Abstract
This paper discusses the function and role of literary works in Indonesian society from time to
time. The functions and roles of literature are closely related to the conditions of society and
government. In contemporary Indonesian society today, the function and role of literature is
increasingly important because literature can be a unifying tool of the nation. Through literature
every group with different ethnic and cultural backgrounds can learn to understand other
community groups to cultivate empathy, sympathy, and respect.
Abstrak
Paper ini membicarakan tentang fungsi dan peran karya sastra dalam masyarakat Indonesia dari
masa ke masa. Fungsi dan peran sastra terkait erat dengan kondisi masyarakat dan pemerintahan.
Dalam masyarakat Indonesia kontemporer saat ini, fungsi dan peran sastra semakin penting
karena sastra bisa menjadi alat pemersatu bangsa. Melalui sastra setiap masyarakat dengan latar
belakang etnis dan budaya berbeda bisa belajar memahami kelompok masyarakat lain untuk
menumbuhkan empati, simpati, dan rasa menghargai.
25
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018
khusus tentang kesusastraan Thailand, atau tiruan semata, melainkan creatio, hasil
Phillips (1987) menyatakan bahwa kreasi para sastrawan. Dengan demikian,
sastrawan adalah juru bicara antara sastra dan kenyataan memang tidak
masyarakatnya. Pernyataan Phillips ini bisa dibandingkan secara langsung. Bagi
bisa dibaca bahwa pengarang mendapatkan Aristoteles, sastra memiliki nilai dan
bahannya dari apa yang terjadi di hukumnya sendiri. Sebagai sebuah karya
masyarakat atau di dalam kebudayaannya. seni, sastra memiliki keindahan atau nilai
Berbeda dari para politisi atau ahli hukum, estetis yang rumit dan kompleks (Ratna,
misalnya, para sastrawan menyuarakan apa 2007).
yang ada di dalam masyarakat secara tidak Dalam studi sastra, baik di dunia Barat
langsung, melainkan melalui kode budaya maupun Timur, para sarjana sepakat bahwa
primer, yakni bahasa; dan karya sastra itu dari masa ke masa sastra, sekalipun bukan
sendiri merupakan kode budaya sekunder merupakan dokumen sosiologis maupun
(Ratna, 2007; Teeuw, 1984). antropologis, merupakan bahan yang amat
Sebagai refleksi atau cermin kaya untuk mempelajari masyarakat dan
masyarakat, sastra bukanlah dokumen kebudayaannya. Duhan (2015, 200)
sosiologis atau antropologis, melainkan memberikan contoh tentang pentingnya
tiruan kenyataan atau mimesis. Pengertian studi sastra dalam sebuah bangsa. Dalam
mimesis sendiri ada dua macam, mengkaji sastra Inggris, misalnya,
berdasarkan konsep Plato dan konsep seseorang akan bisa memahami “… the
Aristoteles. Menurut Plato, sastra adalah wide field of English history, by which we
tiruan dunia ideal. Dengan demikian, sastra mean the history of English politics and
tidak akan pernah setara dengan kenyataan. society, manners and customs, culture and
Dalam negara yang ideal, demikian Plato learning, and philosophy and religion.”
menyatakan, para sastrawan tidak Studi sastra yang merupakan salah satu
memberikan sumbangan positif karena cara untuk memahami sejarah politik
mereka hanyalah meniru kenyataan ideal. maupun sosial, adat, kebiasaan dan
Konsep mimesis Plato ini mengandung sebagainya ini tidak hanya berlaku di
pengertian negatif. Di sisi lain, Aristoteles, Inggris melainkan di seluruh bangsa dan
murid Plato, memberi arti berbeda negara, termasuk di Indonesia. Wellek dan
terhadap konsep gurunya. Bagi Aristoteles, Warren (1970), menguraikan dengan detil
sastra bukan hanya merupakan mimesis tentang sosiologi sastra yang menyangkut
26
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018
27
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018
raja. Sastrawan jaman dulu disebut kawi bukan hanya dinikmati sebagai hiburan
dan mereka menempati kedudukan yang melainkan dijadikan pegangan hidup.
penting dan terhormat karena mereka Demikian pula, di dunia Barat, konsep
memiliki hubungan khusus dengan raja dulce et utile atau indah dan bermanfaat
sebagai pelindung. Para kawi tidak menulis merupakan konsep penting yang dianut
secara individual melainkan bersifat istana oleh para sastrawan. Sastra menawarkan
sentris (Ratna, 2007). keindahan dan manfaat bagi
Lebih jauh Ratna mengungkapkan masyarakatnya. Karya sastra klasik secara
bahwa disamping berkarya untuk raja, umum tidak meninggalkan ‘fatwa’
dengan karya sastra yang diciptakannya Horatius ini. Di atas sudah disebutkan
para kawi juga bertujuan untuk mendidik bahwa karya para pujangga jaman dulu
dan memberi petunjuk masyarakatnya. kental dengan aspek estetika dan etika.
Para kawi menciptakan karya yang indah Dengan demikian, karya sastra tidak cukup
sekaligus bermanfaat, atau dulce et utile kalau hanya berfungsi untuk menghibur,
menurut Horatius karena dalam sastra melainkan juga harus mendidik. Karya
lama, estetika dan etika—antara bentuk sastra klasik Jawa, baik yang berupa prosa
dan isi—tidak bisa dipisahkan, dalam arti maupun puisi, selalu mengandung ajaran
karya sastra yang baik adalah karya yang hidup. Masyarakat, terutama yang berada
estetis dan etis. Dari bentuknya, karya di lingkungan pusat kerajaan, banyak yang
sastra lama memiliki aturan-aturan yang hafal karya para pujangga dan
ketat. Disamping untuk memenuhi tuntutan menjadikannya sebagai pegangan hidup.
estetis, hal ini juga merupakan indikasi Tetapi dalam perkembangannya, karya
bahwa karya sastra lama tidak menekankan sastra tidak hanya dinikmati oleh
pada siapa penciptanya karena para masyarakat di pusat-pusat kerajaan
sastrawan tidak berkarya secara individual melainkan juga oleh masyarakat di luar
tadi. Siapa pun penciptanya, aspek estetika pusat kerajaan.
menjadi salah satu syarat utama karya Dalam studinya tentang karya-karya
sastra lama. Menurut Ratna, “keindahan sastra Jawa klasik, Florida (2003)
tertinggi pada gilirannya adalah pertemuan mendapati ada begitu banyak kelompok
dengan Tuhan” (2007, 335). Oleh karena ‘membaca’ karya sastra ini dalam
itu, karya para pujangga atau kawi pada masyarakat Jawa. Perlu diingat di sini
masa kejayaan kerajaan Hindu-Buddha bahwa ‘membaca’ di sini berarti
28
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018
29
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018
ideologi antara pihak penguasa dan yang simbolik yang hanya disadari oleh
dikuasai (Estrelita dalam Artika, 2016). segelintir pembaca kritis.
Pihak penguasa menentukan karya sastra Sebagian penyair, berbeda dari rata-
mana yang boleh beredar dan mana yang rata prosais, lebih terus-terang dalam
tidak. Segala sesuatu yang tidak sesuai menyatakan kritik mereka sekalipun
dengan ideologi penguasa, dalam hal ini tingkat kritik atau perlawanan mereka ini
rejim Orde Baru, tidak boleh ada di negeri tidak sama. Penyair Si Burung Merak,
ini. Rendra, misalnya, sejak awal mengambil
Lambat laun isu komunisme dan PKI posisi sebagai antitesis terhadap Orde
semakin menghilang dari kehidupan Baru. Oleh sebab itu dia tidak memiliki
bangsa Indonesia. Sebagai organisasi kebebasan penuh dalam mementaskan
terlarang, PKI tidak ada lagi. Namun puisi-puisinya yang sarat dengan kritik
demikian, pemerintah Orde Baru tetap sosial. Berbeda dari Rendra, Sapardi Djoko
mendengungkan gaung tentang bahaya Damono, sekalipun karya-karyanya bisa
laten komunisme dan PKI kepada rakyat. dikategorikan ke dalam sastra perlawanan,
Melalui alat-alat negara, Orde Baru masih menyampaikan kritik atau
menyatakan antipati terhadap PKI. Dengan perlawanannya dengan bahasa yang halus.
sistem represi yang demikian ketat, Orde Oksinata (2010) menyebut bahwa dua
Baru berupaya melanggengkan penyair ini merupakan penyair priyayi,
kekuasaannya. Kondisi seperti ini sekilas sehingga perlawanan mereka masih bisa
memang menunjukkan ketenangan dan dikategorikan dalam perlawanan halus.
ketertiban karena rakyat menjadi takut. Namun demikian, dalam sosok Wiji
Mereka yang tidak setuju berusaha Thukul—demikian Oksinata menyebut—
melawan namun perlawanan itu tidak yang merupakan penyair dari rakyat
pernah terus-terang dan frontal melainkan kebanyakan, perlawanan terhadap Orde
secara diam-diam dan sembunyi- Baru terasa begitu intens dan frontal. Salah
sembunyi. Sujito (2014) menyebut satu kumpulan puisi Wiji Thukul, Aku
perlawanan terhadap Orde Baru melalui Ingin Jadi Peluru (2004), merupakan salah
sastra ini sebagai perlawanan simbolik satu kumpulan puisi perlawanan yang
dengan contoh Mochtar Lubis melalui paling keras bersuara dalam menentang
novelnya Harimau! Harimau! Namun kekuasaan Orde Baru dan ini menyebabkan
demikian, tidak semua perlawanan bersifat
32
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018
penyairnya hilang tiada rimbanya sejak mengalami evolusi dari masa ke masa.
peristiwa 27 Juli 1996 hingga sekarang. Perubahan ini terjadi di segala bidang.
Dari uraian di atas, peran sastra dalam Masyarakat komunal-agraris yang menjadi
masyarakat Indonesia selama masa Orde ciri utama bangsa Indonesia dulu kini
Baru tidak bisa dilepaskan dari sikap rejim sudah semakin terkikis. Kita sudah
Orde Baru yang represif. Menjelang menjadi bangsa yang berada dalam abad
berakhirnya kekuasaan Orde Baru, tampak Internet—sama seperti bangsa-bangsa
sekali penguasa berusaha mempertahankan lain—dengan teknologi menjadi penentu
kekuasaannya. Namun, di sisi lain, para dalam banyak aspek kehidupan kita.
sastrawan yang merasa tidak memiliki Konsekuensi dari kemajuan teknologi ini
kebebasan penuh, semakin nyaring begitu masif terhadap masyarakat kita.
bersuara lewat karya-karya mereka. Nilai-nilai kebudayaan yang kita junjung
Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam tinggi di masa lalu banyak yang sudah kita
sastra Indonesia melainkan juga dalam tinggalkan. Kita dengan begitu mudah
sastra daerah. Dalam sastra Jawa, terpengaruh oleh apa pun yang datang dari
misalnya, seorang sastrawan Jawa yang luar. Pengaruh dari luar ini tidak harus dari
juga guru SD dari Kebumen, Turiyo Barat, melainkan bisa dari mana saja.
Ragilputra, melalui beberapa puisinya Namun demikian, masih saja ada di antara
dengan keras juga menyuarakan kita yang selalu menuduh Barat sebagai
‘perlawanannya’ kepada penguasa pembawa nilai-nilai buruk bagi masyarakat
(Margono, 2003). kita sehingga kita meninggalkan nilai-nilai
budaya kita sendiri. Hasibuan (2005)
FUNGSI DAN PERAN SASTRA merupakan salah seorang yang dengan
DALAM MASYARAKAT INDONESIA jelas menunjuk dunia Barat sebagai
KONTEMPORER penyebab dekadensi moral bangsa kita.
Bagaimana peran sastra dalam Namun kita harus bijak bahwa hal
masyarakat Indonesia kontemporer? semacam ini belum tentu benar dan sebagai
Sebelum menjawab pertanyaan ini, lebih masyarakat ilmiah kita harus skeptis.
dahulu kita lihat kondisi masyarakat Harus diakui bahwa ada begitu banyak
Indonesia saat ini. Evolusi masyarakat perbedaan saat ini dibandingkan dengan
terjadi seiring dengan perkembangan masa lalu. Masyarakat kita saat ini
jaman. Masyarakat Indonesia pun terpolarisasi secara masif dan terstruktur.
33
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018
Ada begitu banyak kelompok masyarakat kebudayaan pun saat ini menjadi semakin
dengan kepentingan masing-masing, nisbi. Namun demikian, kita tetap
apakah itu terkait dengan suku, agama, ras mengakui bahwa setiap bangsa memiliki
dan antargolongan atau yang kita kenal nilai-nilai dasar yang tidak berubah yang
dengan isu SARA. Paling tidak selama menjadi pegangan bangsa tersebut.
lima tahun terakhir, bangsa kita menjadi Dengan semua ini, sastra sebenarnya
begitu mudah terpengaruh oleh isu-isu tetap memiliki fungsi dan peran besar
yang tidak jelas atau yang kita kenal sebagai perekat bangsa. Justru fungsi atau
dengan hoax atau berita palsu. Di satu sisi, peran inilah yang harus kita kedepankan.
teknologi memberikan manfaat dan Namun demikian, seperti yang sudah
kemudahan yang luar biasa bagi manusia, diuraikan di atas, bangsa kita saat ini bukan
tetapi di sisi lain teknologi juga menjadi merupakan bangsa yang suka membaca
mudarat yang mengoyak rasa persatuan sehingga sastra yang seharusnya
dan kebangsaan kita. Atas nama politik, merupakan perekat bangsa, menjadi
agama atau golongan, kita menjadi begitu semakin ‘kesepian’ karena ditinggalkan
mudah marah dan menyalahkan orang lain. pembaca. Ada ironi yang begitu mendalam
Dengan kebebasan yang kita miliki, setiap mengenai kesusastraan kita. Kita meyakini
warga bangsa saat ini, siapa pun dia, bisa bahwa sastra mengandung nilai-nilai budi
mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang pekerti untuk membuat manusia menjadi
meresahkan banyak orang. Indonesia yang lebih baik, tetapi keyakinan itu tidak juga
dulu kita yakini merupakan rumah kita membuat kita menjadi bangsa yang suka
bersama yang tenang dan damai, kini sudah membaca karya sastra. Dalam masyarakat
berubah. Apakah memang benar karena Indonesia kontemporer saat ini, sastra
semua ini pengaruh buruk dari kebudayaan dianggap tidak penting bila dibandingkan
lain—terutama kebudayaan Barat? Ada dengan hal-hal lain dalam kehidupan kita
baiknya sebagai bangsa kita melakukan sehari-hari.
refleksi dan introspeksi. Saling Sebagai bangsa multikultural,
mempengaruhi saat ini memang tidak sebenarnya khasanah sastra Indonesia
terhindarkan lagi. Sekat-sekat atau batas- sangat kaya. Masih banyak daerah di
batas geografis tidak lagi begitu Indonesia yang hingga saat ini memiliki
berpengaruh terhadap kebudayaan kita. sastra daerah. Di Batak, misalnya, Sinaga
Bahkan sekat-sekat atau batas-batas menjelaskan betapa pentingnya sastra etnis
34
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018
35
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018
memahami. Oleh karena itu sudah sangat ini, pendidikan multikultural mutlak
tepat kalau Pemerintah mengeluarkan PP diperlukan. Secara garis besar, Banks
No. 57/2014 tetang Pengembangan, menyatakan bahwa multikulturalisme
Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan berarti mengakui keberagaman dan
Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa mengakomodasi kepentingan setiap
Indonesia. Keberadaan PP ini menegaskan kelompok etnis. Hal ini tidak bisa serta-
betapa pentingnya bahasa Indonesia bagi merta terwujud melainkan harus dicapai
bangsa Indonesia. Ke depan, Pemerintah melalui pendidikan. Salili dan Hoosain
perlu memiliki political will yang kuat (2001) menyatakan bahwa tujuan
untuk meningkatkan literasi bangsa agar pendidikan multicultural adalah mendidik
bangsa kita menjadi bangsa yang suka para siswa untuk tidak hanya memahami
membaca. Dengan demikian, fungsi dan melainkan juga menerima dan menghargai
peran sastra sebagai perekat bangsa akan perbedaan dalam hal kebudayaan, ras,
menjadi semakin terwujud. kelas sosial, agama, dan gender. Para
Sastra sebagai perekat bangsa bukan pendukung pendidikan multikultural
sesuatu yang hanya ada dalam angan- sepakat bahwa sastra multikultural
angan atau pemikiran, melainkan bisa merupakan salah satu alat penting untuk
diwujudkan. Untuk membicarakan hal ini, mewujudkan masyarakat Amerika Serikat
saya akan memulainya dengan sedikit yang egaliter (Cai, 2002). Sastra
membicarakan apa yang terjadi di Amerika multikultural sendiri berarti sastra yang
Serikat. Salah satu dampak besar ditulis oleh tiap kelompok etnis di Amerika
Pergerakan Hak-hak Sipil (Civil Right Serikat. Karya sastra seperti ini berfungsi
Movement) akhir tahun 1960-an di sebagai ‘jendela’ dan ‘cermin’ (mirror and
Amerika Serikat adalah munculnya apa windows). Setiap kelompok etnis di
yang disebut sebagai multicultural Amerika Serikat bisa melihat diri mereka
education atau pendidikan multikultural sendiri dalam karya sastra mereka dan
(Banks, 2001). Intinya adalah bahwa sekaligus melihat masyarakat atau
pergerakan ini meminta kepada kelompok etnis lainnya dalam karya sastra
Pemerintah Amerika Serikat untuk yang berbeda. Jelasnya, sejak akhir tahun
mengakui kesamaan atau persamaan hak 1960-an, kelompok etnis di Amerika
seluruh kelompok etnis yang ada di Serikat di luar kulit putih seperti Afrika-
Amerika Serikat. Untuk mewujudkan hal Amerika, Asia-Amerika, dan Hispanik-
36
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018
Amerika mulai menulis karya sastra yang Kalau kita bisa menggunakan karya
bertutur tentang kelompk etnis dan sastra kita sebagai ‘jendela’ dan ‘cermin’
kebudayaan mereka sendiri. Sastra seperti halnya fungsi sastra multikultural di
multikultural ini kemudian menjadi Amerika Serikat, niscaya sastra Indonesia
penting dan kemudian diajarkan di akan sangat penting eksistensinya sebagai
sekolah-sekolah di Amerika Serikat. perekat bangsa. Kurangnya empati,
Dalam konteks inilah, masyarakat simpati, pemahaman, dan penghargaan
Indonesia dan Amerika Serikat tidak begitu terhadap kelompok etnis atau kebudayaan
jauh berbeda karena sama-sama lain salah satunya disebabkan oleh
multikultural. Bahkan masyarakat kurangnya pengetahuan kita terhadap
Indonesia mungkin lebih multikultural kelompok etnis atau kebudayaan tersebut.
dibanding masyarakat Amerika Serikat. Karena sastra merupakan cermin
Sekalipun tiap daerah memiliki budaya dan kenyataan, kita sebagai pembaca akan bisa
sastra sendiri-sendiri, dengan adanya mengetahui banyak hal tentang suatu
bahasa Indonesia maka sastra kita menjadi masyarakat atau kebudayaan lewat karya
seperti sastra yang ada di Amerika Serikat. sastra yang kita baca. Pada dasarnya,
Penulis dari masing-masing kelompok situasi kesusastraan antara Amerika
etnis dan budaya yang menulis dalam Serikat dan Indonesia bisa dikatakan mirip.
bahasa Indonesia bisa dipahami oleh Berbagai kelompok etnis di Amerika
semua komponen bangsa. Memang benar Serikat menulis tentang kelompok mereka
bahwa mereka menulis karya yang dekat dalam bahasa Inggris. Sementara itu, para
dengan kehidupan mereka sehari-hari— sastrawan Indonesia menulis dalam bahasa
apakah itu kebudayaan dalam arti luas atau Indonesia. Dari segi bahasa, kita
dalam artinya yang spesifik. Atau, bisa menyebutnya sebagai sastra Indonesia.
juga dikatakan bahwa sekalipun menulis Tetapi dari segi isinya, kalau kita cermati,
dalam bahasa Indonesia, sebenarnya para para pengarang yang berasal dari berbagai
penulis sastra kita menampilkan ciri daerah dengan bahasa dan kebudayaan
kedaerahan dan kebudayaannya masing- mereka masing-masing sebenarnya
masing. Esensi karya mereka adalah bertutur tentang masyarakat dan
kebudayaan mereka, tetapi mediumnya kebudayaan dari mana mereka berasal.
adalah bahasa Indonesia. Dalam Pengakuan Pariyem (2009), Linus
Suryadi AG. banyak bertutur tentang
37
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018
budaya Jawa. Demikian pula pengarang malu sebagai bangsa karena minat baca
lain seperti Mangunwijaya, Danarto, dan kita sangat rendah dan kita hanya pintar
Umar Kayam. Membaca karya para omong yang tidak ada juntrungnya saat ini.
pengarang ini, pembaca yang berasal dari Kedua, Pemerintah perlu memberikan
Jawa bisa menggunakan karya-karya apresiasi yang layak kepada para
mereka sebagai cermin. Mereka bisa pengarang berprestasi, secara nasional
melihat diri sendiri dalam karya-karya para maupun regional, baik untuk sastra
pengarang tersebut. Tetapi bagi pembaca Indonesia maupun sastra daerah. Perlu ada
non-Jawa, karya para pengarang ini bisa kampanye terus-menerus bahwa membaca
berfungsi sebagai jendela; mereka bisa karya sastra itu baik karena akan membuka
belajar memahami masyarakat dan hati dan pikiran kita terhadap masalah-
kebudayaan Jawa. Sebaliknya, para masalah kemanusiaan secara universal.
pembaca Jawa bisa belajar banyak tentang Dengan membaca banyak karya sastra, kita
masyarakat dan kebudayaan lain dari karya bisa mengasah hati dan pikiran kita, kita
sastra yang ditulis oleh para pengarang akan terbuka terhadap masyarakat dan
non-Jawa. Beberapa contoh yang bisa saya kebudayaan lain.
sebut di sini misalnya karya Sutarji C.
Bahri dari Riau, Korrie L. Rampan dari SIMPULAN
Kalimantan Tengah, Gerson Poyk dari Karya sastra sangat terkait erat dengan
Rote, Nusa Tenggara Timur, dan masyarakat dan kebudayaan. Dalam
seterusnya. masyarakat dan kebudayaan apa pun, karya
Untuk mewujudkan fungsi dan peran sastra memiliki fungsi dan peran yang
sastra untuk mempererat kesatuan dan sangat penting. Di Indonesia sendiri, dari
persatuan bangsa, ada beberapa hal yang masa ke masa, karya sastra memiliki fungsi
perlu dilakukan. Yang pertama adalah dan peran yang berbeda atau berubah-ubah,
political will yang kuat dari Pemerintah. PP sesuai dengan kondisi jaman. Dalam
No. 57/2014 harus diberlakukan dengan masyarakat kontemporer Indonesia, sastra
sebaik-baiknya. Perlu ada instruksi lebih memiliki fungsi dan peran yang bisa
lanjut yang jelas dan berjenjang, mulai dari mempererat persatuan dan kesatuan
pusat hingga daerah. Hal ini diperlukan bangsa. Untuk mewujudkan fungsi dan
untuk meningkatkan minat baca peran sastra seperti ini, diperlukan political
masyarakat secara luas. Kita mestinya will yang sangat kuat dari Pemerintah, baik
38
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018
yang terkait dengan masyarakat pembaca Hasibuan, S.R. (2005). Peran sastra dan
bahasa dalam pembangunan
maupun para pengarang. Dengan
bangsa: Wacana dan transformasi
mewujudkan fungsi dan peran karya sastra budaya. Jakarta: Proceeding
Seminar Nasional PESAT 2005,
seperti ini, sebagai bangsa kita berharap
Universitas Gunadarma, S1-S8.
memiliki rasa empati, empati, dan Manuaba, I.B.P. (2014). Eksotisme sastra:
penghargaan yang lebih tinggi kepada Eksistensi dan fungsi sastra dalam
pebangunan karakter dan
masyarakat dan kebudayaan yang berbeda perubahan sosial. Universitas
dari masyarakat dan kebudayaan kita Airlangga Surabaya: Pidato
sendiri. Pada akhirnya, sastra menjadi pengukuhan jabatan Guru Besar
salah satu sarana untuk mewujudkan dalam Bidang Ilmu Sosiologi
Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya
masyarakat Indonesia yang egaliter, saling Universitas Airlangga.
memahami dan menghargai. Margono, Y.B. (2003). A world out of
balance: Javanese society in Turiyo
Ragilputra’s Poems. Ohio
DAFTAR PUSTAKA University: Tugas Akhir, tidak
Artika, I.W. (2016). Lima cerpen dipublikasikan.
propaganda LEKRA (1950-1965). Margono, Y.B. (2017). Bantulah Indonesia
Aksara, 28(2), 129-142. Dengan Membaca. Yogyakarta:
Banks, J.A. (2001). Multicultural Harfeey.
education: Characteristics and Oksinata, H. (2010). Kritik sosial dalam
goals. Dalam J. Banks & C. Banks kumpulan puisi Aku Ingin Jadi
(Ed.), Multicultural education: Peluru karya Wiji Thukul: Kajian
issues and perspectives (3-30). Resepsi Sastra. Surakarta:
New York: Wiley & Sons. Universitas Negeri Sebelas Maret,
Cai, M. (2002). Multicultural literature for Skripsi S1.
children and young adults: Phillips, H.P. (1987). Modern Thai
Reflections on critical issues. Literature: With an Ethnographic
Westport, Conn: Greenwood Press. Interpretation. Honolulu:
Dubey, A. (2013). Literature and society. University of Hawaii Press.
IOSR Journal of Humanities and Ratna, N.K. (2011). Estetika Sastra dan
Social Science (IOSR-JHSS), 9(6), Budaya. Yogyakarta: Pustaka
84-85. Pelajar.
Duhan, R. (2015). The relationship Rismawati. (2017). Perkembangan sejarah
between literature and society. sastra Indonesia. Darussalam: Bina
Language in India, 15(4), 192-202. Karya Akademika.
Saleh, A.R., dkk. (2007). Pemetaan Minat
Florida, N.K. (2003). Menyurat yang silam Baca Masyarakat: di tiga propinsi
menggurat yang menjelang. (Sulawesi Selatan, Riau, dan
Yogyakarta: Bentang Budaya.
39
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018
40