

KRITIK SASTRA CERPEN “DARMON”

Karya Harris Effendi Thahar

Harris Effendi Thahar dilahirkan di Tembilahan (Riau) pada tanggal 4 Januari 1950. Ia kuliah di IKIP
Padang dan memperoleh gelar Sarjana Muda pada tahun 1976 dari Jurusan Pendidikan Teknik
Arsitektur. Kini, dia menjadi wartawan di Padang dan mengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Sastra Universitas Negeri Padang. Setelah menamatkan program S1 dan S2 di Universitas Negeri
Padang tahun 1995, ia menjadi dosen tamu di Universitas Tasmania, Australia. Ia menulis sajak dan
cerpen. Kumpulan sajaknya adalah Lagu Sederhana Merdeka (1979) dan kumpulan cerpen Si Padang
(2003). Cerpen-cerpennya dimuat di harian Kompas. Cerpencerpennya sering terpilih dalam seleksi
cerpen terbaik Kompas. Karya tulis lainnya adalah Kiat Menulis Cerpen (1999). Karya yang lainnya
adalah “Darmon”. Dalam kritik sastra cerpen ini saya akan mengulas tentang cerpen yang berjudul
“Darmon”.
Tema yang dipakai pengarang dalam Cerpen “DARMON” adalah pemuda kumal yang baik hati dan
berwawasan luas. Pengarang dalam menggambarkan cerita ini menempatkan dirinya sebagai orang
pertama bukan pelaku utama. Karena tokoh Darmon merupakan tokoh utama karena dialah yang
menjadi sumber percakapan, sengketa, penyebab munculnya suatu peristiwa, dan penentu alur
dalam cerita.
Cerita dalam cerpen ini bermula ketika Darmon sudah ada di rumah Maya yang niatnya ingin
berkunjung menemui Maya. Tetapi Maya belum pulang dan Darmon menunggu Maya sambil
berbincang-bincang kepada tokoh Aku. Kemudian dari kejadian itu tokoh Aku dapat menilai
karakteristik Darmon yang ternyata lebih berwawasan luas dari apa yang dipikirkannya. Karena
memang penampilan Darmon yang menurut tokoh Aku kurang berkenan. Kemudian dari percakapan
itulah tokoh Aku menginginkan anak buah seperti Darmon. Pada saat di kantor, tokoh Aku berbicara
dengan Sanip. Ia mengatakan tentang Darmon. Dalam pembicaraan tersebut, Sanip menceritakan
tentang anaknya yang kuliah di fakultas pertanian namun harus istirahat kuliah karena Sanip tak
sanggup membiayainya. Dan ternyata anak Sanip adalah Darmon yang diceritakan oleh tokoh Aku.
Dalam cerpen ini pengarang dalam menggambarkan tokoh Darmon cukup menarik dan keunikan
Darmon juga dapat diidentifikasi dari jalan pikirannya yang tergambarkan dalam percakapannya
dengan tokoh aku, misalnya pada percakapan berikut :
"Kok kamu kelihatan tidak tertarik?"
"Bukan itu soalnya, Pak. Saya pikir, ini kesenangan orang yang sudah mapan seperti Bapak. Tidak
mungkin saya menggandrungi tanaman yang membutuhkan perhatian besar dan halus ini dalam
keadaan liar seperti ini."
"Liar? Kamu merasa orang liar?"
"Nah, Bapak salah duga lagi. Bukan saya orang liar, tetapi situasi perkuliahan, praktikum, kegiatan
kemahasiswaan, dan tambah lagi situasi sekarang yang membuat mobilitas saya tinggi. Jadi, bolehlah
disebut liar, namun dalam pengertian yang saya sebutkan tadi."
Pengarang juga menempatkan dirinya sebagai tokoh yang membentuk konflik. Tokoh aku yang
berperan dalam mengantarkan cerita.
Cerpen ini mengangkat tema kehidupan yang sering terjadi di Indonesia yaitu tentang korupsi yang
dilakukan oleh tokoh Sanip. Yaitu pegawai negeri yang sering melakukan tindak korupsi. Dapat dilihat
dari kutipan :
Dia. Sanip itu, memang, biang kongkalikong di kantor. Yang penting kantungnya penuh. Tidak peduli
itu bukan uang nenek moyangnya.
Dalam cerpen “Darmon” ini juga disajikan beberapa gaya bahasa yaitu Personifikasi. Misalnya pada
kalimat “senja mulai merambat” dan Hiperbola. Misalnya pada kalimat “asap rokok yang keliahatan
mahal” dan “membuang pandang jauh ke depan, menembus tembok kantor”.
Pengarang walaupun tidak secara langsung menceritakan menceritakan setiap kejadiannya, tetapi apa
yang ia tuliskan bisa langsung tergambar dikepala pembacanya. Inilah salah satu kelebihan dari
cerpen berjudul “Darmon”.
Cerpen ini juga sarat akan nilai moral dan sosial yang tersaji secara gamblang bagi para pembaca.
Cerita para tokoh dalam cerpen tersebut dapat dijadikan sebuah pelajaran yang amat berharga bagi
kita. Bagaimana menyikapi suatu permasalahan seperti yang terjadi antara tokoh cerpen tersebut
merupakan sebuah pelajaran berharga yang didapatkan dari sebuah kegiatan membaca cerpen.
Jangan melihat seseorang dari fisiknya saja. Seperti Tokoh Darmon, meski dia kelihatan seperti
gembel dan tampak kumal, namun wawasannya luas dan juga baik hati. Dia mampu mengungkapkan
banyak hal besar, yaitu masalah reformasi, korupsi, perilaku mahasiswa yang beragam, perilaku
pegawai negeri selaku pelayan masyarakat, serta lingkaran antara perjuangan reformasi dan tuntutan
memenuhi kebutuhan hidup. Tidak boleh memakan uang yang bukan hak kita atau dengan kata lain
jangan melakukan tindak korupsi.
Selain kelebihan, cerpen ini juga tak luput dari berbagai kekurangan. Seperti Alur yang digunakan
pengarang yaitu Alur menggantung karena berakhir pada klimaks dan tidak ada penyelesaian.
Misalnya, tidak diceritakan bagaimana nasib tokoh Darmon dan Sanip selanjutnya.
Santri dan Sastra*

Karya: Bandung Mawardi

Gus Dur pernah membuat esai ringkas yang berjudul “Pesantren dalam Kesusasteraan Bahasa
Indonesia”, dimuat di Kompas edisi 26 November 1973. Gus Dur kesulitan mengajukan teks-teks sastra
modern di Indonesia yang bercerita tentang kehidupan di pesantren. Ketokohan kiyai dan santri masih
jarang digarap sebagai pengisahan apik oleh para pengarang. Gus Dur cuma bisa memastikan
pengarang “bermazhab” pesantren adalah Djamil Suherman. Gus Dur sudah mengajukan nama, tapi tak
memberi penjelasan atau apresiasi atas teks-teks serta garapan Djamil Suherman. Di alinea awal, Gus
Dur menulis: “Sebagai objek sastra, pesantren boleh dikata belum memperoleh perhatian dari para
sastrawan kira, padahal banyak sekali di antara mereka yang telah mengenyam kehidupan pesantren.
Hanya Djamil Suherman yang pernah melakukan penggarapan di bidang ini, dalam serangkaian cerita
pendek di tahun-tahun lima puluhan dan enam puluhan.

Gus Dur tak berniat memajangkan tulisan itu setelah puluhan tahun berlalu. esai itu terkesan dibiarkan
saja tanpa lanjutan. Kalimat-kalimat itu ditulis Gus Dur jauh sebelum kemunculan novel Perempuan
Berkalung Sorban (2001), dan Geni Jora (2004) garapan Abidah el Khaleqy. Gus Dur juga tak perlu
membahas novel Negeri 5 Menara (2009) garapan Ahmad Fuadi. Sebab, di halaman awal novel, Ahmad
Fuadi telah memberi kesan tentang kepesantrenan: “Novel ini terinsiprasi oleh pengalaman penulis
menikmati pendidikan yang mencerahkan di Pondok Pesantren Fontor. Semua tokoh utama terinspirasi
dari sosok asli, beberapa lagi adalah gabungan dari beberapa karakter yang sebenarnya.” Novel itu laris
di pasar. Para santri tergoda untuk membaca dan melakukan proses semaian identitas bersama arus
sastra pesantren. Zaman telah berubah. Kalimat-kalimat lawas dari Gus Dur bisa “disanggah” dengan
menambahi keterangan atau pengajuan ide-ide lanjutan.

Anda mungkin juga menyukai