Anda di halaman 1dari 16

THEORIES OF THE POLICY CYCLE

(Warner Jann & Kai Wegrich)

Werner Jann memegang jabatan sebagai Ketua Departemen Ilmu Politik, Administrasi dan Organisasi di Universitas
Potsdam, Jerman. Beliau adalah profesor di Sekolah Pascasarjana Ilmu Administrasi Speyer, dan pernah menjadi
peneliti di University of California, Berkeley.

Kai Wegrich adalah analis kebijakan senior di RAND Eropa (Lembaga penelitian nirlaba). Ia menerima gelar Ph.D.
dari Universitas Potsdam. Bidang minat khususnya meliputi reformasi dan regulasi sektor publik.

Bab ini berusaha untuk menilai keterbatasan dan kegunaan dari perspektif siklus kebijakan
dengan melakukan survei literatur yang menganalisis tahap-tahap atau fase-fase tertentu dari
siklus kebijakan. Setelah penjelasan awal mengenai perkembangan kerangka siklus
kebijakan, bab ini menawarkan gambaran umum mengenai berbagai tahapan atau fase proses kebijakan,
dengan menyoroti perspektif analitis dan hasil-hasil penelitian utama. Kemudian kita beralih ke kritik yang
berkembang terhadap kerangka siklus kebijakan dalam literatur penelitian kebijakan yang lebih luas. Bab
ini diakhiri dengan penilaian singkat secara keseluruhan terhadap kerangka tersebut, dengan
mempertimbangkan, khususnya, statusnya sebagai alat analisis untuk penelitian kebijakan publik.

Siklus Kebijakan: Model Proses Kebijakan yang Disederhanakan


Gagasan membingkai proses kebijakan dari segi tahap pertama kali dikemukakan oleh Lasswell. Sebagai
bagian dari upayanya untuk membangun ilmu kebijakan yang bersifat multidisipliner dan preskriptif,
Lasswell memperkenalkan (pada tahun 1956) sebuah model proses kebijakan yang terdiri dari tujuh tahap:
kecerdasan, promosi, rumusan, seruan, penerapan, penghentian, dan penilaian. Meskipun urutan tahapan
ini telah diperdebatkan (khususnya bahwa penghentian mendahului penilaian), model itu sendiri telah
sangat berhasil sebagai kerangka dasar untuk bidang studi kebijakan dan menjadi titik awal dari berbagai
tipologi proses kebijakan. Versi yang dikembangkan oleh Brewer dan deLeon (1983), May dan Wildavsky
(1978), Anderson (1975), dan Jenkins (1978) adalah yang paling banyak digunakan. Saat ini, pembedaan
antara penetapan agenda, perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan evaluasi
(akhirnya mendorong penghentian) telah menjadi cara umum untuk menggambarkan kronologi proses
kebijakan.

Dapat dikatakan bahwa pemahaman Lasswell mengenai model proses kebijakan lebih bersifat preskriptif
dan normatif daripada deskriptif dan analitis. Sementara, studi empiris tentang pengambilan keputusan dan
perencanaan dalam organisasi, dikenal sebagai teori perilaku pengambilan keputusan (Simon 1947), telah
berulang kali menyatakan bahwa pengambilan keputusan di dunia nyata biasanya tidak mengikuti urutan
tahapan khusus tersebut, namun perspektif tahap ini masih berguna sebagai tipe ideal perencanaan dan
pengambilan keputusan yang rasional. Menurut model rasional tersebut, setiap pengambilan keputusan
harus didasarkan pada analisis yang komprehensif atas masalah dan tujuan, diikuti dengan pengumpulan
secara menyeluruh dan analisis informasi serta pencarian alternatif terbaik untuk mencapai tujuan tersebut.
Salah satu alasan utama keberhasilan dan daya tahan tipologi tahap adalah daya tariknya sebagai model
normatif untuk tipe ideal pembuatan kebijakan rasional yang berbasis bukti. Selain itu, gagasan ini sesuai
dengan pemahaman dasar demokrasi tentang politisi terpilih yang mengambil keputusan yang kemudian
dilaksanakan oleh pelayanan publik yang netral.

Lasswell tentu saja sangat kritis terhadap dikotomi politik/administrasi ini, sehingga perspektif tahapnya
berada di luar analisis formal lembaga tunggal yang mendominasi bidang penelitian administrasi publik
tradisional dengan berfokus pada kontribusi dan interaksi berbagai aktor dan lembaga dalam proses
kebijakan. Selain itu, perspektif tahap membantu mengatasi bias ilmu politik pada sisi input (perilaku politik,
sikap, organisasi kepentingan) dari sistem politik. Namun demikian, tahap pembuatan kebijakan yang
awalnya dipahami sebagai sesuatu yang berkembang dalam urutan (kronologis) yang logis - pertama,
masalah-masalah didefinisikan dan dimasukkan ke dalam agenda, selanjutnya kebijakan dikembangkan,
diadopsi, dan diimplementasikan, dan akhirnya kebijakan tersebut akan dinilai menurut efektivitas dan
efisiensinya, serta dihentikan atau diulangi.

Dikombinasikan dengan model input-output dari Easton, perspektif tahap ini kemudian berubah menjadi
model siklus, yang disebut sebagai siklus kebijakan. Perspektif siklus ini menekankan pada proses umpan
balik (lingkaran) antara output dan input pembuatan kebijakan, yang menyebabkan proses kebijakan
berjalan terus menerus tanpa henti. Output dari proses kebijakan di T1 berdampak pada masyarakat luas
dan akan berubah menjadi input (tuntutan dan dukungan) bagi proses kebijakan berikutnya di T2. Integrasi
model input-output dari Easton juga memberikan kontribusi pada diferensiasi lebih lanjut dari proses
kebijakan. Alih-alih berakhir dengan keputusan untuk mengadopsi suatu tindakan tertentu, fokusnya
diperluas hingga mencakup implementasi kebijakan dan, khususnya, reaksi kelompok sasaran yang
terkena imbasnya (dampak) dan dampak yang lebih luas dari kebijakan tersebut dalam masing-masing
sektor sosial (hasil).

Sementara kerangka siklus kebijakan memperhitungkan umpan balik antara unsur-unsur yang berbeda dari
proses kebijakan (dan karena itu memberikan gambaran yang lebih realistis mengenai proses kebijakan
daripada model tahap sebelumnya), kerangka ini masih menunjukkan proses kebijakan tipe-ideal dan
disederhanakan sebagaimana diakui banyak pendukungnya. Dalam kondisi dunia nyata, kebijakan
misalnya, lebih sering bukan sebagai objek evaluasi komprehensif yang menyebabkan penghentian atau
perumusan ulang kebijakan. Proses kebijakan jarang menunjukkan awal dan akhir yang jelas. Pada saat
yang sama, kebijakan selalu ditinjau ulang, dikendalikan, dimodifikasi, dan terkadang bahkan dihentikan;
kebijakan terus menerus dirumuskan ulang, dilaksanakan, dievaluasi, dan disesuaikan. Namun, proses
tersebut tidak berkembang dalam pola urutan yang jelas; sebaliknya, tahap-tahapnya terus bercampur dan
terikat dalam proses yang berkelanjutan. Selain itu, kebijakan tidak berkembang dalam ruang hampa,
melainkan diadopsi dalam ruang kebijakan yang padat dan hanya menyisakan sedikit ruang untuk inovasi
kebijakan (Hogwood dan Peters, 1983). Sebaliknya, kebijakan baru (hanya) memodifikasi, mengubah, atau
menambah kebijakan yang lama, atau kemungkinan - bersaing dengan kebijakan lama atau bertentangan
satu sama lain.

Kebijakan sebelumnya merupakan bagian penting dari lingkungan sistemik pembuatan kebijakan;
seringkali kebijakan-kebijakan lain menjadi penghalang utama untuk mengadopsi dan menerapkan
tindakan tertentu. Terlepas dari keterbatasannya, siklus kebijakan telah berkembang menjadi kerangka
yang paling banyak digunakan untuk mengolah dan mensistematiskan penelitian tentang kebijakan publik.
Siklus kebijakan memfokuskan perhatian pada ciri-ciri umum dari proses kebijakan dan bukan pada aktor
atau lembaga tertentu atau masalah substansial tertentu dan program masing-masing. Namun demikian,
studi kebijakan jarang sekali menerapkan kerangka siklus kebijakan sebagai model analitis yang memandu
pemilihan pertanyaan dan variabel. Kerangka siklus kebijakan telah memandu analisis kebijakan pada
tema-tema umum pembuatan kebijakan dan telah menawarkan perangkat untuk menyusun bahan empiris;
akan tetapi kerangka ini tidak berkembang menjadi suatu program teoritis atau analitis yang utama.
Tinjauan ini menekankan bagaimana penelitian yang berkaitan dengan tahap-tahap tertentu telah
membentuk pemahaman umum mengenai proses kebijakan dan kerangka siklus kebijakan.

TAHAP-TAHAP SIKLUS KEBIJAKAN


1. Tahap Penetapan Agenda dalam Siklus Kebijakan : Pengenalan Masalah dan Pemilihan Isu
Pembuatan kebijakan mengandaikan pengenalan masalah kebijakan. Pengenalan masalah itu sendiri
mensyaratkan bahwa masalah sosial telah didefinisikan dan perlunya intervensi negara telah
dinyatakan. Langkah kedua adalah bahwa masalah yang diindentifikasi benar-benar dimasukkan
dalam agenda untuk dipertimbangkan secara serius sebagai aksi publik (penetapan agenda). Agenda
tidak lebih dari "daftar subjek atau masalah yang menjadi perhatian serius para pejabat pemerintah,
dan orang-orang di luar pemerintah yang terkait erat dengan para pejabat tersebut, memberi perhatian
pada waktu tertentu" (Kingdon 1995, 3). Agenda pemerintah (atau institusi) berbeda dari agenda media
dan seluruh lapisan masyarakat (atau sistemik) yang lebih luas (Cobb dan Elder 1972). Sementara
agenda (formal dan informal) pemerintah menjadi perhatian utama studi tentang penetapan agenda,
sarana dan mekanisme pengenalan masalah dan pemilihan isu terkait erat dengan cara masalah
sosial dikenali dan ditangkap dalam agenda publik/media.

Seperti ditunjukkan banyak penelitian sejak tahun 1960-an, pengenalan masalah dan penetapan
agenda pada dasarnya merupakan proses politik di mana perhatian politik diarahkan pada sebagian
kecil dari semua masalah kebijakan yang mungkin relevan. Para pelaku di dalam dan di luar
pemerintahan terus berupaya untuk mempengaruhi dan secara kolektif membentuk agenda (misalnya,
dengan mengambil keuntungan dari meningkatnya perhatian terhadap isu tertentu, mendramatisasi
masalah, atau mengedepankan definisi masalah tertentu). Keterlibatan aktor-aktor tertentu (misalnya,
para ahli), pilihan tempat kelembagaan di mana masalah-masalah diperdebatkan, dan penggunaan
strategis liputan media telah diidentifikasi sebagai sarana taktis untuk mendefinisikan masalah (lihat
Kingdon 1995; Baumgartner dan Jones 1993). Meskipun sejumlah aktor terlibat dalam kegiatan
pengendalian atau pembentukan agenda, sebagian besar variabel dan mekanisme yang
mempengaruhi penetapan agenda berada di luar kendali langsung dari satu aktor.

Penetapan agenda menghasilkan pilihan di antara beragam masalah dan isu. Proses penyusunan
masalah kebijakan mengenai potensi strategi dan instrumen inilah yang membentuk perkembangan
kebijakan pada tahap siklus kebijakan berikutnya. Jika asumsi diterima bahwa tidak semua masalah
yang ada mendapat tingkat perhatian yang sama (dan ada juga yang tidak diidentifikasi sama sekali;
lihat Baumgartner dan Jones 1993, 10), maka muncullah pertanyaan-pertanyaan mengenai
mekanisme penetapan agenda. Apa yang dianggap sebagai masalah kebijakan? Bagaimana dan
kapan masalah kebijakan menjadi agenda pemerintah? Dan mengapa masalah lain tidak dimasukkan
ke dalam agenda? Selain itu, siklus perhatian masalah dan solusi yang terkait dengan masalah spesifik
adalah aspek penting dari studi kebijakan yang berkaitan dengan penetapan agenda.

Penelitian sistematis mengenai penetapan agenda pertama kali muncul sebagai bagian dari kritik
terhadap pluralisme di Amerika Serikat. Salah satu pendekatan klasik menyatakan bahwa perdebatan
politik dan, oleh karena itu, penetapan agenda, muncul dari konflik antara dua aktor, dengan aktor yang
kurang kuat secara politis berusaha untuk meningkatkan perhatian pada isu tersebut (perluasan
konflik) (Schattschneider 1960). Ada pula yang berpendapat bahwa penetapan agenda merupakan
hasil dari proses penyaringan isu dan masalah, yang menghasilkan non-keputusan (isu dan masalah
yang sengaja dikesampingkan dari agenda formal). Berdasarkan literatur penting mengenai kekuatan
komunitas, studi kebijakan menunjukkan bahwa non-keputusan merupakan hasil dari distribusi
pengaruh yang timpang melalui struktur kelembagaan yang mengeluarkan beberapa isu dengan
pertimbangan serius untuk tidak ditindaklanjuti (Bachrach dan Baratz, 1962; lihat juga Crenson, 1971;
Cobb, Ross, dan Ross, 1976).

Langkah penting dalam proses penetapan agenda ini adalah berubahnya pengenalan isu - yang sering
kali diungkapkan oleh kelompok yang berkepentingan atau para pelaku yang terkena dampak - ke
dalam agenda politik formal. Langkah ini meliputi beberapa sub tahap, di mana dilakukan pilihan isu-
isu selanjutnya jika kapasitas pengenalan masalah dan pemecahan masalah tidak memadai. Beberapa
penelitian perkembangan kebijakan lingkungan, misalnya, menunjukkan bahwa bukan beban masalah
obyektif (misalnya, tingkat polusi udara) yang menjelaskan intensitas kegiatan pengenalan masalah
dan upaya pemecahan masalah di pihak pemerintah (Prittwitz 1993; Jaenicke 1996). Sebaliknya,
definisi yang masuk akal akan masalah (lihat Stone 2001) dan penciptaan gambar kebijakan tertentu
(Baumgartner dan Jones 1993) yang memungkinkan untuk menghubungkan solusi tertentu pada
masalah ini lah yang diidentifikasi sebagai variabel kunci yang mempengaruhi penetapan agenda.
Meskipun pengenalan masalah dan definisi masalah dalam demokrasi liberal sebagian besar dilakukan
di depan publilk, di media atau setidaknya di antara komunitas (publik) profesional di bidang tertentu,
penetapan agenda aktual ditandai oleh pola yang berbeda dalam hal komposisi aktor dan peran
Masyarakat (lihat Mei 1991, Howlett dan Ramesh, 2003). Pola inisiatif dari luar, di mana para aktor
sosial memaksa pemerintah untuk menempatkan sebuah isu dalam agenda sistemik dengan cara
memperoleh dukungan publik, merupakan salah satu dari berbagai jenis penetapan agenda. Yang juga
signifikan adalah proses kebijakan tanpa masukan dari masyarakat seperti ketika kelompok
kepentingan memiliki akses langsung pada instansi pemerintah dan mampu menempatkan topik dalam
agenda tanpa intervensi nyata atau bahkan pengakuan dari publik (lihat May, 1991). Kebijakan
pertanian di beberapa negara Eropa tertentu dapat menjadi contoh klasik dari pola inisiatif-internal.
Pola lain digambarkan sebagai mobilisasi dukungan di dalam masyarakat oleh pemerintah setelah
penetapan agenda awal tercapai tanpa peran nyata aktor-aktor non-negara (misalnya, pengenalan
Euro atau, lebih tepatnya, kampanye sebelum penerapan mata uang baru). Terakhir, Howlett dan
Ramesh (2003, 141) membedakan konsolidasi sebagai tipe keempat di mana aktor negara
memunculkan isu ketika dukungan publik sudah kuat (misalnya, penyatuan Jerman).

Terlepas dari adanya berbagai pola penetapan agenda yang berbeda, masyarakat modern
ditandai oleh peran khusus publik/media dalam penetapan agenda dan pembuatan
kebijakan, terutama ketika jenis masalah baru (seperti risiko) muncul (lihat Hood, Rothstein, dan
Baldwin, 2001). Seringkali, pemerintah dihadapkan dengan situasi pilihan terpaksa (Lodge dan Hood,
2002) di mana mereka tidak dapat mengabaikan sentimen publik tanpa risiko
kehilangan legitimasi atau kredibilitas, dan harus memberikan prioritas pada isu terterntu dalam
agenda.
Contohnya mulai dari insiden yang melibatkan anjing agresif, dan penyakit sapi gila hingga
regulasi zat kimia (lihat Lodge dan Hood 2002; Hood, Rothstein, dan Baldwin 2001).
Meskipun mekanisme penetapan agenda tidak menentukan cara kebijakan terkait
dirancang dan diimplementasikan, kebijakan-kebijakan sesudah apa yang disebut sebagai
respons spontan dari pemerintah dalam situasi pilihan yang dipaksakan cenderung dikombinasikan
dengan bentuk intervensi negara yang agak mengganggu atau memaksa. Namun demikian,
kebijakan ini seringkali memiliki siklus hidup yang pendek atau berulang kali mengalami perubahan
besar pada tahap siklus kebijakan selanjutnya setelah perhatian publik beralih ke isu-isu lain (Lodge
dan Hood, 2002).

Pertemuan sejumlah faktor dan variabel yang saling berkaitan menentukan apakah suatu
isu kebijakan menjadi topik utama dalam agenda kebijakan. Faktor-faktor tersebut meliputi kondisi
material lingkungan kebijakan (seperti tingkat perkembangan ekonomi), serta arus dan siklus ide
dan ideologi, yang penting dalam mengevaluasi masalah dan menghubungkannya dengan solusi
(proposal kebijakan). Dalam konteks ini, lingkungan kepentingan diantara aktor-aktor terkait,
kapasitas lembaga-lembaga yang bertanggung jawab untuk bertindak secara efektif, dan siklus
persepsi masalah publik serta solusi yang terkait dengan berbagai masalah menjadi hal yang sangat
penting.

Sementara model-model sebelumnya dari penetapan agenda berkonsentrasi pada aspek


ekonomi dan sosial sebagai variabel penjelas, pendekatan-pendekatan yang lebih baru
menekankan pada peran gagasan, dinyatakan dalam wacana publik dan profesional
(misalnya, komunitas epistemik; Haas 1992), dalam membentuk persepsi masalah tertentu.
Baumgartner dan Jones (1993, 6) memperkenalkan gagasan tentang monopoli kebijakan
sebagai "monopoli pada pemahaman politik" kebijakan tertentu dan pola
kelembagaan yang memperkuat "gambar kebijakan" tertentu; mereka menyatakan bahwa
penetapan agenda dan kebijakan berubah terjadi ketika "monopoli kebijakan" menjadi ditentang dan
para pelaku yang sebelumnya tidak berkepentingan (atau setidaknya "non-aktif")
bergerak. Perubahan gambar kebijakan sering kali dikaitkan dengan perubahan "tempat"
kelembagaan di mana isu-isu diperdebatkan (Baumgartner dan Jones, 1993, 15; 2002, 19-23).
Bagaimana berbagai variabel-aktor, institusi, gagasan, dan kondisi material-berinteraksi
sangat bergantung pada situasi tertentu. Hal ini juga menyiratkan bahwa penetapan agenda
bukanlah pemilihan isu yang rasional dalam hal relevansinya sebagai masalah bagi masyarakat
luas. Sebaliknya, pergeseran perhatian dan agenda (Jones 2001, 145-47) pada akhirnya dapat
membuat pemerintah mengadopsi kebijakan yang bertentangan dengan langkah-langkah yang
diperkenalkan sebelumnya. Model yang paling berpengaruh yang mencoba
mengkonsepsikan ketergantungan penetapan agenda adalah model multi aliran Kingdon
yang dibangun di atas model tong sampah pilihan organisasi (Cohen, March, dan Olsen 1972).
Kingdon memperkenalkan gagasan tentang jendela kesempatan yang terbuka pada waktu tertentu
untuk kebijakan tertentu (Kingdon, 1995). Jendela kebijakan terbuka ketika tiga aliran yang
biasanya terpisah dan berdiri sendiri - aliran kebijakan (solusi), aliran politik (sentimen publik,
perubahan pemerintahan, dan sejenisnya), dan aliran masalah (persepsi masalah) - bersinggungan.
(Model tong sampah klasik membedakan solusi, masalah, aktor, dan peluang keputusan).

Dalam perspektif jangka panjang, siklus perhatian dan tidak tetapnya persepsi masalah dan semangat
reformasi untuk isu-isu tertentu dapat terungkap (lihat artikel klasik Downs 1972, "siklus perhatian
masalah" Down yang dikritik karena tidak mencantumkan dampak penetapan agenda bagi kebijakan
masa depan dengan terbentuknya struktur kelembagaan; Peters dan Hogwood, 1985; Baumgartner
dan Jones 1993, 87). Dalam proses siklus tersebut, isu-isu tunggal muncul pada agenda, akan dihapus
di kemudian hari, dan dapat muncul kembali dalam agenda tersebut sebagai bagian dari gelombang
yang lebih panjang. Contohnya termasuk siklus persepsi isu lingkungan, perlindungan konsumen, dan
masalah kriminal, di mana (dikombinasikan dengan kondisi ekonomi dan politik) satu kejadian (seperti
kecelakaan, bencana, dan sejenisnya) dapat memicu penetapan agenda. Perspektif longitudinal juga
mengacu pada perubahan persepsi isu tunggal, dimana pemecahan masalah sebelumnya kemudian
menjadi masalah (misalnya tenaga nuklir). Baumgartner dan Jones (1993; 2002) menyoroti adanya
periode agenda kebijakan yang stabil dan periode perubahan yang cepat, serta menjadikan temuan ini
sebagai titik awal untuk pengembangan model proses kebijakan (punctuated equilibrium: proses
kebijakan berlangsung secara tiba-tiba selama periode yang relatif singkat, diikuti oleh periode panjang
dimana hanya terjadi penyesuaian/perubahan kecil) yang menantang gagasan konvensional tentang
inkrementalisme (proses kebijakan yang dilakukan secara bertahap, atau tambal sulam).

2. Perumusan Kebijakan dan Pengambilan Keputusan


Selama tahap siklus kebijakan ini, masalah, usulan, dan tuntutan yang diungkapkan diubah
menjadi program pemerintah. Perumusan dan adopsi kebijakan mencakup penentuan
tujuan-apa yang harus dicapai dengan kebijakan tersebut dan pertimbangan alternatif tindakan yang
berbeda. Beberapa penulis membedakan antara perumusan (alternatif tindakan) dan adopsi akhir
(keputusan resmi untuk melaksanakan kebijakan). Karena kebijakan tidak akan selalu diformalkan
menjadi program yang terpisah dan pemisahan yang jelas antara perumusan dan
pengambilan keputusan sering kali tidak mungkin dilakukan, maka kami memperlakukan
keduanya sebagai sub tahap dalam satu tahap siklus kebijakan.

Dalam mencoba menjelaskan berbagai gaya, pola, dan hasil yang berbeda dari perumusan kebijakan
dan pengambilan keputusan, studi pada tahap kerangka siklus ini telah sangat berorientasi pada teori.
Selama dua dekade terakhir, telah berkembang hubungan yang membuahkan hasil dengan teori
keputusan organisasi (lihat Olsen 1991). Berbagai pendekatan dan penjelasan telah
digunakan, mulai dari intermediasi kepentingan pluralistik dan korporatis hingga perspektif
inkrementalisme dan pendekatan tempat sampah. Pendekatan lainnya adalah pendekatan pilihan
publik dan perspektif neo-institusionalis yang digunakan secara luas (baik dalam varian institusionalis-
ekonomis maupun historisnya; untuk gambaran umum, lihat Parsons 1995, 134)

Pada saat yang sama, studi mengenai perumusan kebijakan telah lama banyak dipengaruhi
oleh upaya untuk meningkatkan praktik di dalam pemerintahan dengan memperkenalkan teknik dan
alat pengambilan keputusan yang lebih rasional. Hal ini menjadi sangat jelas selama masa kejayaan
perencanaan politik dan kebijakan reformasi pada tahun 1960-an dan 1970-an. Analisis kebijakan
merupakan bagian dari koalisi reformasi yang terlibat dalam pengembangan alat dan metode untuk
mengidentifikasi kebijakan yang efektif dan hemat biaya (lihat Wittrock, Wagner, dan Wollmann 1991,
43-51; Wollmann 1984). Pemerintah Barat sangat menerima gagasan-gagasan ini karena adanya
kepercayaan yang meluas pada kebutuhan dan kelayakan perencanaan jangka panjang.
Dipelopori oleh upaya pemerintah AS untuk memperkenalkan Sistem Anggaran Program
Perencanaan (PPBS, Planning Programming Budgeting System), pemerintah-pemerintah Eropa
melakukan upaya serupa dalam perencanaan jangka panjang.
Di kalangan sebagian komunitas riset kebijakan dan para pelaku pemerintahan, PPBS dianggap
sebagai dasar untuk perencanaan yang rasional dan, oleh karenanya, untuk pengambilan keputusan.
Penetapan tujuan yang jelas, target output dalam pernyataan anggaran, dan penerapan analisis biaya-
manfaat pada program-program politik dianggap sebagai alat yang memfasilitasi penetapan prioritas
politik jangka panjang. Dari perspektif ini, berkembanglah cabang analisis kebijakan ex-ante yang agak
rasionalistik sebagai analisis kebijakan, terinspirasi oleh ekonomi mikro dan penelitian operasional
(Stokey dan Zeckhauser 1978). Sejak awal, konsep-konsep pengambilan keputusan dan perencanaan
politik ini banyak dikritik dari latar belakang ilmu politik karena dianggap terlalu ambisius dan
teknokratis ('menyelamatkan analisis kebijakan dari PPBS', Wildavsky 1969). Peran analisis kebijakan
berbasis ilmu ekonomi dan ilmu politik dalam debat pembaharuan yang lebih luas mengenai
perencanaan politik memberikan lahan subur bagi pesatnya perkembangan disiplin ilmu ini. Ketika
saran kebijakan (analisis untuk pembuatan kebijakan) menjadi aspek utama dalam euforia
perencanaan selama tahun 1970-an, penelitian empiris mengenai praktik-praktik pengambilan
keputusan (analisis pembuatan kebijakan) dimulai untuk pertama kalinya (misalnya, melalui kelompok
proyek reformasi pemerintahan dan administrasi di Jerman; Mayntz dan Scharpf 1975).

Para ilmuwan politik sejak awal berpendapat (Lindblom 1968; Wildavsky 1979) bahwa
pengambilan keputusan tidak hanya terdiri dari pengumpulan dan pengolahan informasi
(analisis), tetapi yang terpenting adalah penyelesaian konflik di dalam dan di antara para pelaku
publik dan swasta serta departemen-departemen pemerintahan (interaksi). Dalam hal pola
interaksi antar departemen, Mayntz dan Scharpf (1975) berpendapat bahwa pola biasanya
mengikuti jenis koordinasi negatif (berdasarkan partisipasi berurutan dari departemen
yang berbeda setelah program kebijakan awal disusun) daripada upaya koordinasi positif yang
ambisius dan rumit (mengumpulkan solusi kebijakan yang disarankan sebagai bagian dari
penyusunan), yang kemudian mengarah pada proses tipikal pembuatan kebijakan yang reaktif. Oleh
karena itu, tujuan dari analisis kebijakan berbasis ilmu politik adalah untuk menyarankan pengaturan
kelembagaan yang akan mendukung pembuatan kebijakan yang lebih aktif.

Meskipun studi-studi (terdahulu) tersebut menunjukkan peran penting birokrasi menteri


dan pegawai negeri sipil tingkat atas dalam perumusan kebijakan (Dogan 1975; Heclo dan Wildavsky
1974), pemerintah dan para petinggi pegawai negeri sipil yang lebih tinggi tidak sepenuhnya terpisah
dari masyarakat luas dalam perumusan kebijakan, sebaliknya, mereka terus-menerus berinteraksi
dengan aktor-aktor sosial dan membentuk pola hubungan yang cukup stabil (jaringan kebijakan).
Meskipun keputusan akhir mengenai kebijakan tertentu tetap berada di tangan lembaga-lembaga yang
bertanggung jawab (terutama kabinet, menteri, parlemen), keputusan ini didahului oleh proses
negosiasi pembentukan kebijakan yang kurang lebih bersifat informal, dengan departemen
kementerian (dan unit-unit dalam departemen tersebut), kelompok-kelompok kepentingan yang
terorganisir, dan, tergantung pada sistem politiknya, para anggota parlemen yang terpilih dan kolega
mereka sebagai pemain utama. Banyak studi kebijakan yang secara meyakinkan menyatakan bahwa
proses pada tahap awal pengambilan keputusan sangat mempengaruhi hasil akhir dan sering kali
membentuk kebijakan secara lebih luas daripada proses-proses akhir di dalam arena parlementer
(Kenis dan Schneider, 1991). Selain itu, studi ini menjadi pukulan keras bagi model pengambilan
keputusan yang rasional. Alih-alih memilih secara rasional di antara berbagai kebijakan alternatif,
pengambilan keputusan
dihasilkan dari tawar-menawar di antara berbagai aktor di dalam subsistem kebijakan-hasilnya
ditentukan oleh konstelasi dan kuatnya sumber kepentingan (substansial dan institusional) yang
dimiliki oleh para aktor yang terlibat serta proses penyesuaian timbal-balik antarpihak.
Inkrementalisme, dengan demikian, membentuk gaya khas (Lindblom 1959, 1979) dari
pembentukan kebijakan semacam ini, terutama dalam hal lokasi anggaran (Wildavsky 1964,
1988).

Selama tahun 70-an dan 80-an, teori-teori tradisional tentang pluralisme dalam pembuatan
kebijakan (banyak kepentingan yang saling bersaing tanpa akses istimewa), setidaknya di Eropa
Barat, digantikan oleh teori korporatis pembuatan kebijakan (sedikit, asosiasi yang
memiliki hak istimewa dan pengaruh kuat, lihat Schmitter dan Lehmbruch, 1979). Pada saat yang
sama, teori-teori yang lebih rumit tentang jaringan kebijakan menjadi menonjol (Heclo 1978; Marin
dan Mayntz, 1991). Jaringan kebijakan pada umumnya dicirikan oleh hubungan horisontal yang
tidak bersifat hierarkis di antara para aktor di dalam jaringan tersebut. Pertukaran
umum politik (Marin 1990) merupakan model khas interaksi dan timbal
balik yang menyebar (berlawanan dengan timbal balik langsung jenis pasar) merupakan orientasi
sosial aktor dalam lingkaran dalam jaringan. Sebaliknya, tingkat konflik yang lebih tinggi diperkirakan
akan terjadi sejauh menyangkut akses terhadap jaringan kebijakan ini. Namun demikian, seperti yang
ditekankan oleh Sabatier (1991, bdk. Sabatier, Jenkins-Smith 1993, 1999), sebuah subsistem
kebijakan sering kali terdiri dari lebih dari satu jaringan. Jaringan-jaringan yang berbeda (atau koalisi
advokasi) kemudian bersaing untuk mendapatkan dominasi dalam domain kebijakan masing-masing.

Meskipun ada tingkat kemandirian yang cukup besar dalam jaringan kebijakan, pemerintah
masih memainkan peran penting dalam memengaruhi konstelasi aktor dalam jaringan ini,
misalnya dengan mengubah portofolio kementerian, membentuk kementerian baru, atau
membentuk/menghapus lembaga. (Penggantian nama Kementerian Pertanian Jerman menjadi
Kementerian Perlindungan Konsumen, Pangan, dan Pertanian selama krisis BSE (Bovine Spongiform
Encephalopathy) menjadi contoh upaya yang disengaja untuk memecah jaringan kebijakan yang telah
lama ada di sektor pertanian sebagai prasyarat perubahan kebijakan. Perubahan serupa juga terjadi di
Inggris). Salah satu alasan utama dari kecenderungan kuat birokrasi kementerian untuk
mempertahankan posisi mereka terletak pada hubungan antara alokasi tanggung jawab di dalam
pemerintahan dan tempat yang disediakan untuk aktor sosial dalam sistem pembuatan kebijakan
(Wilson 1989). Meskipun jalur akses ini sangat penting bagi aktor-aktor sosial yang berusaha
mempengaruhi perumusan kebijakan, menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok kepentingan
pada saat yang sama menyediakan basis kekuatan departemen dalam hubungan dan konflik antar
departemen. Setiap pembagian ulang struktur organisasi dan pengaturan kelembagaan akan
menguntungkan sebagian pihak dan merugikan pihak lain, dan oleh karena itu akan menjadi isu yang
diperebutkan.

Meskipun pola interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam jaringan kebijakan dianggap
sebagai fenomena yang umum, konstelasi tertentu para aktor dalam jaringan
kebijakan bervariasi di antara berbagai ranah kebijakan, serta di antara negara bangsa
dengan berbagai kultur budaya politik/administratif, tradisi hukum yang berbeda (bdk. Feick dan Jann
1988), serta perbedaan terkait pola kelembagaan yang lebih luas. Seperti yang ditunjukkan oleh
pendekatan historis-kelembagaan dalam penelitian kebijakan, negara-negara telah
mengembangkan jenis tertentu dari jaringan kebijakan yang dihasilkan dari interaksi antara
struktur negara yang sudah ada sebelumnya dengan organisasi masyarakat pada titik-titik kritis
dalam sejarah (Lehmbruch 1991). Perbedaan ini dikatakan menopang gaya nasional
pembuatan kebijakan dalam hal instrumen kebijakan yang lebih dipilih dan pola interaksi
antara negara dan masyarakat (Richardson, Gustafsson, dan Jordan 1982; Feick dan Jann 1988).
Namun demikian, masih menjadi isu yang diperdebatkan dalam penelitian kebijakan komparatif
apakah jaringan kebijakan pada tingkat yang lebih besar dibentuk oleh pola dasar kelembagaan
nasional (yang berbeda) atau apakah kebijakan dalam subsistem kebijakan tertentu, pada tingkat
yang lebih besar, dibentuk oleh struktur tata kelola yang bersifat sektoral dan spesifik pada domain
tertentu (dengan implikasi adanya variasi yang lebih besar antar sektor di dalam suatu negara
dibandingkan dengan variasi antar negara dalam suatu sektor) (lihat, misalnya, Bovens, t'Hart, dan
Peters 2001). Beberapa pihak berpendapat bahwa penekanan pada sifat jaringan kebijakan yang
meluas telah mengaburkan variasi pola pembuatan kebijakan nasional yang sebenarnya
terkait dengan pengaturan kelembagaan yang mendasari dan arsitektur negara (Döhler dan
Manow 1995)

Untuk memungkinkan analisis perbedaan pola struktural interaksi negara-masyarakat, penelitian


kebijakan telah mengembangkan taksonomi jaringan kebijakan. Meskipun terdapat banyak variasi (dan
bahkan mungkin kebingungan, lihat Dowding 2001), ada satu pembedaan utama yang dibuat antara
segitiga besi, sub-pemerintah, atau komunitas kebijakan di satu pihak dan jaringan isu yang berpusat
pada isu kebijakan tertentu (misalnya aborsi, pajak bahan bakar, batas kecepatan) di pihak lain. Kedua
tipe dasar ini dibedakan berdasarkan dimensi komposisi aktor dan penyekatan jaringan dari lingkungan
yang lebih luas. Segitiga besi biasanya terdiri dari birokrasi negara, (sub) komite parlemen, dan
kepentingan yang terorganisir yang umumnya memiliki tujuan dan gagasan kebijakan yang sama. Ada
pula yang mengusulkan gagasan tentang komunitas kebijakan untuk menekankan aspek terakhir yaitu
pandangan dunia yang koheren dan tujuan kebijakan yang sama (namun, istilah ini telah didefinisikan
dengan berbagai cara, termasuk makna yang menyerupai gagasan tentang jaringan isu). Heclo (1978)
membandingkan segitiga besi dengan jaringan isu yang terdiri dari banyak aktor, dan
dengan batas-batas yang relatif terbuka serta hubungan yang lebih longgar di antara para aktor
yang terlibat.

Ketika sampai pada adopsi akhir dari opsi kebijakan tertentu, lembaga-lembaga formal dari
sistem pemerintahan bergerak ke tengah. Namun, bahkan selama sub tahap ini, mode pengaturan-diri
(self-regulation), yang terkadang berada di bawah bayang-bayang hirarki, semakin dianggap
sebagai pola umum pembuatan kebijakan (Mayntz dan Scharpf 1995). Opsi kebijakan mana
yang akhirnya akan diadopsi tergantung pada sejumlah faktor; dua di antaranya harus disoroti.
Pertama, beberapa pilihan kebijakan yang layak dikurangi dengan parameter substansial dasar.
Beberapa kebijakan dikeluarkan karena kelangkaan sumber daya-tidak hanya dalam hal sumber
daya ekonomi, tetapi juga karena dukungan politik yang merupakan sumber daya penting dalam
proses pembuatan kebijakan. Kedua, alokasi kompetensi di antara berbagai aktor (misalnya
pemerintah) memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan. Sebagai contoh, kebijakan
pajak di Jerman merupakan salah satu domain di mana pemerintah federal tidak hanya
bergantung pada dukungan Parlemen Federal (Bundestag, yang hampir selalu terjamin dalam sistem
parlementer), tetapi juga pada persetujuan Dewan Federal (Bundesrat, representasi
pemerintah Länder). Ruang lingkup untuk perubahan kebijakan yang substansial, dengan hal-hal
lain dianggap sama, lebih terbatas dalam sistem federal, di mana kamar kedua parlemen dan juga
(lebih sering) pengadilan konstitusi menduduki posisi pemain veto potensial
(Tsebelis 2002). Pada saat yang sama, tingkat pemerintahan subnasional memiliki lebih banyak
kelonggaran untuk memulai kebijakan di negara-negara dengan struktur federal atau desentralisasi
dibandingkan dengan negara-negara yang terpusat.

Aspek penting lainnya dalam perumusan kebijakan adalah peran saran kebijakan (ilmiah).
Sementara model-model sebelumnya membedakan antara model teknokratis (keputusan
kebijakan tergantung pada keunggulan pengetahuan yang disediakan oleh para ahli) dan model
decisionist (keutamaan politik di atas ilmu pengetahuan) dari hubungan ilmu
pengetahuan/kebijakan (lihat Wittrock 1991), pemahaman normatif yang dominan lebih
mengedepankan interaksi yang bersifat pragmatis dan kooperatif (model
pragmatis, lihat Habermas, 1968). Secara empiris, saran kebijakan diakui sebagai 'proses
pencerahan yang menyebar', di mana para politisi dan birokrat (berlawanan dengan
kebijaksanaan konvensional, terutama di dunia akademis) tidak dipengaruhi oleh studi atau
laporan tunggal. Sebaliknya, saran kebijakan berdampak pada perubahan jangka menengah dan
jangka panjang dari persepsi masalah umum dan pandangan dunia (Weiss 1977). Selain itu,
penelitian ilmiah hanyalah salah satu dari beragam sumber informasi dan pengetahuan yang
dibawa ke dalam proses pembuatan kebijakan (Lindblom dan Cohen 1979, 10-29).

Selama beberapa tahun terakhir, peran lembaga politik dalam proses tersebut telah
menjadi tema sentral dalam perdebatan mengenai perubahan cara pembuatan kebijakan,
misalnya dalam perumusan kebijakan neoliberal pada tahun 1980-an (Weiss 1992). Lembaga
politik dan organisasi internasional dianggap sebagai katalisator yang mendorong pertukaran
dan transfer gagasan kebijakan, solusi, dan persepsi masalah antara pemerintah dan non-pemerintah
(Stone 2004). Beberapa pihak berpendapat bahwa transfer kebijakan telah menjadi
bagian rutin, meskipun tersendiri, dari perumusan kebijakan kontemporer
(Dolowitz dan Marsh 2000). Namun demikian, meskipun praktik dan keberadaan proses transfer
dan pembelajaran sulit untuk disangkal, literatur yang ada mengalami kesulitan untuk menarik
batasan yang jelas antara transfer kebijakan dan aspek-aspek lain dalam pembuatan kebijakan,
terutama karena gagasan mengambil pelajaran (sebagai salah satu pola transfer kebijakan)
menyerupai dengan model pengambilan keputusan yang rasional (lihat James dan Lodge 2003). Studi
mengenai transfer dan pembelajaran kebijakan telah dikembangkan dengan wawasan yang
diambil dari teori organisasi, khususnya gagasan mengenai isomorfisme kelembagaan yang
membedakan antara mekanisme hubungan yang koersif, tiruan (mimesis), dan profesional
(DiMaggio dan Powell 1991; untuk aplikasinya lihat, antara lain, Lodge dan Wegrich, 2005b;
Jann 2004; Lodge 2003).

Sebagian besar penelitian yang membahas peran pengetahuan dalam perumusan kebijakan
sepakat bahwa, di era sekarang ini, pengetahuan lebih luas menyebar melampaui batas-batas
pemerintah (pusat) dibandingkan beberapa dekade yang lalu. Para ahli dan lembaga internasional
(seperti Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan [OECD]) dikatakan memainkan
peran yang semakin nyata dalam mengkomunikasikan pengetahuan dalam debat publik
mengenai isu-isu politik (Albaek, Christiansen, dan Togeby 2003). Oleh karena itu, persepsi
tentang monopoli informasi di pihak birokrasi (Dienst- dan Herrschaftswissen dari Max Weber)
sudah tidak berlaku lagi. Perumusan kebijakan, setidaknya di negara-negara demokrasi barat,
berlangsung sebagai proses sosial yang kompleks, di mana aktor-aktor negara memainkan peran
yang penting namun tidak selalu menentukan.

3. Implementasi
Implementasi kebijakan secara luas didefinisikan sebagai "apa yang terjadi antara penetapan tujuan
yang jelas dari pihak pemerintah untuk melakukan sesuatu, atau untuk berhenti melakukan sesuatu,
dan dampak utama dalam dunia aksi" (O'Toole 2000, 266). Tahap ini sangat penting karena tindakan
politik dan administratif di garis depan hampir tidak pernah dapat dikendalikan secara sempurna oleh
tujuan, program, hukum, dan sejenisnya (lihat Hogwood dan Gunn 1984). Oleh karena itu, kebijakan
dan maksudnya akan sangat sering berubah atau bahkan terdistorsi, pelaksanaannya tertunda atau
bahkan sepenuhnya dihalangi.

Proses implementasi kebijakan yang ideal akan mencakup elemen-elemen inti berikut ini:
Spesifikasi rincian program (yaitu, bagaimana dan oleh lembaga/organisasi mana program tersebut
harus dilaksanakan? Bagaimana seharusnya hukum/program tersebut ditafsirkan?);
Alokasi sumber daya (misalnya, bagaimana anggaran didistribusikan? Siapa yang akan
melaksanakan program? Unit organisasi mana yang akan bertanggung jawab untuk pelaksanaannya?)
Keputusan (yaitu, bagaimana keputusan atas satu kasus dilakukan?)

Penemuan tahap implementasi sebagai mata rantai yang putus (Hargrove 1975) dalam studi
pembuatan kebijakan dapat dianggap sebagai salah satu inovasi konseptual paling penting dalam
penelitian kebijakan pada tahun 1970-an. Sebelumnya, implementasi kebijakan tidak diakui sebagai
tahap yang terpisah dari proses pembuatan kebijakan. Apa yang terjadi setelah sebuah RUU menjadi
UU/hukum (Bardach 1977) tidak dianggap sebagai masalah penting bagi para pembuat kebijakan dan
dalam analisis kebijakan. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa saat pemerintah mengesahkan
undang-undang, dan hal inilah dimana tugas inti pembuatan kebijakan berakhir.

Persepsi ini telah berubah drastis sejak studi berpengaruh oleh Pressman dan Wildavsky (1984 [1973])
tentang pelaksanaan program yang menargetkan pengangguran di antara anggota kelompok minoritas
di Oakland, California. Selanjutnya, studi implementasi sebagai tahap inti dan sering kali kritis dalam
proses pembuatan kebijakan menjadi lebih dikenal luas. Titik awal dari analisis Pressman dan
Wildavsky mengenai sub tahap yang terlibat dalam pelaksanaan program federal, yang merupakan
bagian dari agenda reformasi kebijakan sosial yang ambisius yang diajukan oleh Presiden Johnson,
adalah kegagalan yang tak terduga dari program tersebut. Berdasarkan analisis atas berbagai
keputusan dan penjelasan di mana para aktor yang terlibat mampu mempengaruhi kebijakan sesuai
dengan kepentingan mereka masing-masing, setiap implementasi kebijakan yang berhasil tampaknya
lebih mengejutkan daripada kegagalan implementasi (perhatikan subjudulnya, How Great Expectations
in Washington Are Dashed in Oakland, atau Why It's Amazing that Federal Programs Work at All).

Setelah studi terobosan tersebut, penelitian implementasi berkembang menjadi bidang utama
penelitian kebijakan pada tahun 1970-an dan awal 1980-an. Awalnya, implementasi dianggap dari
perspektif yang kemudian disebut sebagai pendekatan dari atas ke bawah (top-down approach). Studi
implementasi mengikuti jalur hirarkis dan kronologis dari suatu kebijakan tertentu dan berusaha menilai
seberapa jauh tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan oleh pusat dapat dicapai ketika sampai pada
implementasi. Sebagian besar penelitian berpusat pada faktor-faktor yang menyebabkan
penyimpangan tujuan tersebut. Masalah koordinasi intra dan antar organisasi serta interaksi lembaga
dengan kelompok sasaran dianggap sebagai variabel paling menonjol yang menjelaskan kegagalan
implementasi. Penjelasan lain berfokus pada kebijakan itu sendiri, yang melihat bahwa implementasi
kebijakan yang gagal tidak hanya disebabkan oleh pelaksanaan yang buruk, tetapi juga oleh desain
kebijakan yang buruk, didasarkan pada asumsi yang salah mengenai hubungan sebab-akibat (lihat
Pressman dan Wildavsky 1984 [1973]; Hogwood dan Gunn 1984)

Dengan demikian, penelitian implementasi pada generasi pertama memiliki kesamaan pemahaman
hirarkis atas-bawah pada pemerintahan, setidaknya sebagai tolok ukur normatif untuk menilai hasil
implementasi. Penelitian pelaksanaan tertarik untuk mengembangkan teori tentang apa yang berhasil.
Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah dengan menilai efektivitas berbagai jenis instrumen
kebijakan berdasarkan teori-teori khusus tentang hubungan sebab dan akibat. Instrumen kebijakan
telah diklasifikasikan menjadi perangkat kebijakan regulasi, keuangan, informasi, dan organisasi (lihat
Hood 1983; Mayntz 1979; Vedung 1998, lihat Salomon, 2002, untuk klasifikasi yang lebih berbeda).
Salah satu hasil yang paling menonjol dari perspektif instrumen kebijakan dalam penelitian
implementasi adalah pentingnya hubungan antara pemilihan alat dan implementasi kebijakan.
Instrumen kebijakan yang berbeda tergantung pada jenis tertentu masalah implementasi, dimana
kebijakan regulasi disesuaikan dengan masalah pengendalian dan subsidi dengan pencapaian besar
pada pihak kelompok target (lihat Mayntz, 1979). Hasil lain dari penelitian ini adalah bahwa
ketergantungan pada teori-teori yang salah tentang hubungan sebab dan akibat sering kali
menyebabkan efek samping negatif atau bahkan efek balik dari intervensi Negara (lihat Sieber 1981).

Sejak pertengahan tahun 1970-an, studi implementasi yang didasarkan pada perspektif atas-bawah
semakin ditantang dari segi analitis dan juga dari segi implikasi normatifnya (lihat Hill dan Hupe 2002,
51-57). Bukti empiris, yang menunjukkan bahwa implementasi secara tidak tepat digambarkan sebagai
suatu rantai hirarkis tindakan yang berasal langsung dari keputusan pusat untuk dilaksanakan di
lapangan, menyediakan dasar untuk konsep saingan implementasi. Perspektif yang disebut bottom-up
ini menyarankan sejumlah reorientasi analitis yang kemudian diterima dalam banyak literatur tentang
pelaksanaan dan kebijakan. Pertama, peran sentral lembaga implementasi dan personilnya dalam
membentuk hasil kebijakan nyata telah diakui (street level bureaucracy, Lipsky 1980). Kedua, fokus
pada kebijakan tunggal yang dianggap sebagai input ke dalam proses implementasi dilengkapi, jika
tidak diganti dengan perspektif yang menganggap kebijakan sebagai hasil dari implementasi yang
berasal dari interaksi berbagai aktor dan program yang berbeda. Ketiga, pengakuan yang semakin
meluas akan hubungan dan jaringan kerja antara sejumlah aktor (pemerintah dan sosial) dalam
domain kebijakan tertentu.

Singkatnya, penelitian implementasi memainkan peran utama dalam memicu upaya penelitian
kebijakan menjauh dari negara-sentris, yang terutama tertarik dalam meningkatkan kapasitas
administrasi internal dan pemerintahan serta mendukung desain program dan implementasi. Sejak
akhir 1980-an, penelitian kebijakan terutama tertarik pada pola-pola interaksi negara-masyarakat dan
telah mengalihkan perhatiannya ke arah lingkup kelembagaan bidang organisasi dalam masyarakat
yang lebih luas (misalnya bidang kesehatan, pendidikan, atau ilmu pengetahuan). Berdasarkan
banyaknya studi empiris di berbagai bidang kebijakan, gagasan klasik mengenai pemerintahan yang
hirarkis telah ditinggalkan. Jaringan kebijakan dan mode negosiasi koordinasi antara aktor publik dan
swasta tidak hanya dianggap (secara analitis) sebagai pola baku yang mendasari pembuatan
kebijakan kontemporer, tetapi juga (secara normatif) dianggap sebagai model efektif pemerintahan
yang merefleksikan kondisi masyarakat modern. Studi tentang pembuatan kebijakan tidak lagi
mengikuti model tahapan tradisional, tetapi mencakup semua jenis aktor dalam bidang organisasi dan
peraturan, sehingga merusak kerangka siklus kebijakan.

4. Evaluasi dan Penghentian


Pembuatan kebijakan diharapkan memberikan berkontribusi untuk memecahkan masalah atau
setidaknya pada mengurangi beban masalah. Selama tahap evaluasi dari siklus kebijakan, hasil-hasil
kebijakan yang dimaksudkan ini beralih menjadi pusat perhatian. Dasar normatif yang masuk akal
bahwa pada akhirnya, pembuatan kebijakan harus dinilai berdasarkan tujuan dan dampak yang
diinginkan membentuk titik awal evaluasi kebijakan. Namun, evaluasi tidak hanya terkait dengan tahap
akhir dalam siklus kebijakan yang berakhir dengan penghentian kebijakan atau mendesain ulang
berdasarkan persepsi masalah dan penetapan agenda yang berubah. Pada saat yang sama, penelitian
evaluasi merupakan subdisiplin tersendiri dalam ilmu kebijakan yang berfokus pada hasil yang
diharapkan dan konsekuensi yang tidak diinginkan dari suatu kebijakan. Studi terkait evaluasi tidak
terbatas pada tahap tertentu dalam siklus kebijakan; melainkan, perspektif ini diterapkan pada seluruh
proses pembuatan kebijakan dan dari perspektif yang berbeda dalam hal waktu (ex ante, ex post).

Penelitian evaluasi muncul di Amerika Serikat dalam konteks kontroversi politik yang berpusat pada
program reformasi sosial Great Society pada tahun 1960-an. Perdebatan awal ini berkaitan dengan
isu-isu metodologis dan berusaha untuk menunjukkan relevansinya sendiri (lihat Weiss 1972; Levine et
al. 1981; Wholey 1983). Penelitian terkait evaluasi kemudian menyebar ke negara-negara OECD
(Organization for Economic Cooperation and Development dibentuk pada tahun 1960 oleh 18 negara
Eropa beserta Amerika Serikat dan Kanada dengan bertujuan untuk mempererat kerjasama ekonomi
dan Pembangunan) dan berfokus pada kegiatan negara kesejahteraan yang intervensionis (Albaek
1998) dan kebijakan reformasi secara umum. Evaluasi, misalnya, dianggap sebagai cara untuk
menerapkan secara sistematis gagasan pengujian eksperimental atas pilihan kebijakan (baru) dalam
lingkungan yang terkontrol (Hellstern dan Wollmann 1983). Meskipun penelitian evaluasi cenderung
mengarah pada penerapan alat penelitian kuantitatif dan desain penelitian kuasi-eksperimental yang
ketat, masalah umum dalam memisahkan pengaruh dan dampak dari tindakan kebijakan tertentu pada
hasil kebijakan belum terselesaikan (mengingat beragamnya variabel yang membentuk hasil
kebijakan). Selain itu, upaya untuk membangun latihan evaluasi sebagai bagian dari pembuatan
kebijakan yang bebas dari pengaruh politik telah dianggap gagal. Hasilnya diperdebatkan karena
sebagian besar tergantung pada nilai-nilai yang melekat dan sering kali implisit yang mendasari
evaluasi tersebut (lihat, misalnya, Fischer 1990).

Selain itu, peran evaluasi dalam proses kebijakan jauh melampaui lingkup studi evaluasi ilmiah.
Evaluasi kebijakan berlangsung sebagai bagian rutin dan menyatu dari proses dan perdebatan politik.
Sehingga, evaluasi ilmiah telah dibedakan dari evaluasi administrasi yang dilakukan atau diprakarsai
oleh administrasi publik dan evaluasi politik yang dilakukan oleh berbagai aktor dalam arena politik,
termasuk masyarakat luas dan media (lihat Howlett dan Ramesh 2003, 210-16). Tidak hanya studi
ilmiah, tetapi juga laporan pemerintah, debat publik, dan kegiatan partai oposisi masing-masing
mempunyai unsur-unsur substansial evaluasi. Juga bentuk-bentuk klasik pengawasan pemerintah dan
pelayanan publik dalam demokrasi liberal oleh lembaga hukum dan anggota dewan serta kantor audit
dapat dikelompokkan sebagai evaluasi.

Meskipun penelitian evaluasi berusaha untuk menjadikan evaluasi sebagai bagian utama dari
pembuatan kebijakan rasional yang berbasis-bukti, kegiatan evaluasi sangat tergantung pada logika
tertentu dan insentif proses politik dalam setidaknya dua cara utama, keduanya terkait dengan
permainan menyalahkan (Hood 2002). Pertama, terjadi bias penilaian output dari hasil kebijakan
sesuai dengan posisi dan kepentingan dasar, serta nilai-nilai dari aktor tertentu. Secara khusus,
pengalihan kesalahan atas kinerja yang buruk merupakan bagian yang biasa terjadi dalam politik.
Kedua, definisi yang salah mengenai tujuan dan sasaran kebijakan menjadi hambatan besar dalam
evaluasi. Dengan adanya dorongan yang kuat untuk menghindari kesalahan, pemerintah terdorong
untuk menghindari definisi tujuan yang tepat karena jika tidak, para politisi akan mengambil risiko untuk
disalahkan atas kegagalan yang nyata. Bahkan di luar konstelasi yang dapat dilihat sebagai dibentuk
oleh politik partisan, kemungkinan organisasi yang mengevaluasi-diri telah banyak diperdebatkan,
karena hal ini bertentangan dengan beberapa nilai fundamental dan kepentingan organisasi. (misalnya,
stabilitas; Wildavsky 1972)

Evaluasi dapat menyebabkan pola yang beragam dari pembelajaran kebijakan, dengan implikasi yang
berbeda dalam hal mekanisme umpan balik dan kemungkinan pengulangan proses kebijakan. Salah
satu polanya adalah bahwa kebijakan yang berhasil akan diperkuat; sebuah pola yang membentuk
gagasan inti dari apa yang disebut proyek percontohan (atau model percobaan), di mana tindakan
tertentu pertama kali diperkenalkan dalam konteks terbatas (teritorial, substantif, atau sementara) dan
hanya diperluas jika evaluasi mendukung. Contoh yang menonjol mulai dari reformasi sekolah,
pengenalan batas kecepatan (dan langkah-langkah terkait di bidang kebijakan transportasi), sampai
seluruh bidang rekayasa genetika. Namun, alih-alih memperbaiki pembuatan kebijakan berbasis bukti,
proyek-proyek percontohan dapat menjadi alat yang digunakan untuk tujuan menghindari konflik;
tindakan yang diperdebatkan akhirnya tidak diadopsi, melainkan hanya dijadikan proyek percontohan
dan dengan demikian ditunda hingga suasana politik cukup matang untuk tindakan yang lebih tahan
lama.

Evaluasi juga dapat mengarah pada penghentian kebijakan. Konsep reformasi dan instrumen
manajemen seperti Sunset Legislation dan Zero-Based-Budgeting (ZBB) telah disarankan sebagai alat
kunci yang mendorong penghentian kebijakan sebelumnya agar prioritas politik baru dapat
direalisasikan. ZBB diharapkan menggantikan penganggaran bertahap tradisional (kelanjutan pos-pos
anggaran setiap tahun dengan sedikit pemangkasan dan penambahan yang mencerminkan situasi
politik dan distribusi kekuasaan). Sebaliknya, anggaran baru harus disusun untuk satu bidang
kebijakan (dan lembaga yang bertanggung jawab) yang akan berakhir pada tanggal yang telah
ditentukan (sunset, matahari terbenam). Semua program harus ditinjau kembali, dirancang dan
dianggarkan kembali secara berkala. Meskipun ZBB terbukti sangat rasionalistis dan teknokratis, dan
oleh karena itu, hanya merupakan ide reformasi yang berumur pendek, gagasan mengenai sunset
legislation telah mendapatkan kembali perhatian yang lebih luas (paling tidak pada tingkat perdebatan
reformasi) sejak pertengahan tahun 1990-an sehubungan dengan apa yang disebut sebagai agenda
kebijakan regulasi (OECD 2002).

Ide utama penghentian kebijakan - masalah kebijakan telah dipecahkan atau langkah-langkah
kebijakan yang dianut telah diakui tidak efektif dalam menangani tujuan kebijakan yang telah
ditetapkan - tampaknya cukup sulit untuk diterapkan dalam kondisi pembuatan kebijakan (lihat Bardach
1976; Behn 1978; deLeon 1978; Kaufman 1976). Pemangkasan besar anggaran (misalnya, terkait
dengan subsidi) atau jendela kesempatan (misalnya, pergantian pemerintahan, sentimen publik) dapat
memicu penghentian kebijakan (Geva-Mei 2004). Proses ini sering dihubungkan dengan motivasi
partisan, seperti pelaksanaan janji-janji pemilu (misalnya perubahan kebijakan energi yang
diperkenalkan pada awal masa jabatan pertama Presiden George W. Bush, atau pencabutan reformasi
pensiun pertama Schröder yang diperkenalkan oleh pemerintahan Kohl di Jerman).

Namun demikian, literatur mengenai penghentian kebijakan menunjukkan bahwa upaya penghentian
kebijakan tidak meluas maupun tidak berhasil mengatasi perlawanan dari para pelaku yang
berpengaruh, sehingga memungkinkan tumbuhnya "Taman Jurassic dari program-program" (Pollitt
2003, 113). Oleh karena itu, kajian mengenai penghentian kebijakan sering kali berkaitan dengan
mengapa kebijakan dan program "tetap berjalan" meskipun sudah "tidak lagi bermanfaat" (Geva-May
2004, 309). Strategi tandingan terhadap upaya penghentian bervariasi mulai dari kegiatan yang
bersifat window-dressing (bukannya perubahan substansial) sampai pembentukan koalisi lintas bidang
anti-penghentian yang dibentuk oleh para penerima manfaat program (misalnya, lembaga-lembaga
pemberi bantuan, kelompok-kelompok yang terkena dampak, para politisi lokal; Bardach 1976). Koalisi
ini dapat mengandalkan keunggulan komparatif, karena mereka lebih mampu mengatasi masalah
tindakan kolektif daripada koalisi pro-penghentian (mengingat adanya ancaman potensi kehilangan
sumber daya yang disediakan oleh kebijakan). Selain itu, para politisi menghadapi insentif yang lebih
besar untuk mendeklarasikan program baru dibandingkan dengan penghentian program lama yang
berarti pengakuan atas kegagalan. Risiko politik dan keuangan dalam jangka pendek dari penghentian
program mungkin lebih besar daripada manfaat jangka panjangnya (lihat Bardach 1979; deLeon 1978;
Geva-May 2004).

Terlepas dari kasus-kasus penghentian yang gagal, perkembangan dinamis dari booming kebijakan
(Dun-leavy, 1986) serta fenomena kepunahan dan pembalikan (Hood, 1994) adalah pola alternatif dari
pengembangan kebijakan. Di antara variabel yang paling penting menjelaskan pembalikan kebijakan
(yang paling utama adalah perubahan kebijakan ekonomi sejak akhir tahun 1970-an) adalah
mengubah ide-ide dan koalisi politik yang mendukung paket baru dari masalah-masalah dan solusi
kebijakan.

Secara keseluruhan, analisis tahap akhir dari siklus kebijakan telah menyaksikan pergeseran penting
dari fokus awal pada evaluasi menuju isu-isu yang lebih luas mengenai perubahan dan kelembaman
kebijakan serta variabel-variabel yang mempengaruhi pola-pola ini.

Kritik
Meskipun berbagai studi empiris dan perdebatan teoretis yang berkaitan dengan tahap-tahap tunggal
siklus
kebijakan telah memberikan kontribusi besar terhadap pemahaman yang lebih baik mengenai
prasyarat, unsur, dan konsekuensi dari pembuatan kebijakan, studi-studi tersebut juga telah
memicu munculnya kritik yang menantang kerangka dasar siklus kebijakan yang ada saat ini. Kritik ini
terutama mempertanyakan diferensiasi analitis dari proses kebijakan menjadi tahap dan
urutan yang terpisah dan berbeda. Sebagaimana disebutkan di atas, penelitian implementasi telah
memainkan peran penting dalam mempersiapkan landasan bagi kritik tersebut; penelitian
implementasi mengungkapkan bahwa pemisahan yang jelas antara pembentukan dan
implementasi kebijakan hampir tidak mencerminkan pembuatan kebijakan di dunia nyata, baik
dari segi urutan hirarkis atau urutan kronologis (pertama pembentukan, selanjutnya implementasi),
maupun dari segi aktor yang terlibat.

Berawal dari pengamatan empiris yang mengacu pada aspek tunggal dari model siklus,
sebuah kritik yang semakin fundamentalis berkembang, yang menantang seluruh kerangka
siklus. Pendekatan ini dinamakan, secara polemis, pendekatan buku teks (Nakamura 1987).
Meskipun peran model tahap dalam mengubah penelitian politik dan memungkinkan
analisis berbagai tahap proses kebijakan yang melibatkan berbagai aktor kelembagaan telah
diakui bahkan oleh para pengkritiknya yang paling keras sekalipun, model ini dikatakan sudah
kadaluwarsa dan harus digantikan dengan model yang lebih maju (Sabatier
1999). Menurut Sabatier, penerapan yang tidak kritis model tahap justru menghambat
kemajuan ilmiah dan bukan mempromosikannya. Seruan untuk pemanfaatan kerangka kerja dan
teori alternatif telah mengkritik model tahap khususnya pada hal-hal berikut (lihat Sabatier
1999; Sabatier, Jenkins-Smith, 1993):

 Berkenaan dengan deskripsi, model tahap dikatakan mengalami ketidaktepatan deskriptif


karena realitas empiris tidak sesuai dengan klasifikasi proses kebijakan ke dalam tahap-tahap yang
berbeda dan berurutan. Implementasi, misalnya, mempengaruhi penyusunan
agenda; atau sebuah kebijakan akan dirumuskan sementara beberapa lembaga
lapangan mencoba untuk menjalankan program-program yang ambigu/tidak jelas; atau penghentian
kebijakan harus dilaksanakan. Dalam beberapa kasus, kurang lebih mustahil,
atau paling tidak tidak berguna, untuk membedakan antara tahap. Pada kasus
lainnya, urutannya terbalik; beberapa tahap sepenuhnya terlewatkan atau terjadi bersama-sama.

 Dalam hal nilai konseptualnya, siklus kebijakan tidak mendefinisikan unsur-unsur


kerangka teoritis. Secara khusus, model tahap tersebut tidak memberikan penjelasan
kausalitas untuk transisi antara pada tahap-tahap yang berbeda. Oleh karena itu, kajian-kajian
mengenai tahap-tahap tertentu mengacu pada sejumlah konsep teoritis yang berbeda
yang tidak berasal dari kerangka siklus itu sendiri. Model-model khusus yang
dikembangkan untuk menjelaskan proses dalam tahap tunggal tidak terhubung
dengan pendekatan lain yang mengacu pada tahap-tahap lain dalam siklus
kebijakan.

Siklus kebijakan didasarkan pada perspektif yang jelas atas-bawah, dan karena itu, pembuatan kebijakan
akan dibingkai sebagai kemudi hirarkis oleh lembaga yang lebih tinggi. Dan fokusnya akan selalu pada
program dan keputusan tunggal serta pada adopsi dan pelaksanaan formal dari program-program ini.
Interaksi antara berbagai program, hukum, norma, dan implementasi yang tepat serta evaluasinya tidak
mendapatkan perhatian utama dalam analisis kebijakan.

Selain itu, dengan mengadopsi perspektif siklus kebijakan, unsur-unsur dari proses
kebijakan yang tidak terkait dengan kegiatan pemecahan masalah diabaikan secara sistematis.
Kegiatan-kegiatan simbolis atau ritual dan kegiatan yang murni berkaitan dengan
pemeliharaan kekuasaan (Edelman 1971) tidak penting dalam model tahap tersebut.
Namun, alih-alih menjadi tujuan utama dari aksi politik, pembuatan kebijakan sering dihasilkan sebagai
produk-samping dari politik. Sekalipun proses politik dapat dianalisis dalam kaitannya dengan dampaknya
terhadap penyelesaian masalah, hal ini tidak boleh disamakan dengan penafsiran yang menganggap
bahwa para pelaku politik hanya berorientasi pada penyelesaian masalah. Terakhir, kerangka siklus
kebijakan mengabaikan peran pengetahuan, ide dan pembelajaran dalam proses kebijakan sebagai
variabel independen yang berpengaruh pada semua tahap proses kebijakan (dan tidak hanya pada tahap
evaluasi).

Secara keseluruhan, kerangka siklus tersebut mengarah pada pandangan dunia yang
terlalu disederhanakan dan tidak realistis. Pembuatan kebijakan tampak terlalu mudah; seluruh
proses direduksi menjadi memulai dan melanjutkan program. Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, peran kebijakan sebelumnya dalam membentuk pembuatan kebijakan
serta interaksi antara berbagai siklus, tahap, dan aktor tidak diperhitungkan secara sistematis.
Namun demikian, ciri utama dari proses kebijakan dalam masyarakat modern adalah interaksi antara
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kebijakan di berbagai tingkat (lokal,
regional, nasional, inter dan supranasional) dan wilayah pemerintahan (pemerintah, parlemen,
administrasi, komunitas ilmiah, dan sejenisnya) dalam tata kelola pemerintahan. Kebijakan terus
diperdebatkan, dilaksanakan, didukung, dan dievaluasi. Sebagai contoh, pembuatan
kebijakan lingkungan di Amerika Serikat dan Uni Eropa tidak dapat dipahami dengan baik tanpa
mengetahui interaksi antara inisiatif dari berbagai tingkat pemerintahan dan tanpa memperhitungkan
dampak dari kegiatan-kegiatan pada bidang kebijakan lainnya (misalnya, transportasi, energi, dan lain-lain
atau kebijakan ekonomi yang lebih luas). Bahkan asumsi adanya subsistem kebijakan yang jelas dan
terpisah tampaknya tidak realistis.

Kritik mendasar dari Sabatier dan yang lainnya telah memicu pengembangan pendekatan alternatif.
Kerangka koalisi advokasi yang dikembangkan oleh Sabatier, kerangka berbagai aliran (multi-arus),
pendekatan pilihan rasional kelembagaan, model difusi kebijakan, dan teori keseimbangan yang diselingi
(punctuated equilibrium) dianggap sebagai kerangka alternatif yang menjanjikan (lihat Sabatier 1999).

Keterbatasan dan Kegunaan Perspektif Siklus Kebijakan


Dengan mempertimbangkan kritik mendasar tersebut, apa yang akan menjadi penilaian
keseluruhan atas keterbatasan dan kegunaan kerangka kerja siklus kebijakan? Pertama-tama,
sebagian besar poin kritik yang berbeda adalah masuk akal. Seperti halnya kerangka lainnya,
kerangka kerja siklus kebijakan menggambarkan realitas yang sangat disederhanakan, dengan
menyoroti beberapa aspek dan mengabaikan aspek-aspek lainnya. Yang terpenting, siklus
kebijakan tidak menawarkan model sebab akibat dari proses kebijakan dengan variabel
dependen dan independen yang didefinisikan dengan jelas. Oleh karena itu, menurut Sabatier,
siklus kebijakan atau perspektif tahap tidak dapat berperan sebagai kerangka teoritis dari
proses kebijakan.

Namun demikian, seperti yang telah ditekankan oleh Renate Mayntz pada tahun 1983,
penelitian kebijakan tidak hanya, dan sering kali tidak hanya berkutat pada penerapan teori
ilmiah analitis (analytische Wissenschafts-therorie) (pengujian hipotesis, hubungan kausalitas
antar variabel) (lihat perdebatan mengenai logika penelitian yang berbeda dalam Brady dan
Collier 2004). Sebaliknya, pemahaman yang rinci dan berbeda mengenai dinamika internal dan
keunikan proses pembuatan kebijakan yang kompleks dianggap sebagai tujuan khusus dan
relevan dari penelitian kebijakan (Mayntz 1983, 14).

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, perspektif siklus kebijakan telah terbukti


memberikan perangkat penyelidikan yang sangat baik. Studi sesudah perspektif siklus
kebijakan telah meningkatkan pemahaman kita mengenai prakondisi yang kompleks, faktor-faktor utama
yang mempengaruhi, dan hasil-hasil yang beragam dari proses kebijakan. Berbagai
konsep yang dikembangkan dalam studi yang berusaha memahami bagian-bagian tertentu dari
siklus kebijakan telah menawarkan alat yang berguna untuk mengklasifikasikan
berbagai unsur dari keseluruhan proses. Oleh karena itu, perspektif siklus kebijakan akan terus
memberikan kerangka konseptual yang penting dalam penelitian kebijakan, selama tujuan
penyelidikan dari kerangka tersebut dipertimbangkan dan upaya meninggalkan perspektif hirarkis
atas-bawah serta menerima pendekatan lain dan baru dalam literatur ilmu politik yang lebih luas
dipertimbangkan.

Kerangka siklus ini juga memiliki peran penting dalam menyusun sejumlah besar
literatur, konsep teoritis yang melimpah, alat analisis dan studi empiris, dan oleh karena
itu tidak hanya penting untuk tujuan pengajaran (Parsons 1995, 80). Kerangka kerja ini juga
penting sebagai template dasar (latar belakang) untuk menilai dan membandingkan sumbangan
tertentu (serta yang terlewatkan) dari teori proses kebijakan yang lebih baru. Oleh karena itu, kritik
terhadap siklus kebijakan, yang berpusat pada kriteria umum untuk kerangka kerja, teori dan
model, mengabaikan peran penting dari perspektif dalam menyediakan garis dasar untuk
'komunikasi' antara beragam pendekatan di lapangan. Dalam hal ini, kami setuju dengan
Schlager (1999, 239, 258), yang menyoroti keterbukaan perspektif siklus untuk kepentingan
teoritis dan empiris yang berbeda di bidang studi kebijakan (dan setuju dengan kritik terhadap
penerapan perspektif siklus sebagai kerangka teoritis atau model dalam arti sempit),
tetapi akan menambahkan dan menekankan peran penting dari perspektif siklus untuk
mengintegrasikan berbagai macam literatur.

Banyak penelitian empiris dan pertimbangan teoretis telah dilakukan dalam sepanjang garis tahap tunggal;
penelitian-penelitian ini memberikan kontribusi penting tidak hanya pada literatur kebijakan, namun juga
pada literatur ilmu politik yang lebih luas. Sebagai contoh, seluruh perdebatan
mengenai (bentuk-bentuk baru) tata kelola pemerintahan dan perkembangan dari pemerintah ke
tata kelola pemerintahan dibangun berdasarkan hasil dan perdebatan dalam penelitian kebijakan
(Jann 2003; Lodge dan Wegrich 2005a, b). Penelitian mengenai implementasi telah menyiapkan landasan
bagi perdebatan tata kelola pemerintahan dengan menemukan model non-hierarkis pemerintahan dan pola
tata kelola bersama antara aktor negara dan aktor-aktor sosial, dan melalui pengakuan peran penting
masyarakat sipil (organisasi) dalam penyampaian kebijakan.

Pertanyaan-pertanyaan penelitian utama dalam literatur kebijakan akademis dan juga


penelitian terapan (kurang lebih secara eksplisit) masih berasal dari penelitian yang ditawarkan oleh
kerangka siklus kebijakan. Pertanyaan-pertanyaan mengenai dampak aktual dari intervensi
tertentu (evaluasi) atau yang berkaitan dengan konsekuensi-konsekuensi yang muncul dari hasil
evaluasi (penghentian, persepsi dan pengakuan terhadap masalah baru) akan tetap menjadi
pertanyaan yang penting. Hal yang sama juga berlaku pada tahap-tahap lain dalam proses
kebijakan; tentu saja, pertanyaan-pertanyaan mengenai apakah dan mengapa sebuah kebijakan
menyimpang dari rancangan awal selama pelaksanaannya, atau aktor-aktor mana yang paling
penting dalam mendefinisikan masalah kebijakan atau selama adopsi formal sebuah kebijakan.

Dalam hal pemerintahan demokratis dan dari perspektif penelitian administrasi publik, tetap
menjadi relevansi utama pada tahap mana aktor mana yang dominan dan mana yang tidak. Peran
apa yang dimainkan oleh partai, parlemen, media, kelompok kepentingan, lembaga tunggal, atau
komunitas ilmiah dalam mendefinisikan masalah apa yang harus ditangani atau bagaimana
hukum harus diterapkan dan ditegakkan? Mungkinkah, berlawanan dengan model normatif kita,
kebijakan-kebijakan penting dirumuskan tanpa campur tangan besar dari para politisi terpilih,
yang kemudian hanya mampu melakukan penyesuaian kecil selama pelaksanaan? Ada risiko bahwa
temuan empiris mengenai proses kebijakan yang kompleks-digambarkan sebagai ruang yang
sangat rumit di mana banyak proses paralel beroperasi dengan umpan balik interaktif yang sering
terjadi-mengakibatkan pengabaian terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian utama mengenai
peran aktor yang berbeda di berbagai tahap proses kebijakan. Pejabat terpilih dan birokrat yang
ditunjuk, kelompok kepentingan dan perusahaan, serta ilmuwan dan pakar memiliki tanggung
jawab yang berbeda dalam proses demokratis-dan peran-peran ini terkait dengan berbagai
tahapan proses kebijakan, dengan kematangan kebijakan masing-masing.

Oleh karena itu, kerangka siklus kebijakan tidak hanya menawarkan tolok ukur untuk
evaluasi keberhasilan atau kegagalan (komparatif) suatu kebijakan, tetapi juga menawarkan
perspektif yang dapat digunakan untuk menilai kualitas demokratis dari proses-proses tersebut
(tanpa harus mengikuti asumsi urutan yang sederhana dan terpisah-pisah serta pemisahan
tahapan yang jelas). Selain itu, kerangka siklus ini memungkinkan penggunaan perspektif
analitis yang berbeda dan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang sesuai yang akan tetap menjadi
salah satu yang paling penting dalam penelitian kebijakan, meskipun tahap penyelidikan dari
siklus kebijakan tidak menawarkan penjelasan sebab-akibat yang komprehensif untuk keseluruhan
proses kebijakan dan bahkan jika asumsi-asumsi teoritis yang mendasar, yang menjadi dasar
versi awal kerangka ini, sudah lama ditinggalkan; tentu saja, hal ini masih menjadi sangat
penting jika dan mengapa sebuah kebijakan melenceng dari rancangan awal selama
pelaksanaannya. Demikian pula, masih menjadi pertanyaan yang relevan, aktor mana yang
paling penting dalam mendefinisikan masalah kebijakan atau secara formal mengadopsi
kebijakan tertentu.

Anda mungkin juga menyukai