CONTOH DISINTEGRASI
PERGOLAKAN/KONFLIK TENTANG
IDEOLOGI, SISTEM PEMERINTAHAN DAN
KEPENTINGAN.
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
SOFYAN SALEH
FADHLUR RAHMAN
KELAS:
XII IPA
PERISTIWA Madiun 69 tahun silam tak akan pupus dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Pemberontakan yang
dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 itu merupakan peristiwa kelam yang telah merenggut banyak
nyawa ulama dan tokoh-tokoh agama.
Sejak Peristiwa Madiun 1948 dan pemberontakan G30SPKI 1965 menjadi bukti betapa hebatnya ancaman komunisme di
Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Peristiwa Madiun 1948 dilakukan anggota PKI dan partai-partai kiri lainnya yang
tergabung dalam organisasi bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Adapun latar belakang terjadinya pemberontakan PKI Madiun 1948 menyusul jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin pada masa
itu. Penyebab jatuhnya kabinet Amir akibat kegagalannya pada perundingan Renville yang merugikan Indonesia. Untuk
merebut kembali kedudukannya, 28 Juni 1948 Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Organisasi ini didukung oleh Pemuda Sosialis Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, PKI, dan Sentral Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia (SOBSI). Mereka melancarkan propaganda anti pemerintah, mengadakan pemogokan-pemogokan kerja
bagi buruh. Selain itu melakukan pembunuhan ulama dan pejuang kemerdekaan.
Adapun tujuan mereka adalah ingin meruntuhkan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan menggantinya dengan negara
komunis. Segala cara pun mereka lakukan demi memuluskan misinya.
Sebelum Peristiwa Madiun, PKI juga telah melakukan kekacauan di Solo (Surakarta) hingga menewaskan banyak perwira
TNI AD dan tokoh pejuang 1945. Oleh PKI, daerah Surakarta dijadikan daerah yang kacau (wildwest). Sedangkan Madiun
dijadikan PKI sebagai basis gerilya.
Pada tanggal 18 September 1948, Musso memproklamasikan berdirinya pemerintahan Soviet di Indonesia. Sejak saat itu,
gerakan PKI ini semakin merajalela hingga menguasai dan menduduki tempat-tempat penting di Madiun.
Sejarawan Agus Sunyoto mengungkapkan fakta sejarah bagaimana kebiadaban PKI melakukan makar dan pemberontakan
kala itu. Agus menceritakan kekejaman PKI ini di berbagai sumber referensi seperti buku, makalah, buletin dan forum
diskusi atau seminar.
Agus yang juga penulis buku ‘Banser Berjihad Menumpas PKI’ ini mengungkapkan ada ribuan nyawa umat Islam termasuk
para ulama NU menjadi korban dan simbol-simbol Islam dihancurkan.
Keberhasilan FDR/PKI menguasai Madiun didisusul dengan aksi penjarahan, penangkapan sewenang-wenang terhadap
musuh PKI. Mereka tidak segan-segan menembak, hingga berbagai macam tindakan fasisme berlangsung sehingga membuat
masyarakat Kota Madiun ketakutan.
Agus menceritakan, pada tahun 1948 itu para pimpinan Masyumi dan PNI ditangkap dan dibunuh. Orang-orang berpakaian
Warok Ponorogo dengan senjata revolver dan kelewang menembak atau membunuh orang-orang yang dianggap musuh PKI.
Mayat-mayat pun bergelimpangan di sepanjang jalan. Bendera merah putih dirobek diganti bendera merah berlambang palu
arit. Potret Soekarno diganti potret Moeso.
Liputan wartawan ‘Sin Po’ yang berada di Madiun, menuliskan detik-detik ketika PKI pamer kekejaman itu dalam reportase
yang diberi judul: 'Kekedjeman kaoem Communist; Golongan Masjoemi menderita paling heibat; Bangsa Tionghoa
"ketjipratan" djoega.'
Tanggal 18 September 1948 pagi sebelum terbit fajar, sekitar 1.500 orang pasukan FDR/PKI (700 orang di antaranya dari
Kesatuan Pesindo pimpinan Mayor Pandjang Djoko Prijono) bergerak ke pusat Kota Madiun.
Kesatuan CPM, TNI, Polisi, aparat pemerintahan sipil terkejut ketika diserang mendadak. Terjadi perlawanan singkat di
markas TNI, kantor CPM, kantor Polisi. Pasukan Pesindo bergerak cepat menguasai tempat-tempat strategis di Madiun. Saat
fajar terbit, Madiun sudah jatuh ke tangan FDR/PKI. Sekitar 350 orang ditahan.
Di waktu yang sama, di Kota Magetan sekitar 1.000 orang pasukan FDR/PKI bergerak menyerbu Kabupaten, kantor
Komando Distrik Militer (Kodim), Kantor Onder Distrik Militer (Koramil), Kantor Resort Polisi, rumah kepala pengadilan,
dan kantor pemerintahan sipil di Magetan.
Sama dengan penyerangan mendadak di Madiun, setelah menguasai Kota Magetan dan menawan bupati, patih, sekretaris
kabupaten, jaksa, ketua pengadilan, kapolres, komandan Kodim, dan aparat Kabupaten Magetan, mereka juga menangkap
dan membunuh tokoh-tokoh Masyumi dan PNI di kampung-kampung, pesantren-pesantren, desa-desa.
Gadis Rasid, seorang pejuang yang juga wartawan pada tahun 1940-an menulis reportase tentang kebiadaban FDR/PKI
tersebut. Gadis menyaksikan pembantaian massal di Gorang-gareng, Magetan. Pembunuhan, perampokan dan penangkapan
yang dilakukan FDR/PKI itu diberitakan surat kabar Merdeka 1 November 1948.
Meski tidak sama dengan aksi serangan di Madiun dan Magetan yang sukses mengambil alih pemerintahan, serangan
mendadak yang sama pada pagi hari tanggal 18 September 1948 itu dilakukan oleh pasukan FDR/PKI di Trenggalek,
Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Purwodadi, Kudus, Pati, Blora, Rembang, Cepu.
Sama dengan di Madiun dan Magetan, aksi serangan FDR/PKI selalu meninggalkan jejak pembantaian massal terhadap
musuh-musuh mereka. Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa Tengah pada tahun 1953 mencatat bagaimana PKI
melenyapkan tidak hanya pejabat pemerintah, tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan mereka yang
dikenal karena kesalehannya kepada Islam: mereka itu ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang.
Masjid dan madrasah dibakar, bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu madrasahnya dibakar.
Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak
laki-laki yang baik yang tidak melawan. Setelah itu, rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak.
Tindakan kejam FDR/PKI selama menjalankan aksi kudeta itu menyulut amarah Presiden Soekarno yang mengecam
tindakan tersebut dalam pidato yang berisi seruan bagi rakyat Indonesia untuk menentukan nasib sendiri dengan memilih:
“Ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka-atau ikut Soekarno-Hatta, yang
Insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia ke Indonesia yang merdeka, tidak dijajah
oleh negara apa pun juga.
Presiden Soekarno menyeru agar rakyat membantu alat pemerintah untuk memberantas semua pemberontakan dan
mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah. Madiun harus lekas di tangan kita kembali”.
Sejarah mencatat, bahwa antara tanggal 18-21 September 1948 gerakan makar FDR/PKI yang dilakukan dengan sangat cepat
itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai pemberontakan. Sebab dalam tempo hanya tiga hari, FDR/PKI telah membunuh
pejabat-pejabat negara baik sipil maupun militer, tokoh masyarakat, tokoh politik, tokoh pendidikan, bahkan tokoh agama.
Setelah gerakan makar FDR/PKI berhasil ditumpas TNI dibantu masyarakat, awal Januari tahun 1950 sumur-sumur ‘neraka’
yang digunakan FDR/PKI mengubur korban-korban kekejaman mereka dibongkar oleh pemerintah. Puluhan ribu masyarakat
dari Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo, Trenggalek datang menyaksikan pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’.
Mereka bukan sekadar melihat peristiwa itu, namun sebagian di antara mereka ingin mencari anggota keluarganya yang
diculik PKI. Diantara sumur-sumur ‘neraka’ yang dibongkar itu, informasinya diketahui justru berdasar pengakuan orang-
orang PKI sendiri.
Dalam proses pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’ itu terdapat tujuh lokasi ditambah dua lokasi pembantaian di Magetan,
yaitu, (1) Sumur ‘neraka’ Desa Dijenan, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Magetan; (2) Sumur ‘neraka’ I Desa Soco,
Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; (3) Sumur ‘neraka’ II Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; (4)
Sumur ‘neraka’ Desa Cigrok, Kecamatan Kenongomulyo, Kabupaten Magetan; (5). Sumur ‘neraka’ Desa Pojok, Kecamatan
Kawedanan, Kabupaten Magetan; (6) Sumur ‘neraka’ Desa Batokan, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Magetan; (7) Sumur
‘neraka’ Desa Bogem, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan.
Sementara dua lokasi killing fields yang digunakan FDR/PKI membantai musuh-musuhnya, yaitu ruang kantor dan halaman
pabrik gula Gorang-gareng dan Alas Tuwa di dekat Desa Geni Langit di Magetan.
Fakta kekejaman FDR/PKI tahun 1948 ini disaksikan ribuan warga masyarakat yang menyaksikan langsung pembongkaran
sumur-sumur ‘neraka’ itu. Setelah diidentifikasi diperoleh sejumlah nama pejabat pemerintahan maupun TNI, ulama, tokoh
Masjoemi, tokoh PNI, polisi, camat, kepala desa, bahkan guru.
Di sumur tua Desa Soco ditemukan kurang lebih 108 jenazah korban kebiadaban PKI. Sebanyak 78 orang di antaranya dapat
dikenali, sedangkan sisanya tidak dikenal. Salah satu di antara korbannya adalah KH Soelaiman Zuhdi Affandi, pimpinan
Ponpes Ath-Tohirin Mojopurno, Magetan.
Kemudian, Kyai Imam Mursjid Muttaqin, Mursyid Tarikat Syattariyah Pesantren Takeran. Jasadnya ditemukan di Sumur
‘neraka’ II Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Selain Kyai Imam Mursjid, ulama lain ikut menjadi korban
yaitu Kyai Zoebair, Kyai Malik, Krai Noeroen, Kyai Moch Noor.
Lalu, di sumur tersebut ditemukan jasad R Ismaiadi, Kepala Resort Polisi Magetan; R Doerjat (Inspektur Polisi Magetan),
Kasianto, Soebianto, Kholis, Soekir, (keempatnya anggota Polri); dan masih banyak pejabat dan ulama lainnya.
Di sumur ‘neraka’ I Desa Soco ditemukan jasad Soehoed (camat Magetan); R Moerti (Kepala Pengadilan Magetan); Mas
Ngabehi Soedibyo (Bupati Magetan). Kemudian ada sekitar 40 mayat tidak dikenali karena bukan warga Magetan.
Selain itu, di Sumur ‘neraka’ Desa Cigrok, Kecamatan Kenongomulyo, Kabupaten Magetan ditemukan jasad KH Imam
Shofwan, pengasuh Pesantren Thoriqussa’ada Rejosari, Madiun. Imam Shofwan dikubur hidup-hidup di salam sumur
tersebut. Ketika dimasukkan ke dalam sumur, ulama NU ini masih sempat mengumandangkan adzan.
Dua putranya Kyai Zubeir dan Kyai Bawani juga menjadi korban dan dikubur hidup bersama-sama. Sebanyak 22 jenazah
ditemukan di sumur ini. Dan masih banyak tokoh ulama lainnya yang menjadi korban keganasan PKI.
Kebiadaban FDR/PKI selama melakukan aksi makarnya tahun 1948 adalah rekaman peristiwa yang tidak akan terlupakan.
Sumur-sumur tua ‘neraka’ yang tersebar di Magetan dan Madiun adalah saksinya.
Tak heran jika tindakan keji PKI berulang kembali pada 1 Oktober 1965 di mana para jenderal TNI AD diculik dan dibunuh
secara sadis. Mayatnya kemudian ditemukan di dalam sumur ‘neraka’ Lubang Buaya di dekat Bandara Halim, Jakarta
Timur.
Dengan ditumpasnya pemberontakan PKI di Madiun dan pemberontakan G30SPKI 1965, maka selamatlah bangsa Indonesia
dari bahaya komunis. Kini, TNI dan ulama adalah pihak yang selalu di barisan terdepan melawan kebangkitan paham dan
gerakan kiri tersebut.
b. PEMBERONTAKAN DI/TII
satunya adalah Kartosoewirjo. Dirinya beranggapan bahwa hijrahnya Divisi Siliwangimenandakan Jawa Barat diserahkan
kepada Belanda. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Kartosoewirjountuk mendirikan Negara Islam
(NI). Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah pemimpin gerakan Negara Islam Indonesia (dikenal dengan nama
Darul Islam atau DI). NII berarti "Rumah Islam" yang didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah,
Kecamatan Ciawiligar, Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakan ini bertujuan bertujuan untuk mendirikan negara yang
berlandaskan Islam dengan hukum tertinggi adalah Al-Quran dan Hadist. Pasukannya sering disebut TII/Tentara Islam
Indonesia. Ada bebrapa sebab DI/TII pimpinan Kartosoewirjo sulit ditaklukan, antara lain karena :
d. Suasana politik dalam negeri Indonesia yang tidak kondusif di awal tahun 1950.
Kontak senjata antara TNI dengan pasukan DI/TII Jawa Barat terjadi pertama kali pada tanggal 27 Agustus 1949 hingga
tahun 1962. Melalui Operasi Pagar Betis dan Barathayudha, DI/TII Jawa Barat berhasil dilumpuhkan. Pada tanggal 4 Juni
1962 di Gunung Geber, Majalengka Jawa Barat. Kartosoewirjo bersama dengan pengawalnya berhasil ditangkap dan
diadili secara militer. Dalam pengadilan tersebut Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati.
Selain di Jawa Barat, DI/TII juga menyebar ke berbagai daerah di indonesia. Di Aceh, pada tanggal 20 September
1953, Tengku Daud Beureueh merasa kecewa karena status Aceh ditetapkan menjadi Karisidenan di bawah Provinsi
Sumatera Utara. Untuk meredam gejolak, pemerintah akhirnya mengakomodasikan rakyat Aceh dengan menjadikan aceh
Di Sulawesi Selatan juga muncul gerakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Gerakan DI/TII pimpinan
Kahar Muzakar disebabkan karena penolakan pemerintah Indonesia atas usulan penggabungan Komando Gerilya Sulawesi
Selatan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) dengan nama Brigade Hasanuddin, tanggal 30
April 1950. Pada bulan Februari 1965, gerakan DI/TII Sulawesi Selatan mampu diredam oleh pemerintah melalui operasi
militer.
Pemberontakan DI/TII adalah pemberontakan dengan koneksi terbesar dan terluas di Indonesia. Ada setidaknya 5
c. PERISTIWA G30S/PKI
Sejarah G30S PKI Lengkap adalah satu bentuk kudeta di malam hari tanggal 30 September hingga awal 1 Oktober 1965
dimana tujuh jenderal militer Indonesia dibunuh. Di dokumen pemerintah ditulis Gerakan 30 September/PKI atau disingkat
G30S/PKI. Peristiwa ini didalangi oleh Dipa Nusantara Aidit atau biasa disingkat DN Aidit yang merupakan tokoh penting
PKI yang ingin mengubah sejarah lahirnya pancasila menjadi komunis.
PKI berani melakukan kudeta atas kepercayaan dirinya yang tinggi karena menjadi partai berhaluan komunis terkuat ketiga
setelah Uni Soviet dan Tiongkok. Ditandai dengan jumlah anggota sebesar enam setengah juta dan memiliki banyak anak
organisasi yang mengontrol kondisi masyarakat dari berbagai aspek. Kudeta ini berakhir dengan kegagalan dan dilanjutkan
dengan pembantaian anti komunis. Untuk memperingati kejadian memilukan ini, tiap tanggal 1 Oktober diperingai sebagai
Hari Kesaktian Pancasila dan didirikan Monumen Pancasila Sakti.
1. Angkatan Kelima
Latar belakang G30S/PKI yang pertama adalah Angkatan Kelima. Angkatan Kelima adalah ide dari PKI yang ingin
mempersenjatai kaum buruh dan kaum petani. Ide dari PKI ini terjadi karena situasi politik yang ruwet, seruan revolusi dari
Soekarno, Ganyang Malaysia, sejarah pengembalian Irian Barat dan perjuangan pembebasan irian barat yang butuh banyak
sukarelawan. Tentu ide ini membuat Angkatan Darat gusar karena jika terealisasi, Angkatan Kelima bisa digunakan oleh
PKI untuk merebut kekuasaan seperti Revolusi Bolshevik di Russia dan Revolusi Komunis di RRC.
Penolakan Angkatan Kelima oleh Angkatan Darat membuat hubungan Angkatan Darat dan PKI menjadi panas. Situasi
malah lebih panas ketika PKI yang melatih sukarelawan dari Gerwani dan Pemuda Rakyat yang merupakan organisasi
bentukan PKI. Padahal PKI sebelumnya mengaku bahwa pelatihan meliputi semua kalangan. Bahkan kalangan dari
Angkatan Udara melihat metode latihannya mirip latihan militer RRC. perkembangan nasionalisme di Indonesia malah
berubah menjadi perkembangan komunis di Indonesia.
2. Masalah Tanah dan Bagi Hasil
Di tahun 1960, muncullah UU Pokok Agraria (UUPA) dan UU Pokok Bagi Hasil (UUBH). Meski UU sudah dirilis, tapi
dalam praktiknya sering terjadi perselisihan antara pemilik tanah dan petani yang mengerjakan tanah. Contoh peristiwa yang
terkenal adalah Peristiwa Klaten dan Peristiwa Bandar Betsi. Bandar Betsi adalah peristiwa dimana PKI yang melakukan
aksi sepihak dan berusaha menjarah tanah negara salah satunya kebun karet milik Perusahaan Perkebunan Negara (PPN).
Isu menyedihkan Bung Karno sakit berkembang mulai tahun 1964 hingga dimulainya kudeta 30 September. Tentu rakyat
akan bergosip dan memulai isu siapa yang berhak memegang kekuasaan jika Bung Karno meninggal. Tapi menurut
Subandrio, Aidit tahu bahwa penyakit yang diderita Bung Karno tidak begitu parah atau sakit ringan.
Konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia dimanfaatkan PKI untuk mendekat ke Soekarno. Konfrontasi ini terjadi karena
Tunku Abdul Rahman, PM Malaysia, menginjak lambang negara Indonesia. Tentu Bung Karno murka melihat peristiwa ini
dan meneriakkan seruan Ganyang Malaysia. Tapi perintah Bung Karno tidak terlalu ditanggapi oleh petinggi militer.
Jenderal Ahmad Yani berpendapat seperti itu karena Indonesia cukup sulit melawan Malaysia yang dibantu Inggris. Di sisi
lain, A.H. Nasution memilih untuk setuju karena tidak mau PKI menunggangi momen ini. Tentu momen “Ganyang
Malaysia!” membuat Angkatan Darat dilanda dilema sehingga mereka berperang setengah hati.
PKI didekati oleh Bung Karno karena Bung Karno menyadari Angkatan Darat yang tidak terlalu niat untuk berperang. Tentu
PKI langsung senang karena selain bisa menunggangi Bung Karno, juga bisa ikut “Ganyang Malaysia” yang mereka nilai
sebagai pengikut nekolim. Di masa ini, PKI semakin kuat secara internal dan eksternal. Bung Karno yang mengetahui
kekuatan PKI, memilih tidak melakukan apapun karena butuh kekuatan PKI untuk mengganyang Malaysia. Selain dari Bung
Karno, beberapa anggota Angkatan Darat yang tidak suka dengan kepengecutan para petinggi Angkatan Darat menjalin
hubungan dengan PKI.
Dewan Jenderal merupakan isu yang mulai dihembuskan ketika waktu semakin mendekati tanggal 30 September. Entah
siapa yang menghembuskan isu ini yang tentu membuat rakyat panik akan adanya usaha petinggi militer untuk merebut
kekuasaan dari Bung Karno. Merespon isu Dewan Jenderal, Bung Karno memerintahkan Cakrabirawa untuk menangkap dan
mengadili para Dewan Jenderal.
Sedangkan tiga perwira tinggi yang lain yaitu Mayor Jenderal Soeprapto, Mayor Jenderal S. Parman dan Brigadir Jenderal
Sutoyo ditangkap hidup-hidup. Untungnya, target utama yaitu Jenderal A.H. Nasution, berhasil kabur dengan cara melompat
pagar ke kebun kedutaan besar Irak. Sayangnya, ajudan Nasution, Letnan Satu Pierre Tendean ditangkap karena dikira
Nasution dan putri Nasution yang bernama Ade Irma Suryani tertembak dan meninggal pada tanggal 6 Oktober. Seorang
brigadir polisi yang bernama Karel Sadsuitubun juga gugur. Korban terakhir yaitu Albert Naiborhu, keponakan Jenderal
Panjaitan, yang terbunuh ketika rumah sang jenderal diserbu. Jasad para jenderal dibawa ke daerah bernama Lubang Buaya
di dekat Halim lalu dibuang ke sumur.
Pada pukul tujuh pagi, RRI menyiarkan berita dari Letkol Untung bahwa lokasi strategis di Jakarta sudah diambil. Dengan
dalih untuk mencegah terjadinya percobaan kudeta oleh Dewan Jenderal yang didukung oleh CIA kepada Bung Karno.
Mereka juga mengatakan bahwa Bung Karno berada di perlindungan G30S. Mendengar kabar ini, Bung Karno langsung
menuju ke Halim dan berdiskusi dengan Marsekal Udara Omar Dani untuk mengisi jabatan komandan Angkatan Darat yang
sekarang kosong.
Mereka berpikir bahwa akan melindungi presiden di istana. Di siang hari, Suharto berhasil mempengaruhi dua batalion agar
menyerah tanpa bertarung. Pertama batalion Brawijaya yang datang ke markas KOSTRAD lalu Diponegoro yang mundur ke
Halim. Pada pukul tujuh malam, Suharto berhasil mengendalikan semua fasilitas yang sebelumnya dikendalikan oleh
G30S/PKI. Kemudian Nasution bergabung pada pukul sembilan dan mengumumkan bahwa dia mengambil alih Angkatan,
akan menghancurkan kekuatan revolusi dan menyelamatkan Sukarno. Sebagian besar pemberontak kabur dan setelah
pertempuran kecil di 2 Oktober, Angkatan Darat berhasil menguasai Halim. Sedangkan Aidit terbang ke Jogjakarta dan Dani
ke Madiun sebelum tentara datang. Berakhirlah pemberontakan G30S/PKI.
b. PRRI
Terbentuknya PPRI atau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia merupakan salah satu peristiwa yang penting bagi
perkembangan bangsa Indonesia sejak kemerdekaan Indonesia. Hal ini disebabkan karena terbentuknya PPRI dan juga
tujuan yang ingin dicapai sebenarnya memiliki dampak positif bagi pemerintahan Indonesia pada masa itu, hanya saja cara
yang ditempuh oleh PRRI dianggap salah dan memberontak pemerintahan Indonesia. Oleh sebab itu, keadaan tersebut
dianggap juga sebagai salah satu pemberontakan pada masa setelah kemerdekaan Indonesia, atau dikenal juga dengan
sebutan pemberontakan PPRI.
Adapun dua latar belakang yang mendasari dideklarasikannya PRRI adalah sebagai berikut:
Pembangunan yang tidak merata
Konflik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat bisa disebutkan karena adanya ketimpangan dalam pembangunan.
Dimana setelah kemerdekaan Indonesia pemerintah pusat dianggap hanya berfokus pada Jawa dan Jakarta saja, ditambah
dengan adanya masalah perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Kondisi tersebut akhirnya menimbulkan rasa
kekecewaan dan ketidak harmonisan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, terutama didaerah Sumatera dan
Sulawesi. Kondisi tersebut juga diperparah dengan tingkat kesejahteraan masyarakat hingga para prajurit didaerah-daerah
tersebut sangat rendah. Oleh sebab itu, PRRI dibentuk dengan tujuan untuk mengoreksi kinerja pemerintah pusat dan juga
sebagai protes terhadap bagaimana konstitusi pada saat itu dijalankan.
Selain karena ada kondisi pembangunan yang tidak merata dan berimbas pada ketidak harmonisan pemerintah daerah dan
pusat, ada satu kondisi lain yang juga mendasari pembentukan PRRI. Kondisi tersebut adalah adanya pembentukan RIS pada
tahun 1949 yang disertai dengan dikerucutkan Divisi Benteng. Pengerucutan Divisi Benteng tersebut kemudian hanya
menyisakan 1 brigade saja, dan diperkecil kembali menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Kondisi tersebut membuat para
perwira dan prajurit dari Divisi IX Banteng merasa kecewa dan terhina. Hal ini disebabkan karena mereka merasa telah
berjuang jiwa dan raga demi kemerdekaan Indonesia.
Itulah dua latar belakang utama dari terbentuknya PRRI, dimana beberapa kondisi lain juga yang terjadi pada saat itu seperti
kondisi Indonesia yang masih belum stabil setelah agresi Belanda dan yang lainnya juga mempengaruhi pembentukan PRRI.
Dari kondisi-kondisi diatas kemudian perwira militer membentuk dewan militer daerah, dimana terdiri dari :
Dewan Banteng
Dewan Banteng dibentuk pada tanggal 20 Desember 1956 oleh Kolonel Ismail Lengah di Sumatera Barat, dan dipimpin oleh
Letnan Kolonel Ahmad Husein.
Dewan Gajah
Dewan Gajah dibentuk pada tanggal 22 Desember 1956 oleh Kolonel Maludin Simbolon yang berbasis di Sumatera Utara.
Dewan Garuda
Dewan Garuda dibentuk pada pertengahan bulan Januari tahun 1957 oleh Letnan Kolonel Barlian di Sumatera Selatan.
Dewan Manguni
Dewan militer daerah yang dibentuk terakhir adalah Dewan Manguni, dimana dibangun pada tanggal 17 Februari 1957 oleh
Mayor Somba di Manado.
Dalam upaya penumpasan PRRI, pemerintah pusat kemudian melancarkan operasi militer gabungan, dimana operasi tersebut
dikenal sebagai Operasi Merdeka dan dipimpin oleh Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Pada akhirnya
pemberontakan PRRI berhasil dihentikan pada bulan Agustus tahun 1958, dan pada tahun 1961 pemerintah membuka
kesempatan bagi para anggota PRRI yang tersisa untuk kembali ke Republik Indonesia. Sama halnya dengan dampak
pemberontakan APRA, pemberontakan dari PRRI ini juga pasinya memberikan dampak adanya gerakan PRRI bagi
Indonesia, salah satunya seperti memberikan ancaman terhadap kestabilan dan keamanan negara Indonesia sebagai satu
kesatuan setelah Agresi Militer Belanda.
c. Permesta
Awal Mula
OPERASI MILITER TERAKHIR
"Operation Djakarta Special One"
- Pada saat itu, kegelisahan menimpa di masyarakat Manado, warga seakan tidak tenang sesaatpun karena khawatir akan
adanya serangan dari pemerintah pusat yang di perkirakan akan menyerbu daerah yang di kuasai Permesta
- Akan tetapi, Permesta mendapatkan dukungan tambahan lagi, dengan masuknya Alexander Evert Kawilarang
- Bantuan - bantuan dari negara - negara, terutama bantuan dari Taiwan diketahui oleh pihak pemerintah pusat, dan membuat
pemerintah pusat semakin murka
- Untuk melawan pihak Permesta, pihak pemerintah pusat mendapat bantuan dari penerbang ternama Ignatius Dewanto
dengan menggunakan pesawat kokpit P-51
- Ignatius Dewanto berhasil melumpuhkan 2 pesawat milik AUREV (pihak Permesta)
- Kekuatan udara Permesta melemah
- APRI dengan mudah menguasai setiap wilayah yang semula diduduki Permesta
- Setelah itu, Amerika tidak memberi bantuan lagi ke pihak Permesta
Pemberontakan Permesta
AKHIR DARI CERITA
-Setelah itu pergolakan berlanjut, dan keutuhan NKRI sangat tidak terjamin dan kritis.
-Pada saat itu juga hubungan Soekarno dan Hatta mengalami keretakan, Moh.Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil
presiden.
Negara-negara pendukung Permesta
Karena genjatan senjata ini pemerintah pusat RI melakukan Operasi Militer dengan tujuan menghentikan
pemberontakan Permesta.
Permesta
- Tahun 1960 : Pihak Permesta bersedia untuk berunding dengan pemerintah pusat.
- Hasil perundingan : Permesta sepakat akan membantu TNI untuk bersama - sama menghadapi pihak komunis di Jawa
- Tahun 1961 : Pemerintah pusat memberi amnesti dan abolisi bagi siapa saja yang terlibat Permesta.
Pemberontakan selesai dan Permesta bubar!
Awal Gerakan
1. Operasi Saptamarga I
- Dipimpin : KSAD Jenderal Nasution
-Tujuan : Menyerang Sulawesi Utara bagian tengah
2. Operasi Djakarta II
- Dipimpin : Daan Karamoy
- Tujuan : Menyerang jakarta dan merebut kembali wilayah Palu dan Donggola yang dikuasai tentara pusat
- Operasi ini bertujuan untuk menekan pemerintah pusat untuk berunding dengan Permesta
3. Operasi Mena II
- Dipimpin : Letkol KKO Hunholz
- Tujuan : Merebut lapangan udara Morotai
a. APRA
peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh APRA ini meletus pada 23 Januari 1950 di Bandung. Pada saat itu APRA
melakukan serangan dan menduduki Kota Bandung. latar belakang pemberontakan APRA ini dipicu oleh adanya friksi
dalam tubuh Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Friksi yang terjadi itu antara tentara pendukung unitaris
(TNI) dengan tentara pendukung federalis (KNIL/KL).
Pemberontakan APRA ini menjadi tragedi politik dan ideologis nasional, tepatnya di masa perjuangan Republik Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaan. APRA sendiri dipimpin oleh Raymond Westerling dan memiliki 800 serdadu bekas
KNIL. Gerakan yang dipimpin oleh Raymond Westerling ini berhasil mengusai markas Staf Divisi Siliwangi, sekaligus
membunuh ratusan prajurit Divisi Siliwangi.
Untuk kita ketahui bahwa Tujuan pemberontakan APRA yaitu keinginan belanda mengamankan kepentingan di Indonesia
dan mempertahankan serdadu belanda dalam sistem federal
Setelah mengusasi Siliwangi, Westerling bekerja sama dengan Sultan Hamid II merencanakan untuk menyerang Jakarta.
Tujuannya adalah untuk menculik dan membunuh menteri-menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) yang saat itu tengah
bersidang. Tapi usaha yang direncanakan oleh Westerling itu bisa digagalkan. Semuanya itu berkat pasukan APRIS. APRIS
mengirimkan kesatuan-kesatuannya yang berada di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Perdana Menteri RIS pada waktu itu
Drs. Moh. Hatta, melakukan perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda dalam merespon hal tersebut.
berkat perundingan yang diadakan oleh Drs. Moh. Hatta dengan Komisaris Tinggi Belanda, akhirnya Mayor Jenderal Engels
yang merupakan Komandan Tinggi Belanda di Bandung, mendesak Westerling untuk meninggalkan Kota Bandung. Berkat
hal itu, APRA pun berhasil dilumpuhkan oleh pasukan APRIS.
Jadi begitulah latar belakang pemberontakan APRA di Indonesia Squad. Berkat tindakan Raymond Westerling ini, rakyat
semakin menuntut untuk mengembalikan Indonesia ke bentuk negara kesatuan.
b. RMS
Setelah memproklamasikan kemerdekaan, ternyata Indonesia tidak lantas terlepas dari ketegangan-ketengangan
antarkelompok masyarakat. Beberapa wilayah yang berada di Indonesia menolak untuk bergabung dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, salah satunya Maluku. mengapa beberapa wilayah tersebut tidak setuju dengan didirikannya NKRI,
hingga berujung pemberontakan Republik Maluku Selatan.
Didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia, menimbulkan respon dari masyarakat Maluku Selatan saat itu. Seorang
mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur, Mr. Dr. Christian Robert Soumokil, memproklamirkan berdirinya
Republik Maluku Selatan pada tanggal 25 April 1950. Hal ini merupakan bentuk penolakan atas didirikannya NKRI,
Soumokil tidak setuju dengan penggabungan daerah-daerah Negara Indonesia Timur ke dalam wilayah kekuasaan Republik
Indonesia. Dengan mendirikan Republik Maluku Selatan, Ia mencoba untuk melepas wilayah Maluku Tengah dan NIT dari
Republik Indonesia Serikat.
Berdirinya Republik Maluku Selatan ini langsung menimbulkan respon pemerintah yang merasa kehadiran RMS bisa jadi
ancaman bagi keutuhan Republik Indoensia Serikat. Maka dari itu, pemerintah langsung ambil beberapa keputusan untuk
langkah selanjutnya.
Tindakan pemerintah yang pertama dilakukan adalah dengan menempuh jalan damai. Dr. J. Leimena dikirim oleh
Pemerintah untuk menyampaikan permintaan berdamai kepada RMS, tentunya membujuk agar tetap bergabung
dengan NKRI. Tetapi, langkah pemerintah tersebut ditolak oleh Soumokil, justru ia malah meminta bantuan, perhatian, juga
pengakuan dari negara lain, terutama dari Belanda, Amerika Serikat, dan komisi PBB untuk Indonesia.
Ditolaknya mentah-mentah ajakan pemerintah kepada RMS untuk berdamai, membuat pemerintah Indonesia
memutuskan untuk melaksanakan ekspedisi militer. Kolonel A.E. Kawilarang dipilih sebagai pemimpin dalam
melaksanakan ekspedisi militer tersebut. Beliau itu adalah panglima tentara dan teritorium Indonesia Timur. Ia dirasa
mengerti dan paham bagaimana kondisi Indonesia di wilayah timur.
Akhirnya kota Ambon dapat dikuasai pada awal November 1950. Akan tetapi, ketika melakukan perebutan Benteng Nieuw
Victoria, Letnan Kolonel Slamet Riyadi gugur. Namun, perjuangan gerilya kecil-kecilan masih berlanjut di Pulau Seram
sampai 1962. Setelah itu, pada tanggal 12 Desember 1963, Soumokil akhirnya dapat ditangkap dan kemudian dihadapkan
pada Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta. Berdasarkan keputusan Mahkamah Militer Luar Biasa, Soumokil dijatuhi
hukuman mati.
setelah RMS mengalami kekalahan di Ambon, serta Soumokil yang telah dijatuhkan hukuman mati, pada akhirnya
pemerintahan RMS mulai mengungsi dari pulau-pulau yang di tempati sebelumnya dan membuat pemerintahan dalam
pengasingan di Belanda. Sebanyak 12.000 tentara Maluku bersama keluarganya berangkat ke Belanda setahun
setelahnya. Pada akhirnya pemberontakan RMS berhasil dihentikan oleh pemerintah Indonesia.
c. Andi Aziz
Jadi pada awal April 1950, pemberontakan Andi Azis terjadi di Makassar, Ujung Pandang, Sulawesi Selatan. Pemberontakan
ini dipimpin oleh Kapten Andi Azis sendiri, Ia merupakan mantan perwira KNIL dan baru diterima masuk ke dalam APRIS.
Andi Azis bersama gerombolannya ingin mempertahankan Negara Indonesia Timur. Selain itu, hal ini juga dilatarbelakangi
oleh penolakan terhadap masuknya anggota TNI ke dalam bagian APRIS.
Pada 5 April 1950, gerombolan Andi Azis mulai melancarkan serangan. Mereka menyerang serta menduduki tempat-
tempat penting, selain itu mereka juga menawan seorang Panglima Teritorium Indonesia Timur, yaitu Letnan Kolonel A.J.
Mokoginata. Mengetahui hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan ultimatum sebagai bentuk reaksi atas kejadian
tersebut pada tanggal 8 April 1950.
Ultimatum yang dilayangkan isinya memerintahkan kepada Andi Azis untuk melaporkan diri sekaligus harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu ke Jakarta, Andi Azis diberi waktu selama 4 hari. Selain itu Andi Azis juga
diminta untuk menyerahkan senjata beserta menarik pasukannya, dan diminta untuk membebaskan para sandera.
Ternyata Andi Azis sama sekali tidak menggubris ultimatum tersebut. karena Andi Azis tidak menggubris, maka pemerintah
langsung bereaksi dengan mengirim pasukan-pasukan ekspedisi. Pasukan ekspedisi mendarat di Makassar pada tanggal
26 April 1950 di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang, pada saat itu terjadilah pertempuran.
Beberapa bulan kemudian tepatnya pada 5 Agustus 1950, pasukan Andi Azis secara tiba-tiba mengepung markas staf
Brigade 10/Garuda Mataram di Makassar. Pengepungan itu tidak berangsur lama, pasukan TNI kemudian berhasil memukul
mundur pasukan pemberontakan itu. Setelah bertempur selama 2 hari, KNIL/KL (pasukan pendukung Andi Azis) meminta
berunding dengan TNI.
Pada tanggal 8 agustus 1950, kesepakatan antara kolonel kawilarang (TI) dan mayor jendral Scheffelaar (KNIL/KL).
Menghasilkan:
Pada akhirnya pihak pemerintah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan hasil perundingan dengan pihak KNIL.