2. Sifat Sastra
Salah satu batasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Edwin Greenlaw
mendukung gagasan ini: “segala sesuatu yang berkaitan dengan sejarah kebudayaan termasuk
dalam wilayah kita” (“Nothing related to the history of civilization is beyond our province”).
Ilmuwan sastra “tidak terbatas pada belles letters atau manuskrip cetakan atau tulisan dalam
mempelajari sebuah peiode atau kebudayaan” (“not limited to belles letters o even to printed or
manuscript records in our effort to understand a period or civilization”), dan kerja ilmuwan sastra
harus dilihat “dari sumbangannya pada sejarah kebudayaan” (“in the light of its possible
contribution to the history of culture”).
Menurut teori Greenlaw dan praktek banyak ilmuwan lain, studi sastra bukan hanya berkaitan erat,
tapi identik dengan sejarah kebudayaan. Istilah sastra tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sastra
sebagai karya imajinatif. Bahasa adalah bahan baku dari sastra sebagai medianya dan bahasa itu
sendiri bukan benda mati seperti batu, melainkan ciptaan manusia dan mempunyai muatan budaya
dan linguistik dari kelompok pemakai bahasa tertentu. Bahasa ilmiah cenderung menyerupai
sistem tanda matematika atau logika simbolis. Sedangkan bahasa sastra penuh ambiguitas dan
homonim dengan kata lain adalah bahasa sastra sangat konotatif. Bahasa satra bukan sekedar
bahasa referential, yang hanya mengacu pada satu hal tertentu. Bahasa sastra mempunyai fungsi
ekspresif, menunjukkan nada dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha
mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya mengubah sikap pembaca.
Bahasa sehari- hari bukanlah sikap yang beragam. Bahasa percakapan, bahasa perdagangan bahasa
resmi, bahasa keagamaan dan slang anak muda termasuk bahasa sehari hari. Memang jarang ada
kesadaran atas tanda dalam bahasa sehari-hari. Tapi kesadaran ini muncul dalam simbolisme bunyi
nama dan kejadian, serta dalam permainan kata. Tak bisa diragukan lagi bahwa bahasa sehari-hari
juga mempunyai tujuan mencapai sesuatu, untuk mempengaruhi sikap dan tindakan.Jadi, pertama-
tama hanya secara kuantitatif saja dapat kita bedakan bahasa sastra dan bahasa sehari-hari. Dalam
karya sastra, sarana-sarana bahasa dimanfaatkan secara lebih sistematis.
3. Fungsi Sastra
Edgar Allan Poe melontarkan sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu.
Menurut sejumlah teoritikus, fungsi sastra adalah untuk membebaskan pembaca dan penulisnya
dari tekana emosi. Mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu.segi manfaat
sastra tidak terletak pada ajaran-ajaran moralnya. Le bosu mengira hommer menulis illiad untuk
itu, bahkan Hegel juga menemukan hal yang sama dalam drama tragedi kesukaanya, Antigone.
Bermanfaat dalam arti luas sama dengan tidak membuang buang waktu, bukan sekedar kegiatan
iseng. Jadi sesuatu yang perlu mendapat perhatian serius.
Dalam wilayah studi sastra perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, kritik sastra, dan sejarah
sastra. Hal pertama yang perlu dipilah adalah perbedaan sudut pandang yang mendasar. Antara
teori, kritik, dan sejarah sastra tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Teori sastra adalah studi
prinsip, kategori, dan criteria yang ada pada satra itu sendiri. Kritik sastra adalah studi karya-karya
konkret (pendekatan statis). Dan sejarah sastra adalah mempelajari dan menyatukan sejarah sastra
masa kini dan masa lampau. Ada alasan lain untuk memisahkan sejarah satra dan kritik sastra,
bahwa penilaian merupakan hal yang penting, tidsk dapat di sanggah. Dikatakan pula bahwa
sejarah sastra mempunyai kriteria dan standartnya sendiri, yaitu kriteria dan nilai zaman yang
sudah lalu. Menurut ahli rekonstruksi sastra, kita harus masuk ke alam pikiran dan sikap orang-
orang dari zaman yang kita pelajari. Rekonstruksi sejarah sastra telah berhasil memusatkan
perhatian pada maksud pengarang yang di telusuri melalui sejarah kritik dan selera. Asumsinya ,
jika kita dapat memastikan maksud pengarang dan membuktikan bahwa maksud pengarangnya
tercapai, masalah kritik sastra sudah selesai. Pengarang sudah menunaikan tugas zaman dan
karyanya tidak perlu diulas lagi. Pendekatan ini mengakibatkan pengakuan standart tuggal dalam
kritik sastra yang didasarkan pada sukses di zamannya.
Istilah sastra bandingan dalam prakteknya menyangkut bidang studi dan masalah
lain. Pertama dipakai untuk studi sastra lisan, terutama cerita cerita rakyat dan migrasinya, setra
bagaimana dan kapan cerita rakyat masuk ke dalam penulisan sastra yang lebih artistik. Sayangnya
, hampir studi sastra lisan hanya mengkhususkan diri pada studi tema dan migrasi sastra lisan dari
satu negara ke negara lain. Syukurlah akhir akhir ini ahli folklor mulai mengalihkan perhatian dari
studi pola, bentuk dan tehnik kepada morfologi bentuk sastra, permasalahanya sekitar penceritaaan
dan narator, serta pendengar dongeng. Dengan demikian jalan untuk mengintegrasikan studi satra
lisan dengan konsepsi sastra umum sudah disiapkan. Meskipun studi karya lisan mempunyai
permasalahanya tersendiri, yaitu permasalahan penyebaran dan latar sosial. Lagi pula,
kesinambungan sastra lisan dan sastra tulisan tidak pernah terputus. Kedua mencakup studi
hubungan antara dua kesusastraan atau lebih, pendekatan ini dipelopori oleh klompok ilmuwan
prancis yang disebut comparatistes, dipimpin oleh fernand balden sperger, mereka mengulas soal
reputasi, pengaruh dan ketenaran Goethe di Perancis dan di Inggris serta keteneran Ossian, Carlyle,
dan Shiller di Perancis. Metodeloginya lebih dari sekedar mengumpulkan informasi tinjauan buku,
terjemahan dan pengaruh. Dan yang ketiga sastra bandingan disamakan dengan studi sastra
menyeluruh.jadi sama dengan sastra dunia sastra umum atau universal. Istilah sastra umum juga
ada kekurangannya. Istilah ini dulu berarti poetika atau teori dan prinsip sastra Sastra bandingan
mempelajari hubungan dua kesusastraan atau lebih. Sastra umum mempelajari gerakan dan aliran
sastra yang melampaui batas nasional. Sastra nasional menuntut ppenguasaan bahasa asing dan
keberanian untuk menyisihkan rasa kedaerahan yang sulit dihilangkan.
Bagaimana kalau menyusun biografi menulis tentang sastrawan zaman lampau yang sulit di
telusuri data biografisnya? Biasanya yang ditemukan hanyalah dokumen resmi seperti akte
kelahiran, surat perkawinan berkas perkara hukum, dan lain lain.
Pandangan bahwa seni adalah exspresi diri yang murni dan polos yakni perwujudan pengalaman
pribadi dan perasaan terbukti keliru. Meskipun ada karya yang erat kaitanya dengan kehidupan
pengarangnya, ini bukan bukti bahwa karya sastra merupakan fotokopi kehidupan. Pendekatan
biografis sering melupakan bahwa seni bukan sekedar perwujudan pengalaman, tetapi merupakan
mata rantai tradisi sastra dan konvensasi, yang menentukan apakah suatu karya tersebut drama
atau puisi. Pendekatan biografis tetap mempunyai dampak terhadap penilaian karya sastra. Tidak
ada bukti bahwa biografi dapat menambah atau mempengaruhi penilaian kritik sastra.
Kebanyakan penyair menolak untuk disembuhkan atau menyesuaikan diri dengan norma
masyarakat. Menyesuaikan diri berarti mematikan dorongan menulis atau berarti mengikuti arus
lingkungan yang dianggapnya munafik dan borjuis. Teori seni sebagai gangguan emosi
menampilkan masalah hubungan imajinasi dengan kepercayaan.
Posisi sastrawan dalam masyarakat dapat ditelusuri secara jelas dalam sejarah. Dalam sastra lisan
populer, terlihat besarnya ketergantungan penyanyi. Pada abad pertengahan, kita mengenal
beberapa macam pengarang di ruang kecilnya. Sejarah mencatat adanya peralihan dukungan
keuangan terhadap sastrawan dari kalangan pelindung seni yaitu kaum bangsawan pindah ke para
penerbit yang bertindak sebgai agen pembaca. Tetapi sistem perlindungan oleh bangsawan tidak
merata. Selain bangsawan, gereja dan (kelak) teater ikut mendukung hidup jenis-jenis sastra
tertentu. Untuk beberapa saat lamanya, sastra kehilangan para dermawany. Padahal, saat itu
khalayak pembaca juga kurang dapat memberikan dukungan. Akibatnya, keadaan ekonomi para
sastrawan zaman itu sangat parah.
Manfaat pengetahuan sejarah filsafat bagi pemahaman karya sastra memang sangat besar, lagi pula
sejarah sastra terutama jika dipenuhi oleh pengarang – pengarang seperti Pascal, Emerson dan
Nietzsche secara terus menerus berisi masalah – masalah sejarah pemikiran. Kalau dilihat secara
terpisah dari karya sastra zamannya, secarah kritik memang merupakan bagian dari sejarah
pemikiran estetika.
Stilistika tidak dapat diterapkan dengan baik tanpa dasar linguistik yang kuat, karena salah satu
perhatian utamanya adalah kontras sistem bahasa karya sastra dengan penggunaan bahasa pada
zamannya. Manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis.
Simbol adalah suatu istilah dalam logika, matematika, semantik, semiotik dan epistomologi,
simbol juga memiliki sejarah panjang didunia teotologi, dibidang liturgi, di bidang puisi dan seni
rupa. Unsur yang sama dalam beraneka penggunaan di atas adalah sifat simbol unruk mewakili
sesuatu yang lain. Simbol logika dan aljabar adalah tanda konvensional yang disetujui bersama.
Mitos adalah naratif, cerita, yang dikontraskan dengan wacana dialektis, eksposisi. Mitos bersifat
irasional dan instuitif, bukan uraian filosofis yang sistematis. Istilah mitos mengacu dan meliputi
wilayah makna yang penting, yang masuk dalam bidang agama, foklor, antropologi, sosiologi,
psikoanalisis dan seni rupa. Dalam pengerian luas, mitos adalah cerita anonim mengenai asal mula
alam semesta dan nasib serta tujuan hidup. Dalam sastra motif mitos yang penting adalah citra atau
gambar yang ditampilkan, unsur mitos yang bersifat sosial atau supernatural, cerita atau unsur
naratifnya, segi arketip atau universalnya, perwujudan simbolis dari hal-hal yang ideal dalam
adegan-adegan yang nyata, sifatnya yang menyiratkan ramalan, rencana, dan unsur mistiknya
7. Genre Sastra
Teori genre adalah suatu prinsip keteraturan yaitu sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak
berdasarkan waktu atau tempat, tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu.
Aristoteles dan Horace memberikan dasar klasik untuk pengembangan teori genre yaitu ada dua
jenis utama sastra, tragedi dan epik. Aliran Neo-Klasik adalah percampuran antara resionalisme
dan sikap otoriter, kecenderungannya adalah bersifat konservatif, mempertahankan sejauh
mungkin jenis-jenis yang berasal dari tradisi kuno, terutama jenis tradisi puitis. Hierarki jenis-jenis
sastra sebagian merupakan suatu kalkulus yang bersifat hedonistis artinya dalam doktrin-doktrin
klasik, skala kesenangan tidak bersifat kuantitatif. Masalah genre jelas merupakan masalah inti
sejarah sastra dan sejarah kritik sastra, serta kaitan antara keduanya. Masalah genre meletakkan
masalah filosofis yang menyangkut kaitan antara kelas dan individu pengarang, serta kaitan antara
satu orang dan banyak orang, dalam konteks sastra yang kusus. Masalah genre adalah masalah
yang menyangkut sifat dari bentuk-bentuk sastra yang universal.
8. Penilaian
Kita perlu membedakan istilah “nilai” dari “penilaian”. Sepanjang sejarah , oran gtelah tertarik
dan menganggap sastra lisan maupun cetakan “bernilai” positif. Tetapi kritikus dan filsuf yang
membuat “penilaian” terhadap sastra, atau karya sastra tertentu , mungkin mengambil keputusan
yang yang negatif. Konsep tentang kemurnian adalah saslah satu unsur analisis, kita dapat mulai
dengan unsur yang lain, yaitu unsur susnan da gunsi,yang menentukan suatu karya sastra atu bukan
sastra bukanlah unsur-unsurnya,tetapi bagaimana unsur-unsur itu disatukan dan berfungsi.Kita
perlu menilai kesastraan sastra berdasarkan kriterian estetis dan menilai kebesaran suatu karya
sastra berdasarkan kriterian eksatra-estetis,kita perlu membuat dikontomi atas penilaian yang
pertama,yaitu penilaian kesastraan. Mula-mula kita mengklasifikasikan konstruksi verbal karya
sastra (misalnya cerpen,puisi,drama),kemudian kita menanyakan apakah karya sastra itu
merupakan karya sastra itu damam suatu ranking untuk mendapatkan kedudukanya sebagai
pengalaman estetis,penialaian kedua ,mengenai kebesaran karya sastra menyangkut astandr dan
norma ,kritikus-kritikus modern yang hanya membatasi diri pada penilaian pertama disebut
kelompok”formalis”. aliran formalisme terhadap seni bersifat otomistis,mengukur sifat puitis
bahan-bahan mentah saja,dan tidak mengukur nilai puitis keseluruhan karya. Keinginan untuk
mengukuhkan nilai-nilai sastra yang objektif,bukan berarti menjanjikan keterikatan pada suatu
norma-norma yang statis,yang tidak mengenal penambahan nama dan perubahan peringkat.
9. Sejarah Sastra
Sejarah sastra adalah sejarah sosial atau sejarah pemikiran dengan mengambil contoh karya sastra,
atau impresi dan penilaian atas beberapa karya sastra yang diatur kurang lebih secara kronologis.
Ada kelompok lain yang menyadari bahwa sastra adalah seni nomor satu, sayangnya kelompok ini
tidak dapat menulis sejarah. Mereka hanya menampilkan satu seri esai tentang pengarang-
pengarang tertentu, yang saling dikaitkan oleh “pengaruh-pengaruh”, tetapi esai-esai itu tidak
didasarkan pada konsepsi evolusi sejarah yang nyata. Kebanyakan sejarah sastra yang paling
menonjol adalah sejarah kebudayaan atau kumpulan kritik sastra. Tipe pertama adalah disebut
sejarah seni, sedangkan tipe yang kedua bukan sejarah seni. Tugas utama sejarah sastra adalah
meletakkan kedudukan yang tepat dari setiap karya dalam suatu tradisi.Salah satu tipe seri evolusi
dapat disusun dengan cara memisahkan salah satu kecenderungan dalam karya sastra, lalu
menelusuri perkembangannya dalam mencapai suatu tipe ideal (walaupun hanya sementara saja
bersifat ideal). Pada kriteria sastra yang murni. Suatu periode bukanlah suatu tipe atau kelas, tetapi
merupakan bagian waktu yang dijabarkan oleh sistem norma yang melekat pada proses sejarah,
dan tidak dapat dilepaskan daripadanya.Kejelasan tentang skema hubungan antara beberapa
metode merupakan obat untukkerancuan mental, meskipun seseorang berhak untuk
mengkombinasikan beberapa metode dalam menyusun sejarah sastra.