ANNISA LATIFA
42
ABSTRAK:
Angakatan sastra yang ada di Indonesia memiliki ciri atau karakteristik karya sastra yang berbeda-
beda antara satu angakatan dengan angkatan yang lainnya. Salah satu angakatan sastra di Indonesia adalah
angakatan 20-an atau angkatan Balai Pustaka. Novel-novel pada angkatan Balai Pustaka mengalami
perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman berdasarkan tahun terbitnya. Secara konvensional lima
novel Balai Pustaka mengalami perkembangan ciri ektra estetik latar (setting). Latar tempat pada novel Balai
Pustaka mengalami perkembangan dari latar pedesaan, daerah, dan kehidupan daerah menjadi latar daerah
perkantoran dan perkotaan. Latar waktu pada novel Balai Pustaka berkembang dari latar difus, menuju latar
difus, fragmentarisme, dan kalenderisme. Latar sosial novel Balai Pustaka tidak mengalami perkembangan dari
satu novel ke novel yang lainnya. Semua novel tersebut didominasi permasalahan sosial adat-istiadat yang kuat,
kawin paksa, dan perjodohan.
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan kehidupan manusia tidak lepas dari terjadinya perkembangan zaman.
Perkembangan zaman yang terjadi membawa pengaruh besar terhadap kehidupan manusia.
Di dalam dunia sastra suatu zaman atau periode memberikan pengaruh besar terhadap karya
sastra yang lahir pada zaman tersebut. Pengaruh tersebut tercermin dari karakteristik suatu
karya sastra pada zaman tertentu. Menurut Pradopo kesusastraan suatu bangsa selalu
berkembang dari waktu ke waktu. Hal tersebut juga terjadi pada kesuastraan Indonesia.
Perkembangan kesusastraan di Indonesia dapat di lihat dari angkatan sastra yang hidup dalam
suatu periode tertentu. Menurut Pradopo karya sastra yang lahir dalam angkatan tertentu
memiliki kesamaan atau kemiripan dari ciri-ciri intrinsik.
Karya sastra di setiap angkatan terbagi menjadi karya sastra prosa dan puisi. Di dalam
analisis penganalisis memfokuskan pada karya sastra prosa, yaitu novel. Menurut Ali dan
Farida unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun sebuah karya sastra dan secara
faktual terdapat dalam karya sastra tersebut. Unsur-unsur intrinsik novel menurut Ali dan
Farida meliputi tema, alur, latar, tokoh, sudut pandang, dan gaya bahasa. Sedangkan unsur-
unsur pembangun novel menurut Stanton dikutip oleh Ali dan Farida ada tiga, yaitu tema
(theme), fakta (facts), dan sarana sastra (literary device). Fakta cerita yang merupakan unsur
faktual yang eksistensinya dapat ditemukan dalam suatu karya sastra terdiri dari tokoh, alur,
dan latar.
Salah satu angkatan sastra di Indonesia adalah angkatan Balai Pustaka atau angkatan
20-an. Angkatan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan angkatan-angakatan
lainnya. Salah satu karakteristik tersebut dilihat dari segi latar. Namun, menurut Pradopo
karakteristik prosa angkatan Balai Pustaka masih terbatas pada latar tempat saja. Oleh karena
itu, dalam makalah ini penganalisis akan menganalisis perkembangan latar (setting) novel-
novel angkatan Balai Pustaka.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, penganalisis membatasi pembahasan dalam
analisis ini, dengan rumusan masalah sebagai berikut.
b. Latar Tempat Novel Sengsara Membawa Nikmat (1929) karya Tulis Sutan Sati
Deskripsi latar tempat dalam Novel Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati
adalah di lereng bukit, pasar, rumah Midun, Bukit Tinggi, pacuan kuda, penjara, Bogor,
Betawi, dan Padang. Semua latar tempat tersebut terdapt dalam kutipan berikut ini.
(1) “Lereng bukit dan puncak pohon-pohonan bagai disepuh rupanya.” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:1).
(2) “Adapun pasar di kampung itu terletak di tepi jalan besar.” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:4).
(3) “Memang Midun seorang pemuda yang sangat digemari orang di
kampungnya.” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:4).
(4) “…, kelihatan seorang muda dating menuju ke pasar itu.” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:23).
(5) “Pada suatu hari, pasar di kampung itu sangat ramai.” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:28).
(6) “Sekarang Pak Inuh dating ke pasar membawa pisau.” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:28).
(7) “Midun ketika itu ada pula di pasar itu.” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:29).
(8) “Sekali peristiwa pada suatu petang Midun pergi ke sungai hendak mandi.”
(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:38).
(9) “Sampai di rumah, Midun menceritakan kepada ayah bundanya kejadian pada
malam itu.” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:43).
(10) “Segala isi rumah ngeri mendengar cerita Pendekar Sutan.” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:48).
(11) “Jika orang hendak melihat pasar malam, harus melalui pintu balai itu.”
(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:58).
(12) “Pada tepi jalan di pasar kampung itu kelihatan lada, ….” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:57).
(13) “Balai itu dihiasi dengan amat bagus dan indahnya.” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:59).
(14) “Tiap-tiap bukit itu berpuluh-puluh pondok didirikan orang. Pondok-pondok
itu ialah tempat orang berjual nasi, juadah, dan lain-lain sebagainya.”
(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:67).
(15) “Ada pun pacuan itu di kelilingi oleh bukit.” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:67).
(16) “Setelah sampai di stasiun Pulau Air, ….” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:79).
(17) “Sampai di penjara, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:80).
(18) “Sudah sebulan di Bogor ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:132).
(19) “Maksud saya ke Betawi ini, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:136).
(20) “Midun dua laki istri dan Manjau berangkatlah ke Padang. Dengan selamat
dan tidak kurang suatu apa, ia pun sampailah di Pelabuhan Teluk Bayur.”
(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:173).
Kutipan di atas digolongkan dalam latar tempat secara geografis dan topografi.
Berikut ini adalah penggolongan tersebut. Kutipan nomor (1) termasuk latar tempat secara
topografi karena mendeskripsikan lereng bukit. Sedangkan kutipan nomor (2) sampai dengan
nomor (20) merupakan kutipan yang menunjukkan deskripsi latar secara geografis.
c. Latar Tempat Novel Katak Hendak Jadi Lembu (1935) karya Noor Sutan Iskandar
Deskripsi latar tempat dalam novel Katak Hendak Jadi Lembu karya Noor Sutan
Iskandar adalah di rumah, pedesaan, perkantoran residen, dan Kota Sumedang. Hal tersebut
dibuktikan dengan kutipan berikut ini.
(1) “Dan Khadijah pulang ke rumahnya ….” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:34)
(2) “Belum habis lagi dengung lonceng yang dibunyikan patih di atas meja tulis
dalam kantornya, ….” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:34)
(3) “Haji Junaedi ternama di desanya ….” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:47)
(4) “Meskipun niat Suria hendak jalan-jalan ke Rancapurut sudah agak.” (Katak
Hendak Jadi Lembu, 1935:50)
(5) “Dari situ Suria berjalan pula dengan Haji Junaedi ke kebun.” (Katak Hendak
Jadi Lembu, 1935:51)
(6) “Di dapur rumah ….” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:69)
(7) “Perkataan itu terdengar kepada sekalian isi kantor.” (Katak Hendak Jadi
Lembu, 1935:84)
(8) “Kota Sumedang ….” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:119).
d. Latar Tempat Novel Sukreni Gadis Bali karya (1936) karya A. A. Pandji Tisna
Deskripsi latar tempat pada novel Sukreni Gadis Bali karya A. A. Pandji Tisna adalah
di sebuah desa Bingin Banjah di Bali, Bali, daerah Singaraja, daerah Buleleng, dan daerah
Banjar Bali. Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut ini.
(1) “… di antara kebun-kebun kelapa menuju ke Bingin Banjah, desa yang belum
dapat disebut desa benar, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:9).
(2) “… ia datang ke Buleleng hanya dengan pakaian yang lekat pada badannya saja.”
(Sukreni Gadis Bali, 1935:14).
(3) “Sesampai di Buleleng, mereka menumpang di rumah seorang haji ….” (Sukreni
Gadis Bali, 1935:14).
(4) “Kita mulai dari sebelah selatan,” (Sukreni Gadis Bali, 1935:22).
(5) “Sekalian isi desa dan orang di daerah desa itu bersenang hati melihat perubahan
itu, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:32).
(6) “Di Kalianget taka da orang mengatakan, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:66).
(7) “Dari sana ia pergi ke Singaraja.” (Sukreni Gadis Bali, 1935:66).
(8) “Dalam pada itu di hotel kepunyaan seorang Tionghoa di Singaraja ….” (Sukreni
Gadis Bali, 1935:67).
(9) “Jika lama tuan di Pulau Bali ini, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:74).
(10) “Ia terus menuju ke Banjar Bali, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:82).
(11) “Mereka sampai di Bingin Banjah.” (Sukreni Gadis Bali, 1935:90).
(12) “Bingin Banjah, desa yang aman dulu itu, telah rusuh pula.” (Sukreni Gadis Bali,
1935:90).
(13) “Halaman rumah yang gelap tadi itu terang-benderang, ….” (Sukreni Gadis Bali,
1935:93).
Berdasarkan kutipan di atas, latar tempat difus ditunjukkan pada nomor (1), (2), (3),
(5), (6), (14), (21), (22), (23), (25), (28), (29), dan (32). Kutipan-kutipan tersebut menujukkan
latar difus karena mendeskripsikan garis besar waktu yang membuat pembaca mengetahui
latar waktu pada bagian cerita tertentu. Sedangkan kutipan yang menunjukkan latar
fragmentarisme adalah nomor (4), (8), (9), (10), (11), (12), (13), (17), (18), (19), (24), (26),
(27), dan (31). Kutipan-kutipan tersebut menyajikan bagain waktu tertentu yang tidak
diceritakan secara berkesinambungan. Jadi, di dalam novel ini tidak terdapat latar
kalenderisme.
b. Latar Waktu Novel Sengsara Membawa Nikmat (1929) karya Tulis Sutan Sani
Deskripsi latar waktu pada Novel Sengsara Membawa Nikmat karya Merari Siregar
mencakup latar waktu difus dan fragmentarisme.
(1) “Waktu asar sudah tiba. Amat cerah hari petang itu.” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:2).
(2) “Sesudah sembahyang maghrib, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:20).
(3) “Pada suatu malam Pak Midun berkata kepada anaknya, ….” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:24).
(4) “Pada suatu hari, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:8).
(5) “Sekali peristiwa pada suatu petang Midun pergi ke sungai hendak mandi.”
(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:38).
(6) “Tiga hari kemudian daripada hari itu, ….” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:42).
(7) “Lima malam telah lalu adalah selamat saja, ….” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:43).
(8) “Kira-kira pukul tiga malam, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:43).
(9) “Semalam, ketika saya mendekati akan memukul kepala Ma Atang itu,
….”(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:49).
(10) “Matahari telah turun menjelang tirai peraduan di balik bumi, ….” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:53).
(11) “Dua pekan lagi akan diadakan pacuan kuda di Buktitinggi.” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:54).
(12) “Belum tinggi matahari terbit, ….”(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:57).
(13) “Pada malam hari Midun dan Maun pergi pula ke pasar malam.” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:62).
(14) “Pagi-pagi benar Midun dan Maun sudah bangun.” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:64).
(15) “Setelah dua bulan lebih kemudian daripada itu, ….” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:71).
(16) “Tiga hari berturut-turut Landraad memeriksa perkara itu dengan hemat.”
(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:71).
(17) “Pagi-pagi waktu Midun akan berangkat, ….” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:74).
(18) “Pada keesokan harinya dilihat Turigi, ….” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:86).
(19) “Pada suatu hari, kira-kira pukul sebelas lewat.” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:90).
(20) “Keesokan harinya pagi-pagi, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:91).
(21) “Setelah dua bulan lebih Midun menjalankan hukuman, ….” (Sengsara
Membawa Nikmat, 1929:92).
(22) “Sebulan Midun bekerja menyapu jalan di kota Padang.” (Sengsara Membawa
Nikmat, 1929:92).
(23) “Setelah sepekan lamanya, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:99).
(24) “Karena hari baru pukul 10, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:108).
(25) “Sepekan kemudian darpada itu, ….”(Sengsara Membawa Nikmat, 1929:109).
(26) “Sebulan Pak Midun sakit, ….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:145).
(27) “Beberapa hari perkara itu ditimbang ….” (Sengsara Membawa Nikmat,
1929:154).
(28) “Kira-kira pukul sebelas malam….” (Sengsara Membawa Nikmat, 1929:166).
Kutipan-kutipan di atas yang menunjukkan latar waktu difus adalah nomor
(1), (2), (3), (4), (5), (8), (9), (10), (12), (13), (14), (17), (18), (19), (20), (23), (24), dan
(28). Kutipan-kutipan tersebut memberikan gambaran waktu secara umum pada suatu
bagian cerita. Sedangkan nomor yang termasuk latar waktu fragmentarisme
ditunjukkan pada nomor (6), (7), (11), (15), (16), (21), (22), (25), (26), dan (27).
Kutipan-kutipan tersebut merupakan penggambaran suatu bagian waktu tertentu yang
tidak berkesinambungan secara terus menurus, namun menerangkan waktu di dalam
suatu suasaja
c. Latar Waktu Novel Katak Hendak Jadi Lembu (1935) karya Noor Sutan Iskandar
Deskripsi latar waktu dalam novel Katak Hendak Jadi Lembu karya Noor St. Iskandar
menggunakan deskripsi latar waktu difus, fragmentarisme, dan kalenderisme sekaligus. Hal
tersebut dibuktikan dengan kutipan-kutipan berikut ini.
(1) “Malam.” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:7)
(2) “Malam sudah binasa ….” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:9)
(3) “Murai telah berkicau, mula-mula seeokor saja, kemudian bersahut-sahutan
dengan kawanannya, di atas pohon jambu mawar di sudut rumah itu.” (Katak
Hendak Jadi Lembu, 1935:9)
(4) “Kira-kira 20 tahun dahulu Suria menjadi magang di kantor asis-ten-residen
Tasikmalaya.” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:23)
(5) “Ketika gadis itu telah berumur 14 tahun lebih, ….” (Katak Hendak Jadi Lembu,
1935:24)
(6) “Tiga tahun lamanya perempuan muda itu meranda.” (Katak Hendak Jadi
Lembu, 1935:27).
(7) “Dua tahun kemudian ia pun diangkat jadi juru tulis dan dipindahkan ke kantor
patih di Sumedang.” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:27)
(8) “Pukul tengah dua berbunyi.” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:57)
(9) “Siang berebut dengan senja, matahari tiada kelihatan lago.” (Katak Hendak
Jadi Lembu, 1935:69)
(10) “Beberapa bulan sudah Kosim menjadi magang di Kantor patih Sumedang, ….”
(Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:82)
(11) “Pada suatu pagi hari asisten-wedane tabe, ….” (Katak Hendak Jadi Lembu,
1935:82)
(12) “Hari Ahad yang ditentukan itu terlampau sudah.” (Katak Hendak Jadi Lembu,
1935:102)
(13) “Hari Jumat petang.” (Katak Hendak Jadi Lembu, 1935:150)
d. Latar Waktu Novel Sukreni Gadis Bali karya (1936) karya A. A. Pandji Tisna
Deskripsi latar waktu dalam novel Sukreni Gadis Bali karya A. A. Pandji
Tisna menggunakan latar waktu difus, fragmentarisme, dan kalenderisme. Hal
tersebut dibuktikan dengan kutipan-kutipan berikut ini.
(1) “Hari telah senja.” (Sukreni Gadis Bali, 1935:19).
(2) “Pagi itu ramai mereka bekerja.” (Sukreni Gadis Bali, 1935:22).
(3) “Lebih sebulan sudah menteri polisi menangkap Men Negara ….” (Sukreni
Gadis Bali, 1935:35).
(4) “Sejurus kemudian I Gusti Made Tusan hendak mulai berkata-kata pula, ….”
(Sukreni Gadis Bali, 1935:40).
(5) “Pada hari minggu pagi ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:49).
(6) “Malam itu benar datanglah I Gusti Made Tusan, ….” (Sukreni Gadis Bali,
1935:57).
(7) “Pagi-pagi keesokan harinya ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:61).
(8) “Tujuh hari I Sudiana tinggal di Pabean, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:67).
(9) “Beberapa bulan telah lalu.” (Sukreni Gadis Bali, 1935:68).
(10) “Lima bulan sudah I Made Aseman terhukum ….” (Sukreni Gadis Bali,
1935:72).
(11) “Baru dua hari ini hamba mendapat kabar, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:78).
(12) “Keesokan harinya pagi-pagi, ….” (Sukreni Gadis Bali, 1935:81).
(13) “Beberapa tahun sudah lalu.” (Sukreni Gadis Bali, 1935:86).
(14) “Pada suatu malam di tanah yang ketinggian di tepi jalan raya ….” (Sukreni
Gadis Bali, 1935:88).
(15) “Malam itu I Gusti Made Tusan kebetulan sedang meronda.” (Sukreni Gadis
Bali, 1935:91).
(16) “Hari masih pagi benar.” (Sukreni Gadis Bali, 1935:98).
a. Latar Sosial Novel Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar
Latar sosial novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar berkembang dari
pengaruh adat istiadat masyarakat Medan untuk menikahkan anaknya dengan orang
yang sederajat dalam segi keturunan, harta, dan kedudukan keluarga di masyarakat.
Hal tersebut ditunjukkan dalam kutipan berikut ini.
“Sekarang marilah diceritakan seorang anak gadis dari sebuah kampung yang tiada
berapa jauh dari Sipirok, karena itulah yang disetujui Baginda Di Atas. Gadis itu
anak kepala kampung, “Bangsa” lebih dari “kepandaian” bagi dia.” (Merari)
b. Latar Sosial Novel Sengsara Membawa Nikmat (1929) karya Tulis Sutan Sati
Latar sosial yang diangkat dalam novel Sengsara Membawa Nikmat karya
Tulis Sutan Sati adalah pertentangan antara kaum penguasa adat dengan orang biasa.
Hal ini ditunjukkan saat tokoh Midun sangat dibenci oleh Kacak karena orang
kampung selalu memuji Midun, padahal dia hanya orang biasa-biasa saja dan
sedangkan ia adalah keluarga penguasa di daerah tersebut. Tingkatan sosial yang
dimiliki Kacak membuatnya berbuat sesuka hatinya untuk melampiaskan
kebenciannya kepada Midun. Pernyataan di atas di dukung dengan kutipan berikut
ini.
“Hal itu sudah sepatutnya Midun. Pertama, engkau seorang alim. Kedua, engkau
disukai dan dikasihi orang kampung ini. Oleh Kacak hanya derajatnya jadi
kemenakan Tuanku Laras saja yang dimegahkannya. Tentang tingkah laku dan
perangainya tidak ada yang akan diharap. Memang dia kurang disukai orang di
seluruh kampung ini.” (Tulis)
c. Latar Sosial Novel Katak Hendak Jadi Lembu (1935) karya Noor Sutan
Iskandar
Latar sosial dalam novel Katak Hendak Jadi Lembu karya Noor Sutan Iskandar
didasarkan pada kehidupan perkantoran. Sehingga nilai-nilai sosial kehidupan dalam
novel tersebut tidak hanya dari pengaruh lingkungan pedesaan atau daerah saja. Hal
tersebut dibuktikan dengan kutipan berikut ini.
“Perkataan itu terdengar kepada sekalian isi kantor. Segala pesuruh berdiri dari
bangku kedudukannya, memandang kepada Kosim tenang-tenang. Warna muka
orang muda itu merah padam, matanya bersinar-sinar. Bukan main marahnya, ….”
(Noor)
d. Latar Sosial Novel Sukreni Gadis Bali karya (1936) karya A. A. Pandji Tisna
Latar sosial novel Sukreni Gadis Bali karya A. A. Pandji Tisna menekankan
pada pengaruh kekayaan dan kecantikan adalah segalanya di masyarakat. Norma-
norma agama dan hukum-hukum bangsa dilanggar demi menumpuk harta kekayaan.
Dalam novel tersebut Men Negara menjual anak kandungnya kepada seorang ratu
agar mendapatkan uang.
“Men Negara dan Ni Negari menundukkan kepalanya, tidak terlihat olehnya muka I
Negara dan I Sudiana. Lebih-Lebih Men Negara, serasa ia telah tenggelam masuk
tanah. Aduhai, ia telah merusakkan kehidupan anaknya.”
e. Latar Sosial Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1938) karya Haji Abdul
Malik Karim Amrullah (Hamka)
Latar sosial novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya Hamka adalah
permasalahan adat istiadat padang yang menekankan pernikahan sesuku. Maka
Tokoh Zainuddin yang ayahnya menikah dengan seorang wanita asal Mekasar tidak
dianggap sebagai keturunan padang. Sehingga ia tidak bias menikah dengan Hayati.
D. SIMPULAN
Karya sastra pada periode angkatan 20-an atau angkatan Balai Pustaka
berkembang dari pengaruh kehidupan masyarakat yang masih sangat terikat dengan
adat-istiadat. Analisis yang dilakukan terhadap lima novel angkatan Balai Pustaka
yang disusun secara konvensional (urutan terbitnya karya sastra), mengalami
perkembangan. Latar tempat novel-novel Balai Pustaka berkembang dari latar
pedesaan dan daerah di satu pulau berkembang menjadi berlatar daerah kota seperti
Surabaya dan Jakarta serta melibatkan latar dari daerah lain di pulau yang berbeda.
Selain itu, latar waktu pada novel-novel Balai Pustaka yang telah dianalisis
juga mengalami perkembangan. Latar waktu yang digunakan pada novel “Azab dan
Sengsara” banyak menggunakan latar waktu difus, kemudian pada novel “Sengsara
Membawa Nikmat” dan “Katak Hendak Jadi Lembu” latar waktunya berkembang
menjadi latar waktu difus dan fragmentarisme. Di dalam novel kelima yaitu novel
“Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk” latar waktu telah berkembang menjadi latar
waktu kalenderisme yaitu detail waktu seperti tanggal, bulan, dan tahun.
Aspek latar sosial yang juga dianalisis menjukkan hasil yang sama dengan
teori ciri ektra estetik prosa Balai Pustaka yaitu mengangkat permasalahan kawin
paksa, perjodohan, dan pertentangan antara kaum muda dan kaum tua. Permasalahan
perjodohan dan kawin paksa jelas masih menonjol di dalam kelima novel Balai
Pustaka yang di analisis.
E. DAFTAR PUSTAKA