Anda di halaman 1dari 2

Unsur Cerita dan Nilai Sosial yang Terkandung Dalam Novel Jalan Tak Ada Ujung

Novel Jalan Tak Ada Ujung adalah novel karangan penulis ternama yang dilahirkan pada
tanggal 7 Maret 1922 di Padang yang kita kenal sebgai Mochtar Lubis. Novel ini ditulis pada
tahun 1950 dimana saat itu ia mendapat hadiah atas laporannya tentang Perang Korea. Dalam
novel tersebut dilukiskan situasi dan kondisi Bangsa Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus tahun 1945. Latar yang terdapat pada novel Jalan Tak Ada Ujung
ini, yang mengisahkan pejuang-pejuang seperti Hazil, pemusik yang bersemangat berapi-api,
Guru Isa yang lembut hati dan tidak suka pada kekerasan, serta istrinya yang merindukan kasih
lelaki. Perlawanan terhadap tentara Belanda yang hendak menjajah Indonesia, kehangatan cinta,
semangat berkorbar perjuangan, ketakutan, kejahatan manusia terhadap manusia, penemuan diri
di bawah siksaan, dan kemenangan manusia dalam pergaulan dengan dirinya sendiri.
Pembukaan cerita ini ditandai dengan mulainya perkenalan si tokoh utama yaitu kisah
guru Isa, seorang guru sekolah di Tanah Abang, yang harus hidup dalam banyak cobaan
kehidupan. Kehidupan keluarganya yang sederhana bersama Fatimah istrinya dan Salim anak
yang dipungutnya bersama Fatimah. Kehidupan bertahan hidup dari gempuran serdadu-serdadu
NICA yang kerap kali merubah hari-hari tenang di kampung menjadi perasaan was-was untuk
sibuk menyelamatkan diri. Di kampung Kebon Sirih dimana Guru Isa tinggal, mengadakan
pertemuan untuk Revolusi Kemerdekaan yang diketuai oleh Hazil, Si Pemuda yang berani,
pintar, dan yang paling bersemangat untuk menggerakan para warga agar mengikuti
perjuangannya. Para pemuda yang sedang berjaga mempunyai persenjataan seperti golok dan
bambu runcing, berpikir bahwa setiap saat musuh akan menyerbu kapan saja, dan semua orang
dalam rapat telah bersumpah berani mati dan berkorban hanya untuk Kemerdekaan. Biasanya
mereka hanya bersembunyi saat serdadu-serdadu tersebut menggeledah rumah. Mereka hanya
diam tak berbuat apa-apa. Dengan rencana-rencana yang mereka bicarakan namun tak kunjung
ada tindakan nyata maka disaat seperti inilah yang membuat mereka akhirnya sadar untuk
melakukan sebuah tindakan.
Berkenaan dengan perjuangan tersebut, Guru Isa mempunyai prinsip nya sendiri. Guru
Isa adalah seseorang yang mempunyai sifat penakut dan kurang menyukai dengan adanya
perkelahian. Sifat tersebut memang berbanding lurus dengan prinsip Guru Isa itu sendiri. Guru
Isa memang memiliki penilainan sendiri mengenai kekerasan, tepatnya revolusi yang dianggap
dekat dengan kekerasan. Guru Isa memiliki pendangan lain tentang revolusi, menurutnya cinta
tanah air bukan ditunjukkan dengan kekerasan. Tokoh Guru Isa konsisten dengan prinsip yang
dibuatnya, dengan penilaiannya terhadap kekerasan, dari awal hingga akhir meskipun dalam
keadaan terdesak dan terpaksa terlibat, dia tetap menolak kekerasan itu sendiri.
Mochtar Lubis juga menggunakan sudut pandang orang ketiga dimana pengarang banyak
menggunakan nama orang atau kata ganti dia. Selain itu, beliau yang menulis esai dengan nama
samaran Savitridan ini mengambil latar tempat dan waktu yang beragam sehingga itu yang
membuat tulisan terkesan lebih menarik dan bervariatif.
Nilai Sosial yang dapat kita ambil pada novel ini adalah bagaimana penulis bisa
menuangkan rasa saling tolong menolong satu sama lain. Sebagaimana kita tahu bahwa kita
harus menjadi satu, saling membantu, saling peduli satu sama lain. Tolong menolong disini
bermaksud bagaimana mereka saling membantu dalam perjuangan melawan serdadu-serdadu
tersebut. Kita juga dapat mengambil rasa gotong royong, dan rasa kebersamaan yang timbul pada
masa sulit tersebut.

Anda mungkin juga menyukai