Anda di halaman 1dari 17

Fungsi dan Peran Karya Sastra dari Masa ke Masa

Yosep Bambang Margono Slamet


Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Budaya, Universitas 17 Agustus
1945 Semarang
yosep-bambangms@untagsmg.ac.id

Abstract

This paper discusses the function and role of literary works in Indonesian society from time to
time. The functions and roles of literature are closely related to the conditions of society and
government. In contemporary Indonesian society today, the function and role of literature is
increasingly important because literature can be a unifying tool of the nation. Through literature
every group with different ethnic and cultural backgrounds can learn to understand other
community groups to cultivate empathy, sympathy, and respect.

Keywords: sastra, masyarakat, cermin, jendela, persatuan dan kesatuan bangsa

Abstrak

Paper ini membicarakan tentang fungsi dan peran karya sastra dalam masyarakat Indonesia dari
masa ke masa. Fungsi dan peran sastra terkait erat dengan kondisi masyarakat dan pemerintahan.
Dalam masyarakat Indonesia kontemporer saat ini, fungsi dan peran sastra semakin penting
karena sastra bisa menjadi alat pemersatu bangsa. Melalui sastra setiap masyarakat dengan latar
belakang etnis dan budaya berbeda bisa belajar memahami kelompok masyarakat lain untuk
menumbuhkan empati, simpati, dan rasa menghargai.

Kata kunci: literature, society, mirror, window, unity of the nation

PENDAHULUAN demikian, seberapa besar atau penting


Beberapa tahun terakhir ini Indonesia fungsi dan peran karya sastra dalam
diguncang berbagai macam isu dan memecahkan persoalan bangsa? Masihkah
permasalahan yang mengancam keutuhan sastra memiliki fungsi dan peran untuk
bangsa, baik yang terkait dengan politik, membuat bangsa ini menjadi lebih baik?
agama, kelompok etnis, maupun terorisme. Melalui tulisan ini. Saya berargumentasi
Perhatian Pemerintah, baik pusat maupun bahwa sebenarnya sastra bisa menjadi
daerah, terfokus pada bagaimana salah satu alternatif untuk ‘mendinginkan’
mengatasi berbagai persoalan tersebut, suasana panas masyarakat kontemporer
disamping mengatasi masalah ekonomi Indonesia saat ini dan mempererat
dan masalah-masalah sosial lainnya. Di persatuan dan kesatuan bangsa.
tengah hiruk-pikuk kondisi bangsa yang
24
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

Persoalan yang mengemuka yang HUBUNGAN ANTARA SASTRA DAN


terkait dengan sastra saat ini adalah bahwa MASYARAKAT
sebagai salah satu bentuk karya seni, fungsi Sastra merupakan bagian dari kebudayaan.
dan peran sastra saat ini semakin Dengan demikian sastra merupakan salah
terdegradasi. Bangsa kita secara satu aspek penting dari kehidupan sebuah
keseluruhan bukan merupakan bangsa bangsa. Di negeri kita, aspek-aspek penting
yang suka membaca (Saleh dkk., 2007), yang menyangkut kehidupan berbangsa
melainkan bangsa yang suka berbicara. dan bernegara sering disebut dengan istilah
Sekalipun pemerintah sudah mengeluarkan ‘ipoleksosbudhankam,’ atau ilmu
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia pengetahuan, politik, ekonomi, sosial
No. 57 Tahun 2014 tentang budaya, pertahanan dan keamanan. Aspek-
Pengembangan, Pembinaan, dan aspek ini terkait langsung dengan
Perlindungan Bahasa dan Sastra, serta kehidupan masyarakat sehari-hari, kecuali
Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia, PP karya sastra. Berbeda dari aspek-aspek
ini tetap tidak bisa mengangkat harkat dan lainnya, sastra tidak pernah terkait
martabat sastra Indonesia (dan daerah) di langsung dengan kehidupan praktis sehari-
mata bangsa Indonesia sendiri. Ironisnya, hari. Namun demikian, hubungan antara
hingga saat ini Pemerintah, baik pusat sastra dan masyarakat merupakan
maupun daerah, belum melakukan upaya hubungan yang sangat erat, sekalipun
maksimal untuk memotivasi bangsa ini hubungan ini tidak sederhana melainkan
agar gemar membaca. sangat kompleks (Teeuw, 1988).
Untuk membicarakan fungsi dan peran Sastra dan masyarakat tidak
sastra dalam masyarakat Indonesia dari terpisahkan karena karya sastra merupakan
masa ke masa ini, saya akan memulainya cerminan atau refleksi masyarakat dan
dengan membicarakan hubungan antara masyarakat merupakan sumber inspirasi
sastra dan masyarakat, lalu disusul dengan bagi para sastrawan dalam menulis karya
pembicaraan tentang peran sastra mereka (Damono, 2002; Dubey, 2018;
Indonesia dan sastra daerah dari masa ke Duhan, 2015; Wellek & Warren, 1970).
masa, dan berikutnya tentang peran sastra Hal ini berlaku secara universal. Dalam
dalam masyarakat kontemporer Indonesia konteks ini pula, para sastrawa memiliki
saat ini dan terakhir simpulan. kedudukan khusus dalam masyarakatnya.
Sebagai contoh, dalam kajiannya secara

25
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

khusus tentang kesusastraan Thailand, atau tiruan semata, melainkan creatio, hasil
Phillips (1987) menyatakan bahwa kreasi para sastrawan. Dengan demikian,
sastrawan adalah juru bicara antara sastra dan kenyataan memang tidak
masyarakatnya. Pernyataan Phillips ini bisa dibandingkan secara langsung. Bagi
bisa dibaca bahwa pengarang mendapatkan Aristoteles, sastra memiliki nilai dan
bahannya dari apa yang terjadi di hukumnya sendiri. Sebagai sebuah karya
masyarakat atau di dalam kebudayaannya. seni, sastra memiliki keindahan atau nilai
Berbeda dari para politisi atau ahli hukum, estetis yang rumit dan kompleks (Ratna,
misalnya, para sastrawan menyuarakan apa 2007).
yang ada di dalam masyarakat secara tidak Dalam studi sastra, baik di dunia Barat
langsung, melainkan melalui kode budaya maupun Timur, para sarjana sepakat bahwa
primer, yakni bahasa; dan karya sastra itu dari masa ke masa sastra, sekalipun bukan
sendiri merupakan kode budaya sekunder merupakan dokumen sosiologis maupun
(Ratna, 2007; Teeuw, 1984). antropologis, merupakan bahan yang amat
Sebagai refleksi atau cermin kaya untuk mempelajari masyarakat dan
masyarakat, sastra bukanlah dokumen kebudayaannya. Duhan (2015, 200)
sosiologis atau antropologis, melainkan memberikan contoh tentang pentingnya
tiruan kenyataan atau mimesis. Pengertian studi sastra dalam sebuah bangsa. Dalam
mimesis sendiri ada dua macam, mengkaji sastra Inggris, misalnya,
berdasarkan konsep Plato dan konsep seseorang akan bisa memahami “… the
Aristoteles. Menurut Plato, sastra adalah wide field of English history, by which we
tiruan dunia ideal. Dengan demikian, sastra mean the history of English politics and
tidak akan pernah setara dengan kenyataan. society, manners and customs, culture and
Dalam negara yang ideal, demikian Plato learning, and philosophy and religion.”
menyatakan, para sastrawan tidak Studi sastra yang merupakan salah satu
memberikan sumbangan positif karena cara untuk memahami sejarah politik
mereka hanyalah meniru kenyataan ideal. maupun sosial, adat, kebiasaan dan
Konsep mimesis Plato ini mengandung sebagainya ini tidak hanya berlaku di
pengertian negatif. Di sisi lain, Aristoteles, Inggris melainkan di seluruh bangsa dan
murid Plato, memberi arti berbeda negara, termasuk di Indonesia. Wellek dan
terhadap konsep gurunya. Bagi Aristoteles, Warren (1970), menguraikan dengan detil
sastra bukan hanya merupakan mimesis tentang sosiologi sastra yang menyangkut

26
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

sosiologi karya itu sendiri, sosiologi


pengarangnya, dan hubungan antara karya, FUNGSI DAN PERAN SASTRA DARI
pengarang, dan masyarakatnya. Tercakup MASA KE MASA
dalam uraian ini adalah bahwa sastra, yang Sastra sebagai refleksi kenyataan
merupakan refleksi kenyataan, tidak memiliki peranan yang sangat penting
pernah lepas dari kenyataan dan bisa dalam masyarakatnya atau bahkan
merupakan bahan kajian tentang “memiliki pengaruh yang luar biasa
kenyataan. Karya-karya para sastrawan terhadap kehidupan” (Rismawati, 2017, 1).
kita, sejak sebelum kemerdekaan hingga Sekalipun sastra menempati posisi
sekarang banyak sekali berkisah tentang istimewa dalam masyarakat, fungsi dan
apa yang terjadi di masyarakat, apakah itu perannya dari masa ke masa tidak sama
menyangkut masalah-masalah politik, persis. Perubahan atau perkembangan
ekonomi, maupun isu-isu sensitif yang jamanlah yang membuat peranan sastra
terjadi di dalam masyarakat. Dalam tidak sama persis dari masa ke masa. Di
konteks ini, sastra sering kali disebut bawah ini secara singkat akan diuraikan
sebagai jiwa atau semangat jaman atau peranan sastra dalam masa kerajaan Hindu-
Zeitgeist (Manuaba, 2014). Di sisi lain, Budha, masa pra-kemerdekaan, dan masa
kadang sastra juga menentang jamannya. kemerdekaan, sebelum secara khusus nanti
Hal ini terjadi ketika para penguasa akan dibahas peranan sastra dalam
bertindak lalim sementara rakyat dalam masyarakat Indonesia kontemporer.
posisi yang lemah. Dalam kondisi yang
demikian beberapa sastrawan muncul Sastra Jaman Kerajaan Hindu-Budha
menjadi corong atau juru bicara
masyarakat dan lewat karya-karyanya, Dalam masa kerajaan Hindu-Budha,
mereka menentang penguasa. Dengan sastrawan dan karya-karyanya menempati
demikian, apakah sastra merupakan posisi strategis. Lazimnya isi karya sastra
Zeitgeist atau sebagai bentuk perlawanan, pada masa-masa kerajaan ini berkisar
hubungan antara sastra dan masyarakat tentang pemujaan terhadap raja yang
tidak bisa dipisahkan. Dalam konteks yang berkuasa. Para pujangga kerajaan
lebih luas, tidak ada karya sastra yang menciptakan karya sastra yang berkisah
diciptakan pengarang tanpa berlandaskan tentang keagungan para raja. Para pujangga
pada kenyataan di dalam masyarakat. memang berkarya karena diminta oleh para

27
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

raja. Sastrawan jaman dulu disebut kawi bukan hanya dinikmati sebagai hiburan
dan mereka menempati kedudukan yang melainkan dijadikan pegangan hidup.
penting dan terhormat karena mereka Demikian pula, di dunia Barat, konsep
memiliki hubungan khusus dengan raja dulce et utile atau indah dan bermanfaat
sebagai pelindung. Para kawi tidak menulis merupakan konsep penting yang dianut
secara individual melainkan bersifat istana oleh para sastrawan. Sastra menawarkan
sentris (Ratna, 2007). keindahan dan manfaat bagi
Lebih jauh Ratna mengungkapkan masyarakatnya. Karya sastra klasik secara
bahwa disamping berkarya untuk raja, umum tidak meninggalkan ‘fatwa’
dengan karya sastra yang diciptakannya Horatius ini. Di atas sudah disebutkan
para kawi juga bertujuan untuk mendidik bahwa karya para pujangga jaman dulu
dan memberi petunjuk masyarakatnya. kental dengan aspek estetika dan etika.
Para kawi menciptakan karya yang indah Dengan demikian, karya sastra tidak cukup
sekaligus bermanfaat, atau dulce et utile kalau hanya berfungsi untuk menghibur,
menurut Horatius karena dalam sastra melainkan juga harus mendidik. Karya
lama, estetika dan etika—antara bentuk sastra klasik Jawa, baik yang berupa prosa
dan isi—tidak bisa dipisahkan, dalam arti maupun puisi, selalu mengandung ajaran
karya sastra yang baik adalah karya yang hidup. Masyarakat, terutama yang berada
estetis dan etis. Dari bentuknya, karya di lingkungan pusat kerajaan, banyak yang
sastra lama memiliki aturan-aturan yang hafal karya para pujangga dan
ketat. Disamping untuk memenuhi tuntutan menjadikannya sebagai pegangan hidup.
estetis, hal ini juga merupakan indikasi Tetapi dalam perkembangannya, karya
bahwa karya sastra lama tidak menekankan sastra tidak hanya dinikmati oleh
pada siapa penciptanya karena para masyarakat di pusat-pusat kerajaan
sastrawan tidak berkarya secara individual melainkan juga oleh masyarakat di luar
tadi. Siapa pun penciptanya, aspek estetika pusat kerajaan.
menjadi salah satu syarat utama karya Dalam studinya tentang karya-karya
sastra lama. Menurut Ratna, “keindahan sastra Jawa klasik, Florida (2003)
tertinggi pada gilirannya adalah pertemuan mendapati ada begitu banyak kelompok
dengan Tuhan” (2007, 335). Oleh karena ‘membaca’ karya sastra ini dalam
itu, karya para pujangga atau kawi pada masyarakat Jawa. Perlu diingat di sini
masa kejayaan kerajaan Hindu-Buddha bahwa ‘membaca’ di sini berarti

28
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

menghafalkan pupuh-pupuh tembang atau negeri kita yang begitu berpengaruh


menceritakan gancaran (prosa) secara terhadap kehidupan, mulai dari pengaruh
lisan. Anggota kelompok-kelompok animisme-dinamisme hingga pengaruh
‘membaca’ ini secara teratur berkumpul Hindu-Budha. Mantra dalam berbagai
untuk belajar ‘membaca’ karya-karya jenisnya, legenda, mite, sage, fabel, hingga
sastra tertentu atau menembangkannya dan cerita pewayangan merupakan bentuk-
mendiskusikan isinya. Menurut Florida, bentuk sastra lisan yang begitu digemari
kelompok-kelompok ini tidak hanya ada di oleh dan berpengaruh pada masyarakat
pusat kerajaan melainkan juga menyebar di luas di berbagai daerah di Indonesia. Pada
berbagai wilayah di luar pusat kerajaan. masa-masa ini sastra memiliki fungsi dan
Dari temuan Florida ini bisa disimpulkan peran yang sangat besar dan luas dalam
bahwa sastra Jawa klasik dibutuhkan oleh masyarakat kita.
masyarakat bukan hanya karena
keindahannya melainkan juga karena Sastra Jaman Pra Kemerdekaan Hingga
isinya yang berisi tentang ajaran luhur Rejim Orde Baru
kehidupan. Dengan demikian sastra dalam Pada masa pra kemerdekaan
tradisi masyarakat Jawa memiliki fungsi Indonesia, aspek utile-nyalah yang
dan peran yang sangat besar. menonjol. Studi Sulton (2015) mengenai
Bukan hanya sastra Jawa yang sastra “bacaan” liar dengan tegas menyebut
memiliki peran yang demikian, melainkan bahwa fungsi sastra pada jaman pra
juga sastra-sastra daerah lainnya di kemerdekaan adalah sebagai alat
Indonesia. Dalam pengertiannya yang luas, perjuangan atau propaganda untuk
sastra tidak hanya mencakup karya tertulis memperoleh kemerdekaan. Dalam masa
melainkan juga karya lisan, yang ini, terjadi perubahan yang sangat penting
diceritakan dan diturunkan dari mulut ke dalam masyarakat pra-Indonesia.
mulut, dari satu generasi ke generasi Pergerakan nasional yang dimulai
berikutnya. Sastra lisan ini sebenarnya dengan berdirinya Boedi Oetomo pada
memiliki sejarah yang panjang dan tetap tanggal 20 Mei 1908 memiliki dampak
tumbuh subur di Jawa, mulai dari pujangga yang sangat besar di bidang sastra. Tujuan
kerajaan Hindu hingga kerajaan Islam. akhir dari pergerakan nasional adalah
Rismawati (2017) menguraikan secara untuk mencapai kemerdekaan. Dengan
detil jenis-jenis sastra lisan yang ada di dipelopori oleh segelintir kaum cerdik

29
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

pandai yang mendapatkan pendidikan dan semakin menggelorakan semangat


Belanda pada waktu itu, tulisan (dalam hal perjuangan untuk mencapai kemerdekaan.
ini karya sastra) merupakan sarana penting Oleh sebab itu banyak sekali beredar karya
untuk menggelorakan semangat sastra dan berbagai jenis bacaan di luar
perjuangan tersebut. Pihak kolonial penerbitan resmi milik pemerintah, yakni
Belanda mengetahui hal ini dan untuk Balai Pustaka. Apa yang tidak diterbitkan
menampung aspirasi kaum pribumi maka oleh Balai Pustaka pada akhirnya dianggap
didirikanlah sebuah penerbitan dengan sebagai bacaan “liar” yang tidak disetujui
nama Commissie voor de Inlansche School oleh Belanda. Justru dari bacaan-bacaan
en Volkslectuur pada tanggal 14 September “liar” inilah semangat perjuangan untuk
2008, yang kemudian diperpendek memperoleh kemerdekaan itu semakin
namanya menjadi Commissie voor de berkobar. Kaum nasionalis radikal,
Volkslectuur. Bersama dengan Boedi terutama mereka yang tergabung di dalam
Oetomo, tujuan didirikannya komisi ini Partai Komunis Indonesia (PKI)
adalah untuk memberikan pendidikan merupakan para penulis yang
formal kepada orang-orang pribumi. Di sisi menghasilkan karya-karya propaganda.
lain, dengan didirikannya penerbitan ini, Dalam konteks pergerakan nasional pada
Belanda melakukan sensor ketat terhadap waktu itu, PKI merupakan ujung tombak
tulisan-tulisan karya anak bangsa pada yang sangat nyaring dalam menyuarakan
waktu itu. Pada tahun 1917, nama perlunya kemerdekaan lepas dari
penerbitan ini kemudian diubah menjadi penjajahan. Ada anggapan bahwa justru
Balai Pustaka. Karya-karya yang PKI-lah yang pada waktu itu melakukan
diterbitkan oleh Balai Pustaka merupakan propaganda untuk menyadarkan rakyat
karya yang sudah disensor oleh Belanda Hindia Belanda. Suton (2015, 214)
sehingga tidak akan menimbulkan gejolak menyatakan bahwa
yang dahsyat dalam menggelorakan
semangat perjuangan rakyat untuk PKI merupakan cikal-bakal nasionalisme
melawan dominasi kuasa pemerintah
memperoleh kemerdekaan.
Belanda. Kemudian dari situ pada tahun
Namun demikian, semangat 1924 PKI mendirikan institusi berupa
Kommisi Batjaan Dari Hoofdbestuur PKI.
pergerakan nasional yang dipelopori oleh
Komisi ini menerbitkan dan
Boedi Oetomo tidak bisa dibendung lagi. menyebarluaskan tulisan-tulisan serta
terjemahan-terjemahan “literatuur
Karya anak-anak bangsa semakin banyak
socialisme” menentang terbitan dan
30
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

penyebarluasan bacaan-bacaan kaum masih tetap menggunakan sastra sebagai


modal.
alat propaganda. Melalui Lembaga
Kebudayaan Rakyat (LEKRA), yang
Sastra perjuangan semacam ini
dibentuk pada tahun 1950, para sastrawan
ternyata bukan hanya milik Indonesia.
yang berafiliasi pada PKI melalui karya-
Amerika Serikat pun, sebelum
karyanya “bertujuan melawan kebudayaan
memperoleh kemerdekaannya dari Inggris,
kolonial, menolak paham seni untuk seni,
juga melahirkan banyak sastrawan yang
dan humanisme universal produk kapitalis-
menulis tentang karya sastra untuk
borjuis” (Teeuw, 1967, 136). Para tokoh
menggelorakan semangat juang. Karya-
PKI menolak slogan ‘seni untuk seni’ dan
karya Thomas Jefferson, Thomas Paine
memilih slogan ‘seni untuk rakyat.’
dan Benjamin Franklin, sekalipun sebagian
Nampak sekali di sini bahwa pengaruh
besar bukan merupakan fiksi, bisa
Marxisme begitu menonjol. Apa yang
dikategorikan sebagai sastra perjuangan
terjadi di Uni Soviet, RRT waktu itu, dan
(Hasibuan, 2005). Hasibuan mencatat
juga negara-negara Eropa Timur yang
bahwa kesusastraan Amerika pra
menganut paham komunisme menjadi
kemerdekaan ini sangat penting sebagai
semacam blue print bagi PKI sebagai alat
sarana memperjuangkan kemerdekaan.
perjuangannya. Tetapi begitu PKI
Dua contoh di atas, tentang sastra
ditumpas oleh rejim Orde Baru, bisa
Indonesia dan sastra Amerika Serikat pra
dikatakan tidak ada tempat bagi para
kemerdekaan, menyadarkan kita bahwa
sastrawan yang tergabung dalam LEKRA
sastra (atau dalam konteks luas tulisan apa
beserta karya-karya mereka. Segala
pun) bisa menjadi alat yang ampuh untuk
sesuatu yang berbau kiri dan Marxis
memperjuangkan kemerdekaan.
diberangus oleh pemerintah Orde Baru.
Pemikiran-pemikiran akan pentingnya
Kejaksaan Agung waktu itu menjadi filter
menjadi bangsa merdeka ditulis oleh para
terhadap karya sastra dan seni apa pun
sastrawan dalam karya fiksi maupun dalam
yang tidak sesuai dengan ideologi Orde
bentuk tulisan-tulisan lainnya. Para penulis
Baru. Bahkan Pramoedya Ananta Toer,
radikal menulis propaganda secara
seorang sastrawan besar Indonesia,
langsung, seperti yang ditulis oleh para
diasingkan ke Pulau Buru. Pada titik ini
tokoh PKI dalam masa pra kemerdekaan.
bisa dipahami bahwa karya sastra (dan seni
Di Indonesia, pada masa kemerdekaan,
pada umumnya), merupakan pertarungan
terutama masa demokrasi liberal, PKI
31
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

ideologi antara pihak penguasa dan yang simbolik yang hanya disadari oleh
dikuasai (Estrelita dalam Artika, 2016). segelintir pembaca kritis.
Pihak penguasa menentukan karya sastra Sebagian penyair, berbeda dari rata-
mana yang boleh beredar dan mana yang rata prosais, lebih terus-terang dalam
tidak. Segala sesuatu yang tidak sesuai menyatakan kritik mereka sekalipun
dengan ideologi penguasa, dalam hal ini tingkat kritik atau perlawanan mereka ini
rejim Orde Baru, tidak boleh ada di negeri tidak sama. Penyair Si Burung Merak,
ini. Rendra, misalnya, sejak awal mengambil
Lambat laun isu komunisme dan PKI posisi sebagai antitesis terhadap Orde
semakin menghilang dari kehidupan Baru. Oleh sebab itu dia tidak memiliki
bangsa Indonesia. Sebagai organisasi kebebasan penuh dalam mementaskan
terlarang, PKI tidak ada lagi. Namun puisi-puisinya yang sarat dengan kritik
demikian, pemerintah Orde Baru tetap sosial. Berbeda dari Rendra, Sapardi Djoko
mendengungkan gaung tentang bahaya Damono, sekalipun karya-karyanya bisa
laten komunisme dan PKI kepada rakyat. dikategorikan ke dalam sastra perlawanan,
Melalui alat-alat negara, Orde Baru masih menyampaikan kritik atau
menyatakan antipati terhadap PKI. Dengan perlawanannya dengan bahasa yang halus.
sistem represi yang demikian ketat, Orde Oksinata (2010) menyebut bahwa dua
Baru berupaya melanggengkan penyair ini merupakan penyair priyayi,
kekuasaannya. Kondisi seperti ini sekilas sehingga perlawanan mereka masih bisa
memang menunjukkan ketenangan dan dikategorikan dalam perlawanan halus.
ketertiban karena rakyat menjadi takut. Namun demikian, dalam sosok Wiji
Mereka yang tidak setuju berusaha Thukul—demikian Oksinata menyebut—
melawan namun perlawanan itu tidak yang merupakan penyair dari rakyat
pernah terus-terang dan frontal melainkan kebanyakan, perlawanan terhadap Orde
secara diam-diam dan sembunyi- Baru terasa begitu intens dan frontal. Salah
sembunyi. Sujito (2014) menyebut satu kumpulan puisi Wiji Thukul, Aku
perlawanan terhadap Orde Baru melalui Ingin Jadi Peluru (2004), merupakan salah
sastra ini sebagai perlawanan simbolik satu kumpulan puisi perlawanan yang
dengan contoh Mochtar Lubis melalui paling keras bersuara dalam menentang
novelnya Harimau! Harimau! Namun kekuasaan Orde Baru dan ini menyebabkan
demikian, tidak semua perlawanan bersifat

32
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

penyairnya hilang tiada rimbanya sejak mengalami evolusi dari masa ke masa.
peristiwa 27 Juli 1996 hingga sekarang. Perubahan ini terjadi di segala bidang.
Dari uraian di atas, peran sastra dalam Masyarakat komunal-agraris yang menjadi
masyarakat Indonesia selama masa Orde ciri utama bangsa Indonesia dulu kini
Baru tidak bisa dilepaskan dari sikap rejim sudah semakin terkikis. Kita sudah
Orde Baru yang represif. Menjelang menjadi bangsa yang berada dalam abad
berakhirnya kekuasaan Orde Baru, tampak Internet—sama seperti bangsa-bangsa
sekali penguasa berusaha mempertahankan lain—dengan teknologi menjadi penentu
kekuasaannya. Namun, di sisi lain, para dalam banyak aspek kehidupan kita.
sastrawan yang merasa tidak memiliki Konsekuensi dari kemajuan teknologi ini
kebebasan penuh, semakin nyaring begitu masif terhadap masyarakat kita.
bersuara lewat karya-karya mereka. Nilai-nilai kebudayaan yang kita junjung
Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam tinggi di masa lalu banyak yang sudah kita
sastra Indonesia melainkan juga dalam tinggalkan. Kita dengan begitu mudah
sastra daerah. Dalam sastra Jawa, terpengaruh oleh apa pun yang datang dari
misalnya, seorang sastrawan Jawa yang luar. Pengaruh dari luar ini tidak harus dari
juga guru SD dari Kebumen, Turiyo Barat, melainkan bisa dari mana saja.
Ragilputra, melalui beberapa puisinya Namun demikian, masih saja ada di antara
dengan keras juga menyuarakan kita yang selalu menuduh Barat sebagai
‘perlawanannya’ kepada penguasa pembawa nilai-nilai buruk bagi masyarakat
(Margono, 2003). kita sehingga kita meninggalkan nilai-nilai
budaya kita sendiri. Hasibuan (2005)
FUNGSI DAN PERAN SASTRA merupakan salah seorang yang dengan
DALAM MASYARAKAT INDONESIA jelas menunjuk dunia Barat sebagai
KONTEMPORER penyebab dekadensi moral bangsa kita.
Bagaimana peran sastra dalam Namun kita harus bijak bahwa hal
masyarakat Indonesia kontemporer? semacam ini belum tentu benar dan sebagai
Sebelum menjawab pertanyaan ini, lebih masyarakat ilmiah kita harus skeptis.
dahulu kita lihat kondisi masyarakat Harus diakui bahwa ada begitu banyak
Indonesia saat ini. Evolusi masyarakat perbedaan saat ini dibandingkan dengan
terjadi seiring dengan perkembangan masa lalu. Masyarakat kita saat ini
jaman. Masyarakat Indonesia pun terpolarisasi secara masif dan terstruktur.

33
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

Ada begitu banyak kelompok masyarakat kebudayaan pun saat ini menjadi semakin
dengan kepentingan masing-masing, nisbi. Namun demikian, kita tetap
apakah itu terkait dengan suku, agama, ras mengakui bahwa setiap bangsa memiliki
dan antargolongan atau yang kita kenal nilai-nilai dasar yang tidak berubah yang
dengan isu SARA. Paling tidak selama menjadi pegangan bangsa tersebut.
lima tahun terakhir, bangsa kita menjadi Dengan semua ini, sastra sebenarnya
begitu mudah terpengaruh oleh isu-isu tetap memiliki fungsi dan peran besar
yang tidak jelas atau yang kita kenal sebagai perekat bangsa. Justru fungsi atau
dengan hoax atau berita palsu. Di satu sisi, peran inilah yang harus kita kedepankan.
teknologi memberikan manfaat dan Namun demikian, seperti yang sudah
kemudahan yang luar biasa bagi manusia, diuraikan di atas, bangsa kita saat ini bukan
tetapi di sisi lain teknologi juga menjadi merupakan bangsa yang suka membaca
mudarat yang mengoyak rasa persatuan sehingga sastra yang seharusnya
dan kebangsaan kita. Atas nama politik, merupakan perekat bangsa, menjadi
agama atau golongan, kita menjadi begitu semakin ‘kesepian’ karena ditinggalkan
mudah marah dan menyalahkan orang lain. pembaca. Ada ironi yang begitu mendalam
Dengan kebebasan yang kita miliki, setiap mengenai kesusastraan kita. Kita meyakini
warga bangsa saat ini, siapa pun dia, bisa bahwa sastra mengandung nilai-nilai budi
mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang pekerti untuk membuat manusia menjadi
meresahkan banyak orang. Indonesia yang lebih baik, tetapi keyakinan itu tidak juga
dulu kita yakini merupakan rumah kita membuat kita menjadi bangsa yang suka
bersama yang tenang dan damai, kini sudah membaca karya sastra. Dalam masyarakat
berubah. Apakah memang benar karena Indonesia kontemporer saat ini, sastra
semua ini pengaruh buruk dari kebudayaan dianggap tidak penting bila dibandingkan
lain—terutama kebudayaan Barat? Ada dengan hal-hal lain dalam kehidupan kita
baiknya sebagai bangsa kita melakukan sehari-hari.
refleksi dan introspeksi. Saling Sebagai bangsa multikultural,
mempengaruhi saat ini memang tidak sebenarnya khasanah sastra Indonesia
terhindarkan lagi. Sekat-sekat atau batas- sangat kaya. Masih banyak daerah di
batas geografis tidak lagi begitu Indonesia yang hingga saat ini memiliki
berpengaruh terhadap kebudayaan kita. sastra daerah. Di Batak, misalnya, Sinaga
Bahkan sekat-sekat atau batas-batas menjelaskan betapa pentingnya sastra etnis

34
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

Batak dalam mengembangkan pendidikan Sinaga dan Kanzunnudin menggugah


karakter, “sastra etnis Batak berupa kesadaran kita bersama bahwa karya sastra,
legenda ataupun turi-turian telah yang selama ini sekalipun-penting-tetap-
membahasakan perilaku yang harus diikuti kita-pandang-dengan-sebelah-mata, masih
oleh manusia. Memanfaatkan karya sastra tetap menjadi sarana atau medium yang
etnis Batak pada dasarnya juga telah ikut baik untuk mengembangkan pendidikan
serta mengembangkan pendidikan karakter. Boleh jadi, “tuduhan” terhadap
karakter” (2012, 29). Di Jawa, masih kebudayaan Barat yang menyebabkan kita
banyak orang Jawa yang meyakini bahwa menjadi bangsa yang sangat terpolarisasi
sastra Jawa, baik klasik maupun modern, dengan kepentingan kita masing-masing
juga mengandung ajaran-ajaran yang baik. dan mengalami dekadensi moral saat ini
Sastra daerah, karena ditulis dalam bahasa tidak benar. Dalam kebudayaan mana pun,
daerah, memiliki fungsi dan peran yang ada nilai-nilai baik yang diyakini oleh
terbatas hanya untuk masyarakat daerah masyarakatnya. Sebaliknya, ada nilai-nilai
tersebut. Namun intinya adalah bahwa yang tidak lagi dipakai atau sudah
sastra memiliki fungsi dan peran penting ditinggalkan. Dengan demikian, dalam
dalam pendidikan karakter. Berbeda dari kebudayaan Barat pun ada nilai-nilai baik.
sastra daerah yang fungsi dan perannya Sastra Inggris dan sastra Amerika, seperti
terbatas hanya untuk masyarakat daerah halnya sastra daerah dan sastra Indonesia-
tertentu, sastra Indonesia memiliki fungsi seperti yang diungkapkan oleh Sinaga dan
dan peran sangat penting bagi seluruh Kanzunnudin, juga mengandung nilai-nilai
rakyat Indonesia karena ditulis dalam yang bisa digunakan untuk
bahasa Indonesia dan dipahami oleh semua mengembangkan karakter manusia dalam
bangsa Indonesia. Sama seperti sastra kebudayaan kedua negara tersebut.
daerah, sastra Indonesia pun memiliki Dalam konteks masyarakat
peran penting dalam pendidikan karakter. kontemporer saat ini, sebenarnya kita bisa
Kanzunuddin menyatakan bahwa “… memanfaatkan sastra sebagai perekat
sastra dan pendidikan karakter merupakan bangsa. Bahasa Indonesia, sebagai bahasa
dua hal yang tidak dapat dipisahkan. … nasional, merupakan perekat bangsa yang
sastra membicarakan berbagai nilai yang sangat penting. Tanpa adanya bahasa
terkait dengan hidup dan kehidupan Indonesia, sulit sekali bagi kita bangsa
manusia …” (2012, 201). Indonesia untuk saling berkomunikasi dan

35
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

memahami. Oleh karena itu sudah sangat ini, pendidikan multikultural mutlak
tepat kalau Pemerintah mengeluarkan PP diperlukan. Secara garis besar, Banks
No. 57/2014 tetang Pengembangan, menyatakan bahwa multikulturalisme
Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan berarti mengakui keberagaman dan
Sastra, serta Peningkatan Fungsi Bahasa mengakomodasi kepentingan setiap
Indonesia. Keberadaan PP ini menegaskan kelompok etnis. Hal ini tidak bisa serta-
betapa pentingnya bahasa Indonesia bagi merta terwujud melainkan harus dicapai
bangsa Indonesia. Ke depan, Pemerintah melalui pendidikan. Salili dan Hoosain
perlu memiliki political will yang kuat (2001) menyatakan bahwa tujuan
untuk meningkatkan literasi bangsa agar pendidikan multicultural adalah mendidik
bangsa kita menjadi bangsa yang suka para siswa untuk tidak hanya memahami
membaca. Dengan demikian, fungsi dan melainkan juga menerima dan menghargai
peran sastra sebagai perekat bangsa akan perbedaan dalam hal kebudayaan, ras,
menjadi semakin terwujud. kelas sosial, agama, dan gender. Para
Sastra sebagai perekat bangsa bukan pendukung pendidikan multikultural
sesuatu yang hanya ada dalam angan- sepakat bahwa sastra multikultural
angan atau pemikiran, melainkan bisa merupakan salah satu alat penting untuk
diwujudkan. Untuk membicarakan hal ini, mewujudkan masyarakat Amerika Serikat
saya akan memulainya dengan sedikit yang egaliter (Cai, 2002). Sastra
membicarakan apa yang terjadi di Amerika multikultural sendiri berarti sastra yang
Serikat. Salah satu dampak besar ditulis oleh tiap kelompok etnis di Amerika
Pergerakan Hak-hak Sipil (Civil Right Serikat. Karya sastra seperti ini berfungsi
Movement) akhir tahun 1960-an di sebagai ‘jendela’ dan ‘cermin’ (mirror and
Amerika Serikat adalah munculnya apa windows). Setiap kelompok etnis di
yang disebut sebagai multicultural Amerika Serikat bisa melihat diri mereka
education atau pendidikan multikultural sendiri dalam karya sastra mereka dan
(Banks, 2001). Intinya adalah bahwa sekaligus melihat masyarakat atau
pergerakan ini meminta kepada kelompok etnis lainnya dalam karya sastra
Pemerintah Amerika Serikat untuk yang berbeda. Jelasnya, sejak akhir tahun
mengakui kesamaan atau persamaan hak 1960-an, kelompok etnis di Amerika
seluruh kelompok etnis yang ada di Serikat di luar kulit putih seperti Afrika-
Amerika Serikat. Untuk mewujudkan hal Amerika, Asia-Amerika, dan Hispanik-

36
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

Amerika mulai menulis karya sastra yang Kalau kita bisa menggunakan karya
bertutur tentang kelompk etnis dan sastra kita sebagai ‘jendela’ dan ‘cermin’
kebudayaan mereka sendiri. Sastra seperti halnya fungsi sastra multikultural di
multikultural ini kemudian menjadi Amerika Serikat, niscaya sastra Indonesia
penting dan kemudian diajarkan di akan sangat penting eksistensinya sebagai
sekolah-sekolah di Amerika Serikat. perekat bangsa. Kurangnya empati,
Dalam konteks inilah, masyarakat simpati, pemahaman, dan penghargaan
Indonesia dan Amerika Serikat tidak begitu terhadap kelompok etnis atau kebudayaan
jauh berbeda karena sama-sama lain salah satunya disebabkan oleh
multikultural. Bahkan masyarakat kurangnya pengetahuan kita terhadap
Indonesia mungkin lebih multikultural kelompok etnis atau kebudayaan tersebut.
dibanding masyarakat Amerika Serikat. Karena sastra merupakan cermin
Sekalipun tiap daerah memiliki budaya dan kenyataan, kita sebagai pembaca akan bisa
sastra sendiri-sendiri, dengan adanya mengetahui banyak hal tentang suatu
bahasa Indonesia maka sastra kita menjadi masyarakat atau kebudayaan lewat karya
seperti sastra yang ada di Amerika Serikat. sastra yang kita baca. Pada dasarnya,
Penulis dari masing-masing kelompok situasi kesusastraan antara Amerika
etnis dan budaya yang menulis dalam Serikat dan Indonesia bisa dikatakan mirip.
bahasa Indonesia bisa dipahami oleh Berbagai kelompok etnis di Amerika
semua komponen bangsa. Memang benar Serikat menulis tentang kelompok mereka
bahwa mereka menulis karya yang dekat dalam bahasa Inggris. Sementara itu, para
dengan kehidupan mereka sehari-hari— sastrawan Indonesia menulis dalam bahasa
apakah itu kebudayaan dalam arti luas atau Indonesia. Dari segi bahasa, kita
dalam artinya yang spesifik. Atau, bisa menyebutnya sebagai sastra Indonesia.
juga dikatakan bahwa sekalipun menulis Tetapi dari segi isinya, kalau kita cermati,
dalam bahasa Indonesia, sebenarnya para para pengarang yang berasal dari berbagai
penulis sastra kita menampilkan ciri daerah dengan bahasa dan kebudayaan
kedaerahan dan kebudayaannya masing- mereka masing-masing sebenarnya
masing. Esensi karya mereka adalah bertutur tentang masyarakat dan
kebudayaan mereka, tetapi mediumnya kebudayaan dari mana mereka berasal.
adalah bahasa Indonesia. Dalam Pengakuan Pariyem (2009), Linus
Suryadi AG. banyak bertutur tentang

37
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

budaya Jawa. Demikian pula pengarang malu sebagai bangsa karena minat baca
lain seperti Mangunwijaya, Danarto, dan kita sangat rendah dan kita hanya pintar
Umar Kayam. Membaca karya para omong yang tidak ada juntrungnya saat ini.
pengarang ini, pembaca yang berasal dari Kedua, Pemerintah perlu memberikan
Jawa bisa menggunakan karya-karya apresiasi yang layak kepada para
mereka sebagai cermin. Mereka bisa pengarang berprestasi, secara nasional
melihat diri sendiri dalam karya-karya para maupun regional, baik untuk sastra
pengarang tersebut. Tetapi bagi pembaca Indonesia maupun sastra daerah. Perlu ada
non-Jawa, karya para pengarang ini bisa kampanye terus-menerus bahwa membaca
berfungsi sebagai jendela; mereka bisa karya sastra itu baik karena akan membuka
belajar memahami masyarakat dan hati dan pikiran kita terhadap masalah-
kebudayaan Jawa. Sebaliknya, para masalah kemanusiaan secara universal.
pembaca Jawa bisa belajar banyak tentang Dengan membaca banyak karya sastra, kita
masyarakat dan kebudayaan lain dari karya bisa mengasah hati dan pikiran kita, kita
sastra yang ditulis oleh para pengarang akan terbuka terhadap masyarakat dan
non-Jawa. Beberapa contoh yang bisa saya kebudayaan lain.
sebut di sini misalnya karya Sutarji C.
Bahri dari Riau, Korrie L. Rampan dari SIMPULAN
Kalimantan Tengah, Gerson Poyk dari Karya sastra sangat terkait erat dengan
Rote, Nusa Tenggara Timur, dan masyarakat dan kebudayaan. Dalam
seterusnya. masyarakat dan kebudayaan apa pun, karya
Untuk mewujudkan fungsi dan peran sastra memiliki fungsi dan peran yang
sastra untuk mempererat kesatuan dan sangat penting. Di Indonesia sendiri, dari
persatuan bangsa, ada beberapa hal yang masa ke masa, karya sastra memiliki fungsi
perlu dilakukan. Yang pertama adalah dan peran yang berbeda atau berubah-ubah,
political will yang kuat dari Pemerintah. PP sesuai dengan kondisi jaman. Dalam
No. 57/2014 harus diberlakukan dengan masyarakat kontemporer Indonesia, sastra
sebaik-baiknya. Perlu ada instruksi lebih memiliki fungsi dan peran yang bisa
lanjut yang jelas dan berjenjang, mulai dari mempererat persatuan dan kesatuan
pusat hingga daerah. Hal ini diperlukan bangsa. Untuk mewujudkan fungsi dan
untuk meningkatkan minat baca peran sastra seperti ini, diperlukan political
masyarakat secara luas. Kita mestinya will yang sangat kuat dari Pemerintah, baik

38
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

yang terkait dengan masyarakat pembaca Hasibuan, S.R. (2005). Peran sastra dan
bahasa dalam pembangunan
maupun para pengarang. Dengan
bangsa: Wacana dan transformasi
mewujudkan fungsi dan peran karya sastra budaya. Jakarta: Proceeding
Seminar Nasional PESAT 2005,
seperti ini, sebagai bangsa kita berharap
Universitas Gunadarma, S1-S8.
memiliki rasa empati, empati, dan Manuaba, I.B.P. (2014). Eksotisme sastra:
penghargaan yang lebih tinggi kepada Eksistensi dan fungsi sastra dalam
pebangunan karakter dan
masyarakat dan kebudayaan yang berbeda perubahan sosial. Universitas
dari masyarakat dan kebudayaan kita Airlangga Surabaya: Pidato
sendiri. Pada akhirnya, sastra menjadi pengukuhan jabatan Guru Besar
salah satu sarana untuk mewujudkan dalam Bidang Ilmu Sosiologi
Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya
masyarakat Indonesia yang egaliter, saling Universitas Airlangga.
memahami dan menghargai. Margono, Y.B. (2003). A world out of
balance: Javanese society in Turiyo
Ragilputra’s Poems. Ohio
DAFTAR PUSTAKA University: Tugas Akhir, tidak
Artika, I.W. (2016). Lima cerpen dipublikasikan.
propaganda LEKRA (1950-1965). Margono, Y.B. (2017). Bantulah Indonesia
Aksara, 28(2), 129-142. Dengan Membaca. Yogyakarta:
Banks, J.A. (2001). Multicultural Harfeey.
education: Characteristics and Oksinata, H. (2010). Kritik sosial dalam
goals. Dalam J. Banks & C. Banks kumpulan puisi Aku Ingin Jadi
(Ed.), Multicultural education: Peluru karya Wiji Thukul: Kajian
issues and perspectives (3-30). Resepsi Sastra. Surakarta:
New York: Wiley & Sons. Universitas Negeri Sebelas Maret,
Cai, M. (2002). Multicultural literature for Skripsi S1.
children and young adults: Phillips, H.P. (1987). Modern Thai
Reflections on critical issues. Literature: With an Ethnographic
Westport, Conn: Greenwood Press. Interpretation. Honolulu:
Dubey, A. (2013). Literature and society. University of Hawaii Press.
IOSR Journal of Humanities and Ratna, N.K. (2011). Estetika Sastra dan
Social Science (IOSR-JHSS), 9(6), Budaya. Yogyakarta: Pustaka
84-85. Pelajar.
Duhan, R. (2015). The relationship Rismawati. (2017). Perkembangan sejarah
between literature and society. sastra Indonesia. Darussalam: Bina
Language in India, 15(4), 192-202. Karya Akademika.
Saleh, A.R., dkk. (2007). Pemetaan Minat
Florida, N.K. (2003). Menyurat yang silam Baca Masyarakat: di tiga propinsi
menggurat yang menjelang. (Sulawesi Selatan, Riau, dan
Yogyakarta: Bentang Budaya.

39
Jurnal PRAXIS | Vol. 1 | No. 1 | September 2018

Kalimatan Selatan). Jakarta:


Departemen Pendidikan Nasional
dan Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia.
Salili & Hoosain. (2001). Multicultural
education: History, issues, and
practices. Dalam F. Salili & R.
Hoosain (Ed.), Multicultural
education: Issues, policies, and
practices (1-13). Greenwich, Conn:
Information Age Pub.
Sinaga, A. (2012). Peran sastra etnis Batak
dalam mengembangkan pendidikan
karakter. Pena, 2(3), 15-30.
Sujito (2014). Perlawanan simbolik
terhadap Orde Baru dalam novel
Harimau! Harimau! Karya
Mochtar Lubis (Kajian Hegemoni).
Edu-Kata, 1(2), 179-190.
Sulton, A. (2015). Sastra “bacaan liar”
harapan menuju kemerdekaan.
Bahasa & Sastra, 15(2), 213-229.
Suryadi AG, L. (2009). Pengakuan
Pariyem. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Teeuw, A. (1967). Modern Indonesian
Literature. Leiden: Martinus
Nijhoff.
Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Thukul, W. (2004). Aku ingin jadi peluru.
Magelang: Indonesia Tera.
Wellek, R. dan Warren, A. (1970). Theory
of Literature. Orlando, FL:
Harcourt Brace & Company.

40

Anda mungkin juga menyukai