Anda di halaman 1dari 10

KELISANAN DAN KEAKSARAAN

Dosen Pengampu :Aslan abidin, M.A.


MEMORI,BUDAYA,TRADISI, DAN ALUR CERITA
LISAN
Reski Aulia Hamid 220511501026
rezkiijoo@gmail.com

Program Studi Sastra Indonesia/B

Fakultas Bahasa Dan Sastra

Universitas Negeri Makassar

2022
Abstrak

Di mana-mana, narasi merupakan genre utama seni verbal, dan ini berlangsung dari budaya
lisan primer hingga keaksaraan tinggi dan era pemrosesan informasi elektronik. Dalam
pengertian tertentu, narasi adalah bentuk seni verbal yang paling penting karena ia didasari
begitu banyak bentuk seni lainnya, sering kali bahkan bentuk yang paling abstrak.
Pengetahuan manusia dihasilkan dari waktu. Bahkan di balik abstraksi ilmu pengetahuan,
terdapat narasi pengamatan yang menjadi basis abstraksi. Mahasiswa pada laboratorium sains
harus menuliskan" eksperimen, dengan kata lain, mereka wajib menarasikan apa yang mereka
lakukan dan apa yang terjadi ketika mereka melakukannya. Dari narasi tersebut, dapat
diformulasikan generalisasi atau kesimpulan abstrak tertentu. Di balik pepatah dan peribahasa
serta renungan filosofis dan ritual keagamaan terdapat memori pengalaman manusia yang
merentang waktu dan menjadi bahan pembahasan naratif.

Abstract

Everywhere, narrative is a major genre of verbal art, and it extends from primary oral culture
to high literacy and the era of electronic information processing. In a sense, narrative is the
most important form of verbal art because it is based on so many other art forms, often even
the most abstract ones. Human knowledge is produced from time. Even behind the
abstraction of science, there is a narrative of observation that forms the basis of the
abstraction. Students in science laboratories have to write down "experiments", in other
words, they have to narrate what they do and what happens when they do it. From this
narration, certain generalizations or abstract conclusions can be formulated. Behind the
proverbs and proverbs as well as philosophical reflections and religious rituals contain
memories of human experience that span time and become material for narrative discussion.

Kata kunci : Tradisi lisan, memori, alur cerita.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian dalam artikel ini ialah metode deskriptif kuantitatif yang di mana
memanfaatkan beberapa sumber baik berupa jurnal maupun buku, untuk mendapatkan
informasi mengenai memori, budaya, tradisi dan alur cerita lisan. Sehingga informasi tersebut
dapat di sajikan di dalam artikel ini.

I. PENDAHULUAN

Beberapa tahun terakhir ini, ditemukan beberapa perbedaan mendasar antara cara-cara
mengelola pengetahuan serta verbalisasi kebudayaan lisan primer (kebudayaan yang belum
mengenal mengenai tulisan) dan dalam kebudayaan yang sangat dipengaruhi oleh
penggunaan tulisan. Implikasi dari penemuan-penemuan baru tersebut itu sungguh
mengejutkan. Banyak aspek yang sudah kita terima begitu saja dalam hal pemikiran juga
ungkapan di bidang sastra, filsafat, juga sains, dan bahkan dalam wacana lisan di kalangan
orang-orang melek aksara, tidak alamiah bagi eksistensi manusia tetapi tercipta akibat
berbagai kemampuan yang dimunculkan teknologi tulisan pada kesadaran manusia.

II. PEMBAHASAN

Narasi Dan Budaya Lisan

Meskipun ditemukan di banyak budaya, dari segi tertentu narasi memiliki fungsi secara
luas dalam budaya lisan primer ketimbang dalam budaya lain. Pertama, dalam budaya lisan
primer, seperti yang dikemukakan oleh Havelock (1978a; bdgk. 1963), pengetahuan tidak
dapat dijalankan dalam kategori-kategori yang kurang lebih bersifat abstrak dan ilmiah.
Budaya lisan tidak dapat menghasilkan kategori-kategori seperti itu, jadi digunakanlah cerita
cerita mengenai tindakan tindakan manusia untuk menyimpan, menata, menyusun dan
mengomunikasikan sebagian besar hal yang mereka ketahui. Sebagian besar budaya lisan
menghasilkan narasi atau rangkaian narasi dalam jumlah yang lumayan banyak, seperti kisah
pada perang Troya di kalangan masyarakat Yunani kuno, cerita coyote, sejenis anjing hutan,
di kalangan penduduk Amerika Asli, cerita-cerita Anansi (laba-laba) di Belize dan budaya-
budaya Karibia lain yang memiliki warisan budaya Afrika, kisah-kisah Suniata dari Mali
lama, kisah-kisah Mwindo di kalangan masyarakat Nyanga, dan banyak lainnya. Karena
kerumitan adegan serta tindaka-tindakannnya, narasi semacam ini kerap kali merupakan
penyimpanan terluas bagi adat dan pengetahuan suatu budaya lisan.

Kedua, narasi di anggap sangat penting dalam budaya lisan primer karena bisa mengikat
sejumlah besar adat dan pengetahuan dalam bentuk yang cukup panjang, besar, serta tahan
lama,yang di mana dalam budaya lisan berarti bentuk-bentuknya akan dapat diulang.
Peribahasa, cangkriman, pepatah, dan semacamnya tentu saja juga dapat tahan lama, tetapi
biasanya singkat. Formula ritual, yang mungkin saja lumayan panjang, sering kali memiliki
kandungan khusus. Silsilah, yang bisa jadi relatif panjang, hanya menyajikan informasi yang
sangat khusus. Penampilan verbal lain yang panjang dalam budaya lisan primer cenderung
bersifat kekinian, sesuatu yang hanya dapat terjadi satu kali saja. Di dalam budaya lisan
primer, yang tidak memiliki teks, narasi berfungsi untuk mengikat pemikiran secara jauh
lebih menyeluruh dan lebih permanen ketimbang genre-genre lainnya.

Kesadaran Awal Mengenai Tradisi Lisan

Ratusan kolektor, yang dimulai dengan James McPherson (1736-96) di Skotlandia, Thomas
Percy (1729-1811) di Inggris, kakak-beradik Grimm, Jacob (1785-1863) dan Wilhelm (1786-
1859) di Jerman, atau Francis James Child (1825-96) di Amerika Serikat, telah mengerjakan
ulang sedikit banyaknya secara langsung bagian-bagian tradisi lisan atau semi-lisan, dan
memberikan kehorrmatan baru pada tradisi tersebut. Pada awal abad kedua puluh,
cendekiawan Skotlandia Andrew Lang (1844-1912) dan yang lain telah cukup
mendiskreditkan pandangan bahwa dongeng rakyat hanyalah puing-puing sisa mitologi
sastra. Pengetian kata “Lisan” pada tradisi lisan ialah proses penyampaian sebuah tradisi
dengan menggunakan media lisan, seperti berbicara. Tradisi lisan tidak akan lepas dari
zaman tradisional. Tradisi lisan ini menjadi topik yang sangat menarik jika dihubungkan
dengan perkembangan dunia kesejaraan dan era masa kini. Tradisi lisan merupakan hal hal
yang berhubungn dengan sastra,bahasa dan sejarah dan pengetahuan lainnya yang
disampaikan dari mulut ke mulut, Pudentia (2015). Tradisi lisan juga merupakan unsur
budaya yang di hasilkan oleh masyarakat masa lampau ketika belum mengetahui apa itu
tulisan. Contohnya seperti cerita rakyat, mantra mantra, doa doa, lagu, tarian atau
pertunjukan lainnya. Tradisi lisan sebagai kegiatan budaya tradisional yang diwariskan
secara turun temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lainnya, baik tradisi
itu berupa susunan kata ataupun tradisi lain yang bukan lisan. Tradisi lisan tidak hanya
tentang cerita rakyat, ungkapan tradisional, legenda dan lain-lain tetapi juga mencakup
kebudayaan seperti sejarah, hukum dan sebagainya. Adapun isi dari tradisi lisan yaitu,
kebernilaian yang merupakan makna dan fungsi serta kearifan lokal tradisi lisan. Manusia
juga memiliki aspek lain melalui tradisi lisan tersebut, seperti aspek religi atau keagamaan,
komunikasi, politik, hukun dan lain sebagainya. Tetapi tradisi lisan dalam masyarakat saat
ini mulai memudar dan perannya mulai di gantikan oleh berbagai media seperti, televisi,
surat, internet dan handphone.Yang di mana di sebut dengan era keaksara atau era tulisan.

Alur Cerita Dan Memori Lisan

Narasi itu sendiri memiliki sejarah. Scholes dan Kellogg (1966) meneliti dan
menskematisasi sebagian cara untuk berkembangnya narasi Barat dari sebagian asal-usul
lisan kunonya sampai saat ini, dengan memperhatikan penuh faktor-faktor sosial, psikologis,
dan estetis yang rumit serta faktor-faktor lain. Beberapa perbedaan yang membedakan antara
narasi dalam latar budaya yang sepenuhnya lisan dan narasi melek aksara, dengan memberi
perhatian terkhusus pada fungsi memori.
Orang-orang dari budaya tulisan dan cetak atau era aksara saat ini cenderung melihat
narasi yang disusun secara sadar sebagai sesuatu yang biasanya dirancang dalam plot linear
berklimaks yang kerap kali digambarkan sebagai "piramida Freytag" (yakni tanjakan naik,
yang diikuti landaian ke bawah): aksi meningkat membangun ketegangan dan keseruan,
hingga mencapai suatu titik klimaks, yang kerap kali terdiri dari suatu kesadaran atau
kejadian lain yang memunculkan peripeteia atau cerita atau pembalikan aksi, dan kemudian
diikuti oleh akhir ini disamakan dengan pengikatan dan penguraian s penguraian-karena plot
linear berklimaks yang standar suatu simpul. Inilah jenis plot yang ditemukan Aristoteles
dalam drama (Poetics,1451b-. 1452b)-tempat penting untuk plot semacam itu, karena
meskipun dibawakan secara lisan, drama Yunani disusun sebagai teks tertulis, dan
merupakan genre verbal pertama serta satu-satunya genre verbal di Barat selama berabad-
abad tulisan.
Narasi lisan Yunani kuno, epos, tidak mempunyai plot seperti ini. Dalam Ars Poetica
karyanya, Horace menulis bahwa pujangga epik "bergegas menuju aksi dan memburu-buru
pendengar ke bagian tengah" (baris 148-9). Horace terutama tengah memikirkan tentang
keabaian pujangga epik terhadap urutan waktu. Pujangga melaporkan sebuah situasi dan baru
lama setelahnya menjelaskan, sering kali secara mendetail, bagaimana situasi itu bisa terjadi.
Dia mungkin juga tengah memikirkan tentang kesingkatan dan kegairahan Homeros (Brink,
1971: 221-2): Homeros ingin langsung sampai pada "tempat berlangsungnya aksi". Apa pun
kemungkinannya, para pujangga melek aksara pada akhirnya menafsirkan in medias res
(artinya kurang lebih: into the middle of things, ke bagian tengah-penerj.) Horace itu sebagai
tengah memberikan hysteron proteron, pembalikan urutan logis, yang merupakan keharusan
dalam epos. Oleh karena itu John Milton menjelaskan dalam "Arguments" untuk Buku I dari
Paradise Lost bahwa, setelah mengemukakan "secara singkat keseluruhan topik bahasan"
puisi dan menyinggung sekilas "penyebab utama" kejatuhan Adam "puisi itu bergegas masuk
ke bagian tengah".
Kata-kata Milton di sini menunjukkan bahwa sejak awal dia memegang kendali atas
topik bahasannya dan sebab-sebab yang mendorong lajunya yang tidak mungkin dilakukan
oleh pujangga lisan mana pun. Milton membayangkan plot yang tersusun rapi, dengan bagian
awal, tengah, dan akhir (Aristoteles, Poetics 1450b) dalam urutan waktu yang sesuai dengan
urutan waktu peristiwa yang tengah dia laporkan. Plot ini dengan sengaja dia pecah-pecah
untuk disusun ulang dalam pola yang secara sadar dibuat anakronistik.
Kenyataannya, budaya lisan tidak punya pengalaman dengan plot linear berklimaks
seukuran novel atau seukuran epik yang panjang. Budaya lisan bahkan tidak dapat mengelola
narasi yang lebih pendek dengan cara berklimaks yang cermat dan terus-menerus
sebagaimana yang makin diharapkan oleh para pembaca sastra 200 tahun belakangan dan
secara sadar dianggap remeh oleh mereka dalam beberapa dekade terakhir ini. Sungguh tidak
adil menggambarkan komposisi lisan sebagai menyimpang dari tatanan yang tidak
diketahuinya, dan tidak dapat dibayangkannya. 'Sesuatu' yang di tengahnya aksi seharusnya
bermula tak pernah disusun dalam urutan kronologis guna membangun sebuah "plot", kecuali
bagian komposisi yang pendek. Res Horace merupakan konsepsi keaksaraan. Kita tidak
menemukan keberadaan plot linear berklimaks dalam kehidupan manusia, meskipun
kehidupan nyata mungkin memberikan bahan yang bisa disusun menjadi plot dengan
menyingkirkan tanpa ampun segala kejadian kecuali beberapa kejadian yang disoroti dengan
cermat.
Pujangga lisan pada umumnya mengalami kesulitan memulai lagu: Theogony Hesiod,
di perbatasan antara penampilan lisan dan komposisi tulis, melakukan tiga kali percobaan
pada materi yang sama untuk memulai (Peabody, 1975: 432-3). Para pujangga lisan biasanya
memasukkan pembaca ke medias res bukan karena rancangan besar apa pun, tetapi karena
terpaksa. Mereka tak punya pilihan, tak punya alternatif.
Yang menjadikan seseorang sebagai pujangga epik yang baik bukanlah à penguasaan
akan plot linear berklimaks yang dibongkarnya dengan kiat rumit yang disebut melontarkan
pendengar in medias res. Di antara banyak hal lain tentu saja, yang menjadikan seseorang
pujangga epik yang baik adalah pertama-tama, penerimaan diam- diam atas fakta bahwa
struktur episodik adalah cara satu-satunya dan sepenuhnya alamiah untuk membayangkan
serta mengelola narasi panjang, dan kedua, penguasaan yang teramat tinggi untuk mengatur
kilas balik dan teknik-teknik episodik lainnya. Memulai di "bagian tengah" bukanlah langkah
yang direncanakan secara sadar melainkan cara alamiah, orisinal, dan tak terelakkan bagi
pujangga lisan untuk membawakan narasi panjang (mungkin lain halnya dengan cerita yang
sangat pendek). Jika kita mengambil plot linear berklimaks sebagai paradigma plot, epik
tidak memiliki plot. Plot kaku untuk narasi panjang muncul bersama dengan tulisan.
Berkley Peabody membuka wawasan yang baru mengenai hubungan antara memori
dan plot dalam karyanya yang panjang, The Winged Word: A Study in the Technique of
Ancient Greek Oral Composition as Seen Principally through Hesiod's Works and Days
(1975). Peabody mendasarkan karyanya bukan saja pada karya Parry, Lord, dan Havelock a
karya terkait, tetapi juga pada karya tokoh-tokoh Eropa lain yang lebih awal seperti Antoine
Meillet, Theodor Bergk, Hermann Usener, dan Ulrichvon Wilamowitz-Moellendorff, dan
beberapa kepustakaan sibernetika serta strukturalis. Dia menempatkan psikodinamika epik
Yunani dalam tradisi Indo-Eropa, menunjukkan pertalian erat antara metrik Yunani dengan
metrik Avesta (teks suci kaum Zoroaster dalam bahasa Iran kuno yang terkait erat dengan
bahasa Sansekerta Weda- penerj.), metrik Weda India, dan metrik-metrik Sansekerta lain
serta hubungan antara evolusi baris heksameter dan proses mental.Besar kemungkinan apa
yang dikemukakannya mengenai posisi plot dan tentang hal-hal yang terkait dalam kidung
narasi Yunani akan didapati berlaku pada narasi lisan budaya-budaya di seluruh penjuru
dunia dengan beragam cara.
Sebagian secara tersurat dan sebagian lagi secara tersirat, Peabody menegaskan
ketakserasian tertentu antara plot linear (piramida Freytag) dan memori lisan, sesuatu yang
belum berhasil dicapai oleh karya-karya sebelumnya. Dia menjelaskan bahwa "pemikiran"
atau kandungan sesungguhnya epik lisan Yunani kuno terletak pada pola- pola stanza dan
formulawi tradisional yang diingat, bukan pada niatan sadar penyanyinya untuk menata atau
"memplot" narasi dengan suatu cara tertentu yang diingat (1975:172-9).
Epik lisan (dan dengan perluasan hipotetis, bentuk-bentuk lain narasi dalam budaya lisan)
sama sekali tak terkait dengan imajinasi kreatif dalam pengertian modern istilah ini,
sebagaimana yang berlaku dalam komposisi tulis.
Tentu saja, narasi pasti terkait dengan urutan waktu kejadian, dan dengan demikian
dalam semua narasi terdapat sejenis alur cerita. Sebagai hasil suatu rangkaian peristiwa,
situasi di akhir terjadi sesudah situasi yang ada di awal. Namun demikian saat memandu
pujangga lisan, memori kerap kali tak terlalu terkait dengan penyajian kejadian dalam urutan
waktu yang linear dan ketat.Dalam budaya cetak dan elektronik saat ini, kita merasa senang
menjumpai kesamapersisan tatanan linear unsur- unsur dalam wacana dengan tatanan
referensial, urutan kronologis di dunia yang dirujuk oleh wacana tersebut. Kita senang bila
urutan dalam laporan verbal serupa dengan apa yang kita alami atau dengan apa yang dapat
kita atur untuk alami. Ketika narasi masa kini meninggalkan atau menyimpang dari
paralelisme ini, seperti dalam Marienbad karya Robbe-Grillet atau Rayuela karya Julio
Cortázar, efeknya jelas sangat disadari: kita menyadari hilangnya paralelisme yang biasanya
ada.
Narasi lisan tidak terlalu peduli dengan kesamaan urutan waktu antara rangkaian
peristiwa dalam narasi dengan rangkaian peristiwa dalam hal yang dirujuk di luar narasi.
Kesamaan semacam itu baru menjadi tujuan utama ketika pikiran menginternalisasi
keaksaraan. Peabody menjelaskan bahwa kesamaan tersebut sudah dimanfaatkan oleh Sappho
mendahului masanya, dan hal itu memberi puisi-puisi Sappho nuansa modernitas yang tak
biasa sebagai laporan mengenai pengalaman pribadi yang dialami secara temporal (1975:
221). Tentu saja, pada masa Sappho (hidup sekitar tahun 600 SM) tulisan sudah
memengaruhi struktur psike Yunani.
Dapat dikatakan bahwa kemampuan memori verbal merupakan aset yang sangat
berharga dalam budaya lisan. Tetapi cara kerja memori verbal dalam bentuk-bentuk seni lisan
sangat amat berbeda dengan yang sering di bayangkan oleh orang melek huruf pada masa
lalu. Dalam budaya aksara hafalan dari setiap kata biasanya dilakukan dari teks, dicek oleh si
penghafal sesering mungkin yang diperlukan untuk menyempurnakan dan menguji
penguasaan setiap kata atau kalimat. Pada masa lalu, orang melek huruf umumnya berasumsi
bahwa hafalan lisan dalam budaya lisan biasanya mencapai tujuan yang sama yaitu
pengulangan mutlak pada setiap kata. Bagaimana bisa pengulangan semacam itu bisa
diperiksa kebenarannya sebelum dikenal perekaman suara tidaklah jelas, karena dengan tidak
adanya tulisan satu-satunya cara untuk menguji pengulangan verbatim yang panjang adalah
dengan mengucapan secara bersama sama bagian tersebut oleh dua orang ataupun lebih.
Pembacaan di luar kepala secara bergantian tidak bisa di periksa terhadap satu sama lain.
Contohnya penyampaian lisan dalam sejarah Weda, para brahmana dan murid muridnya
mencerahkan upaya secara intensif untuk menghafal secara verbatim, bahkan mengacak
setiap kata dengan beberapa pola untuk memastikan sejauh mana tingkat penguasaan dan
kaitan lisan mereka antara satu sama lain. Tetapi, setelah munculnya kajian kajian baru
mengenai memori atau ingatan lisan, muncullah banyak pertanyaan mengenai cara kerja
ingatan pada Weda. Pernyataan yang telah di sampaikan dengan cukup jujur oleh orang orang
lisan bahwa setiap kata demi kata yang mereka sampaikan sangat berbeda dengan
kenyataannya. Pernyataan yang sering di buat oleh orang melek huruf bahwa teks teks yang
panjang seperti itu di pertahankan secara verbatim dari generasi ke generasi dalam
masyarakatyang sepenuhnya lisan tidak lagi dapat diterima begitu saja tanpa adanya bukti
yang kuat. Membuat versi sendiri menunjukka variabilitas dalam tradisi lisan, menunjukkan
bahwa di setiap bibir seorang guru yang di sebut berpengaruh, membuat kemungkinan
semakin banyak variasi lisan yang muncul baik secara sengaja maupun tidak di sengaja.
Faktanya, pada teks teks pada weda memiliki sejarah sejarah yang komleks dan
memiliki banyak varian, fakta yang tampaknya memperlihatkan dan menunjukkan bahwa
kecil kemungkinan teks teks tersebut berasal dari tradisi lisan yang mutlak verbatim.
Meskipun verbatim atau bukan, penghafalan lisan dapat bervariasi di akibatkan oleh tekanan
sosial langsung.
Kata lisan, seperti yang telah kita lihat bersama, tidak pernah ada dalam konteks yang
semata-mata verbal sebagaimana kata tertulis. Kata lisan selalu merupakan perbaikan dari
situasi eksistensial, yang senantiasa melibatkan tubuh. Aktivitas ragawi di luar vokalisasi
bukanlah sebuah kebetulan atau sesuatu yang sudah direncanakan di dalam komunikasi lisan,
melainkan sesuatu yang alamiah terjadi dan bahkan tidak dapat terhindarkan. Dalam
verbalisasi lisan, terutama di depan umum, kebergemingan mutlak itu sendiri merupakan
gerak isyarat yang kuat.

III. PENUTUP
Kelisanan pertama yaitu kelisanan primer, sebelum adanya mesin cetak dan
keaksaraan. Kemampuan untuk mengingat atau menghafal adalah kunci utama kelisanan
primer untuk menyimpan, menyampaikan, dan mengulang kembali. Pembicara dan
pendengar berada dalam satu ruangan yang sama dengan situasi tatap muka (face to face),
tempat, dan waktu untuk mendengarkan tradisi lisan tertentu yang disuarakan (bunyi)
dengan makna.
Kelisanan kedua yaitu kelisanan sekunder yang pertama kali dikemukakan oleh P.
J. Walter Ong (1982). Konsep ini lahir sebagai fenomena era paska- keaksaraan yang
menjelaskan bahwa kelisanan sekunder atau kelisanan kedua yaitu kelisanan yang
tergantung pada budaya melek dan keberadaan era penulisan, media elektronik, dan
berbagai perkembangan teknologi komunikasi dan media sosial.
Tradisi lisan pada era keaksaraan perlahan memudar dikarenakan sudah banyak nya
orang melek aksara yang menciptakan teknologi teknologi berupa mesin cetak, televisi,
internet, handphone dan banyak teknologi lainnya. Pada masa lalu, orang melek huruf
umumnya berasumsi bahwa hafalan lisan dalam budaya lisan biasanya mencapai tujuan
yang sama yaitu pengulangan mutlak pada setiap kata. karena dengan tidak adanya tulisan
satu-satunya cara untuk menguji pengulangan verbatim yang panjang adalah dengan
mengucapan secara bersama sama bagian tersebut oleh dua orang ataupun lebih.

DAFTAR PUSTAKA

Sibarani, R. (2015). Pendekatan antropolinguistik terhadap kajian tradisi lisan. Retorika:


Jurnal Ilmu Bahasa, 1(1), 1-17.

Syaputra, E., & Dewi, D. E. C. (2020). Tradisi lisan sebagai bahan pengembangan materi ajar
Pendidikan IPS di SMP: sebuah telaah literatur. Jurnal Teori dan Praksis Pembelajaran IPS,
5(1), 51-62.

Buku Pedoman

Kelisana Dan Keaksaraan.Walter J.On (1982)

Anda mungkin juga menyukai