Anda di halaman 1dari 59

Pengertian Deklarasi Ekonomi (Dekon)

Diposkan oleh ni'amul huda di 8:57 AM


Pengertian Deklarasi Ekonomi (Dekon) adalah Deklarasi yang disampaikan oleh
Presiden Soekarno pada tanggal 28 Maret 1963 di Jakarta, untuk menciptakan ekonomi
nasional yang bersifat demokratis dan bebas dari imperialism dan system ekonomi
berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) sebagai pelaksanaan Dekon, pada 26 Mei 1963
dikeluarkan serangkaian peraturan di bidang ekspor dan impor, harga, serta lainnya
yang seluruhnya berjumlah 14 buah peraturan yang dikenal sebagai “peraturan 26 Mei”
Peraturan 26 Mei ternyata tidak mencapai tujuannya. Oleh karena indeks biaya hidup
semakin meningkat, harga barang naik, dan inflasi meningkat.

Sumber: Eko Sujatmiko, Kamus IPS , Surakarta: Aksara Sinergi Media Cetakan I, 2014
halaman 49
Dekon dan Syarat-Syarat
Pelaksanaannya
Ceramah di hadapan Himpunan
Sarjana Indonesia (HSI), tanggal 11 Mei
1963 di Aula Universitas Indonesia

D.N. Aidit (1963)


Sumber: Dekon Dalam Ujian. Yayasan "Pembaruan", Jakarta,
1963. Scan PDF Brosur "Dekon Dalam Ujian"

Pertama-tama, perkenankanlah saya mengucapkan


penghargaan atas inisiatif yang diambil oleh Himpunan Sarjana
Indonesia (HSI) dalam mengadakan rangkaian ceramah ini guna
mendengarkan ulasan-ulasan dari partai-partai NASAKOM
tentang Deklarasi Ekonomi (Dekon).

Inisiatif ini membutktikan bahwa Saudara-saudara, sebagai


sarjana-sarjana yang ingin menyumbangkan keahliannya
masing-masing dalam pekerjaan besar untuk melaksanakan
Deklarasi Ekonomi itu, memang mengerti betapa erat
hubungannya soal pelaksanaan itu dengan kekuatan-kekuatan
Rakyat yang terorganisasi, yaitu dengan persatuan nasional atau
kegotongroyongan nasional yang berporoskan NASAKOM.

Sebagai wakil dari pada salah satu partai NASAKOM, yaitu


wakil PKI, saya menyadari sepenuhnya betapa berat tanggung
jawab yang terletak di atas pundak Partai yang saya wakili untuk
bersama-sama dengan partai-partai lain dan bersama-sama
dengan semua golongan, mengadakan usaha-usaha yang
sungguh-sungguh untuk menanggulangi kesulitan-kesulitan
ekonomi dewasa ini. Dalam pekerjaan besar ini, para sarjana kita
juga mempunyai rasa tanggung jawab yang dalam, dan saya
yakin bahwa rangkaian ceramah-ceramah ini akan merupakan
satu langkah maju lagi dalam mengerahkan seluruh potensi
Rakyat sesuai dengan apa yang diserukan di dalam Deklarasi
Ekonomi.

Saya juga merasa gembira mendengar, bahwa HSI akan


menyelenggarakan suatu Seminar Ekonomi dengan maksud
menghimpun sumbangan-sumbangan pikiran masyarakat guna
membantu pelaksanaan Deklarasi Ekonomi. Mudah-mudahan
Seminar itu mencapai sukses.

Ceramah ini akan saya bagi dalam dua bagian. Yang pertama,
mengenai pengertian-pengertian secara umum tentang prinsip-
prinsip Dekon, dan yang kedua berupa sumbangan pikiran
tentang pelaksanaan langkah-langkah yang ditetapkan di dalam
Dekon sebagai kebijaksanaan jangka pendek.

PRINSIP-PRINSIP POKOK DEKLARASI EKONOMI

Pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Sukarno telah


mengumumkan Deklarasi Ekonomi yang menentukan strategi
dasar ekonomi Indonesia serta menetapkan kebijaksanaan
jangka pendek dalam mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi
dewasa ini. Peristiwa ini merupakan salah satu peristiwa yang
terpenting dalam perkembangan-perkembangan politik di
Indonesia sejak diumumkannya Manifesto Politik Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1959.

Dekon telah disambut dengan hangat sekali oleh seluruh


Rakyat Indonesia. Sambutan-sambutan dari seluruh laporan
Rakyat sudah mulai mengalir sejak beberapa jam saja setelah
Dekon diumumkan. Sampai sekarang, sambutan-sambutan
masih mengalir, malahan berbagai organisasi sudah
mengadakan konferensi-konferensi dan seminar tentang Dekon.
Ini adalah wajar, karena Dekon menyangkut dua segi dari
Revolusi Indonesia yang sangat penting, yaitu di satu pihak ikut
melempengkan pengertian tentang Revolusi dengan
menegaskan sekali lagi adanya dua tahapan Revolusi kita, dan
menjelaskan tentang watak dari pada susunan ekonomi yang
harus kita bangun pada tahap pertama dari pada Revolusi,
sedangkan di pihak lain Dekon menyangkut perutnya seluruh
Rakyat karena menetapkan cara-cara yang harus dilakukan
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi yang sudah
sedemikian jauhnya dan menyebabkan penderitaan-penderitaan
yang sedemikian beratnya.

Di samping sambutan-sambutan hangat dari Rakyat, ternyata


bahwa di kalangan-kalangan tertentu, Dekon disambut dengan
suara-suara sinis. Kalangan-kalangan itu berusaha menimbulkan
perasaan kecewa terhadap Dekon karena, katanya, “tidak ada
sesuatu yang baru di dalamnya ...”, “semunya itu telah berulang-
ulang dikatakan dan toh keadaan tidak menjadi lebih baik
malahan sebaliknya”. Kalangan –kalangan itu memang berusaha
keras untuk menggagalkan setiap usaha yang mau dijalankan
oleh Bung Karno bersama-sama Rakyat untuk menanggulangi
kesulitan-kesulitan ekonomi pada saat ini. Mereka berusaha
membikin Rakyat kecewa terhadap Bung Karno dan mau
membikin Bung Karno tidak percaya pada kekuatan Rakyat.
Mereka mengetahui benar bahwa Rakyat bersama-sama dengan
Bung Karno memang akan dapat mendobrak keadaan yang
suram yang sedang mencengkeram negeri kita, dan bahwa
Rakyat bersama-sama dengan Bung Karno akan dapat mengikis
habis sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme yang
merupakan conditio sine qua non atau syarat mutlak untuk
perbaikan ekonomi.
Kaum sinis terhadap Dekon sebenarnya dapat dibagi dalam
dua golongan. Satu golongan, mereka yang dengan sadar
memang berusaha menggagalkan perjuangan Rakyat pada saat
ini untuk menciptakan suatu kekuasaan politik gotong royong
berporoskan NASAKOM yang benar-benar sesuai dengan
susunan ekonomi yang mau dibangun. Kaum sinis ini mewakili
kepentingan-kepentingan kaum imperialis dan feodal yang telah
ditetapkan sebagai sasaran utama dalam tahap Revolusi
Indonesia sekarang ini; mereka terdiri dari kaum kapitalis
birokrat, komprador, dan tuan tanah yang kepentingan-
kepentingannya memang harus dikorbankan dalam proses
pelaksanaan Dekon demi kepentingan massa Rakyat yang luas.
Kaum sinis ini ternyata pula mendapat angin dan inspirasi dari
bahan-bahan racun berbentuk buletin-buletin atau stensilan-
stensilan periodik yang pada saat ini diedarkan oleh pengkhianat
Sumitro dan agen-agennya di kalangan-kalangan pegawai
perusahaan-perusahaan negara, kantor-kantor Pemerintah dan
lain-lain bagian dari pada aparatur pemerintahan dan ekonomi
negeri kita. Kaum Manipolis munafik juga termasuk dalam
golongan sinis ini. Mereka hanya dalam kata-kata menyatakan
menerima dan menyokong Dekon tetapi dalam praktek
menyelewengkan pelaksanaan Dekon atau “atas nama Dekon”
mengadakan tindakan-tindakan yang anti-Dekon, yang
merugikan Rakyat banyak.

Golongan kedua, adalah orang-orang sinis yang memang


ternyata tidak mengerti Dekon itu dan karena melihat di
dalamnya rumusan-rumusan yang pernah diucapkan
sebelumnya, maka menganggap bahwa tidak mengandung hal-
hal yang baru dan karena itu menganggapnya tidak berguna.
Mereka tidak mengerti bahwa Dekon merupakan dan memang
dimaksudkan pula sebagai suatu dokumen yang mencerminkan
keinginan-keinginan Rakyat banyak yang telah lama dinyatakan
dalam berbagai bentuk. Sejak tahun yang lalu, sejak keadaan
ekonomi mulai merosot dengan sangat cepat, dan khususnya
sejak pidato Tahun Kemenangan (Takem) di mana Bung Karno
menyatakan kesanggupannya untuk memberi perhatian yang
khusus terhadap tugas menanggulangi kesulitan-kesulitan
ekonomi, khususnya sandang pangan, yaitu Program pertama
dari Tripogram Pemerintah. Rakyat kita telah secara giat
membicarakan soal-soal ekonomi dan merumuskan usul-usul
mereka dalam bentuk pernyataan-pernyataan, resolusi-resolusi,
hasil-hasil berbagai seminar, konferensi-konferensi produksi
yang diadakan akhir-akhir ini dan juga di dalam dokumen-
dokumen resmi yang disusun oleh DPRGR. Jika ternyata bahwa
Dekon memang dalam banyak hal memuat usul-usul yang
diajukan oleh Rakyat dalam berbagai bentuk itu, malahan pada
pokoknya didasarkan pada usul-usul tersebut, ini sama sekali
tidak merupakan alasan untuk mencemoohkan Dekon itu dengan
mengatakan “tidak mengandung sesuatu yang baru”. Sebaliknya,
ini menggambarkan suatu kemenangan penting bagi Rakyat
Indonesia karena dengan ini berarti bahwa untuk pertama kalinya
Rakyat kita secara langsung dan aktif ikut menyusun politik
Pemerintah di bidang ekonomi, yaitu suatu bidang yang selama
ini dianggap sebagai bidang terlarang untuk Rakyat, suatu
bidang yang katanya hanya dapat dipikirkan dan
diperbincangkan oleh tenaga-tenaga ahli tertentu yang sudah
terbukti sama sekali tidak berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan
ekonomi dan keuangan selama ini.

Untuk mengambil satu contoh saja, Dekon dengan tegas


menetapkan bahwa Pemerintah tidak akan menjalankan
devaluasi atau tindakan-tindakan moneter yang drastis.
Penetapan ini benar-benar mencerminkan perasaan dan tuntutan
Rakyat yang kepentingan-kepentingannya telah berulang kali
dirugikan oleh adanya devaluasi-devaluasi serta tindakan-
tindakan moneter yang lalu. Jika sebelumnya, “ahli-ahli ekonomi”
di bidang keuangan dapat mengambil langkah-langkah yang
demikian penting itu atas kerugian Rakyat, maka untuk pertama
kalinya penolakan Rakyat terhadap devaluasi dan tindakan-
tindakan moneter yang merugikan telah dapat menentukan politik
Pemerintah. Bukankah ini merupakan kemenangan konsepsional
yang penting? Bukankah ini merupakan sesuatu yang baru,
suatu pukulan bagi pihak-pihak yang sebenarnya sudah lama
menganjurkan supaya sekali lagi dijalankan suatu devaluasi
terbuka sesuai dengan desakan Dana Moneter Internasional
(IMF) dengan maksud lebih memperkuat dominasi dolar atas
ekonomi dan keuangan Indonesia dan mengontrol serta
membikin perdagangan luar negeri kita lebih tergantung lagi
pada dolar Amerika Serikat? Tetapi ini tidak berarti bahwa kita
sudah terlalu puas dan tidak perlu waspada terhadap muslihat-
muslihat lain di bidang moneter, dan bahwa kemenangan
tersebut tidak perlu diperkuat dan dikonsolidasi lebih lanjut.
Jangan-jangan misalnya, devaluasi sudah resmi ditolak, tahu-
tahu masih terus saja diadakan perubahan-perubahan dalam
peraturan-peraturan ekspor dan impor dengan berbagai macam
transaksi kurs yang pada hakekatnya tidak lain dari pada
devaluasi yang diselimuti.

a) STRATEGI DASAR EKONOMI DAN KEBIJAKSANAAN


JANGKA PENDEK MERUPAKAN SATU-KESATUAN

Seperti diketahui, Dekon terdiri dari dua bagian; yang pertama


menentukan strategi dasar ekonomi Indonesia dan yang kedua
menetapkan kebijaksanaan jangka pendek di bidang ekonomi
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini. Dalam
menilai Dekon sangat perlu ditekankan tentang tak terpisah-
pisahkannya kedua bagian ini. Jika hal ini dilupakan, dan jika ada
tendensi untuk hanya memberi perhatian kepada kebijaksanaan
jangka pendek karena ini dianggap sebagai satu-satunya bagian
yang langsung dapat mempengaruhi keadaan ekonomi,
sedangkan strategi dasar dianggap hakekat dan arti pokok dari
pada Dekon itu. Demikian pula adalah keliru untuk meremehkan
kebijaksanaan jangka pendek dan hanya menganggap penting
strategi dasar ekonomi. Strategi dasar ekonomi hanya dapat
dilaksanakan melalui sesuatu atau beberapa kebijaksanaan
jangka pendek.
Menurut strategi dasar ekonomi Indonesia, susunan ekonomi
yang harus dibangun pada tahap pertama dari pada Revolusi
Indonesia ialah “susunan ekonomi yang bersifat nasional dan
demokratis, yang bersih dari sisa-sisa imperialisme dan bersih
dari sisa-sisa feodalisme. Tahap pertama adalah persiapan untuk
tahap kedua, yaitu tahap ekonomi Sosialis Indonesia, ekonomi
tanpa penghisapan manusia oleh manusia, tanpa ‘exploitation de
l’home par l’homme” (lihatDeklarasi Ekonomi, pasal 3).

Penegasan strategi dasar ini bukan hanya berarti bahwa tahap


pertama harus diselesaikan sebelum kita bisa mulai dengan
tahap kedua; ia juga berarti bahwa karena Sosialisme
merupakan perspektif dari pada Revolusi Indonesia, maka
langkah-langkah yang diambil untuk menyelesaikan tahap
pertama tidak boleh berlawanan atau merintangi tugas
membangun ekonomi Sosialis yang menjadi tugas tahap kedua.

Penegasan strategi dasar ekonomi Indonesia ini mempunyai


arti yang sangat penting. Sudah terlalu lama ada orang-orang
bicara panjang lebar tentang membangun Sosialisme Indonesia,
tentang membangun ekonomi Sosialis, tetapi tidak bicara tentang
mutlak perlunya ekonomi Indonesia lebih dulu dibersihkan dari
sisa-sia imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Mereka bicara
secara gagah-gagahan tentang “menghancurkan kapitalisme”,
tapi diam dalam seribu bahasa tentang menghancurkan sisa-sia
imperialisme dan feodalisme. Ini adalah sama dengan omong
kosong, karena membangun Sosialisme di dalam satu
masyarakat di mana masih terdapat sisa-sisa imperialisme dan
sisa-sisa feodalisme adalah tidak mungkin sama sekali, atau
akan merupakan “Sosialisme imperialis” dan “Sosialisme feodal”.
Malahan jika ada orang-orang berbicara mengenai membangun
Sosialisme tanpa berbicara tentang mutlak-perlunya
membersihkan ekonomi Indonesia dari imperialisme dan
feodalisme, ini pada hakekatnya berarti melindungi imperialisme
dan feodalisme atas nama “Sosialisme”.
Tentu saja, yang diperlukan bukan hanya berbicara mengenai
mutlak-perlunya membersihkan masyarakat Indonesia dari sisa-
sisa imperialisme dan feodalisme, melainkan lebih-lebih
mengambil tindakan kongkret guna membersihkan sisa-sisa itu.
Bukankah salah satu ciri orang revolusioner ialah satunya kata-
kata dengan perbuatan?

Mengapa strategi dasar ekonomi Indonesia dan kebijaksanaan


jangka pendek seperti yang dikemukakan di dalam Dekon
merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan?
Kebijaksanaan jangka pendek di bidang ekonomi adalah
langkah-langkah praktis dan segera yang harus diambil oleh
Pemerintah dan Rakyat Indonesia dalam rangka menyusun
ekonomi anti-imperialisme dan anti-feodalisme, sedangkan
kebijaksanaan jangka pendek hanya akan dapat direalisasi jika
dilakukan sesuai dengan strategi dasar, yaitu dengan berpegang
teguh pada prinsip-prinsip membersihkan ekonomi dari sisa-sisa
imperialisme dan feodalisme. Prinsip-prinsip anti-imperialisme
dan anti-feodalisme harus menjadi dasar dalam menentukan
setiap langkah di bidang kebijaksanaan jangka pendek.

Dekon selanjutnya menegaskan bahwa, “Agar tercapai


kegotongroyongan nasional berporoskan Nasakom untuk
menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi, maka perlu
diadakan pengintegrasian antara Pemerintah dan Rakyat yang
terorganisasi” dan pula bahwa pengintegrasian itu selanjutnya
dapat dicapai “dengan mengintensifkan rituling di segala bidang
dan dari Pusat sampai ke Daerah-daerah, ..., di bahwa pinpinan
saya sendiri” (Presiden Sukarno) (Lihat Dekon, pasal 34).
Penegasan-penegasan ini merupakan salah satu bagian yang
amat penting dari pada seluruh Deklarasi Ekonomi. Kalau bagian
pertama tentang strategi dasar ekonomi menetapkan rintangan-
rintangan strategis yang harus disingkirkan dalam tahap Revolusi
Indonesia sekarang ini, yaitu imperialisme dan feodalisme,
sedangkan kebijaksanaan jangka pendek menetapkan tugas-
tugas yang sangat urgen yang harus segera diselenggarakan di
bidang ekonomi, maka penegasan-penegasan tentang
kegotongroyongan nasional berporoskan NASAKOM,
pengintegrasian antara Pemerintah dan Rakyat yang
terorganisasi serta pelaksanaan ritul di bawah pimpinan Presiden
Sukarno adalah merupakan syarat-syarat mutlak guna
melaksanakan Dekon.

Gelombang sambutan sejak segera sesudah Dekon


diumumkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 28 Maret 1963
ditandai bukan hanya oleh pernyataan-pernyataan dukungan
terhadap Dekon itu melainkan lebih-lebih ditekankan di dalam
hampir setiap pernyataan sambutan bahwa syarat-syarat
pelaksanaan untuk program yang baik ini harus ada, yaitu
supaya segera dibentuk Kabinet Gotong Royong yang
berporoskan NASAKOM. Tuntutan ini mencerminkan kesadaran
dan keyakinan tekad Rakyat yang sudah lama timbul
berdasarkan pengalaman kegagalan berbagai program di bidang
ekonomi. Tentu sebab-sebab dari kegagalan-kegagalan itu
macam-macam. Ada yang disebabkan karena program-program
itu sendiri mengejar tujuan-tujuan yang tidak tepat sehingga tidak
didukung malahan dilawan oleh Rakyat dan dengan sendirinya
tidak dapat dicapai. Ada yang menetapkan tujuan-tujuan yang
tepat tetapi cara-cara yang ditentukan untuk mencapai tujuan-
tujuan itu tidak tepat, tidak berdasarkan kenyataan-kenyataan
yang kongkret, tidak berdasarkan kekuatan-kekuatan Rakyat
atau merugikan kepentingan-kepentingan Rakyat.

Dengan diumumkannya Dekon, maka Rakyat Indonesia


sekarang mempunyai program ekonomi dengan tujuan-tujuan
dan cara-cara pelaksanaannya yang tepat, yang pada pokoknya
berdasarkan kepentingan dan kekuatan Rakyat. Tetapi jika
syarat-syarat mutlak bagi pelaksanaannya, terutama di bidang
politik, tidak terwujud, maka program itu pun tidak akan berhasil
dan akan mengalami nasib yang sama dengan bermacam-
macam program ekonomi sebelumnya.
Jika saya berbicara di muka saudara-saudara, di muka para
sarjana, tentang pentingnya syarat-syarat pelaksanaannya, maka
ini berarti bahwa kita tidak mengakui adanya garis pemisah
antara dalil-dalil ilmiah dengan syarat-syarat pelaksanaan, antara
masalah ekonomi dan masalah politik. Dan bahwasanya
saudara-saudara mengundang saya untuk berbicara tentang
Dekon berarti bahwa saudara-saudara sendiri juga sama sekali
tidak berpegang pada gagasan yang palsu, yang memisahkan
soal-soal ekonomi dari soal-soal politik. Memang ada sarjana-
sarjana yang berpendapat bahwa tugas mereka terbatas kepada
merumuskan dalil-dalil, sedangkan mengenai pelaksanaan
adalah urusan kaum politisi, atau berpendapat bahwa soal-soal
ekonomi harus dipecahkan secara ekonomi dan oleh sarjana-
sarjana ekonomi, tak perlu dihubungkan dengan soal-soal politik,
tak mungkin dipecahkan oleh kaum politisi. Sarjana-sarjana yang
demikian, menurut pendapat saya berbuat bertentangan dengan
prinsip-prinsip ilmiah. Apa gunanya sesuatu dalil, betapa pun
sempurna, lengkap, indah, dan mengagumkan, jika konsepsi itu
tidak sekaligus menetapkan syarat-syarat pelaksanaannya, jika
dalil-dalil itu tidak sesuai dengan syarat-syarat yang mungkin
diciptakan, atau dengan perkataan lain jika dalil-dalil atau teori-
teori itu terpisah dari politik. Sebagaimana kita ketahui, politik
adalah pusat pencerminan dari ekonomi, atau sebagaimana
dikemukakan oleh Bung Karno bahwa kemerdekaan politik
bukanlah tujuan revolusi tetapi hanya suatu ‘jembatan emas’
atau alat untuk membangun sistem ekonomi yang membebaskan
Rakyat kita dari penghisapan dan kemiskinan. Sarjana-sarjana
memang perlu secara aktif memperhatikan dan berurusan
dengan hal-hal pelaksanaan dan dengan syarat-syarat yang
diperlukan untuk menjamin pelaksanaan sesuatu dalil. Ini berarti
benar-benar memenangkan prinsip “ilmu untuk Rakyat” dan
mengalahkan prinsip “ilmu untuk ilmu”.

Ketetapan hati yang timbul di kalangan Rakyat untuk


memperjuangkan syarat-syarat, terutama syarat-syarat politik
bagi pelaksanaan Dekon karena tidak mau melihat program
ekonomi yang baik ini mengalami kegagalan, adalah berlainan
sama sekali dengan semangat apatisme dan defaitisme yang
sengaja disebar-sebarkan oleh kaum reaksioner yang sinis.
Mereka sengaja memobilisasi contoh-contoh kegagalan dari
pada program ekonomi dan keuangan selama ini untuk
mencoba-coba meyakinkan bahwa Rakyat Indonesia tidak
mampu mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi yang sedang
menimpa negerinya. Tujuan lebih jauh ialah untuk menyebarkan
konsepsi mereka supaya kita mendasarkan usaha-usaha kita
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi pada penanaman
modal monopoli asing, pada “bantuan” ekonomi AS secara
langsung atau tak langsung dengan syarat-syarat politik anti-
NASAKOM serta anti-ekonomi terpimpin berdasarkan Manipol.
Pada hakekatnya, sinisme mereka bersumber pada penolakan
mereka terhadap prinsip-prinsip anti-imperialisme dan anti-
feodalisme yang justru menjiwai Dekon. Dekon mengharuskan
adanya semangat patriotisme dalam mengatasi kesulitan-
kesulitan ekonomi dan Dekon menetapkan bahwa kesulitan-
kesulitan itu hanya dapat diatasi dengan mendasarkan diri pada
kekayaan alam negeri kita sendiri, pada kekuatan-kekuatan dan
potensi Rakyat, pada kegotongroyongan nasional berporoskan
NASAKOM. Sedangkan bagi Rakyat justru prinsip dan semangat
ini, justru ketentuan ini membuka kemungkinan bagi berhasilnya
Dekon itu.

Yang penting bagi Rakyat sekarang ialah menjamin supaya


syarat-syarat pelaksanaannya berwujud, yaitu Kabinet Gotong
Royong yang berporoskan NASAKOM. Gagasan NASAKOM
telah terwujud di dalam banyak Lembaga Negara, yaitu di dalam
DPRGR, MPRS, MPN, MPPR, Depernas, DPA, di banyak DPRD
dan BPH. Demikian pula, NASAKOM merupakan poros di dalam
Fron Nasional yang bertugas untuk menghimpun kekuatan-
kekuatan Rakyat dan yang harus memegang peranan penting
dalam pelaksanaan Deklarasi Ekonomi. Malahan pimpinan Bank
Pembangunan Indonesia sekarang sudah berkomposisi
NASAKOM. Kenyataan-kenyataan ini merupakan kemajuan yang
penting sekali dalam perjuangan Rakyat Indonesia untuk
mencapai perubahan di lapangan sistem politik. Tetapi
kemajuan-kemajuan ini hanya akan berubah menjadi suatu
kemenangan yang pasti jika telah tercapai tuntutan Rakyat
supaya poros NASAKOM diwujudkan pula di dalam badan
eksekutif negara, yaitu di dalam Kabinet yang merupakan badan
negara yang menentukan dan yang secara langsung
bertanggung jawab atas semua tindakan pemerintahan di semua
bidang.

Negeri kita telah mencapai kemerdekaan politik yang sekarang


dilengkapi lagi dengan berakhirnya riwayat kolonialisme Belanda
di Irian Barat. Tetapi kemerdekaan politik tidak bisa penuh, ia
hanya setengah-setengah, selama kemerdekaan ekonomi belum
tercapai. Tugas terpenting di dalam tahap pertama dari pada
Revolusi Indonesia, seperti ditetapkan di dalam Dekon, ialah
untuk menyusun suatu ekonomi yang nasional dan demokratis,
atau yang bersih dari imperialisme dan feodalisme. Tugas ini
adalah sama dengan mencapai kemerdekaan ekonomi yang
berarti untuk membikin penuhnya kemerdekaan politik. Atau
dengan kata-kata lain, jika tahap pertama telah diselesaikan,
maka negeri kita akan menjadi negeri yang merdeka penuh, dan
tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus 1945 dapat diselesaikan
sampai ke akar-akarnya.

Oleh karena itu, kunci dari pada suksesnya tahap pertama itu
ialah perjuangan untuk mencapai ekonomi nasional dan
demokratis. Tetapi kunci dari pada suksesnya perjuangan ini
ialah terbentuknya kekuasaan politik yang sesuai dengan
susunan ekonomi yang harus dibangun. Jika dikatakan bahwa
Kabinet berporoskan adalah merupakan kekuasaan politik yang
sesuai dengan susunan ekonomi yang mau dibangun, ini adalah
karena poros NASAKOM merupakan jaminan bagi suatu
kekuasaan politik yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme.
Adalah tidak mungkin sama sekali untuk menyusun suatu
ekonomi yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme tanpa suatu
kekuasaan politik yang konsekuen anti-imperialisme dan anti-
feodalisme pula.

Dengan demikian jelaslah bahwa pembentukan Kabinet


Gotong Royong berporoskan NASAKOM merupakan syarat
mutlak, baik untuk tercapainya strategi dasar ekonomi Indonesia
maupun untuk berhasilnya kebijaksanaan jangka pendek. Sudah
tentu kekuasaan politik berporoskan NASAKOM ditentang keras
oleh kaum imperialis dan kaki tangan-kaki tangannya, karena
kekuasaan demikian bisa konsekuen anti-imperialis. Soalnya
sekarang ialah, mendengarkan ocehan dan gertakan imperialis
atau memenuhi tuntutan Rakyat.

b) ARTI TUGAS MEMBERSIHKAN EKONOMI INDONESIA


DARI SISA-SISA IMPERIALISME DAN FEODALISME

Saya ingin mengemukakan beberapa hal yang lebih kongkret


mengenai tugas untuk membersihkan ekonomi Indonesia dari
sisa-sisa imperialisme dan feodalisme. Dengan adanya Dekon,
maka telah ditetapkan dengan sangat tegas bahwa setiap usaha
yang diambil dalam bidang ekonomi harus dijiwai oleh prinsip-
prinsip anti-imperialisme dan anti-feodalisme. Dekon dengan
sangat tegas mengatakan bahwa sisa-sisa imperialisme dan
feodalisme harus dibersihkan, harus dikikis habis. Dibersihkan
berarti benar-benar bersih, tidak ada bekas-bekasnya. Dikikis
habis menekankan, harus habis; bukan hanya dikikis, tetapi
dikikis habis.

Ini adalah merupakan tugas yang tidak ringan yang meminta


perhatian dan perjuangan yang terus-menerus. Dan perjuangan
itu tidak akan bisa dilakukan apalagi mencapai sukses jika kita
tidak mengetahui dengan jelas lebih dahulu imperialis-imperialis
yang mana yang harus dibersihkan, dikikis habis, jika tidak
diketahui secara kongkret cara-cara yang dipergunakan oleh
imperialisme untuk mempertahankan dirinya di dalam ekonomi
kita dan untuk memperluas sayapnya atau pun untuk
memulihkan posisinya.

Setelah riwayat imperialisme Belanda di Irian Barat habis,


sedangkan posisi-posisi pokok modal Belanda telah dapat
dirombak dengan pengambilalihan perusahaan-perusahaan
Belanda (kecuali modal Belanda dalam Shell dan Unilever),
maka imperialisme yang paling berbahaya bagi Rakyat Indonesia
dan oleh karena itu menjadi musuhnya yang nomor satu, adalah
imperialisme Amerika Serikat. Imperialisme AS mempunyai
kedudukan-kedudukan penting di dalam ekonomi kita, terutama
di bidang minyak (Stanvax, Caltex). Mereka tidak hanya
memegang monopoli bersama-sama dengan modal Inggris-
Belanda (Shell) melainkan juga memperoleh hak-hak istimewa
mengenai penggunaan devisa. Minyak kita yang dikuasai oleh
mereka merupakan sumber keuntungan yang sangat besar bagi
kaum kapitalis monopoli AS. Ekspor minyak mentah setahun
rata-rata 30% dari seluruh ekspor Indonesia. Di samping itu,
imperialisme AS sudah lama mengadakan hubungan-hubungan
ekonomi dengan Indonesia dengan memberikan apa yang
dinamakan “bantuan” ekonomi kepada Indonesia (sebanyak $
639 juta sejak 1950, menurut Duta Besar AS di Jakarta, H.
Jones). Hingga sekarang, AS masih merupakan trading
partner Indonesia yang terpenting. Kita mengetahui pula bahwa
imperialisme AS sedang berusaha keras untuk memperdalam
dan memperkuat posisinya melalui “bantuan” ekonomi yang lebih
banyak dan melalui macam-macam cara penetrasi, seperti
misalnya: pengiriman “peace corps” terutama di perguruan tinggi,
keolahragaan, dan sebagainya.

Yang sangat perlu diperhatikan pada saat ini ialah usaha-


usaha imperialisme AS untuk mencampuri hal-hal ekonomi kita
melalui “bantuan ekonomi” yang mau diberikan kepada kita.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa “bantuan ekonomi”
tersebut disertai dengan berbagai syarat di bidang politik luar
negeri dan politik dalam negeri, dan diselubungi dengan apa
yang dinamakan “program stabilisasi ekonomi”. Apakah yang
menjadi tujuan-tujuan pokok dari pada “program stabilisasi
ekonomi” kaum imperialis Amerika itu? Hal ini bisa kita lihat dari
berbagai bahan yang disusun oleh kalangan-kalangan
pemerintah AS, termasuk rombongan ahli-ahli ekonomi yang
pernah berkunjung ke Indonesia dalam tahun 1961. Hal ini bisa
kita pelajari dari bahan yang terkenal dengan nama “Humphrey
Report” yang telah beredar luas sehingga sudah menjadi rahasia
umum.

“Program stabilisasi ekonomi” buatan AS itu berarti antara lain:


meniadakan arti penting serta menghentikan pelaksanaan
Ketetapan MPRS No. II mengenai Pola Pembangunan yang
bersifat anti-imperialis dan anti-feodal itu karena dianggap “tidak
mutlak”, “tidak realistis”, “terlalu ambisius” dan macam-macam
lagi; tidak meneruskan usaha-usaha untuk mencapai self-
sufficiency dalam bahan-bahan sandang pangan yang pokok,
terutama beras dan tekstil karena menurut kaum imperialis AS,
Indonesia “lebih beruntung” jika tetap membeli bahan-bahan itu
dari luar negeri; tidak membangun industri dasar; tidak
mewujudkan politik supaya negara memegang peranan
memimpin dalam ekonomi, baik mengenai sektor negara, yaitu
perusahaan negara di bidang produksi dan distribusi yang vital,
maupun mengenai peranan negara dalam memimpin
perkembangan-perkembangan ekonomi pada umumnya;
menghentikan segala usaha untuk mengendalikan harga-harga
dan membiarkan harga-harga sepenuhnya ditetapkan oleh
faktor-faktor di dalam pasaran; menaikkan pajak-pajak yang
memberatkan beban Rakyat; memperbesar penanaman modal
AS di dalam ekonomi Indonesia dengan jaminan-jaminan tentang
transfer-transfer keuntungan-keuntungan dan sebagainya;
menghentikan politik luar negeri yang anti-imperialis.
Demikianlah secara ringkas pokok-pokok “program stabilisasi
ekonomi” yang mau dipaksakan kepada Indonesia.
Deklarasi Ekonomi jika dilaksanakan sungguh-sungguh
merupakan suatu penolakan yang tegas terhadap “program
stabilisasi ekonomi” yang sedang giat dianjurkan oleh kaum
imperialis AS dan kaki tangan-kaki tangannya dalam negeri.

Beberapa minggu yang lalu kita semua dikejutkan oleh


kekurangajaran penasehat Presiden Kennedy, Jenderal Louis C.
Clay yang menganjurkan supaya Indonesia jangan diberikan
“bantuan ekonomi” sebelum Indonesia mau “menghentikan
petualangan-petualangan internasional” (maksudnya perlawanan
kita terhadap gagasan Federasi Malaysia dan terhadap
imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme pada
umumnya) dan sebelum Indonesia mau “membereskan ekonomi
dalam negeri”. “Nasehat” itu seluruhnya satu nada dengan saran-
saran yang dimuat dalam “Humphrey Report”. Bedanya hanya
bahwa “Humphrey Report” berusaha menyelimuti saran-saran
yang kurang ajar itu dengan segala macam pernyataan “setuju”
dengan ekonomi terpimpin, ekonomi gotong royong dan
sebagainya, sedangkan Jenderal Clay tidak ambil pusing dengan
kemunafikan itu dan menyatakan pendapat kaum imperialis AS
tanpa tedeng aling-aling.

Seperti sudah dikatakan di atas, tidak bisa diharapkan bahwa


kaum imperialis akan membantu kita untuk membangun suatu
ekonomi yang bersih dari sisa-sisa imperialis, akan membantu
kita untuk mengikis habis sisa-sisa imperialisme itu. Dengan ini
terasa betapa tepatnya Dekon yang menekankan bahwa dalam
mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, kita harus berlandaskan
dan berorientasi secara mutlak pada potensi dan kekuatan
Rakyat, kepada usaha-usaha untuk menggali kekayaan alam
negeri kita sendiri.

Kemerdekaan ekonomi hanya akan bisa dicapai jika prinsip ini


dipegang teguh. Betapa prinsip ini digerogoti dan diputarbalikkan
oleh kaum imperialis dapat kita lihat dari “Humphrey Report”
yang dengan tidak tahu malu, berbicara mengenai keyakinannya
tentang “kemampuan Indonesia untuk mempertahankan
kemerdekaannya melalui bantuan asing” (“Humphrey Report”).
“Kemerdekaan” di mata kaum imperialis AS berarti
ketergantungan kepada kaum imperialis AS seperti halnya dunia
merdeka” adalah dunia yang tergantung kepada mereka. Apa
yang baru saya kutip dari “Humphrey Report” membuktikan
betapa besar peranan “bantuan” AS dalam mempertahankan
“kemerdekaan” yang tergantung itu.

Selanjutnya, mengingat hal-hal yang saya gambarkan di atas,


ketetapan Dekon bahwa bila mana kekuatan-kekuatan kita
sendiri tidak mencukupi maka barulah dicari kredit-kredit luar
negeri, haruslah diartikan, bahwa, sesuai dengan dasar-dasar
ekonomi yang anti-imperialis, hanyalah negara-negara yang anti-
imperialis pula, terutama negara-negara Sosialis, bisa
diharapkan membantu kita sebagai partner yang sederajat
berdasarkan prinsip-prinsip persamaan hak dan saling
menguntungkan, bisa diharapkan membantu kita dalam
mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi dan dalam membangun
suatu ekonomi nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-
sisa imperialisme dan feodalisme. Hanya si Pandir dan kaum
Manipolis munafik yang suka omong kosong bahwa kaum
imperialis dapat membantu dalam membangun ekonomi yang
anti-imperialisme dan anti-feodalisme.

Perjuangan untuk membersihkan ekonomi kita dari sisa-sisa


imperialis memang merupakan perjuangan yang meminta
perhatian dan tenaga. Perjuangan ini harus dilakukan tidak
hanya terhadap sisa-sisa imperialis yang masih ada di dalam
ekonomi kita, melainkan pula terhadap usaha-usaha kaum
imperialis untukmemperbesar peranan mereka di dalam ekonomi
kita dengan melalui cara-cara baru, yaitu neo-kolonialisme,
dengan menggunakan sisa-sisa imperialis itu sebagai pangkalan
dan mengambil untung dari kesulitan-kesulitan ekonomi pada
dewasa ini. Jika hal itu dibiarkan, maka ini berarti bahwa sisa-
sisa itu bukannya dikikis habis, tapi malahan dikembangkan.
Jadi, dalam melaksanakan kebijaksanaan jangka pendek, sesuai
dengan strategi dasar ekonomi Indonesia, kita sudah harus
melawan neo-kolonialisme.

Dalam hubungan ini, saya merasa perlu menyinggung peranan


Dewan Moneter Internasional (IMF) di mana Indonesia masih
menjadi anggotanya. DMI itu merupakan suatu organisasi yang
pada pokoknya dimaksudkan untuk menggunakan kesulitan-
kesulitan moneter negara-negara di dunia kapitalis yang timbul
sebagai akibat adanya krisis-krisis ekonomi periodik, untuk
memaksakan politik moneter yang dianjurkan oleh DMI dan
dengan demikian memudahkan kaum monopolis AS untuk
mengontrol dan mencampuri secara intensif politik moneter
negara-negara anggota-anggota DMI.

DMI itu sebenarnya apa? DMI benar-benar merupakan


organisasi yang sepenuhnya dikuasai negara-negara imperialis,
terutama imperialisme AS. Karena jumlah suara masing-masing
anggota ditentukan menurut kuota uang seru masing-masing dan
bukan menurut prinsip “satu negara satu suara”, maka Amerika
Serikat sendiri memegang tidak kurang dari 28% dari pada suara
di dalam DMI, dan Inggris memegang 13,4%, sehingga dua
negara imperialis itu saja sudah memegang lebih dari 41% dari
pada suara di dalam DMI. Jika ini ditambah dengan negara-
negara imperialis lainnya di Eropa Barat, maka jelaslah bahwa
negara-negara imperialis itu mempunyai mayoritas yang mutlak.
Jangan ditanya mengenai persentase Indonesia dalam suara
DMI; satu setengah persen pun tidak sampai.

Tak dapat disangkal bahwa keanggotaan Indonesia di dalam


badan tersebut yang sepenuhnya dikuasai oleh “the old
established forces” sama sekali tidak sesuai dengan politik luar
negeri kita; ia juga membuka kemungkinan lebar bagi kaum
imperialis untuk ikut menentukan politik negeri kita dalam bidang
yang begitu penting, yaitu bidang moneter.
DMI itulah yang paling giat menganjurkan supaya Indonesia
suka mengadakan devaluasi. DMI itulah yang setiap tahun
mengadakan penelitian-penelitian yang dalam mengenai
keadaan devisa kita. DMI itulah yang secara terang-terangan
mau dipergunakan oleh imperialiseme AS untuk ikut memaksa
negeri kita supaya suka menjalankan “program stabilisasi
ekonomi” yang telah saya sebut tadi. DMI itulah yang sekarang
mau dipergunakan oleh kaum monopoli Belanda untuk
mendesak negara kita supaya mau membayar “ganti-kerugian
yang layak” kepada perusahaan-perusahaan Belanda yang
diambil-alih.

Bukankah semuanya ini membuktikan, bahwa DMI merupakan


salah satu “sisa imperialis” atau lebih tepat imperialis itu sendiri
yang benar-benar harus “dikikis habis”?

Sifat ketergantungan ekonomi Indonesia pada pokoknya


terletak dalam kenyataan bahwa sektor impor-ekspor masih
memegang peranan yang sangat menentukan dalam seluruh
ekonomi, terutama sebagai sumber pendapatan negara dan
sebagai sumber barang-barang konsumsi yang pokok serta
barang-barang yang diperlukan untuk berlangsungnya seluruh
sektor produksi, termasuk produksi industri. Selama sifat ini
belum diakhiri, adalah tidak mungkin untuk membangun suatu
ekonomi yang benar-benar merdeka. Untuk mencapai tujuan ini,
Dekon memberikan dasar-dasar yang sangat kokoh, yaitu
dengan menetapkan bahwa “yang harus diselenggarakan
sekarang ialah memperbesar produksi berdasarkan kekayaan
alam yang berlimpah-limpah dan meletakkan dasar-dasar untuk
industrialisasi”, dan bahwa “... kita harus mengutamakan
pertanian dan perkebunan, kita harus mementingkan
pertambangan” (lihat Dekon pasal 6), atau dalam kata-kata lain,
kita harus membangun ekonomi nasional dengan pertanian dan
perkebunan sebagai basis dan dengan industri sebagai tulang
punggung.
Di samping usaha-usaha yang mutlak perlu di dalam negeri
untuk mencapai tujuan ini, maka perubahan-perubahan dalam
struktur perdagangan luar negeri kita juga sangat dibutuhkan.
Sifat ketergantungan tersebut di atas memang timbul sebagai
akibat politik kaum kolonialis Belanda dalam
memperkembangkan hubungan-hubungan ekonomi negeri kita
dengan luar negeri yang terus-menerus mempertahankan posisi
kita sebagai sumber bahan-bahan mentah dan sebagai pasaran
barang-barang industri negara-negara kapitalis yang maju.
Hubungan-hubungan ekonomi dengan negara-negara kapitalis
yang mana pun selalu pada pokoknya mengejar tujuan-tujuan
yang demikian, karena negara-negara itu sangat berkepentingan
supaya negara-negara yang ekonominya masih terbelakang
(termasuk Indonesia) tetap menjadi pasaran bagi barang-barang
hasil industrinya sendiri karena itu berkepentingan untuk
menghampat perkembangan-perkembangan industri yang dapat
menjadi saingan bagi industri mereka sendiri.

Hubungan-hubungan dagang Indonesia dengan luar negeri


masih untuk sebagian yang terbesar sekali ditujukan ke negara-
negara kapitalis. Di samping hal-hal di atas, ini juga berarti
bahwa ekonomi kita selalu sangat dipengaruhi oleh naik-
turunnya tingkat kegiatan ekonomi di negeri-negeri kapitalis yang
makin sering dilanda oleh krisis. Oleh karena itu semua,
perubahan-perubahan fundamental dalam struktur perdagangan
luar negeri memegang peranan penting dalam mencapai
ekonomi yang bersifat nasional-demokratis, ekonomi progresif.
Seperti dinyatakan di dalam Dekon, maka “pelayanan kepada
keperluan pertumbuhan ekonomi dan lalu lintas barang antara
lain dicerminkan ... dalam hubungan ekonomi dengan dunia luar
untuk memperkuat politik bebas dan aktif ...” (Dekon pasal 23).
Dekon juga dengan sangat tepat menekankan tentang
bahayanya blok-blok ekonomi (yang dimaksudkan dengan ini
ialah khususnya Pasaran Bersama Eropa) karena “menimbulkan
diskriminasi di lapangan perdagangan antar negara, dan dengan
demikian memperkuat dominasi ekonomi dari ‘the old established
forces”. Selanjutnya, dinyatakan pula bahwa “Pemerintah
berusaha untuk menghilangkan diskriminasi itu, yang tidak hanya
menghambat kelancaran perdagangan internasional, akan tetapi
yang di samping itu terlebih-lebih menekankan perkembangan
pembangunan ekonomi di negara-negara yang baru saja
memasuki alam kemerdekaan”. (pasal 10).

Dengan demikian, Dekon memberi petunjuk-petunjuk yang


sangat jelas mengenai politik perdagangan luar negeri Republik
kita. Satu-satunya dasar yang kokoh bagi politik perdagangan
luar negeri kita ialah memperluas hubungan-hubungan ekonomi,
khususnya hubungan-hubungan dagang dengan “the new
emerging forces” berdasarkan prinsip-prinsip persamaan dan
saling menguntungkan, terutama dengan negara-negara
Sosialis. Belakangan ini, di samping Indonesia, sudah banyak
negara-negara Asia-Afrika yang menentang Pasaran Bersama
Eropa karena tindakan-tindakan diskriminasi kaum monopolis
Eropa Barat terhadap negara-negara bukan anggota PBE yang
sangat merugikan negara-negara yang ekonominya terbelakang.
Adalah sama sekali tidak tepat pikiran sementara orang bahwa
satu-satunya cara untuk mengatasi diskriminasi negara-negara
kapitalis, terutama PBE, ialah dengan mengadakan semacam
asosiasi dengan PBE itu atau malahan untuk menjadi
anggotanya. Ini berlawanan sama sekali dengan tujuan-tujuan
menghapuskan sifat ketergantungan ekonomi kita. Dalam
hubungan ini perlu diperhatikan bahwa ide supaya Indonesia
berasosiasi dengan atau mejadi anggota PBE ternyata menjadi
idam-idaman kaum kapitalis monopoli Belanda yang sedang
berusaha menyusup kembali ke dalam ekonomi Indonesia.

Kalau di bidang olah raga saja kita sudah bersemboyan


“games of the new emerging forces” (Ganefo), maka di bidang
perdagangan luar negeri sudah lebih dari pada semestinya jika
kita bersemboyan “trade with the new emerging forces”.
Semboyan ini dengan sendirinya berarti bahwa Indonesia
seharusnya menghentikan perdagangannya dengan negara
kapitalis, tetapi ia menggambarkan orientasi yang
seharusnya dikembangkan dalam hubungan-hubungan dagang
berdasarkan prinsip-prinsip persamaan hak dan saling
menguntungkan. Hanya perdagangan luar negeri yang
berorientasi kepada “the new emerging forces” dan tidak pada
“the old established forces” seperti yang berlaku sekarang ini,
dapat merupakan sendi kuat bagi usaha-usaha kita untuk
menciptakan suatu ekonomi nasional yang benar-benar
merdeka.

c) MENGIKIS HABIS SISA-SISA FEODALISME

Demikian beberapa pokok mengenai pelaksanaan Dekon yang


khususnya berhubungan dengan tugas mengikis habis sisa-sisa
imperialisme. Di samping tugas itu, Dekon juga menetapkan
tugas untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme sebagai
rintangan strategis dalam tujuan kita pada tahap pertama ini
untuk membangun suatu ekonomi yang nasional dan demokratis.
Memang benar demikian. Adanya sisa-sisa feodalisme yang
masih merajalela dalam ekonomi Indonesia bukan hanya
merupakan dasar sosial dari pada imperialisme – dan oleh
karena itu memang sengaja dipertahankan dan dipupuk oleh
kaum kolonialis Belanda – ia juga merupakan penghambat dalam
membangun ekonomi yang berindustri di mana sektor pertanian
menjadi basis yang kokoh dan bukan sumber kemiskinan dan
penghisapan kolonial dan feodal seperti halnya sekarang.

Jika saya katakan bahwa sektor pertanian (di samping


perkebunan) harus menjadi basis dari pada ekonomi negeri kita,
ini berarti bahwa sektor pertanian harus dapat menyediakan
bahan-bahan pokok, khususnya pangan. Sektor pertanian harus
dikembangkan begitu rupa sehingga tidak hanya mampu untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri, melainkan juga untuk dapat
diekspor dan dengan demikian menghasilkan devisa untuk
membeli barang-barang modal serta lain-lain kebutuhan industri.
Selama sektor pertanian belum mampu memegang peranan ini,
negeri kita akan terus-menerus tergantung kepada impor untuk
sebagian dari bahan-bahan pangan dan tidak akan bisa
memperbesar daya penghasilannya supaya dapat mencukupi
kebutuhan-kebutuhan kita dalam masa pembangunan.

Penghambat yang terpokok dalam mencapai tujuan-tujuan ini


ialah justru masih bercokolnya sisa-sisa feodalisme, yang harus
disapu bersih itu. Sisa-sisa feodalisme yang pada pokoknya
berupa sistem monopoli pemilikan tanah oleh tuan tanah-tuan
tanah merupakan sebab utama mengapa produksi pertanian di
negeri kita masih sangat terbelakang.

Dekon dengan tepat menyebut Undang-Undang Perjanjian


Bagi-Hasil dan Undang-Undang Pokok Agraria landasan-
landasan terpenting dalam menanggulangi persoalan ekonomi.
Kedua Undang-Undang ini disokong dan dituntut
pelaksanaannya oleh PKI. Undang-Undang Perjanjian Bagi-Hasil
memberi kemungkinan bagi kaum tani untuk memperoleh
sebagian yang lebih besar dari pada hasil tanaman mereka,
sedangkan Undang-Undang Pokok Agraria ditujukan untuk
membatasi pemilikan tanah tuan tanah-tuan tanah. Kedua
Undang-Undang ini merupakan alat yang penting dalam tangan
kaum tani, khususnya bagi tani miskin dan tani tak bertanah,
untuk mengurangi penghisapan feodalisme. Adanya dua
Undang-Undang ini merupakan langkah-langkah penting dalam
memobilisasi kaum tani untuk berjuang melawan sisa-sisa
feodalisme dan untuk menuntut langkah-langkah yang lebih
radikal lagi guna mengakhiri sama sekali sisa-sisa feodalisme,
yaitu melalui suatu landreform atau perubahan tanah yang
benar-benar mengikis habis sisa-sisa feodalisme.

Undang-Undang Pokok Agraria berbeda dengan Program


Agraria PKI. UU Pokok Agraria hanya bertujuan untuk
membatasi penghisapan feodal agar dapat menguntungkan
kaum tani, sedangkan Program Agraria PKI menuntut pensitaan
tanah tuan tanah serta pembagian tanah tuan tanah itu kepada
kaum tani, terutama tani miskin dan buruh tani, dengan cuma-
cuma.

Yang sangat penting pada waktu ini ialah untuk menjamin


supaya kedua Undang-Undang tersebut, dilaksanakan dengan
konsekuen dan benar-benar dapat diselesaikan pelaksanaannya
tepat pada waktunya. Ternyata bahwa pelaksanaan Undang-
Undang Pokok Agraria berjalan dengan sangat lambat.
Manipulasi banyak terjadi, negara ditipu oleh tuan tanah-tuan
tanah dengan secara formal membagi-bagi tanah-tanah yang
luas kepada anggota-anggota keluarga yang bukan penggarap.
Dari tanah lebih dan tanah-tanah lain seluas kira-kira 1 juta Ha
yang harus dibagikan sebelum akhir tahun ini, belum 1% yang
telah selesai dibagikan. Selain dari pada itu, cara membagikan
tanah lebih sering tidak sesuai dengan penetapan Undang-
Undang, sehingga yang menerima tanah lebih itu malahan sering
kali adalah keluarga tuan tanah sendiri yang bukan
penggarap. Semuanya ini dimungkinkan, karena operasi yang
dijalankan bukan operasi radikal. Selanjutnya, perlu dicatat
bahwa syarat-syarat pembayaran sering sangat memberatkan
kaum tani yang menerima tanah lebih sehingga di beberapa
daerah mereka merasa lebih beruntung dengan pelaksanaan
Undang-Undang Perjanjian Bagi-Hasil karena memperoleh
bagian yang lebih besar dari hasilnya dari pada jika harus
membayar cicilan untuk tanah lebih yang mereka dapat. Kaum
tani telah menyambut baik pernyataan Mentri Agraria dan
Pertanian beberapa minggu yang lalu, yang menjanjikan bahwa
pembagian tanah lebih dalam rangka UUPA akan selesai
dilaksanakan sebelum akhir tahun ini. Bagi kaum tani tidak jelas
langkah-langkah apa yang akan diambil oleh Menteri, tetapi
karena sesuai dengan kepentingannya, kaum tani telah
menyatakan kesanggupannya untuk berjuang terus guna
menjamin suksesnya pelaksanaan UUPA tepat pada waktunya.
Sikap ini adalah sangat sesuai dengan Dekon.
Sampai sekarang, masih banyak sekali rintangan yang dialami
kaum tani dalam perjuangannya untuk melaksanakan kedua
Undang-Undang ini, karena ternyata bahwa aparatur
pemerintahan di daerah-daerah yang diserahi tugas dalam hal ini
masih banyak mewakili kepentingan-kepentingan tuan tanah. Di
samping itu, kaum kapitalis birokrat ternyata sekarang makin
banyak terjalin kepentingan-kepentingannya dalam
mempertahankan sisa-sisa feodalisme sebagai sumber
penghisapan bagi mereka sendiri. Oleh karena itu, kaum tani
dalam perjuangannya melawan sisa-sisa feodalisme harus
melakukan perjuangan yang terus-menerus melawan kaum
penghisap besar, yaitu kaum kapitalis birokrat, komprador, dan
tuan tanah.

Dalam hubungan dengan hal ini, memang di kalangan sarjana-


sarjana tertentu terdapat pendapat bahwa pemilikan tanah feodal
pada umumnya tidak merupakan persoalan di Indonesia dan
dengan demikian mereka berusaha membantah pendirian bahwa
di Indonesia terdapat sisa-sisa feodalisme yang kuat. Kaum tani
sendiri yang mengalami penghisapan feodal setiap hari telah
memberi jawaban yang tepat terhadap pendapat yang sangat
keliru ini dengan mengadakan berbagai bentuk aksi terhadap
tuan tanah. Saya berpendapat, bahwa para sarjana juga dapat
memberikan sumbangannya yang berharga sekali dalam ikut
mengadakan penelitian mengenai hubungan agraria, dilihat baik
dari segi ekonomi maupun dari segi sosial dan kebudayaan.
Dengan demikian, para sarjana akan bisa ikut secara aktif dalam
pekerjaan besar untuk melaksanakan Deklarasi Ekonomi.

d) PERANAN SEKTOR KOPERASI DAN SEKTOR SWASTA

Sebelum saya mengakhiri bagian pertama dari ceramah ini


mengenai strategi dasar ekonomi Indonesia, saya ingin memberi
beberapa penjelasan mengenai ketentuan Dekon yang
menyatakan bahwa: “Dalam perjuangan untuk menyelesaikan
tahap nasional dan demokratis ini, maka sudah tibalah waktunya
untuk mengerahkan segenap potensi, baik potensi Pemerintah
maupun potensi koperasi dan swasta (nasional dan domestik)
dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan untuk meningkatkan
produksi dan menambah penghasilan Negara”. (Lihat Dekon
pasal 5). Ini berarti bahwa pada tahap pertama revolusi kita,
ekonomi harus terdiri dari tiga sektor, yaitu sektor negara yang
memegang posisi komando, sektor koperasi dan sektor swasta.

Umumnya sudah ada pengertian yang boleh dikatakan merata


mengenai posisi memimpin yang harus dipegang oleh sektor
negara. Yang masih sering kurang jelas ialah fungsi serta posisi
dari pada sektor koperasi dan sektor swasta. Adakalanya kedua
sektor itu hanya dibedakan dalam arti bentuk yuridis dari pada
perusahaan yang bersangkutan. Koperasi sering dianggap
sebagai salah satu bagian dari pada sektor swasta; bahkan tidak
sedikit “koperasi” yang sebenarnya adalah gabungan
perusahaan-perusahaan swasta yang menyalahgunakan nama
koperasi guna memperoleh fasilitas.

Pengertian ini adalah keliru. Sektor koperasi justru mempunyai


suatu fungsi tertentu yang sangat berbeda dengan sektor
swasta, yaitu untuk mempersatukan Rakyat pekerja menurut
lapangan penghidupannya masing-masing dan untuk
menghambat proses diferensiasi antara produsen-produsen
kecil, dan melalui persatuan dan kerja sama ini Rakyat pekerja
dapat mengurangi penghisapan tuan tanah, lintah darat, tukang
ijon, tengkulak, dan kapitalis-kapitalis atas diri mereka. Dengan
demikian, sektor koperasi membantu Rakyat pekerja, terutama
kaum produsen kecil untuk membela diri terhadap penghisapan
feodal dan terhadap penghisapan kapitalis. Tugasnya terbatas
pada mengurangi penghisapan dan bukan menghapuskannya.
Penghisapan baru dihapuskan pada tahap kedua, yaitu dalam
ekonomi Sosialis. Tetapi sektor swasta dengan sendirinya tidak
mempunyai tugas untuk mengurangi penghisapan, apalagi untuk
menghapuskannya. Tugas sektor swasta ialah untuk
menghimpung “funds and forces” nasional dan domestik dalam
melawan imperialisme dan feodalisme. Penghisapan masih tetap
terjadi di sektor swasta. Yang perlu bagi kaum buruh ialah
memperoleh atau memperluas hak-hak demokrasinya untuk
membela kepentingan-kepentingannya dalam batas-batas yang
tidak merugikan perjuangan melawan musuh bersama seluruh
Rakyat, yaitu imperialisme dan feodalisme.

Dalam menghambat proses diferensiasi antara produsen kecil,


maka koperasi dengan demikian menghambat lahirnya kapitalis-
kapitalis baru atas kerugian mereka yang ekonominya lebih
lemah. Jika ini berhasil, maka koperasi dapat membawa
produsen-produsen kecil langsung menuju ke koperasi-koperasi
Sosialis setelah tahap pertama revolusi selesai. Demikianlah
fungsi dari pada sektor koperasi pada tahap pertama, yaitu tahap
untuk menyusun ekonomi nasional dan demokratis.

Dengan penjelasan ini, maka menjadi teranglah bahwa bentuk-


bentuk koperasi yang terpenting ialah koperasi kredit untuk
melepaskan produsen kecil dari cengkeraman tukang-tukang ijon
dan lintah darat, koperasi produksi untuk meningkatkan produksi
pertanian, perikanan, atau kerajinan tangan, dan koperasi jual-
beli untuk membela kepentingan-kepentingan bersama produsen
kecil dalam marketing dan dalam memperoleh bahan-bahan
yang mereka perlukan bagi usaha-usaha produktif mereka.
Koperasi-koperasi yang demikian memegang peranan yang
penting dalam usaha-usaha untuk mempertinggi produksi
sehingga sangat sesuai dengan tujuan Dekon dalam mengatasi
kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini.

Di samping itu, kaum buruh dan pegawai juga sangat


membutuhkan koperasi konsumsi guna melindungi kepentingan-
kepentingannya sebagai konsumen dan melawan kenaikan-
kenaikan harga.
Demikian secara singkat mengenai sektor koperasi pada
tingkat revolusi sekarang. Sekarang beberapa penjelasan
mengenai sektor swasta.

Ada orang yang merasa sangat heran mengapa PKI


menyetujui adanya sektor swasta, dan malahan merasa curiga,
apakah ini bukan suatu tipu muslihat yang lihai. Perlu saya
menyatakan dengan tegas di sini bahwa PKI tidak hanya
menyetujui adanya sektor swasta (nasional dan domestik) tetapi
malahan menganjurkannya. Dan sikap ini bukanlah sikap baru
bagi PKI, ia merupakan sikap yang tegas dinyatakan dalam
Program Umum PKI yang disyahkan oleh Kongres Nasional V
PKI yang dilangsungkan dalam tahun 1954 dan yang kemudian
diperkuat lagi oleh Kongres Nasional VI (1959), yaitu sebagai
berikut:

“Ekonomi Indonesia di samping mengutamakan ekonomi


sektor negara yang memimpin, tidak seharusnya menentang
industri dan perdagangan yang diselenggarakan oleh kaum
kapitalis nasional, melainkan terus dengan konsekuen
menentang ekonomi kaum imperialis dan feodal. Proteksi dan
fasilitas harus diberikan kepada kapitalis-kapitalis nasional, untuk
berkembang dalam batas-batas yang tidak dapat menguasai
kehidupan Rakyat dan negara, dan di samping itu ekonomi
individual Rakyat pekerja harus dibantu”.

Menurut PKI, persoalannya dalam ekonomi Indonesia ialah


bukannya bahwa terdapat terlalu banyak kapitalis-kapitalis
nasional atau pengusaha-pengusaha nasional, tetapi sebaliknya,
masih terlalu sedikit. Kaum pengusaha nasional terutama
mereka yang berusaha di bidang industri, harus diajak untuk
mengerahkan potensi-potensinya dalam membangun suatu
ekonomi yang anti-imperialis dan anti-feodal. Kaum pengusaha
nasional sangat berkepentingan dalam usaha-usaha untuk
mengakhiri sisa-sisa imperialisme dan sisa-sisa feodalisme,
sebab kedua-duanya merupakan halangan besar, halangan
strategis, bagi perkembangan industri-industri nasional.

Sisa-sisa imperialisme sangat membatasi perkembangan


industri dalam negeri karena kaum imperialis berkepentingan
untuk tetap memelihara negeri kita sebagai pasaran bagi hasil-
hasil industri mereka sendiri, sedangkan sisa-sisa feodalisme
merupakan penghalang terpenting dalam mencapai kesatuan
pasaran nasional yang stabil yang merupakan syarat mutlak bagi
perkembangan industri nasional. Oleh karena itu, secara obyektif
kaum pengusaha nasional, terutama pengusaha-pengusaha
industri memang dapat diajak ikut serta dalam perjuangan
Rakyat Indonesia melawan sisa-sisa imperialisme dan
feodalisme itu.

Kaum pengusaha nasional terutama dapat memainkan


peranan yang penting dalam membangun sektor industri yang
justru sangat lemah sebagai akibat politik kolonial. Dengan
demikian, kaum pengusaha nasional dapat membantu dalam
menaikkan taraf produksi yang merupakan kunci bagi kita untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi pada dewasa ini. Dengan
adanya industri nasional yang giat, maka makin banyaklah
bahan-bahan mentah hasil kita sendiri yang akan bisa diolah di
dalam negeri, makin besar kemungkinan untuk mengurangi
impor barang-barang industri, dan makin luas lapangan kerja
bagi kaum buruh. Pada saat ini, mengerahkan potensi swasta
seperti yang ditetapkan dalam Dekon, harus berarti khususnya
membuka kembali kemungkinan-kemungkinan bagi industri
nasional yang sudah ada untuk mencapai kegiatan-kegiatan
pada tingkat kapasitas penuh, mengingat bahwa ada
perusahaan-perusahaan yang sudah terpaksa tutup atau bekerja
pada tingkat kapasitas yang sangat rendah karena kekurangan
atau tidak adanya bahan-bahan baku yang mereka perlukan,
yang terlalu sering merupakan obyek spekulasi, terutama oleh
kaum kapitalis birokrat. Di samping itu, ia harus berarti pula
melindungi industri-industri yang sudah ada, memberikan
fasilitas-fasilitas yang lebih luas kepada mereka serta
memungkinkan dibangunkannya industri-industri baru dengan
mempergunakan modal nasional dan domestik.

Dalam menentukan sikap kita terhadap sektor swasta, selalu


perlu diingat, seperti ditegaskan pula di dalam Dekon, bahwa
perspektif dari pada Revolusi Indonesia adalah Sosialisme dan
bukan kapitalisme. Ini berarti bahwa sektor swasta harus
memegang peranan sebagai pembantu sektor negara dan
bahwa ia tidak mempunya perspektif untuk berkembang menjadi
kapitalisme monopoli yang menguasai seluruh kehidupan
ekonomi. Mendorong perkembangan swasta nasional sama
sekali tidak berarti membiarkan kapitalis-kapitalis komprador
yang hidup dari jasa-jasa mereka dalam memelihara hubungan
erat dengan kaum imperialis, dan juga tidak dimaksudkan untuk
membiarkan kapitalis-kapitalis birokrat yang justru merupakan
salah satu penghambat bagi perkembangan industri nasional.

Selanjutnya, perlu juga ditekankan bahwa kaum imperialis


sangat menentang adanya sektor negara yang memimpin di
dalam ekonomi kita, sudah dan akan terus berusaha untuk
mendapatkan partner-partner mereka dalam sektor swasta guna
melakukan penetrasi ekonominya di negeri kita. Oleh karena itu,
dari kaum pengusaha nasional sangat diharapkan semangat
patriotisme, semangat menolak untuk memainkan peranan kaki-
tangan imperialis, peranan menghambat penyelesaian Revolusi
Agustus 1945.

Sektor swasta nasional yang patriotik hanya akan bisa


berkembang jika di antara sektor itu dengan sektor negara
terdapat hubungan yang erat dan yang saling membantu.
Pemerintah membantu sektor swasta dengan memberikan
fasilitas-fasilitas, perlindungan, pesanan-pesanan, dan lain
sebagainya, sedangkan sektor swasta membantu sektor Negara
dengan mengerahkan seluruh potensinya untuk membangun
industri nasional, dalam mempertinggi produksi nasional dan
dalam menyediakan lapangan kerja yang lebih luas. Perlu ada
ketetapan yang jelas tentang bidang-bidang bergerak bagi
swasta nasional dan bidang mana yang hanya terbuka bagi
negara saja.

Demikian beberapa pokok yang ingin saya kemukakan


mengenai strategi dasar ekonomi Indonesia seperti ditetapkan
dalam Deklarasi Ekonomi. Dari uraian ini, dapat kita simpulkan
secara kongkret sebagai berikut: Usaha-usaha untuk mencapai
susunan ekonomi yang anti-imperialis dan anti-feodal, untuk
mencapai susunan ekonomi yang progresif, harus dilakukan
dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan mereka yang
mewakili dan membela imperialisme dan sisa-sisa feodalisme,
yaitu dengan mengorbankan kepentingan-kepentingan kaum
penghisap besar di kota-kota dan di desa-desa, atau
kongkretnya tuan tanah-tuan tanah, kapitalis-kapitalis birokrat,
dan kaum komprador, dan dengan membela kepentingan-
kepentingan Rakyat. Kemampuan seseorang untuk secara ikhlas
dan sungguh-sungguh melaksanakan Dekon harus diukur
berdasarkan kesungguhannya dalam melakukan tugas ini.

II

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM MELAKSANAKAN


KEBIJAKSANAAN JANGKA PENDEK

Di dalam bagian kedua dari pada ceramah ini, ingin saya


mengemukakan beberapa pandangan mengenai hal-hal yang
perlu mendapatkan perhatian khusus dalam melaksanakan
kebijaksanaan jangka pendek. Pertama-tama saya ingin
menekankan kepada tiga hal yang harus menjadi pegangan bagi
setiap usaha Pemerintah dalam rangka kebijaksanaan jangka
pendek ini:
Pertama, langkah-langkah yang diambil tidak boleh
bertentangan, malahan harus sepenuhnya sesuai dengan
prinsip-prinsip anti-imperialisme dan anti-feodalisme, sesuai
dengan strategi dasar ekonomi Indonesia dan ini berarti
merealisasikan tujuan untuk membersihkan sisa-sisa
imperialisme dan feodalisme. Jadi, tidak boleh memperkokoh
posisi ekonomi kaum imperialis dengan jalan membuka pintu
bagi penanaman modal monopoli asing secara klasik atau
secara neo-kolonialisme.

Kedua, faktor yang paling menentukan dalam mengatasi


kesulitan-kesulitan ekonomi dewasa ini, dan dalam
melaksanakan kebijaksanaan jangka pendek ialah usaha-usaha
untuk menaikkan tingkat produksi dengan berorientasi pada
tenaga produktif yang pokok, yaitu kaum buruh dan kaum tani. Ini
harus berarti bahwa tidak boleh ada tindakan-tindakan yang
merugikan tenaga-tenaga produktif itu, karena ini dengan
sendirinya akan berarti bertentangan dengan tujuan untuk
mencapai kenaikan produksi.

Ketiga, usaha-usaha untuk mengatasi kesulitan-kesulitan


ekonomi dewasa ini harus berdasarkan mobilisasi kekuatan dan
potensi Rakyat dengan menciptakan kegotongroyongan nasional
berporoskan NASAKOM di segala bidang, dan menggali serta
mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia sendiri. Merehabilitasi
semua potensi ekonomi yang ada dan menggunakan segala
dana rupiah dan devisa yang ada atau bisa disediakan secara
efektif dengan mencegah pemborosan serta memberantas salah
urus di segala bidang ekonomi dan keuangan.

Dekon dengan secara tepat mengemukakan prinsip yang


harus dipegang dalam menghadapi persoalan-persoalan
ekonomi seperti inflasi, kekurangan devisa, dsb dengan
mengatakan sebagai berikut: “Keadaan yang mendesak ini tidak
dapat diatasi sebagai masalah yang berdiri sendiri, lebih-lebih
tidak mungkin kita mengatasinya hanya dengan tindakan
moneter konvensional belaka. Sebaliknya, tidak ada jalan mudah
yang dapat mengangkat kita dari impase sekarang ini, kecuali
atas dasar menggerakkan segenap potensi dan kekuatan Rakyat
sesuai dengan konsepsi integral menanggulangi persoalan
ekonomi nasional kita”. (lihat Dekon pasal 13).

Dengan demikian, Dekon dengan tegas menolak pandangan


sementara orang, termasuk pula ahli-ahli ekonomi Indonesia
tertentu yang masih berpegang pada teori-teori liberal dan
borjuis, bahwa kesulitan-kesulitan ekonomi yang kita hadapi
sekarang adalah merupaka “vicieuse cirkel” atau lingkaran yang
tak berujung pangkal. Pandangan ini saya anggap sangat perlu
perhatian sarjana-sarjana progresif, terutama sarjana-sarjana
ekonomi. Berpegang pada pandangan “vicieuse cirkel” berarti
beranggapan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi
kesulitan ekonomi desawa ini ialah dengan mengundang
penanaman modal serta “bantuan” ekonomi dari negara-negara
imperialis. Berpegang pada pandangan ”vicieuse cirkel” berarti
beranggapan bahwa hanya tindakan-tindakan teknis moneter
yang drastis saja yang akan mampu mengakhiri keadaan kritis
pada dewasa ini, yaitu tindakan-tindakan yang merugikan Rakyat
dan menguntungkan modal monopoli asing karena memperkuat
posisi dolar di dalam ekonomi kita.

Sikap yang diambil di dalam Dekon seperti saya kutip di atas


merupakan dasar yang yang kuat bagi usaha-usaha
menyelesaikan kesulitan-kesulitan ekonomi sesuai dengan
semangat patriotisme, sesuai dengan penolakan dan perlawanan
terhadap neo-kolonialisme yang selalu siap pada seitap saat
untuk “membantu” kita keluar dari “vicieuse cirkel” dan dengan
demikian memasukkan kita ke dalam perangkap mereka.

Kebijaksanaan jangka pendek pada pokoknya berkisar di


sekitar usaha-usaha untuk dengan selekas mungkin
menyediakan pangan yang cukup, terutama beras, dan untuk
menyediakan bahan-bahan baku dan penolong serta spare
parts bagi industri dan sektor produksi. Dua hal itu ditentukan
sebagai prioritas utama dalam jangka waktu 2 tahun ini. Dekon
juga menetapkan bahwa dua hal tersebut harus dibiayai dengan
kekuatan kita sendiri, dan hanya “bila mana itu tidak mencukupi,
maka barulah dicarikan kredit-kredit luar negeri dengan syarat-
syarat sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Ketetapan
MPRS No. II, tahun 1960” (lihat Dekon pasal 30).

Ada pihak yang menarik kesimpulan bahwa Dekon merupakan


semacam program 2 tahun. Ini sama sekali tidak benar.
Kesimpulan semacam ini menunjukkan bahwa Dekon sama
sekali tidak dipahami. Dekon adalah merupakan program untuk
menyelesaikan Revolusi Indonesia tahap pertama. Program
untuk menyelesaikan revolusi dengan sendirinya tidak bisa diikat
dengan waktu. Ini tergantung seluruhnya dari keadaan obyektif
serta imbangan kekuatan.

a) TENTANG “IRON STOCK” BERAS

Dekon menetapkan bahwa “Pemerintah harus mempunyai dan


menguasai 'Iron stock' beras” (pasal 30). Ini pada pokoknya
berarti bahwa Pemerintah harus dapat menguasai persediaan
dan distribusi beras pada umumnya. Maksud-tujuan “Iron stock”
ialah untuk dapat mempunyai pasaran beras guna mencegah
kenaikan harganya. “Iron stock” dipergunakan untuk mengakhiri
perdagangan gelap beras dan untuk memungkinkan seluruh
Rakyat membeli beras yang dibutuhkannya dengan harga resmi.
Jadi, maksudnya ialah untuk menurunkan kembali ongkos-
ongkos hidup yang sudah sedemikian tinggi itu.

Karena hal ini merupakan sesuatu yang perlu diselenggarakan


dengan segera, maka usaha-usaha ke arah tujuan ini harus
meliputi tindakan-tindakan jangka pendek untuk dengan segera
menaikkan produksi pangan, terutama beras. Hal yang demikian
memerlukan fasilitas-fasilitas segera kepada kaum tani, untuk
membantu usaha-usaha produktif mereka, dan terutama
mendirikan Dewan-Dewan Produksi di mana kaum tani yang
terorganisasi diikutsertakan. Dalam rangka ini pula, perlu segera
diambil tindakan-tindakan untuk mengakhiri rintangan-rintangan
yang dihadapi oleh kaum tani, khususnya rintangan-rintangan
yang timbul karena penguasa-penguasa daerah yang berwatak
feodal atau kapitalis birokrat.

Sumber “iron stock” beras yang paling tepat ialah dari produksi
beras dalam negeri dan ini dengan sendirinya berarti bahwa di
samping usaha-usaha untuk mensukseskan target kenaikan
produksi padi harus pula diadakan peninjauan kembali secara
seksama mengenai pembelian padi pemerintah yang mengalami
kegagalan dalam tahun yang lalu.

Karena kesimpangsiuran yang sangat merajalela di bidang


statistik, maka kita menghadapi kenyataan bahwa angka yang
dapat dipercaya mengenai produksi padi dalam tahun 1962 tidak
ada. Yang ada ialah angka Biro Pusat Statistik yaitu 17,8 juta
ton, angka Komisi Juned (Menteri Riset Nasional) yaitu 18,3 juta
ton dan angka Departemen Agraria dan Pertanian 19,8 juta ton
dan 20,1 juta ton. Entah yang mana yang benar, tetapi yang jelas
ialah bahwa semua angka ini tidak ada satu yang mencapai
target produksi padi untuk tahun 1962 seperti yang ditetapkan
oleh MPRS yaitu 20,4 juta ton. Program “self-supporting beras”
telah diakui suatu kegagalan dan Padi Sentra ternyata telah
menjadi sentra-sentra korupsi dan ketidakberesan yang sangat
merugikan.

Saya berpendapat bahwa bidang statistik masih dihinggapi


kesimpangsiuran serta cara-cara mengumpulkan statistik
ternyata masih berdasar metode-metode kaum kolonialis
Belanda dulu dengan sama sekali mengabaikan pengalaman
tenaga-tenaga produktif sendiri, khususnya kaum tani dan kaum
buruh di pabrik-pabrik. Hal yant tidak memuaskan ini patut
mendapat perhatian yang serius dari pada sarjana Indonesia.
Perencanaan dan penelitian tanpa statistik adalah laksana
membikin kue tanpa bahan-bahan. Tetapi lebih celaka lagi ialah
perencanaan dan penelitian dengan statistik yang salah, sebab
perencanaan dan penelitian semacam itu dapat dipastikan akan
meleset dari sejak semula. Mudah-mudahan para sarjana akan
berhasil dalam ikut memperbaiki keadaan yang tidak
memuaskan di bidang statistik ini, dan akan mengadakan
penelitian bersama-sama dengan tenaga-tenaga produktif, untuk
mengumpulkan bahan-bahan statistik yang benar, khususnya di
bidang produksi pangan. Ini akan merupakan suatu sumbangan
kongkret yang sangat berguna bagi pelaksanaan Deklarasi
Ekonomi.

Seperti halnya dengan program kenaikan produksi padi, maka


pembelian padi pemerintah juga telah mengalami kegagalan,
karena kaum tani sebagai produsen padi ternyata tidak diajak
untuk berunding mengenai penetapan jatah yang masuk akal
dan mengenai harga yang pantas. Sedangkan pada umumnya
tidak dijalankan usaha-usaha untuk melaksanakan pembayaran
dengan cara-cara yang mudah dan cepat dengan disertai usaha-
usaha efektif dalam membantu kaum tani untuk membeli
kebutuhan-kebutuhannya dengan harga pantas, seperti misalnya
garam, ikan asin, minyak tanah, tekstil, alat-alat pertanian,
pupuk, dan sebagainya. Di beberapa daerah Pemerintah belum
melunasi harga-harga padi yang dikumpulkan dari kaum tani.

Pada pokoknya kegagalan-kegalan yang dialami dalam


mencapai kenaikan produksi beras dan dalam melaksanakan
pembelian padi pemerintah disebabkan karena usaha-usaha itu
tidak didasarkan secara kokoh pada tenaga produktif di sektor
pertanian, yaitu kaum tani. Saya berpendapat, bahwa lebih-lebih
dari pada di bidang-bidang lain, ketentuan Dekon mengenai
mutlak perlunya “menggerakkan segenap potensi dan kekuatan
Rakyat” harus dijalankan dengan konsekuen di bidang produksi
pangan, khususnya padi. Potensi dan kekuatan Rakyat akan bisa
digerakkan di bidang pertanian jika kepentingan-kepentigan
kaum tani dibela dan kepentingan-kepentingan kaum tuan tanah
serta kapitalis birokrat dikorbankan. Ini merupakan hal yang
sangat urgen, ini merupakan syarat mutlak untuk mencapai
kenaikan produksi, untuk mensukseskan program pembelian
padi dan untuk menjamin adanya “iron stock” beras ada
beberapa tafsiran yang mengartikan hal ini sebagai anjuran
untuk memperoleh beras itu. Saya tidak membantah bahwa
dalam keadaan yang sangat mendesak di mana terdapat
kekurangan-kekurangan beras sehingga mengganggu
kelancaran roda ekonomi, maka impor beras menjadi suatu
keharusan. Tetapi menggantungkan diri pada impor beras saja
tidak merupakan jalan keluar yang tepat. Malahan jika perhatian
terlalu banyak diarahkan ke sana, sektor pertanian kita sendiri
dapat mengalami kerugian-kerugian besar. Setiap kali
Pemerintah mengimpor beras, ini berarti suatu kegagalan di
bidang produksi dalam negeri, karena masih terlalu banyak
devisa digunakan untuk keperluan konsumtif sehingga
mengorbankan sektor produktif. Kita semua mengetahui bahwa
dalam waktu akhir-akhir ini impor beras telah mencapai volume
yang sangat besar, yaitu 1,3 juta ton dalam tahun yang lalu.
Apakah dengan demikian persoalan pangan telah diatasi? Sama
sekali tidak! Malahan sebaliknya! Volume impor beras telah
mencapai rekor dalam tahun 1962, tetapi kekacauan dalam
persediaan dan distribusi beras juga telah mencapai rekor dalam
tahun itu!

Dalam hubungan dengan persoalan ini, saya ingin pula


menyebut suatu pendapat yang sangat keliru tentang
pengaruhnya sesuatu inflasi terhadap pertanian. Menurut ahli-
ahli ekonomi tertentu, sesuatu inflasi dianggap hanya merugikan
golongan-golongan yang berpenghasilan tetap, yaitu kaum buruh
dan pegawai, sedangkan tenaga produktif di bidang pertanian
tidak mengalami kerugian-kerugian karena, katanya, harga
penghasilan mereka selalu disesuaikan dengan kenaikan harga
yang terjadi dalam rangka inflasi itu. Teori ini dipergunakan untuk
menyebarkan ide bahwa kaum tani Indonesia tidak mengalami
kesulitan-kesulitan sebagai akibat inflasi pada saat ini.
Pandangan ini adalah sangat keliru dan sama sekali
mengabaikan kenyataan bahwa di sektor pertanian kita masih
terdapat sisa-sisa feodalisme yang berat. Seandainya halnya
memang demikian, saya rasa Rakyat Indonesia yang lebih-
kurang 70% hidup dari pertanian, tidak akan begitu berkeberatan
jika terjadi inflasi sebab, menurut teori itu, yang rugi hanya
sebagian kecil saja.

Pandangan ini hanya berlaku terhadap tuan tanah dan tani


kaya, tetapi sama sekali tidak berlaku terhadap kaum tani miskin
dan mereka yang tidak mempunyai tanah sama sekali, yaitu
buruh tani, sedangkan jumlah tani miskin dan buruh tani justru
meliputi bagian terbesar dari pada mereka yang hidup di desa.
Tani miskin dan buruh tani mengalami kesulitan-kesulitan yang
amat besar karena hampir semua kebutuhan mereka harus
dibeli, termasuk pula beras. Kaum tani di pedusunan di Jawa dan
Madura telah mengalami kenaikan harga yang sangat berat
sekali sejak tahun 1960 seperti yang dapat dilihat dari index
harga 12 barang makanan pokok dan barang-barang tekstil di
daerah pedusunan, sebagai berikut:

Tahun 12 bahan Tekstil


makanan pokok
1960 388 926
1961 1243 836
1962
1910 1176
(Maret)

Sumber: BPS. (1953 = 100)

Di samping itu, sistem distribusi barang sandang-pangan yang


sedikit atau banyak mulai berjalan di beberapa kota besar,
walaupun dengan berbagai kemacetan, sama sekali tidak
dijalankan di desa-desa. Kaum tani juga menjadi sasaran
tengkulak-tengkulak lama dan tengkulak-tengkulak baru alias
kapitalis-kapitalis birokrat yang dengan tepat sudah dinyatakan
oleh kaum tani sendiri sebagai “tikus kaki dua”.

Kaum tani juga mengalami kesulitan-kesulitan yang sangat


besar karena makin rusaknya seluruh aparatur pengangkutan
termasuk jalan-jalan. Ada berita misalnya di salah satu daerah di
Sumatera Selatan yang banyak menghasilkan bahan-bahan hasil
ekspor bahwa satu-satunya cara yang tinggal untuk mengangkut
hasil-hasil mereka itu ialah dengan tenaga manusia saja.

Teori atau lebih tepat dikatakan “dongengan” mengenai tidak


ruginya kaum tani di waktu inflasi ini, sebenarnya hanya
meneruskan kebohongan yang suka disebarkan oleh kaum
kolonialis Belanda dulu bahwa Rakyat Indonesia umumnya tidak
menderita di waktu krisis ekonomi karena selalu bisa ditampung
oleh desa. Orang-orang atau sarjana-sarjana yang masih
percaya pada dongengan-dongengan ini perlu “turun ke bawah”
untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa
kemelaratan di desa-desa pada saat ini.

Inflasi justru memperkuat posisi ekonomi kaum tuan tanah dan


kaum penghisap lainnya di desa-desa dan membikin lebih berat
lagi kehidupan kaum tani, terutama tani miskin dan buruh tani.
Kenyataan ini harus diperhitungkan dalam menetapkan langkah-
langkah untuk menaikkan produksi pangan.

b) USAHA-USAHA UNTUK MEMULIHKAN KEMBALI


APARAT PRODUKSI

Tujuan kedua dari pada kebijaksanaan jangka pendek ialah


untuk “menyempurnakan aparat produksi yang ada, untuk
mempertahankan dan mempertinggi tingkat produksi masa
sekarang ini”. Tugas ini, disamping tugas untuk menyediakan
“iron stock” beras, dinyatakan harus diberi prioritas utama dalam
waktu-waktu tahun ini. Kedua tugas ini dimaksudkan “supaya
dapat memperbesar daya-produksinya, sehingga dengan
demikian di dalam waktu jangka pendek itu dapat dijamin
bertambahnya peredaran barang di dalam masyarakat sebagai
imbangan dari pada beredarnya uang” (Dekon pasal 30).

Penegasan ini berarti bahwa prinsip pokok dari pada Dekon


dalam menanggulangi kesulitan-kesulitan ekonomi ialah untuk
mencapai kenaikan tingkat produksi. Penegasan ini adalah
sangat penting dan harus dijadikan dasar bagi setiap langkah
yang mau diambil. Kongkretnya, prinsip ini berarti bahwa pada
pokoknya, mulai dengan diucapkannya Dekon, setiap tindakan di
bidang eknomi dan di bidang politik pada umumnya harus
ditinjau dari sudut: apakah tindakan itu mendorong produksi
ataukah sebaliknya, menghambat produksi; apakah tindakan itu
menguntungkan tenaga-tenaga produktif, ataukah sebaliknya,
merugikan tenaga-tenaga produktif.

Dekon menetapkan bahwa usaha-usaha untuk memulihkan


aparat produksi harus pada tingkat pertama dipusatkan kepada
memperlancar kembali persediaanspare parts dan bahan-bahan
baku/penolong. Sudah diketahui secara umum betapa sektor
industri serta sektor pengangkutan menghadapi kemacetan-
kemacetan yang sangat mendalam pada saat ini karena
kekurangan spare parts dan bahan-bahan baku/penolong.
Walaupun tidak ada suatu angka yang menyeluruh mengenai
tingkat produksi di sektor industri pada umumnya, saya rasa
tidak berlebih-lebihan jika diperkirakan bahwa industri dalam
negeri pada saat sekarang hanya bekerja rata-rata 25% dari
pada kapasitas penuhnya.

Adalah suatu kenyataan bahwa negeri kita masih tergantung


kepada luar negeri untuk persediaan-persediaan spare parts dan
bahan-bahan baku/penolong, walaupun dapat diketahui pula
bahwa bukan hanya persediaan bahan-bahan baku dari luar
negeri yang mengalami kemacetan-kemacetan dewasa ini. Pun
bahan-bahan baku yang terdapat di dalam negeri sangat kurang,
atau distribusinya macet karena dijadikan obyek spekulasi.
Sedangkan di mana telah diambil tindakan-tindakan yang
dimaksudkan untuk mengatasi kemacetan-kemacetan dan
ketidakberesan itu, seperti misalnya dengan sistem pengawasan
ban-ban yang baru-baru ini, ternyata mempunyai efek yang justru
sebaliknya, yaitu lebih memacetkan bidang-bidang yang sudah
demikian macetnya itu.

Ketergantungan sektor produksi kepada luar negeri


untuk spare parts tersebut berarti bahwa tugas pokok dari pada
sektor impor pada dewasa ini harus ditekankan pada melayani
kebutuhan-kebutuhan tersebut. Di samping pembelian bahan-
bahan konsumsi pokok yang masih harus diimpor, sektor impor
harus dikerahkan khususnya untuk mendatangkan kebutuhan-
kebutuhan sektor produksi. Dalam hubungan ini, Dekon juga
menegaskan bahwa kita harus “mengurangi sejauh mungkin
impor bahan-bahan lux” (Dekon pasal 30).

Saya anggap hal ini sangat penting dalam rangka menjaga


kebebasan kita di bidang impor bahan-bahan baku dan spare
parts. Telah diketahui bahwa kaum imperialis AS, Belanda, dan
lain-lain telah siap untuk “membantu” kita dalam mengatasi
kesulitan-kesulitan spare parts tersebut. Misalnya, dalam bulan
Pebruari yang baru lalu, telah ditandatangani persetujuan kredit
dengan AS sebesar $17 juta khususnya untuk spare parts dan
bahan-bahan penolong. Kaum imperialis ternyata melihat bidang
ini sebagai suatu kemungkinan yang baik untuk mengikat
ekonomi kita secara lebih efektif kepada ekonomi mereka dan
mengabadikan posisi mereka sebagai sumber barang-barang
keperluan industri. Ini berarti bahwa, lebih di sektor ini, kita harus
berusaha untuk membiayai impor barang-barang tersebut
dengan penghasilan devisa kita sendiri dan sejaum mungkin
tidak dengan kredit-kredit dari negara-negara kapitalis yang
disertai syarat-syarat yang merugikan Indonesia.

Di samping kekurangan impor, persediaan bahan-bahan


baku/penolong juga sangat dikacaukan karena berbagai
penyelewengan dan korupsi serta manipulasi di bidang distribusi.
Benang menjadi obyek korupsi dan manipulasi, ban mobil
menjadi obyek korupsi dan manipulasi, semen menjadi obyek
korupsi dan manipulasi. Ya, tak ada satu bahan pun yang tidak
dikorupsi dan dimanipulasi oleh kaum kapitalis birokrat. Ini berarti
bahwa tindakan-tindakan untuk memberantas korupsi dan meritul
tukang-tukang salah urus adalah sangat erat hubungannya
dengan tugas untuk menaikkan tingkat produksi.

c) DEKONSENTRASI DALAM SOAL MANAJEMEN

Salah satu ketentuan dalam Dekon yang perlu mendapat


perhatian ialah mengenai akan diadakannya dekonsentrasi
dalam manajemen. Hal ini dikemukakan karena dirasakan
betapa kurang baik berjalannya pengurusan atau manajemen
pada saat ini khususnya di dalam perusahaan-perusahaan
negara, sehingga salah urus itu sangat mengakibatkan
kemacetan-kemacetan di segala lapangan.

Memang dapat dimengerti bahwa jika “sistem manajemen”


terlalu terpusat, maka ekonomi kita yang meliputi suatu daerah
yang sangat luas dengan jaringan komunikasi yang pada
umumnya sangat kurang, akan menghadapi berbagai kesulitan
dan kemacetan. Salah satu prinsip yang sangat penting dalam
hal pengurusan ekonomi sektor negara ialah supaya mereka
yang bertanggung jawab terhadap satu perusahaan atau di
dalam satu perusahaan terhadap satu bagian, cabang atau
daerah, diberi otoritas atau wewenang serta tanggung jawab
perseorangan yang cukup karena hanya dengan demikian,
perusahaan atau cabang-cabang yang bersangkutan akan bisa
berjalan dengan lancar. Tentunya, tanggung jawab tersebut
harus sepenuhnya dilakukan sesuai dengan garis-garis atau
kebijaksanaan umum dan tidak boleh diartikan sebagai
ketentuan yang membuka kemungkikan bagi orang-orang untuk
secara sesuka-sukanya menentukan langkah-langkah yang
bersifat kedaerahan yang sempit atau hanya menguntungkan
kepentingan pribadi si manajer sendiri.
Dalam menetapkan perlu adanya dekonsentrasi dalam
manajemen, Dekon dengan tepat menekankan bahwa ini harus
dijalankan “dengan tidak mengorbankan Indonesia sebagai suatu
kesatuan ekonomi dan politik”, bahwa dekonsentrasi itu
dimaksudkan berlaku hanya “mengenai sesuatu hal, yang hanya
mengenai daerah atau wilayah cabang itu sendiri”, dan bahwa
dekonsentrasi ini “tidak berarti mengorbankan sentralisasi dalam
perencanaan (planning) dan pengawasan (control) terakhir, yang
ada di tangan pihak pusat”. Juga ditekankan bahwa
“dekonsentrasi dalam manajemen tidak dimasukkan dalam
otonomi lokal” (pasal 24).

Syarat-syarat ini memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa


dekonsentrasi hanya ditujukan kepada mencapai efisiensi dalam
menjalankan perusahaan-perusahaan dan dimaksudkan untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan teknis karena keadaan geografis
serta kekurangan-kekurangan perhubungan yang terdapat pada
saat ini. Dekonsentrasi sama sekali tidak boleh mengurangi
kesatuan ekonomi dan politik nasional dan oleh karena itu sangat
bertentangan dengan usaha-usaha kaum separatis khususnya
kaum pemberontak PRRI-Permesta beberapa tahun yang lalu
yang memang sengaja mempergunakan keluh kesah Rakyat di
daerah-daerah tertentu serta kesulitan-kesulitan komunikasi
antara daerah dan pusat untuk mencapai maksud-maksudnya
yang jahat dalam menghancurkan Republik Kesatuan kita.

Perlu saya kemukakan pula bahwa penetapan mengenai


dekonsentrasi itu tidak berarti bahwa salah urus hanya terjadi
karena manajemen terlalu banyak dipusatkan di Jakarta.
Ketentuan Dekon ini sama sekali tidak mengurangi konstatasi
bahwa faktor terpenting dalam pengurusan ialah manusianya,
dan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami oleh perusahaan-
perusahaan atau bank-bank negara di daerah-daerah pada
pokoknya disebabkan oleh karena banyaknya orang yang salah
duduk. Dari pengalaman dapat diketahui bahwa banyak sekali
pemimpin-pemimpin perusahaan-perusahaan negara di daerah
merupakan orang-orang yang tidak cakap, yang tidak jujur, dan
tidak Manipolis sehingga mereka mudah diperalat oleh kalangan-
kalangan tertentu untuk kepentingan-kepentingannya sendiri.

Kalau seandainya salah duduk dan salah urus hanya


menimbulkan inefisiensi dan kelalain, mungkin tidak seberapa
jelek pengaruhnya terhadap ekonomi. Tetapi yang kita hadapi
ialah salah duduk dan salah urus yang mengakibatkan
penyalahgunaan kekayaan negara, pencolengan, korupsi, dan
pemborosan secara besar-besaran. Karena itu, salah duduk dan
salah urus, apalagi di tempat-tempat yang jauh dari pengawasan
pusat, harus segera diakhiri.

Dekonsentrasi pengurusan atau manajemen berarti bahwa


lebih dari pada sebelumnya, faktor manusia harus diperhatikan.
Jika orang-orang yang tidak cakap dan tidak jujur membikin
segalanya kacau dalam keadaan di mana pusat mempunyai
wewenang yang besar, orang-orang itu akan lebih-lebih sangat
membahayakan jika mereka diberi wewenang yang luas. Dapat
kita bayangkan bahwa dekonsentrasi bisa berarti suatu “jaman
emas” untuk tukang-tukang salah duduk dan salah urus itu.

Dekonsentrasi harus berarti bahwa lebih dari pada


sebelumnya harus sedera dilakukan ritul, sesuai dengan apa
yang ditetapkan dalam Dekon.

d) PERUBAHAN-PERUBAHAN DALAM SISTEM


PERPAJAKAN

Apa yang ditetapkan dalam Dekon mengenai perpajakan


merupakan suatu kemajuan yang sangat penting. Dekon
menolak sistem perpajakan yang lama karena sistem itu
berpokok kepada pajak-pajak langsung dan tidak langsung yang
pada umumnya sangat memberatkan Rakyat. Sistem perpajakan
itu yang sampai saat ini masih tetap berlaku, merupakan satu
aspek yang tak bisa dipisahkan dari sifat ekonomi kita sebagai
ekonomi yang tergantung, di mana ekspor dan impor memegang
peranan yang menentukan, di mana keuangan negara masih
bersandar kepada pajak-pajak langsung dan tidak langsung
semata-mata. Malahan perpajakan masih dianggap oleh ahli-ahli
ekonomi tertentu sebagai “instrumen pembangunan yang
utama”. Dekon menetapkan tiga prinsip baru mengenai
perpajakan, yaitu “(a) untuk memberikan dorongan kepada
inisiatif produsen guna memperluas dan memperbesar produksi
mereka; (b) untuk meratakan akumulasi modal dalam
pembangunan secara kesuluruhan, dan (c) untuk mendapat
kepastian supaya perusahaan-perusahaan Negara merupakan
sumber terpenting dalam mengumpulkan modal guna
pertumbuhan selanjutnya” (pasal 27).

Prinsip pertama dalam mengubah sistem perpajakan harus


menetapkan politik pajak yang berpegangan pada prinsip dari
Rakyat kembali ke Rakyat dan dengan sendirinya politik fiskal
pada umumnya tidak boleh menghambat kegiatan produksi dan
menambah berat beban penghidupan Rakyat. Politik keuangan
harus mengabdi pada produksi dan tidak sebaliknya seperti
halnya sekarang ini di mana produksi mengabdi, atau lebih tepat,
dikorbankan karena politik keuangan dan fiskal yang keliru.
Sampai saat ini, cara-cara yang dipergunakan untuk memperoleh
kenaikan penerimaan negara ialah melalui kenaikan tarif pajak,
kenaikan harga, dan juga melalui macam-macam pajak baru,
seperti komponen harga, meerwinst, dan sebagainya. Cara-cara
demikian itu biasanya dibenarkan, juga
dalamtextbooks mengenai politik fiskal kapitalis, karena
administratif gampang; tetapi segi yang paling gampang dari
cara-cara itu bisa pindah efeknya kepada para konsumen, yaitu
Rakyat, terutama Rakyat pekerja. Kenaikan pendapatan pajak-
pajak langsung dan tidak langsung harus dicapai bukan dengan
cara itu melainkan melalui perkembangan ekonomi yang sehat.
Bertambahnya kegiatan ekonomi dengan sendirinya akan
bertambah penerimaan negara dari pajak.
Penegasan Dekon bahwa usaha-usaha untuk menaikkan
penghasilan negara harus berpegang pada prinsip untuk “tidak
menambah beban Rakyat banyak” (Dekon pasal 31) berarti
bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh Perusahaan Listrik
Negara hanya tiga hari sesudah Dekon diucapkan, yang
menaikkan tarif listrik dengan 300%, sangat bertentangan
dengan Dekon. Ini memperlihatkan betapa perlu dilakukan
perjuangan yang terus-menerus untuk menjamin supaya Dekon
dilaksanakan secara konsekuen dan untuk melawan setiap
tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Dekon.

Politik perpajakan yang memberikan dorongan kepada inisiatif


produsen juga berarti bahwa bagi mereka (pengusaha-
pengusaha swasta) yang bersedia mempergunakan kekayaan
secara produktif (di bidang produksi) perlu diberikan
kelonggaran-kelonggaran pajak serta lain-lain fasilitas untuk
berkembang, karena kemudian, jika tingkat produksi telah
meningkat maka penerimaan dari mereka melalui pajak akan
menjadi lebih besar dari pada sebelum usaha-usaha produktif itu
dimulai. Kelonggaran-kelonggaran itu dapat merupakan
dorongan penting bagi kegiatan-kegiatan produktif secara umum.

Prinsip kedua yang ditetapkan dalam Dekon, yaitu untuk


meratakan akumulasi modal, merupakan prinsip yang sangat
penting. Karena pajak-pajak pada saat ini untuk sebagian besar
didapat dari Rakyat, maka dengan sendirinya akumulasi modal
adalah sangat tidak merata dan sangat memberatkan Rakyat.
Orang-orang yang memperoleh keuntungan-keuntungan besar
dari inflasi bisa menghindari pembayaran pajak bukan hanya
karena kelicikan mereka sendiri tetapi juga karena sistem
perpajakan pada saat ini memang tidak menampung tambahan-
tambahan besar dalam kekayaan seseorang. Selain dari pada
itu, pajak-pajak yang diambil dari Rakyat justru akhirnya lebih
memperkaya orang-orang itu, yaitu uangnya keluar dari kantong
Rakyat yang begitu tipis untuk masuk ke kantong-kantong OKB-
OKB yang sudah begitu gemuk. Prinsip, dari Rakyat pekerja ke
OKB-OKB harus diganti dengan dari Rakyat pekerja kembali
kepada Rakyat pekerja, dan juga, selama OKB-OKB masih ada
di tenga-tengah kita, dari OKB-OKB ke Rakyat pekerja. Keadaan
inflasi sudah pasti sangat merugikan Rakyat karena harga
barang-barang melonjak dengan cepat, penghasilan riil Rakyat
makin tertekan rendah. Kaum kapitalis birokrat, modal monopoli
asing, semuanya bertambah untung dan kaya dalam keadaan
inflasi sedangkan Rakyat pekerja bertambah miskin dan
bertambah papa-sengsara.

Dengan demikian Rakyat pekerja memikul dua beban yang


sangat berat, yaitu keadaan inflasi itu sendiri dan di samping itu
sistem perpajakan yang sangat tidak merata, sedangkan OKB-
OKB sama sekali bebas dari beban-beban itu.

Keadaan yang demikian juga terdapat di desa-desa di mana


tuan tanah-tuan tanah menerima penghasilan yang semakin
besar dengan adanya kenaikan harga hasil bumi, sedangkan
penghasilan mereka itu umumnya terlepas dari pajak. Sebaliknya
kaum tani bertambah miskin.

Prinsip ketiga dalam Dekon dalam mengubah sistem


perpajakan sebenarnya merupakan kunci bagi politik fiskal di
dalam sesuatu ekonomi nasional dan demokratis yang mau kita
bangun. Sektor ekonomi negara harus menjadi sumber
terpenting bagi pendapatan negara. Ini harus dicapai melalui
kenaikan kegiatan atau intensitas perusahaan-perusahaan
negara di berbagai sektor dan tidak melalui kenaikan tarif atau
harga. Dengan demikian, setingkat demi setingkat sumber
pendapatan negara dan pembiayaan pembangunan bisa kita
kurangi dari sektor perpajakan yang sekarang meliputi lebih dari
30 jenis macam pajak dan mengubah prinsip tersebut sehingga
pendapatan negara terutama bersumber pada perkembangan
ekonomi sektor negara. Ambillah sebagai misal perusahaan
seperti DKA. Jika kapasitas operasi DKA dinaikkan maka tanpa
adanya kenaikan harga karcis atau tarif kereta api, penerimaan
negara akan meningkat, dan ini akan memungkinkan pula
bertambahnya penanaman modal baru sehingga terjadi lagi
kenaikan kapasitas, dan seterusnya. Tetapi sebaliknya, dengan
memperkecil operasi DKA seperti halnya sekarang, perusahaan
itu dengan sendirinya tambah mengalami kerugian.

Pada saat ini, perlu dikonstatasi bahwa perusahaan-


perusahaan negara bukannya hanya tidak merupakan sumber
penerimaan negara, tetapi malahan sebaliknya, mereka
merupakan beban finansial bagi Pemerintah karena banyaknya
kredit yang terus-menerus diberikan kepada mereka sedangkan
hasilnya sama sekali tidak seimbang. Dalam hubungan ini,
Dekon menyatakan bahwa perangsang-perangsang (incentives)
akan diberikan kepada PN-PN yang dapat mengurangi
penggunaan kredit. Ini tentunya tidak mengurangi perlunya ritul
secara intensif untuk mengakhiri salah urus yang sangat
merajalela di bidang perusahaan-perusahaan negara pada saat
ini dan yang menjadi sebab utama dari pada pemborosan dan
pencolengan kekayaan perusahaan-perusahaan itu yang hidup
dari kredit bank-bank negara. Maka dari itu, ritul juga merupakan
syarat mutlak untuk mencapai prinsip ketiga yang ditetapkan
dalam Dekon dalam mengubah sistem perpajakan.

Mengenai kenyataan bahwa Dekon dalam membicarakan


perangsang-perangsang kepada perusahaan-perusahaan
negara, khususnya menyebut perusahaandagang negara (PDN-
PDN), ada yang mengartikan ini sebagai usaha untuk menganak-
emaskan PDN-PDN. Tetapi ini bisa juga diartikan sebagai tanda
bahwa justru PDN-PDN itu yang paling tidak beres dalam hal
memutar modal dengan jumlah kredit yang besar; ini bisa juga
diartikan bahwa justru PDN-PDN yang perlu diritul!

Bagian yang mengenai perangsang kepada eksportir dalam


Dekon tidak boleh disalahtafsirkan dan tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan lain dalam Dekon yang menolak devaluasi dan
tindakan-tindakan yang bersifat “moneter konvensional”. Pada
hakekatnya yang terpenting adalah perangsang kepada
produsen barang-barang ekspor dengan menutup kerugian
rupiah yang dialami oleh produsen akibat disparitas antara harga
penjualan produsen (ongkos produksi
ditambahwinstmarge tertentu) dengan harga luar negeri. Di
samping itu ekspor didorong maju melalui perluasan pasar
dunia, upgrading (peningkatan dari pada kwalitas),
pemberantasan penyelundupan-penyelundupan dengan lebih
intensif lagi, perluasan ekspor dengan kelebihan-kelebihan
barang jadi hasil pengolahan sendiri bahan-bahan mentah. SIVA
yang sekarang ini mengacaukan harga di semua bidang supaya
dihapuskan dan untuk mengatasi keadaan yang sulit sekarang ini
Presiden sebagai mandataris MPRS supaya mengambil
tindakan-tindakan agar Pemerintah menyelenggarakan ekspor
dan impor.

Selanjutnya mengenai politik keuangan, Dekon juga


menetapkan bahwa “menaikkan penghasilan negara... harus
dicapai dengan menggali sumber-sumber baru serta
mengintensifkan penggalian sumber-sumber lama, dan dengan
tidak menambah beban Rakyat banyak”. Dinyatakan pula bahwa
“penyusunan Anggaran Negara... ditujukan untuk menjamin
terlaksananya kebijaksanaan jangka pendek ini dan pelaksanaan
Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana” (pasal 31).
Prinsip-prinsip ini berarti bahwa Anggaran Belanja harus benar-
benar di-Manipolkan atau di-Dekonkan. Pokok pangkal dalam
menetapkan anggaran harus terletak pada tingkat pembangunan
yang perlu dicapai dengan memperhitungkan kemungkinan-
kemungkinan secara realistis, dan kemudian anggaran
pendapatan disesuaikan dengan pokok itu. Di samping itu,
anggaran rutin yang pada saat ini dipisahkan dari anggaran
pembangunan harus diabdikankepada anggaran pembangunan
itu, dan tidak sebaliknya, yaitu anggaran rutin menjadi pokok dan
anggaran pembangunan hanya memperoleh sisa-sisa saja atau
menjadi embel-embel saja.
Dalam menetapkan usaha-usaha pembangunan yang perlu
diberikan prioritas, di samping prioritas-prioritas utama yang
diberikan kepada kebijaksanaan jangka pendek seperti
ditetapkan dalam Dekon, maka Dekon memperkuat
memorandum MPRS tanggal 5 Januari 1963 mengenai hal
tersebut. Skema prioritas MPRS memberi prioritas secara umum
kepada usaha-usaha yang pasti akan menambah pendapatan
nasional. Selanjutnya ditetapkan bahwa proyek-proyek yang
akan mengatasi kemerosotan ekonomi dan keuangan, terutama
proyek-proyek sandang pangan harus dilaksanakan, dan juga
proyek untuk perkembangan industri yang sudah committed. Di
samping itu diberi prioritas pula kepada semua proyek dasar
untuk perkembangan faktor produksi tenaga kerja serta kepada
proyek-proyek infrastruktur yang sudah committed dan yang
diperlukan untuk menyukseskan proyek-proyek lain yang diberi
prioritas. Selanjutnya MPRS telah menekankan bahwa proyek-
proyek B, yaitu proyek-proyek yang harus menjadi sumber
pembiayaan, harus diteruskan, dengan tidak membatasi proyek-
proyek itu kepada 8 jenis proyek yang khusus disebut dalam
Pola Pembangunan Semesta. Tekanan pada saat ini harus
diberikan kepada quickyielding projects, yaitu proyek-proyek
yang bisa menambah pendapatan nasional dalam waktu yang
pendek.

e) PRODUCTION-SHARING DAN KREDIT LUAR NEGERI

Deklarasi Ekonomi, dalam menyebut kemungkinan-


kemungkinan untuk menjalankan “production-sharing”,
mengulani kembali prinsip-prinsip yang terpenting, yaitu
bahwa production-sharing “pada hakekatnya merupakan kredit
dari luar negeri untuk melaksanakan sesuatu proyek, yang akan
dibayar dengan sebagian dari hasil yang diperoleh proyek
tersebut; milik dan pimpinan harus tetap di tangan pihak
Indonesia” (pasal 23).
Sedangkan mengenai kredit luar negeri, Dekon menyatakan
bahwa: Pembiayaan untuk menyukseskan politik ekonomi jangka
pendek tersebut di atas, harus dapat diusahakan sebagai berikut:
(a) dengan kekuatan funds and forces nasional (termasuk
domestik) kita sendiri; (b) bila mana ini tidak mencukupi maka
baru dicarikan kredit luar negeri, dengan syarat-syarat sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam Ketetapan
MPRS No. II, tahun 1960” (lihat pasal 32).

Prinsip-prinsip production-sharing sudah ditetapkan secara


tegas di dalam “Pernyataan Presiden/Panglima Besar Komando
Tertinggi Operasi Ekonomi mengenai Pinjaman atau kredit atas
dasar Production-Sharing” tertanggal 3 Agustus 1962.
Pernyataan itu dengan tegas menolak adanya penanaman modal
asing, sesuai dengan Ketetapan MPRS No. II tahun 1960. Jadi,
sudah sangat jelas bahwa production-sharing merupakan kredit
atau pinjaman di mana kekhususannya terletak dalam cara
membayar kembali kredit yang bersangkutan, yaitu dari hasil
produksi proyek yang bersangkutan. Ia sama sekali tidak boleh
diartikan atau dipraktekkan sebagai penanaman modal
asing dalam berbagai bentuk di mana pihak yang menanam
modalnya bisa secara diam-diam main di belakang layar
pimpinan atau manajemen nasional dan malahan merasa lebih
aman karena “sifat nasionalnya” proyek bersangkutan memberi
perlindungan terhadap “bahaya-bahaya” akan terjadinya
nasionalisasi atau pengambilalihan yang selalu begitu ditakuti
oleh modal monopoli asing.

Usaha-usaha untuk mensalahtafsirkan prinsip-


prinsip production-sharing sebagai penanaman modal asing
bukanlah suatu fantasi atau kekhawatiran yang tak beralasan.
Jika kita membaca “Humphrey Report” yang terkenal itu maka
ternyata bahwa justru inilah yang menjadi pegangan kaum
imperialis AS serta kalangan-kalangan tertentu di negeri kita
yang ternyata telah memberikan penjelasan-penjelasan yang
sedemikian rupa sehingga dikatakan bahwa: “Penanaman modal
asing diterima (maksudnya, oleh Indonesia) dalam bentuk
persetujuan-persetujuan production-sharing atau kontrak-kontrak
dengan perusahaan-perusahaan lokal, baik milik pemerintah
atau pun swasta”. (“Humphrey Report”). Sedangkan yang
dengan tegas ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia ialah,
bahwa “pemilikan harus di tangan Indonesia” dinyatakan di
dalam “Humphrey Report” sebagai “dilution of ownership” atau
“pemilikan campuran”. Demikianlah pengertian AS
tentangproduction-sharing. Demikianlah bahayanya jika
persetujuan-persetujuan production-sharing mau diadakan
dengan modal AS atau pun modal dari lain-lain negara kapitalis!

Dengan adanya Dekon yang mempertegas kembali bahwa


hanyalah kredit-kredit luar negeri yang dapat diterima, maka
menjadi lebih mendesak lagi supaya Undang-Undang
Penanaman Modal Asing tahun 1958 segera dibatalkan sesuai
dengan tuntutan-tuntutan Rakyat. Pembatalan Undang-Undang
tersebut sangat dibutuhkan untuk menutupi setiap kemungkinan
atau landasan legal bagi kaum rekasi dalam begeri dan kaum
imperialis di luar negeri untuk melakukan penanaman modal
dalam bentuk production-sharing.

Penetapan prinsip-prinsip production-sharing memang


merupakan suatu kemenangan bagi Rakyat Indonesia, dan tidak
boleh terjadi bahwa secara diam-diam, prinsip-prinsip itu
disalahgunakan sehingga justru memungkinkan sesuatu yang
paling ditentang, yaitu penanaman modal asing. Baru-baru ini
oleh Pemerintah diumumkan bahwa suatu kontrak telah
ditandatangani dengan modal Cathay di Hongkong untuk
melaksanakan proyek-proyek berdasarkan production-
sharingdalam bidang usaha-usaha yang sangat luas. Berita itu
menimbulkan berbagai pertanyaan. Pertama-tama, apakah benar
bahwa proyek-proyek yang bersangkutan memang masuk dalam
prioritas-prioritas seperti yang telah ditetapkan oleh MPRS?
Apakah benar bahwa seandainya proyek-proyek itu memang
bersifat prioritas, ia tidak dapat dibiayai dengan “funds and
forces” nasional dan domestik? Bagaimana syarat-syarat dari
pada kredit itu? Apakah syarat-syarat itu benar-benar menjamin
bahwa pemilikan dan pimpinan berada di tangan Indonesia?

Timbulnya keragu-raguan ini memang wajar, karena kaum


kapitalis di negara-negara asing memperlihatkan reaksi yang
begitu antusias mengenai production-sharing. Malahan pernah
dirumuskan oleh Ketua Panitia Production-Sharing bahwa tak
kurang dari 20 negara telah menunjukkan perhatiannya
terhadap production-sharing. Prinsip-prinsip production-
sharing memang baik dan pada pokoknya sesuai dengan
pendirian Rakyat Indonesia dalam hal kredit luar negeri. Tetapi
kita tidak boleh terlalu naif dalam hal ini. Kita tidak boleh
melupakan bahwa prinsip-prinsip yang baik itu bisa dipergunakan
untuk memberi kepada modal monopoli asing suatu
kemungkinan untuk menguasai salah satu bahan ekspor kita dan
untuk menguasai pimpinannya walaupun yang resmi menduduki
posisi pimpinan adalah orang-orang kulit sawo matang.

Karena prinsip production-sharing berarti bahwa pinjaman


dibayar kembali dari hasil-hasil proyek yang bersangkutan, dapat
diduga bahwa “si pemberi kredit” akan berusaha keras untuk
memperoleh posisi yang berpengaruh dalam proyek itu dengan
dalih untuk menjamin bahwa modalnya benar-benar dibayar
kembali. Tuntutan semacam ini merupakan tanda tidak percaya
kepada pihak Indonesia, oleh karena itu harus ditolak sebagai
sesuatu yang bertentangan dengan prinsip production-sharing.

Saya berpendepatan bahwa satu-satunya jalan untuk


mencegah kemungkinan penyalahgunaan production-
sharing ialah dengan menempatkan semua persetujuan
mengenai hal yang demikian dalam tangan Dewan Kredit Luar
Negeri, di mana Pemerintah serta pimpinan lembaga-lembaga
negara, khususnya DPRGR, MPRS dan Depernas, harus
diikutsertakan, dan dengan Nasakom sebagai porsnya. Dewan
tersebut perlu diberi wewenang mengenai semua hal yang
bersangkutan dengan kredit luar negeri, khususnya untuk
menetapkan apakah sesuatu kredit memang dibutuhkan dan
apakah syarat-syaratnya sesuai dengan prinsip-prinsip yang
telah ditetapkan oleh Dekon.

Dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai persetujuan-


persetujuan baru di bidang kredit, Dewan Kredit Luar Negeri
harus melihat bukan hanya bahwa kredit yang bersangkutan
benar-benar dibutuhkan karena “funds and forces” di dalam
negeri tidak tersedia, tetapi harus juga menjamin supaya
persetujuan-persetujuan kredit yang telah ditandatangani sudah
dipergunakan sebelum mulai mengadakan persetujuan-
persetujuan kredit baru. Dapat diketahui, misalnya, bahwa
berbagai kesibukan sedang dijalankan untuk mengadakan
kontrak-kontrak baru dengan negara-negara Barat sedangkan
masih ada persetujuan kredit yang ditandatangani dengan
negara-negara Sosialis yang belum dipergunakan sama sekali
atau yang hanya sebagian digunakan. Ternyata misalnya bahwa
instansi-instansi Pemerintah tertentu “kurang antusias” terhadap
kredit dari negara-negara Sosialis dengan memberikan segala
macam alasan, seperti dalih bahwa harganya terlalu tinggi,
barang-barangnya belum dikenal dan sebagainya, sedangkan
alasan yang sebenarnya tak lain dan tak bukan ialah karena
adanya kepentingan yang sudah bercokol alias “vested interest”
dan komisi-komisi yang menarik dari kredit-kredit yang diperoleh
dari negara-negara imperialis. Dewan tersebut harus menjaga
supaya politik luar negeri yang bebas dan aktif benar-benar
dilaksanakan di bidang kredit. Jangan sampai, terhadap negara-
negara Sosialis dituntut selama macam kelonggaran seperti
penundaan pembayaran pertama dan lain sebagainya,
sedangkan terhadap negara seperti Jerman Barat, misalnya,
yang notabene meminjamkan kredit dengan bunga 5-6% yaitu
jauh lebih tinggi dari pada apa yang diminta oleh negara-negara
Sosialis, yaitu 2-2½%. Pemerintah bersedia menerima syarat-
syarat pembayaran kembali yang jauh lebih berat.
Kredit luar negeri menyangkut satu segi yang sangat erat
hubungannya dengan usaha-usaha untuk menyusun suatu
ekonomi nasional yang benar-benar merdeka atau bersih dari
sisa-sisa imperialisme. Kredit luar negeri merupakan bidang di
mana semangat patriotisme harus dijunjung tinggi dan
pelaksanaan prinsip-prinsip MPRS serta Dekon harus benar-
benar diawasi.

Dalam hubungan dengan persoalan ini, dan khususnya


bahayanya modal asing akan menyusup ke dalam ekonomi kita,
perlu saya menyebut pula Bank Pembangunan Swasta.
Mengenai hal ini, Dekon menyatakan: “Perlu terus-menerus
berikhtiar untuk mencapai perbaikan dan penyempurnaan pada
lembaga-lembaga keuangan, ... khususnya Bank-Bank
Pembangunan Daerah dan Swasta”. (pasal 34). Sikap hati-hati
ini, yang menekankan pada perlunya perbaikan dan
penyempurnaan adalah tepat, jika kita mengingat bahwa pihak
modal asing yang, bagaimanapun juga mereka berusaha untuk
secara cerdik menyalahgunakanproduction-sharing, tentu lebih
senang dengan cara-cara penanaman modal yang klasik dan
terbuka, menaruh perhatian dan harapan besar kepada adanya
Bank Pembangunan Swasta dan juga bank-bank pembangunan
daerah. Bank-bank itu mendapat perhatian khusus di dalam
“Humphrey Report” karena menurut ahli-ahli ekonomi yang
menyusun laporan itu, “modal swasta belum cukup efektif
dikerahkan sebagai salah satu sumber yang terpenting”. Modal
monopoli AS ternyata sudah siap sedia untuk mempergunakan
seumber atau saluran ini secara “seefektif-efektifnya”. Bahaya ini
memperkuat kekhawatiran yang dikemukakan oleh fraksi PKI
dalam DPRGR sewaktu Undang-Undang Bank Pembangunan
Swasta dibahas, yaitu tentang adanya bahaya modal imperialis
memrembes ke dalam Bank itu. Lewat Bank Pembangunan
Swasta kaum imperialis berusaha menjadikan kaum swasta
sebagai saluran penetrasi modalnya dan dengan demikian
memperkuat barisan kapitalis komprador dan kapitalis birokrat.
Ini merupakan landasan utama bagi politik reaksioner kaum
imperialis.

Memang, kecuali mereka yang sangat naif, saya rasa tidak


ada orang yang tidak mengerti bahwa tujuan yang sebenarnya
dari pada modal monopoli imperialis ialah justru untuk
menghidupkan sektor modal swasta sebagai sektor memimpin
dan untuk mematikan sektor negara. Sikap ini dengan sangat
tegas dinyatakan dalam laporan Jenderal Clay mengenai
“bantuan ekonomi” AS, yang dikeluarkan dalam bulan Maret
yang baru lalu. Dalam laporan itu, dikatakan sebagai berikut:
“Kami berpendapat bahwa AS tidak dapat membantu sesuatu
pemerintah asing dalam proyek-proyek untuk mendirikan
perusahaan-perusahaan industri atau dagang yang dimiliki
pemerintah untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan
swasta” (lihat Newsweek, tanggal 8 April 1963, hal. 42). Mungkin
ada yang merasa kutipan ini sebenarnya kurang berguna karena
toh hanya merupakan nasehat kepada Pemerintah AS,
sedangkan yang penting ialah sikap resmi pemerintah Kennedy.
Dalam menjawab keragu-raguan ini, perlu saya jelaskan bahwa
Kennedi tentunya tidak akan mengangkat seorang penasehat
yang tidak mewakili pendirian Kennedy sendiri. Di samping itu
tidak lain dari pada Kennedy sendiri yang sudah memberikan
suatu reaksi mengenai Laporan Clay dengan mengatakan bahwa
Laporan itu adalah “sangat membesarkan hati” atau “most
heartening” (lihat Newsweek, tanggal 8 April 1963, hal. 42).

KESIMPULAN-KESIMPULAN

Demikian ulasan saya tentang Deklarasi Ekonomi dan syarat-


syarat pelaksanaannya. Berdasarkan pikiran-pikiran yang telah
saya ajukan di atas, maka dapat kita menarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:

Penyusunan Dekon merupakan hasil penting dari pada


perjuangan Rakyat untuk memenangkan gagasan-gagasan yang
benar dalam menetapkan susunan ekonomi yang harus kita
bangun pada tahap pertama Revolusi serta dalam menetapkan
cara-cara yang tepat guna mengatasi kesulitan-kesulitan
ekonomi pada dewasa ini. Perjuangan itu sekarang harus
dilanjutkan untuk mencapai kemenangan dalam
pelaksanaannya. Seperti halnya penyusunan Dekon hanya bisa
dicapai dengan melalui perjuangan Rakyat, maka
pelaksanaannya juga tergantung pada perjuangan Rakyat.
Dalam hal ini, Front Nasional dengan Panca Program Front
Nasional dapat memainkan peranan yang menentukan.

Hal-hal yang perlu diperjuangkan dalam usaha-usaha


memenangkan pelaksanaan Dekon adalah sebagai berikut:

Pertama: untuk mencapai pengintegrasian antara Pemerintah


dengan Rakyat haruslah dilaksanakan ritul di segala bidang dari
Pusat sampai ke Daerah-daerah, terutama harus dibentuk
Kabinet Gotong Royong berporoskan NASAKOM. Ini akan
membuka kemungkinan seluruh aparat pemerintahan diisi
dengan orang-orang yang bersedia menjalankan prinsip-prinsip
Dekon secara konsekuen, yang bersedia mengorbankan
kepentingan-kepentingan kaum penghisap besar di kota-kota
dan di desa-desa, yaitu kaum tuan tanah, komprador, dan
kapitalis birokrat, serta membela kepentingan-kepentingan
Rakyat. Orang-orang yang melawan atau menyabot pelaksanaan
Dekon harus dituntut supaya disingkirkan.

Kedua: untuk memenangkan tafsiran-tafsiran yang tepat


mengenai prinsip-prinsip Dekon haruslah dilawan tiap-tiap usaha
untuk memutarbalikkan prinsip-prinsip Dekon dan melaksanakan
tindakan-tindakan anti-Dekon “atas nama Dekon”.

Ketiga: untuk mengadakan tindakan-tindakan yang sesuai


dengan prinsip-prinsip Dekon tujuan pokok meningkatkan
produksi, harus diadakan perlawanan yang serius terhadap
usaha-usaha sabotase di bidang ekonomi. Perlu pula dilakukan
perjuangan untuk menolak setiap tindakan yang bertentangan
dengan Dekon.

Rakyat harus dijamin hak-hak demokrasinya untuk dapat


melakukan perjuangan ini, untuk dapat melakukan People’s
control (pengawasan Rakyat) sebagai landasan guna
mencapai People’s support (dukungan Rakyat) yang seluas
mungkin bagi setiap usaha di bidang ekonomi. Jika ini tercapai,
maka akan berarti bahwa masa Rakyat bukan hanya ikut
langsung dalam menentukan politik, ekonomi, yaitu ikut
menentukan penyusunan Dekon, melainkan pula turut aktif
melaksanakan dan bertanggung jawab atas jalannya politik
ekonomi tersebut. Tanpa ini, adalah tidak mungkin untuk
menyusun ekonomi nasional dan demokratis, ekonomi progresif.

Sejarah Marxisme di Indonesia | Séksi Bahasa Indonesia M.I.A.

Anda mungkin juga menyukai