ZIARAH
( Karya Iwan Simatupang )
Nama Kelompok:
1. Alfiana Nurillahi Meytsala (01)
2. Deni Irvanda Mulya (08)
3. Elyana Sugagono (10)
4. Hayatun Nufus (15)
5. Nadila Berliana (24)
6. Rila Ayu Agnes Indarwati (28)
XII MIPA 5
SMA Negeri 1 Ngawi
TP. 2017/2018
A. UNSUR INTRINSIK KARYA
1. TEMA
“Kegelisahan manusia setelah kehilangan istrinya karena kematian.”
kehidupan dan realitas dunia yang tidak lepas dari peristiwa kematian yang
dapat terjadi kapanpun dan dengan cara apapun
2. AMANAT
“Iklhaskan kepergian seseorang!”
3. ALUR
Alur yang digunakan dalam Novel tersebut adalah campuran.
Diawali dengan :
1. Komplikasi ( halaman 1- 10 )
Tahap komplikasi yaitu pada peristiwa kematian istri pelukis yang
menjadi awal penderitaan pelukis, pada tahap inilah pelukis menderita
ditinggalkan istrinya. Ia mulai dikenal sebagai pemabuk, sering berteriak-
teriak memanggil istrinya, berteriak menamggil Tuhan, sering menangis
dan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dan dia sangat membenci hal-hal
yang berkaitan dengan perkuburan. Lalu pertemuan opseter dengan
pelukis, opseter meminta pelukis untuk mengapur tembok kuburan, tapi
padahal dia memiliki niat tersembunyi
4. Klimaks ( halaman )
Pelukis mengetahui niat opseter menyuruh pelukis untuk mengapur
tembok kuburan. Hal ini membuat opseter terkejut hingga akhirnya
opseter gantung diri.
5. Resolusi ( halaman )
Pelukis gila
4. TOKOH DAN PENOKOHAN
Tokoh kita/pelukis/pengapur
Pelukis adalah manusia bebas, tidak suka dengan aturan, hidupnya
mengikuti alam semesta. Sebelum istrinya meninggal ia adalah pelukis
berbakat yang hidupnya sangat bahagia bersama istrinya yang dinikahi
dengan cara tidak lazim, karya-karyanya dikagumi orang-orang dari
segala penjuru negeri.
Ditunjukan pada :
“Dia dulu hanya pelukis, titik. Gagasan seni yang muluk-muluk, dia
tak punya. Seluruhnya diserahkannya kepada pergeseran dirinya
dengan alam semesta.”(Halaman 67)
Tetapi, setelah istrinya meninggal ia berubah menjadi pemabuk dan
bertingkah layaknya orang gila yang suka menagis, tertawa, dan
berteriak memangil nama istrinya.
“Begitu malam jatuh, perutnya dituangnya arak penuh-penuh,
memanggil Tuhan keras-keras, kemudian meneriakan nama istrinya
keras-keras. Tawa keras-keras ini menjadi isyarat bagi orang-orang
yang menuntunnya pulang ke satu kamar kecil, di satu rumah kecil, di
pinggir kota kecil.”(Halaman 1)
Setelah beralih profesi menjadi seorang pengapur ia adalah orang
yang rajin, menyenangi pekerjaannya. Namun sangat tidak suka
pekerjaan yang berkaitan dengan kuburan.
“Dan oleh sebab dia memang tenaga yang sungguh-sungguh,
artinya dalam batas-batas paling banyak lima jam berturut-turut sehari,
mereka suka sekali mengunakan tenaganya. Kerja apa saja
diterimanya. Mencuci piring di kedai, menjaga orok di rumah yang
orang tuanya perlu berpergian, membersihkan pekarangan rumah,
menjadi kacung bola tenis, dan seterusnya. Tapi bila ditanyakan
kepadanya jenis kerja mana yang paling suka dilakukannya, dengan
mata bersinar-sinar dia akan menjawab: mengecat atau mengepur
rumah.”(Halaman 5)
Setelah menjadi pengapur tembok perkuburan sikap dan pikirannya
banyak mengalami perubahan dan akhurnya dapat menerima
kenyataan bahwa istrinya telah tiada.
“.... Maksud saudara adalah memaksa saya ziarah kekuburan istri
saya. Dua perbuatan yang satu sama lainnya berbeda sekali sifatnya.
Tapi saudara telah tidak hanya memperkosa logika sampai disini saja.
Saudara mengetahui alasan-alasan keberatan saya terhadap ziarah.
Yang di dalam tanah ini bukanlah istri saya lagi. Sedikitpun ia tak
punya sangkut paut apa-apa dengan saya, dengan orang yang dulu jadi
istri saya. Istri saya telah mati kata orang.”(Halaman 127)
Opseter
Opseter adalah seorang mahasiswa filsafat yang mengasingkan
dirinya dengan bekerja menjadi seorang opseter. Ia adalah putera satu-
satunya dari hartawan kaya. Ia adalah mahasiswa yang pintar, cerdas,
selalu berfikir secara kritis.
Ditunjukkan pada :
“Walaupun dia sama sekali belum pernah menerima pendidikan
teknik ataupun pertukangan, namun berkat kecerdasan otaknya, dan
terutama berkat kebiasaan berfikir secara berdisiplin dan kritis selama
sekian tahun mengikuti kuliah-kuliah filsafat, ditambah jiwa
artistiknya dan daya fantasinya yang sanngat potensial, maka seluruh
kejuruan dan ketangkasan yang diharapkan dari seorang opseter
pengawas perkuburan segera dapat dimilikinya.”(Halaman 32)
Istri Pelukis
Seorang istri yang mau menerima suaminya dengan apa adanya, dari dia
lah suaminya (pelukis) banyak belajar.
Ditunjukan pada:
“Dan laki-laki yang menjadi suaminya kini, adalah hanya sebagian
saja dari kenyataan itu. Oleh sebab itu, dia menerimanya tanpa
menanyakan kartu jenis darahnya dari palang merah. Dia menerima
kepelukisannya.”(halaman 97)
Mahaguru
Mahaguru di sebuah Universitas Ilmu Filsafat. Orang yang bijaksana,
karena meskipun dia adalah seorang Mahaguru namun ia masih mau
belajar dari muridnya (opseter kedua).
Ditunjukan pada:
“Sungguh banyak yang telah saya pelajari dari dia. Lebih banyak
lagi yang bakal saya terima dari dia, tiap hari saya mengajukan
pertanyaan padanya, sekedar untuk memancing pelajaran bagi dirinya
sendiri.”(halaman 136)
Ayah Opseter
Ayah sekaligus hartawan yang kaya raya, sangat menyayangi dan
peduli terhadap anaknya, serta ingin anaknya mewarisi semua harta
kekayaannya,
Ditunjukan pada:
“... Adakah seorang muda yang tampan seperti dia, kaya raya
seperti dia, dan pintar seperti dia, layak menghabiskan tahun-
tahunnya di sekitar perkuburan tua itu?”(halaman 43)
Walikota
Tokoh pendendam namun ia menyembunyikan rasa dendamnya, ia
tidak menyukai warga kotanya, ia menjadi walikota karena ingin
menuntaskan manusia-manusia kerdil dekil, yang selama ini tak
sedikitpun mendapat penghargaan.
Ditunjukan pada:
“Ia menerima pemilihan dan pengangkatannya sebagai walikota
dulu hanya untuk sekedar menggunakan kedudukannya sebagai
kesempatan sebaiknya untuk pada suatu saat nanti membalaskan
dendamnya pada mereka, pada manusia-manusia dari jenis mereka,
kerdil, dekil, pandir, bernaluri makan dan pakaian saja tak
lebih.”(halaman 19)
Wakil Walikota
Seorang wakil yang tidak egois, selalu mengalah, dan bertanggung
jawab.
Ditunjukan pada :
“Selamat! Saudara saya doakan jadi walikota seumur hidup. Ah!
Saudara manusia berbahagia.”(halaman 85)
Kepala Negara
Pemimpin yang bijaksana dan berwawasan filsafat.
Ditunjukan pada:
“Pada suatu hari, kepala negara memiliki pesawat terbang
pribadinya dan terbang ke kota kecil tempat tinggal opseter
perkuburan muda yang telah menjadi biang keladi dari seluruh heboh
dan malapetaka yang menimpa negeri yang sedang
dikepalainya.”(halaman 37)
Perdana Mentri
Perdana mentri yang memiliki sifat sentimentalitas dan tidak suka
terhadap segala sesuatu yang berbau filsafat.
Ditunjukan pada:
“Dalam pidato pengangkatannya sebagai kepala negara yang baru,
beliau meminta kepada perdana menteri baru yang masih bakal
diangkat lagi, agar nanti sudi mencantumkan sebagai program
kerjanya, diantaranya membatasi arti dan pengaruh Shakespeare dan
pengarang-pengarang lainnya hanya sampai bidang-bidang kesenian
dan kebudayaan saja.”(halaman 40)
Ibu Hipotesis
Ibu dari istri pelukis yang telah lama meninggalkannya di panti
asuhan sejak ia masih kecil. Ia adalah korban perkosaan oleh serdadu-
serdadu pada saat perang.
Ditunjukan pada:
“Jadi wanita ini rupanya ingin berkata, bahwa anak hipotesisnya
itu adalah seorang perempuan, dan bahwa saya... . sebagai menantu
hipotesisnya, tentulah menurut teorinya yang hipotesis itu kawin
dengan anak hipotesisnya itu.”(halaman 119)
Brigadir polisi
Bersifat baik hati dan pengertian, tidak mengambil keputusan semata-
mata karena hukum dan Undang-undang, melainkan karena sisi
kemanusiaan.
Ditunjukan pada :
“... . kebahagiaan yang mereka nikmati kini hendaklah
sepenuhnya dan seutuhnya dapat mereka nikmati. Ah, persetan
dengan undang-undang dengan hukum, terlebih dengan hukuman!
Katanya, dan ia bergegas pulang ke rumahnya.”(halaman 76)
5. SETTING
Tempat :
1. Tikungan : “disalah satu tikungan” (halaman 1)
(halaman 99)
Waktu :
1. Pagi hari
“Juga pagi itu dia bangun” (halaman 1)
“Paginya dia selalu gmbira” (halaman 1)
“di ufuk tiap pagi membawa ingatan putih baginya” (halaman 1)
“saya minum arak sepagi hari” (halaman 7)
2. Tengah hari
“persis tengah hari mereka berpisahan” (halaman 10)
3. Sore hari
“menjelang benamnya matahari, dia berhenti kerja” (halaman 11)
4. Malam hari
“Begitu malam jatuh, perutnya dituangnya arak penuh-penuh”
(halaman 1)
“menghidupi detik-detik selanjutnya dari malam yang sisa”
(halaman 1)
“Malam-malamnya seperti ini” (halaman 1)
“Malamnya, dia menyuruh penjaga perkuburan” (halaman 2)
“malam itu dia ada melihat matahari sepanjang malam” (halaman 2)
Suasana :
1. Gembira
“menggeger suatu tawa gempita dari atas tembok” (halaman 15)
2. Sunyi
“sunyi senyap dipekuburan itu” (halaman 113)
3. Ramai
“desah keramaian kota ...” (halaman 4)
4. Panik
“hadirin geger” (halaman 38)
5. Gelisah
“dia mulai gelisah”
6. Hening
“sesudah itu hening, sehening-heningnya” (halaman 3)
7. Sedih
“demi satu titik membasah di matanya” (halaman 123,124)
6. SUDUT PANDANG
Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam novel ini adalah sudut
pandang orang ketiga serba tahu.
Hiperbola
1. “seluruh kota terbenam bunga.” (halaman 76)
2. “Tuan adalah nabi seni lukis masa datang, “ (halaman 69)
3. “matanya melotot seperti kerucut roket yang siap di tembakan ke
angkasa luar,” (halaman 82)
Perumpamaan
1. “ beliau tampaknya bermurung saja, seolah perjaka yang patah hati
karena asmaranya ditolak.” (halaman 40)
2. “wajahnya seperti matahari gerhana” (halaman 46)
3. “tangan itu masih menengadah, seperti sekuntum bunga yang justru baru
mulai mekar,” (halaman 48)
2. Nilai Sosial
Jangan melakukan kriminalitas dalam hal penggelapan kas jabatan
dan pemerkosaan. (halaman 79, paragraf 4)
Menerima seseorang apa adanya. (halaman 98, paragraf 1)
Menampung anak dan ibu. ( halaman 120, paragraf 2)
3. Nilai Moral
Tanggungjawab yang tulus ( halaman 61, paragraf 3)
Jangan mudah menyerah dalam suatu keinginan ( halaman 70,
paragraf 6)
Sikap kerendahan hati, santun jatmika. ( halaman 117, paragraf 8)
4. Nilai Budaya
Dua orang pemuda berpamitan dengan hormatnya kepada Brigadir
Polisi (halaman 76, paragraf 2)
Hormatilah yang mati. (halaman 83, paragraf 3)