Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS PERKEMBANGAN LATAR (SETTING) NOVEL

ANGKATAN BALAI PUSTAKA SECARA SINKRONIK

ANNISA LATIFA
42

ABSTRAK:
Angakatan sastra yang ada di Indonesia memiliki ciri atau karakteristik karya sastra yang berbeda-
beda antara satu angakatan dengan angkatan yang lainnya. Salah satu angakatan sastra di Indonesia adalah
angakatan 20-an atau angkatan Balai Pustaka. Novel-novel pada angkatan Balai Pustaka mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman berdasarkan tahun terbitnya. Secara konvensional lima
novel Balai Pustaka mengalami perkembangan ciri ektra estetik latar (setting). Latar tempat pada novel Balai
Pustaka mengalami perkembangan dari latar pedesaan, daerah, dan kehidupan daerah menjadi latar daerah
perkantoran dan perkotaan. Latar waktu pada novel Balai Pustaka berkembang dari latar difus, menuju latar
difus, fragmentarisme, dan kalenderisme. Latar sosial novel Balai Pustaka tidak mengalami perkembangan dari
satu novel ke novel yang lainnya. Semua novel tersebut didominasi permasalahan sosial adat-istiadat yang kuat,
kawin paksa, dan perjodohan.

A. LATAR BELAKANG
Perkembangan kehidupan manusia tidak lepas dari terjadinya perkembangan zaman.
Perkembangan zaman yang terjadi membawa pengaruh besar terhadap kehidupan manusia.
Di dalam dunia sastra suatu zaman atau periode memberikan pengaruh besar terhadap karya
sastra yang lahir pada zaman tersebut. Pengaruh tersebut tercermin dari karakteristik suatu
karya sastra pada zaman tertentu. Menurut Pradopo kesusastraan suatu bangsa selalu
berkembang dari waktu ke waktu. Hal tersebut juga terjadi pada kesuastraan Indonesia.
Perkembangan kesusastraan di Indonesia dapat di lihat dari angkatan sastra yang hidup dalam
suatu periode tertentu. Menurut Pradopo karya sastra yang lahir dalam angkatan tertentu
memiliki kesamaan atau kemiripan dari ciri-ciri intrinsik.
Karya sastra di setiap angkatan terbagi menjadi karya sastra prosa dan puisi. Di dalam
analisis penganalisis memfokuskan pada karya sastra prosa, yaitu novel. Menurut Ali dan
Farida unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra dan secara
faktual terdapat dalam karya sastra tersebut. Unsur-unsur intrinsik novel menurut Ali dan
Farida meliputi tema, alur, latar, tokoh, sudut pandang, dan gaya bahasa. Sedangkan unsur-
unsur pembangun novel menurut Stanton dikutip oleh Ali dan Farida ada tiga, yaitu tema
(theme), fakta (facts), dan sarana sastra (literary device). Fakta cerita yang merupakan unsur
faktual yang eksistensinya dapat ditemukan dalam suatu karya sastra terdiri dari tokoh, alur,
dan latar.
Salah satu angkatan sastra di Indonesia adalah angkatan Balai Pustaka atau angkatan
20-an. Angkatan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan angkatan-angakatan
lainnya. Salah satu karakteristik tersebut dilihat dari segi latar. Namun, menurut Pradopo
karakteristik prosa angkatan Balai Pustaka masih terbatas pada latar tempat saja. Oleh karena
itu, dalam makalah ini penganalisis akan menganalisis perkembangan latar (setting) novel-
novel angkatan Balai Pustaka.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, penganalisis membatasi pembahasan dalam
analisis ini, dengan rumusan masalah sebagai berikut.

1) Bagaimana Perkembangan Latar Tempat Novel-Novel Angakatan Balai Pustaka?


2) Bagaimana Perkembangan Latar Waktu Novel-Novel Angakatan Balai Pustaka?
3) Bagaimana Perkembangan Latar Sosial Novel-Novel Angakatan Balai Pustaka?
C. HASIL ANALISIS
1) Perkembangan Latar Tempat Novel-Novel Angakatan Balai Pustaka
Menurut Sayuti, latar tempat merupakan deskripsi tempat suatu peristiwa cerita terjadi.
Deskripsi tersebut menyangkut lokasi geografis yang sesungguhnya, topografi, pemandagan
(scenery), dan detail-detail interior sebuah ruangan. Menurut Kosasih latar novel meliputi
wilayah geografis yang luas dan berlangsung dalam waktu yang lebih lama dari cerpen.
Selain itu, menurut Pradopo salah satu ciri ektra estetik karya sastra prosa pada periode Balai
Pustaka adalah latar cerita umumnya berlatar daerah, pedesaan, dan kehidupan daerah.
a. Latar Tempat Novel Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar
Deskripsi latar tempat di dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar di
antaranya adalah di dataran tinggi Sipirok, kota Medan, di kampung atau desa Sipirok,
kampung A, dan di Deli. Hal tersebut dibuktikan dengan kutipan berikut ini.
(1) “…, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke balik Gunung Sibualbuali,
yang menjadi watas dataran tinggi Sipirok yang bagus itu.” (Azab dan
Sengsara, 1920:1).
(2) “Angin gunung yang lemah lembut itu pun berhembuslah, sedap dan nyaman
rasanya bagi orang-orang kampung yang sedang di perjalanan kembali dari
kebun kopi, yang terletak di lereng gunung dan bukit-bukit subur.” (Azab dan
Sengsara, 1920:1).
(3) “Langit di sebelah barat pun merah kuning rupanya, dan sinar matahari yang
turun itu tampaklah di atas puncak kayu yang tinggi-tinggi, …” (Azab dan
Sengsara, 1920:1).
(4) “… cabang-cabang kayu itu bergoyang-goyang perlahan-lahan sebagai
menunjukkan kegirangannya, ….”(Azab dan Sengsara, 1920:1).
(5) “Batang padi yang tumbuh di sawah yang luas itu pun dibuai-buaikan angin,
….” (Azab dan Sengsara, 1920:2).
(6) “Burung-burung pun berterbanganlah dari sana-sini, seraya berkumpul-
kumpul di atas cabang beringin-beringin yang berdaun rimbun;” (Azab dan
Sengsara, 1920:2).
(7) Di sana-sini tampaklah asap dari bubungan rumah orang desa, ….”(Azab dan
Sengsara, 1920:1).
(8) “…, di sebelah rusuk rumah yang beratap ijuk dekat sungai yang mengalir di
tengah-tengah kota Sipirok itu?” (Azab dan Sengsara, 1920:2).
(9) “…, pergi ke negeri orang merantau ke Deli akan mencari pekerjaan.” (Azab
dan Sengsara, 1920:23).
(10) “Setelah lengkaplah sekalian, Baginda Di Atas pun berangkat ke Deli
mengantarkan menantuanya itu.” (Azab dan Sengsara, 1920:96).
(11) “Anak muda itu anak kepala kampung yang memerintahkan kampung A itu.”
(Azab dan Sengsara, 1920:13).
(12) “Hal perjalananku dan keramaiannya kota Medan, tiada kuceritakan sekali ini,
….”(Azab dan Sengsara, 1920:87).
Kutipan yang menunjukkan latar tempat secara geografis ditunjukkan pada nomor (1),
(2), (7), dan (8). Kutipan yang menunjukkan latar topografi ditunjukkan pada nomor (1) dan
(2). Kutipan yang menunjukkan pemandangan (scenery) pada nomor (3), (4), (5), (6), (9),
(10), (11), dan (12).

b. Latar Tempat Novel Sengsara Membawa Nikmat (1929) karya Tulis Sutan Sati
Deskripsi latar tempat dalam Novel Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati
adalah di lereng bukit, pasar, rumah Midun, Bukit Tinggi, pacuan kuda, penjara, Bogor,
Betawi, dan Padang. Semua latar tempat tersebut terdapt dalam kutipan berikut ini.
(1) “Lereng bukit dan puncak pohon-pohonan bagai disepuh rupanya.” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:1).
(2) “Adapun pasar di kampung itu terletak di tepi jalan besar.” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:4).
(3) “Memang Midun seorang pemuda yang sangat digemari orang di
kampungnya.” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:4).
(4) “…, kelihatan seorang muda dating menuju ke pasar itu.” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:23).
(5) “Pada suatu hari, pasar di kampung itu sangat ramai.” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:28).
(6) “Sekarang Pak Inuh dating ke pasar membawa pisau.” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:28).
(7) “Midun ketika itu ada pula di pasar itu.” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:29).
(8) “Sekali peristiwa pada suatu petang Midun pergi ke sungai hendak mandi.”
(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:38).
(9) “Sampai di rumah, Midun menceritakan kepada ayah bundanya kejadian pada
malam itu.” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:43).
(10) “Segala isi rumah ngeri mendengar cerita Pendekar Sutan.” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:48).
(11) “Jika orang hendak melihat pasar malam, harus melalui pintu balai itu.”
(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:58).
(12) “Pada tepi jalan di pasar kampung itu kelihatan lada, ….” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:57).
(13) “Balai itu dihiasi dengan amat bagus dan indahnya.” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:59).
(14) “Tiap-tiap bukit itu berpuluh-puluh pondok didirikan orang. Pondok-pondok
itu ialah tempat orang berjual nasi, juadah, dan lain-lain sebagainya.”
(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:67).
(15) “Ada pun pacuan itu di kelilingi oleh bukit.” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:67).
(16) “Setelah sampai di stasiun Pulau Air, ….” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:79).
(17) “Sampai di penjara, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:80).
(18) “Sudah sebulan di Bogor ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:132).
(19) “Maksud saya ke Betawi ini, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:136).
(20) “Midun dua laki istri dan Manjau berangkatlah ke Padang. Dengan selamat
dan tidak kurang suatu apa, ia pun sampailah di Pelabuhan Teluk Bayur.”
(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:173).

Kutipan di atas digolongkan dalam latar tempat secara geografis dan topografi.
Berikut ini adalah penggolongan tersebut. Kutipan nomor (1) termasuk latar tempat secara
topografi karena mendeskripsikan lereng bukit. Sedangkan kutipan nomor (2) sampai dengan
nomor (20) merupakan kutipan yang menunjukkan deskripsi latar secara geografis.

c. Latar Tempat Novel Katak Hendak Jadi Lembu (1935) karya Noor Sutan Iskandar
Deskripsi latar tempat dalam novel Katak Hendak Jadi Lembu karya Noor Sutan
Iskandar adalah di rumah, pedesaan, perkantoran residen, dan Kota Sumedang. Hal tersebut
dibuktikan dengan kutipan berikut ini.
(1) “Dan Khadijah pulang ke rumahnya ….” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:34)
(2) “Belum habis lagi dengung lonceng yang dibunyikan patih di atas meja tulis
dalam kantornya, ….” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:34)
(3) “Haji Junaedi ternama di desanya ….” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:47)
(4) “Meskipun niat Suria hendak jalan-jalan ke Rancapurut sudah agak.” (Katak
Hendak Jadi Lembu, 1935:50)
(5) “Dari situ Suria berjalan pula dengan Haji Junaedi ke kebun.” (Katak Hendak
Jadi Lembu, 1935:51)
(6) “Di dapur rumah ….” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:69)
(7) “Perkataan itu terdengar kepada sekalian isi kantor.” (Katak Hendak Jadi
Lembu, 1935:84)
(8) “Kota Sumedang ….” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:119).
d. Latar Tempat Novel Sukreni Gadis Bali karya (1936) karya A. A. Pandji Tisna
Deskripsi latar tempat pada novel Sukreni Gadis Bali karya A. A. Pandji Tisna adalah
di sebuah desa Bingin Banjah di Bali, Bali, daerah Singaraja, daerah Buleleng, dan daerah
Banjar Bali. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut ini.
(1) “… di antara kebun-kebun kelapa menuju ke Bingin Banjah, desa yang belum
dapat disebut desa benar, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:9).
(2) “… ia datang ke Buleleng hanya dengan pakaian yang lekat pada badannya saja.”
(Sukreni Gadis Bali, 1935:14).
(3) “Sesampai di Buleleng, mereka menumpang di rumah seorang haji ….” (Sukreni
Gadis Bali, 1935:14).
(4) “Kita mulai dari sebelah selatan,” (Sukreni Gadis Bali, 1935:22).
(5) “Sekalian isi desa dan orang di daerah desa itu bersenang hati melihat perubahan
itu, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:32).
(6) “Di Kalianget taka da orang mengatakan, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:66).
(7) “Dari sana ia pergi ke Singaraja.” (Sukreni Gadis Bali, 1935:66).
(8) “Dalam pada itu di hotel kepunyaan seorang Tionghoa di Singaraja ….” (Sukreni
Gadis Bali, 1935:67).
(9) “Jika lama tuan di Pulau Bali ini, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:74).
(10) “Ia terus menuju ke Banjar Bali, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:82).
(11) “Mereka sampai di Bingin Banjah.” (Sukreni Gadis Bali, 1935:90).
(12) “Bingin Banjah, desa yang aman dulu itu, telah rusuh pula.” (Sukreni Gadis Bali,
1935:90).
(13) “Halaman rumah yang gelap tadi itu terang-benderang, ….” (Sukreni Gadis Bali,
1935:93).

Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, deskripsi latar tempat dalam novel Sukreni


Gadis Bali karya A. A. Pandji Tisna condong pada latar secara geografis dan hanya ada satu
latar secara pemandangan (scenery). Latar secara geografis dalam kutipan di atas ditunjukkan
pada nomor (1) sampai dengan (13). Sedangkan latar secara pemandangan (scenery)
ditunjukkan pada kutipan nomor (14).
e. Latar Tempat Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1938) karya Haji
Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
Deskripsi latar tempat pada novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk adalah di
Mengkasar, Padang, Dusun Batipuh, Padang Panjang, Surabaya, dan Jakarta. Hal
tersebut menunjukkan bahwa latar tempat yang digunakan tidak terbatas pada daerah-
daerah di satu pulau yang sama, tapi sudah menggunakan latar tempat yang beragam
seperti dikatakan di atas. Berikut ini adalah bukti dari kesimpulan tersebut.
(1) “Sebelah Timur ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, 1938:1).
(2) “Di waktu senja demikian kota Mengkasar kelihatan hidup“ (Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk, 1938:1).
(3) “Di tepi pantai, di antara Kampung Baru dan Kampung Mariso ….”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, 1938:1).
(4) “Dari jembatan besi itu akan kelihatanlah perkawinan indah alam dengan
teknik manusia.” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, 1938:1).
(5) “… jika saya tetap di Mengkasar ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:15).
(6) “Bilamana Zainuddin telah sampai ke Padang Panjang, ….” (Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk, 1938:18).
(7) “… yang terkembang di Batipuh.” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:19).
(8) “Di Padang Panjang itu baru dapat Zainuddin menyampaikan ….”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, 1938:49).
(9) “Aziz bekerja di Padang, ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:58).
(10) “Di tinggalkannya Padang Panjang, ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijk, 1938:76).
(11) “Dalam segala kalangan di Surabaya, ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijk, 1938:110).
(12) “… karena tidak ada tempat keluarga yang akan ditempati di Jakarta.”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, 1938:126).
2) Perkembangan Latar Waktu Novel-Novel Angakatan Balai Pustaka
Menurut Sayuti terdapat tiga istilah yang menunjukkan latar waktu dalam suatu
karya fiksi, yaitu difus, fragmentarisme, dan kalenderisme. Difus merupakan latar waktu
yang menunjukkan garis besar waktu yang berlangsung dalam suatu karya sastra fiksi. Kata-
kata yang menunjukkan latar waktu difus misalnya, kata dulu, semula, kini, pagi-pagi,
siangnya, lalu, dalam malam-malam sunyi, baru saja, dan sebagainya.
Fragmentarisme merupakan latar waktu yang menunjukkan bagian waktu yang tidak
berkesinambungan dan menunjukkan tingkat waktu yang berlainan. Misalnya, dua belas
tahun yang lalu, di masa remajanya, dalam saat-saat ketika dia masih muda, dalam suatu
liburan, sekilas, kelak, dan lain-lain. Kalenderisme adalah latar waktu secara tepat, misalnya
1 Oktober 1965, tahun 1959, Rabu bulan Januari, suatu hari di bulan Desember, dan
sebagainya.
a. Latar Waktu Novel Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar
Latar waktu pada novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar termasuk deskripsi
latar waktu difus dan fragmentarisme. Hal tersebut dibuktikan dengan kutipan-kutipan
berikut ini.
(1) “Langit di sebelah barat pun merah kuning rupanya, dan sinar matahari yang
turun itu tampaklah ….” (Azab dan Sengsara, 1920:1).
(2) “Akan tetapi, sebab hari yang gelap itu, ….” (Azab dan Sengsara, 1920:4).
(3) “Itulah sebabnya saya datang malam-malam ini kemari, ….” (Azab dan
Sengsara, 1920:5).
(4) “Saya sudah merasa, lambat launnya saya akan pergi juga dari sini, ….”
(Azab dan Sengsara, 1920:5).
(5) “Suara orang adzan kedengaran pula dari menara masjid besar, ….” (Azab
dan Sengsara, 1920:6).
(6) “”Wah sudah pukul setengah delapan rupanya,”” (Azab dan Sengsara,
1920:6).
(7) “Pada malam itu amatlah susahnya hati perempuan itu.” (Azab dan Sengsara,
1920:8).
(8) “Pada waktu itu pun pergilah Mariamin ke bilik tempat tidurnya.” (Azab dan
Sengsara, 1920:11).
(9) “Lupakah Tuan akan pergaulan kita sejak dari kecil, ….” (Azab dan Sengsara,
1920:13).
(10) “Dua puluh tahun ia sudah memegang pangkat peninggalan bapak dan
neneknya itu.” (Azab dan Sengsara, 1920:19).
(11) “Dua tahun mereka itu bergaul, ….” (Azab dan Sengsara, 1920:19).
(12) “Setelah Aminu’ddin berumur delapan tahun, ….” (Azab dan Sengsara,
1920:20).
(13) “Waktu ia duduk di kelas tiga, genaplah usianya sepuluh tahun.” (Azab dan
Sengsara, 1920:22).
(14) “Waktu itu belum lewat pukul empat, ….” (Azab dan Sengsara, 1920:35).
(15) “Sejak dari kecil, keduanya telah diikat tali persahabatan.” (Azab dan
Sengsara, 1920:50).
(16) “Hari sudah hampir gelap, ….” (Azab dan Sengsara, 1920:53).
(17) “Ya, di belakang hari, bila ia sudah besar, tentu mengertilah ia akan makna:
….” (Azab dan Sengsara, 1920:54).
(18) “Tohir, demikianlah nama anak itu pada waktu kecilnya, ….” (Azab dan
Sengsara, 1920:57).
(19) “Betapa kejadiannya kelak?” (Azab dan Sengsara, 1920:58).
(20) “Dua bulan sudah kawin, meninggallah ibunya.” (Azab dan Sengsara,
1920:63).
(21) “Malam itu amat dingin, ….” (Azab dan Sengsara, 1920:81).
(22) “Semalam-malaman itu Sutan Baringin tiada pulang, ….” (Azab dan Sengsara,
1920:81).
(23) “Sesudah tengah malam barulah ia tertidur dengan nyenyak, ….” (Azab dan
Sengsara, 1920:83).
(24) “Waktu berangkat dari kampung dulu hanya dengan sehelai baju, ….” (Azab
dan Sengsara, 1920:92).
(25) “Habis hari berganti minggi, habis minggi berganti bulan, habis bulan
berganti tahun.” (Azab dan Sengsara, 1920:100).
(26) “Lima tahun genaplah sudah waktunya yang telah lewat, ….” (Azab dan
Sengsara, 1920:101).
(27) “Cukuplah sudah lima tahun, ….” (Azab dan Sengsara, 1920:101).
(28) “Demikianlah ia berpikir-pikir pada suatu petang, ketika matahari hampir
terbenam.” (Azab dan Sengsara, 1920:108).
(29) “Pada waktu itu matahari yang menerangi alam itu pun sudahlah masuk ke
balik Sibualbuali; ….” (Azab dan Sengsara, 1920:112).
(30) “Lepas dua bulan lagi bertukarlah perasaan hidupnya.” (Azab dan Sengsara,
1920:134).
(31) “Lepas dua bulan lagi akan diperolehnya angan-angan dan cita-citanya, sejak
akil balig.” (Azab dan Sengsara, 1920:134).
(32) “Hari pun malamlah; ….” (Azab dan Sengsara, 1920:144).

Berdasarkan kutipan di atas, latar tempat difus ditunjukkan pada nomor (1), (2), (3),
(5), (6), (14), (21), (22), (23), (25), (28), (29), dan (32). Kutipan-kutipan tersebut menujukkan
latar difus karena mendeskripsikan garis besar waktu yang membuat pembaca mengetahui
latar waktu pada bagian cerita tertentu. Sedangkan kutipan yang menunjukkan latar
fragmentarisme adalah nomor (4), (8), (9), (10), (11), (12), (13), (17), (18), (19), (24), (26),
(27), dan (31). Kutipan-kutipan tersebut menyajikan bagain waktu tertentu yang tidak
diceritakan secara berkesinambungan. Jadi, di dalam novel ini tidak terdapat latar
kalenderisme.

b. Latar Waktu Novel Sengsara Membawa Nikmat (1929) karya Tulis Sutan Sani
Deskripsi latar waktu pada Novel Sengsara Membawa Nikmat karya Merari Siregar
mencakup latar waktu difus dan fragmentarisme.
(1) “Waktu asar sudah tiba. Amat cerah hari petang itu.” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:2).
(2) “Sesudah sembahyang maghrib, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:20).
(3) “Pada suatu malam Pak Midun berkata kepada anaknya, ….” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:24).
(4) “Pada suatu hari, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:8).
(5) “Sekali peristiwa pada suatu petang Midun pergi ke sungai hendak mandi.”
(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:38).
(6) “Tiga hari kemudian daripada hari itu, ….” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:42).
(7) “Lima malam telah lalu adalah selamat saja, ….” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:43).
(8) “Kira-kira pukul tiga malam, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:43).
(9) “Semalam, ketika saya mendekati akan memukul kepala Ma Atang itu,
….”(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:49).
(10) “Matahari telah turun menjelang tirai peraduan di balik bumi, ….” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:53).
(11) “Dua pekan lagi akan diadakan pacuan kuda di Buktitinggi.” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:54).
(12) “Belum tinggi matahari terbit, ….”(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:57).
(13) “Pada malam hari Midun dan Maun pergi pula ke pasar malam.” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:62).
(14) “Pagi-pagi benar Midun dan Maun sudah bangun.” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:64).
(15) “Setelah dua bulan lebih kemudian daripada itu, ….” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:71).
(16) “Tiga hari berturut-turut Landraad memeriksa perkara itu dengan hemat.”
(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:71).
(17) “Pagi-pagi waktu Midun akan berangkat, ….” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:74).
(18) “Pada keesokan harinya dilihat Turigi, ….” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:86).
(19) “Pada suatu hari, kira-kira pukul sebelas lewat.” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:90).
(20) “Keesokan harinya pagi-pagi, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:91).
(21) “Setelah dua bulan lebih Midun menjalankan hukuman, ….” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:92).
(22) “Sebulan Midun bekerja menyapu jalan di kota Padang.” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:92).
(23) “Setelah sepekan lamanya, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:99).
(24) “Karena hari baru pukul 10, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:108).
(25) “Sepekan kemudian darpada itu, ….”(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:109).
(26) “Sebulan Pak Midun sakit, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:145).
(27) “Beberapa hari perkara itu ditimbang ….” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:154).
(28) “Kira-kira pukul sebelas malam….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:166).
Kutipan-kutipan di atas yang menunjukkan latar waktu difus adalah nomor
(1), (2), (3), (4), (5), (8), (9), (10), (12), (13), (14), (17), (18), (19), (20), (23), (24), dan
(28). Kutipan-kutipan tersebut memberikan gambaran waktu secara umum pada suatu
bagian cerita. Sedangkan nomor yang termasuk latar waktu fragmentarisme
ditunjukkan pada nomor (6), (7), (11), (15), (16), (21), (22), (25), (26), dan (27).
Kutipan-kutipan tersebut merupakan penggambaran suatu bagian waktu tertentu yang
tidak berkesinambungan secara terus menurus, namun menerangkan waktu di dalam
suatu suasaja

c. Latar Waktu Novel Katak Hendak Jadi Lembu (1935) karya Noor Sutan Iskandar
Deskripsi latar waktu dalam novel Katak Hendak Jadi Lembu karya Noor St. Iskandar
menggunakan deskripsi latar waktu difus, fragmentarisme, dan kalenderisme sekaligus. Hal
tersebut dibuktikan dengan kutipan-kutipan berikut ini.
(1) “Malam.” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:7)
(2) “Malam sudah binasa ….” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:9)
(3) “Murai telah berkicau, mula-mula seeokor saja, kemudian bersahut-sahutan
dengan kawanannya, di atas pohon jambu mawar di sudut rumah itu.” (Katak
Hendak Jadi Lembu, 1935:9)
(4) “Kira-kira 20 tahun dahulu Suria menjadi magang di kantor asis-ten-residen
Tasikmalaya.” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:23)
(5) “Ketika gadis itu telah berumur 14 tahun lebih, ….” (Katak Hendak Jadi Lembu,
1935:24)
(6) “Tiga tahun lamanya perempuan muda itu meranda.” (Katak Hendak Jadi
Lembu, 1935:27).
(7) “Dua tahun kemudian ia pun diangkat jadi juru tulis dan dipindahkan ke kantor
patih di Sumedang.” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:27)
(8) “Pukul tengah dua berbunyi.” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:57)
(9) “Siang berebut dengan senja, matahari tiada kelihatan lago.” (Katak Hendak
Jadi Lembu, 1935:69)
(10) “Beberapa bulan sudah Kosim menjadi magang di Kantor patih Sumedang, ….”
(Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:82)
(11) “Pada suatu pagi hari asisten-wedane tabe, ….” (Katak Hendak Jadi Lembu,
1935:82)
(12) “Hari Ahad yang ditentukan itu terlampau sudah.” (Katak Hendak Jadi Lembu,
1935:102)
(13) “Hari Jumat petang.” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:150)

d. Latar Waktu Novel Sukreni Gadis Bali karya (1936) karya A. A. Pandji Tisna
Deskripsi latar waktu dalam novel Sukreni Gadis Bali karya A. A. Pandji
Tisna menggunakan latar waktu difus, fragmentarisme, dan kalenderisme. Hal
tersebut dibuktikan dengan kutipan-kutipan berikut ini.
(1) “Hari telah senja.” (Sukreni Gadis Bali, 1935:19).
(2) “Pagi itu ramai mereka bekerja.” (Sukreni Gadis Bali, 1935:22).
(3) “Lebih sebulan sudah menteri polisi menangkap Men Negara ….” (Sukreni
Gadis Bali, 1935:35).
(4) “Sejurus kemudian I Gusti Made Tusan hendak mulai berkata-kata pula, ….”
(Sukreni Gadis Bali, 1935:40).
(5) “Pada hari minggu pagi ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:49).
(6) “Malam itu benar datanglah I Gusti Made Tusan, ….” (Sukreni Gadis Bali,
1935:57).
(7) “Pagi-pagi keesokan harinya ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:61).
(8) “Tujuh hari I Sudiana tinggal di Pabean, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:67).
(9) “Beberapa bulan telah lalu.” (Sukreni Gadis Bali, 1935:68).
(10) “Lima bulan sudah I Made Aseman terhukum ….” (Sukreni Gadis Bali,
1935:72).
(11) “Baru dua hari ini hamba mendapat kabar, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:78).
(12) “Keesokan harinya pagi-pagi, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:81).
(13) “Beberapa tahun sudah lalu.” (Sukreni Gadis Bali, 1935:86).
(14) “Pada suatu malam di tanah yang ketinggian di tepi jalan raya ….” (Sukreni
Gadis Bali, 1935:88).
(15) “Malam itu I Gusti Made Tusan kebetulan sedang meronda.” (Sukreni Gadis
Bali, 1935:91).
(16) “Hari masih pagi benar.” (Sukreni Gadis Bali, 1935:98).

Berdasarkan kutipan di atas, deskripsi latar waktu difus ditunjukkan nomor


(1), (2), (6), (7), (12), (14), (15), dan (16). Kutipan-kutipan pada nomor tersebut
mendeskripsikan latar waktu secara garis besar dari suatu bagian cerita sehingga
pembaca dapat menangkap suasana cerita tersebut. Nomor-nomor yang
menunjukkan latar waktu fragmenterisme adalah (3), (4), (8), (9), (10), (11), dan
(13). Sedangkan latar waktu kalenderisme ditunjukkan pada nomor (5), karena
menjelaskan detail hari yaitu hari minggu.
e. Latar Waktu Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1938) karya Haji
Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
Deskripsi latar waktu dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya
Hamka dominan menggunakan latar waktu difus dan kalenderisme. Namun, latar
waktu fragmentarisme masih banyak ditemukan meskipun tidak sebanyak latar waktu
difus dan kalenderisme.
(1) “Matahari telah hampir masuk ke dalam peraduannya.” (Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijk, 1938:1).
(2) “Di waktu senja ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, 1938:1).
(3) “Pada suatu hari, ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, 1938:2).
(4) “Setelah dipotong 3 tahun, ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, 1938:10).
(5) “Bukan sedikit hari 12 tahun, ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:10).
(6) “Tiga dan 4 tahun dia bergaul dengan isteri yang setia itu, ….” (Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijk, 1938:10).
(7) “Demikianlah bertahun-tahun lamanya.” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:12).
(8) “Sesudah hampir 6 bulan dia tinggal ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:20).
(9) “Hari sore juga, ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, 1938:20).
(10) “Pagi-pagi, ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, 1938:22).
(11) “Demikianlah seketika lohor hampir habis, ….” (Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijk, 1938:24).
(12) “Empat hari di belakang itu, ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:30).
(13) “Matahari pun mulailah bersembunyi ke balik gunung Singgalang.”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, 1938:36).
(14) “Semalam-malaman hari, ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:41).
(15) “Hari Jumat di mukanya, ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:46).
(16) “Dalam tahun 1923 bergoncang pergaulan murid-murid sekolah-sekolah
agama itu ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, 1938:8).
(17) “Dan lakon kota Padang Panjang yang lama telah dihiasi oleh gempa bumi-
yang dahyat pada 28 Juni 1926.” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, 1938:49).
(18) “Semalam sebelum datang ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:52).
(19) “Bilamana hari telah malam ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:58).
(20) “… boleh dikatakan tiap-tiap hari Sabtu sore ….” (Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijk, 1938:65).
(21) “…, hari Minggu sore pula ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:165).
(22) “Pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936 kapal Van der Wijk ….”
(Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, 1938:126).
(23) “Besoknya hari selasa 20 Oktober, ….” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:129).
(24) “Surabaya, 20 Oktober (Aneta).” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:133).
(25) “Jakarta, 20 Oktober (Aneta).” (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk,
1938:133).
3) Perkembangan Latar Sosial Novel-Novel Angakatan Balai Pustaka
Menurut Yanti (jurnal 585) latar yang ada di dalam sebuah cerita merupakan
hasil rekaan pengarang yang masih memiliki relevansi dengan realitas sesungguhnya.
Seorang pengarang tentu menciptakaan latar berdasarkan pengaruh lingkungan
hidupnya, baik latar alam, kebiasaan hidup, adat istiadat, atau keadaan sekitarnya.

a. Latar Sosial Novel Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar
Latar sosial novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar berkembang dari
pengaruh adat istiadat masyarakat Medan untuk menikahkan anaknya dengan orang
yang sederajat dalam segi keturunan, harta, dan kedudukan keluarga di masyarakat.
Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut ini.
“Sekarang marilah diceritakan seorang anak gadis dari sebuah kampung yang tiada
berapa jauh dari Sipirok, karena itulah yang disetujui Baginda Di Atas. Gadis itu
anak kepala kampung, “Bangsa” lebih dari “kepandaian” bagi dia.” (Merari)

b. Latar Sosial Novel Sengsara Membawa Nikmat (1929) karya Tulis Sutan Sati
Latar sosial yang diangkat dalam novel Sengsara Membawa Nikmat karya
Tulis Sutan Sati adalah pertentangan antara kaum penguasa adat dengan orang biasa.
Hal ini ditunjukkan saat tokoh Midun sangat dibenci oleh Kacak karena orang
kampung selalu memuji Midun, padahal dia hanya orang biasa-biasa saja dan
sedangkan ia adalah keluarga penguasa di daerah tersebut. Tingkatan sosial yang
dimiliki Kacak membuatnya berbuat sesuka hatinya untuk melampiaskan
kebenciannya kepada Midun. Pernyataan di atas di dukung dengan kutipan berikut
ini.
“Hal itu sudah sepatutnya Midun. Pertama, engkau seorang alim. Kedua, engkau
disukai dan dikasihi orang kampung ini. Oleh Kacak hanya derajatnya jadi
kemenakan Tuanku Laras saja yang dimegahkannya. Tentang tingkah laku dan
perangainya tidak ada yang akan diharap. Memang dia kurang disukai orang di
seluruh kampung ini.” (Tulis)
c. Latar Sosial Novel Katak Hendak Jadi Lembu (1935) karya Noor Sutan
Iskandar
Latar sosial dalam novel Katak Hendak Jadi Lembu karya Noor Sutan Iskandar
didasarkan pada kehidupan perkantoran. Sehingga nilai-nilai sosial kehidupan dalam
novel tersebut tidak hanya dari pengaruh lingkungan pedesaan atau daerah saja. Hal
tersebut dibuktikan dengan kutipan berikut ini.
“Perkataan itu terdengar kepada sekalian isi kantor. Segala pesuruh berdiri dari
bangku kedudukannya, memandang kepada Kosim tenang-tenang. Warna muka
orang muda itu merah padam, matanya bersinar-sinar. Bukan main marahnya, ….”
(Noor)

d. Latar Sosial Novel Sukreni Gadis Bali karya (1936) karya A. A. Pandji Tisna
Latar sosial novel Sukreni Gadis Bali karya A. A. Pandji Tisna menekankan
pada pengaruh kekayaan dan kecantikan adalah segalanya di masyarakat. Norma-
norma agama dan hukum-hukum bangsa dilanggar demi menumpuk harta kekayaan.
Dalam novel tersebut Men Negara menjual anak kandungnya kepada seorang ratu
agar mendapatkan uang.
“Men Negara dan Ni Negari menundukkan kepalanya, tidak terlihat olehnya muka I
Negara dan I Sudiana. Lebih-Lebih Men Negara, serasa ia telah tenggelam masuk
tanah. Aduhai, ia telah merusakkan kehidupan anaknya.”
e. Latar Sosial Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1938) karya Haji Abdul
Malik Karim Amrullah (Hamka)
Latar sosial novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya Hamka adalah
permasalahan adat istiadat padang yang menekankan pernikahan sesuku. Maka
Tokoh Zainuddin yang ayahnya menikah dengan seorang wanita asal Mekasar tidak
dianggap sebagai keturunan padang. Sehingga ia tidak bias menikah dengan Hayati.
D. SIMPULAN
Karya sastra pada periode angkatan 20-an atau angkatan Balai Pustaka
berkembang dari pengaruh kehidupan masyarakat yang masih sangat terikat dengan
adat-istiadat. Analisis yang dilakukan terhadap lima novel angkatan Balai Pustaka
yang disusun secara konvensional (urutan terbitnya karya sastra), mengalami
perkembangan. Latar tempat novel-novel Balai Pustaka berkembang dari latar
pedesaan dan daerah di satu pulau berkembang menjadi berlatar daerah kota seperti
Surabaya dan Jakarta serta melibatkan latar dari daerah lain di pulau yang berbeda.
Selain itu, latar waktu pada novel-novel Balai Pustaka yang telah dianalisis
juga mengalami perkembangan. Latar waktu yang digunakan pada novel “Azab dan
Sengsara” banyak menggunakan latar waktu difus, kemudian pada novel “Sengsara
Membawa Nikmat” dan “Katak Hendak Jadi Lembu” latar waktunya berkembang
menjadi latar waktu difus dan fragmentarisme. Di dalam novel kelima yaitu novel
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk” latar waktu telah berkembang menjadi latar
waktu kalenderisme yaitu detail waktu seperti tanggal, bulan, dan tahun.
Aspek latar sosial yang juga dianalisis menjukkan hasil yang sama dengan
teori ciri ektra estetik prosa Balai Pustaka yaitu mengangkat permasalahan kawin
paksa, perjodohan, dan pertentangan antara kaum muda dan kaum tua. Permasalahan
perjodohan dan kawin paksa jelas masih menonjol di dalam kelima novel Balai
Pustaka yang di analisis.
E. DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai