Anda di halaman 1dari 17

PENDEKATAN SOSIOLOGI

Disusun untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Fiksi


Yang Diampu Oleh Dr. Ellyana Hinta, M.Hum

Oleh

MAYA AGUSTINA RAHIM


NIM 311417028
ISTIQAMAH .I. LIPUTO
NIM 3114170
KELOMPOK 4
KELAS 2B

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA


INDONESIA
FAKULTAS SASTRA DAN BUDAYA
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2018

A. Pengertian Pendekatan Sosiologi

Istilah “Pendekatan” merupakan kata terjemahan dari bahasa inggris,


approach. Maksudnya adalah sesuatu disiplin ilmu untuk dijadikan
landasan kajian sebuah studi atau penelitian.
Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature
Swingewood (1972) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah
dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai
lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya dikatakan, bahwa
sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengena bagaimana masyarakat
dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat
bertahan hidup. Melalui penelitian yang ketat mengenai lembaga-lembaga
sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga, yang secara bersama-sama
membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, sosiologi dikatakan,
memperoleh gambaran mengenai cara-cara manusia menyesuaikan dirinya
dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran
mengenai mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang
dengannya individu-individu dialokasikan pada dan menerima peranan-
peranan tertentu dalam struktur sosial itu.

Ritzer (1975) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu


pengetahuan yang multiparadigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut
dijumpai beberapa paradigma yang saling bersaing dalam usaha merebut
hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu
sendiri diartikannya sebagai satu citra fundamental mengenai pokok
persoalan dalam suatu ilmupengetahuan. Paradigma itu berfungsi untuk
menentukan apa yang harus dipelajari, pertanyaan-pertanyaan apa yang
harus diajukan, bagaimana cara mengajukannya, dan aturan-aturan yang
harus diikuti dalam interpretasi jawaban-jawaban yang diperoleh.
Paradigma adalah unit konsensus terluas dalam suatu pengetahuan dan
berfungsi untuk membedakan satu komunitas ilmiah dari komunitas
lainnya. Ritzer menemukan setidaknya tiga paradigma yang merupakan
dasar dalam sosiologi, yaitu paradigma fakta-fakta sosial, paradigma
definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Teladan dari paradigma
yang pertama adalah Emile Durkheim. Di dalam paradigma ini yang
ditentukan sebagai pokok persoalan sosiologi adalah fakta-fakta sosial
yangberupa lembaga-lembaga dan struktur-struktur sosial. Fakta sosial itu
sendiri dianggap sebagaisesuatu yang nyata, yang berbeda dari danberada
di luar individu. Teori struktural-fungsional dan teori konflik serta metode
kuesioner dan inerviu termasuk dalam paradigma ini.

Teladan dari paradigma definisi sosial adalah Max Weber. Karya


Weber terarah pada satu perhatian terhadap cara individu-individu
mendefinisikan situasi sosial mereka dan efek dari definisi itu terhadap
tindakan yang mengikutinya. Dalam paradigma ini yang dianggap sebagai
pokok persoalan sosiologi bukanlah fakta-fakta sosial yang “objektif”,
melainkan cara subjektif individu menghayati faktafakta sosial tersebut.
Teori-teori interaksionisme-simbolik, sosiologi, fenomenologis, dan
metode observasi, termasuk dalam paradigma ini.

Yang dianggap sebagai pokok persoalan paradigma yang ketiga


adalah perilaku manusia sebagai subjek yang nyaa, individual. Teladan
dari paradigma ini adalah Skinner. Teori-teori yang termasuk di
dalamnyaantara lain adalah teori sosiologi perilaku dan teori pertukaran.
Adapun metode yang disukai adalah metode eksperimetal seperti yang
biasa digunakan dalam psikologi.

Wolff (1975) mengatakan bahwa sosiologi kesenian dan


kesusastraan merupakan suatu disiplin yang tanpa bntuk, tidak
terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi empiris dan berbagai
percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masing hanya
mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan
hubungan antara seni/kesusastraan dan masyarakat. Maka, ada sosiologi
sastra yang mungkin menyelidiki dasar sosial kepengarangan seperti yang
dilakukan Laurenson, ada sosiologi tentang produksi dan distribusi karya
kesusastraan seperti yang dilakukan Escarpit, kesusastraan dalam
masyarakat primitif seperti yang dilakukan oleh Radin dan Leach,
hubungan antara nilai-nilai yang diekspresikan karya seni dengan
masyarakat seperti yang dilakukan oleh Albrecht, serta data historis yang
berhubungan dengan kesusastraan dan masyarakat seperti yang dilakukan
oleh Goldmann, Lowenthal, Watt, dan Webb. Wolff sendiri menawarkan
sosiologi verstehen atau fenomenologis yang sasarannya adalah level
“makna” dari karya sastra.

Sapardi Djoko Damono (1978) mengemukakan beberapa pendapat


mengenai aneka ragam pendapat mengenai aneka ragam pendekatan
terhadap karya sastra seperti yang dikemukakan Wolff di atas. Dari Wellek
dan Warren ia menemukan setidaknya tiga jenis pendekatan yang berbeda
dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi yang pengarang yang
memasalahkan status sosial, ideologi sosial dan lain-lain yang menyangkut
pengarang sebagai penghasil karya sastra; sosiologi karya sastra yaang
memasalahkankarya sastra itu sendiri; dan sosiologi sastra yang
memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

Dari Ian Watt, Sapardi juga menemukan tiga macam pendekatan


yang berbeda. Pertama, konteks sosial pengarang. Hal ini berhubungan
dengan posisi sosial sastrawan sosial sastrawan dalam masyarakat dan
kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula
faktor-faktor sosial yang bisa memengaruhi pengarang sebagai perorangan
di samping memengaruhi isi karya sastraanyaa. Hal-hal utama yang harus
diteliti dalam pendekatan ini adalah: (a) bagaimana pengarang
mendapatkan mata pencahariannya; (b) sejauh mana pengarang
menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi; dan (c) masyarakat apa
yangdituju oleh pengarang. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal-
hal utama yang mndapatkan perhatian adalah: (a) sejauh mana sifat prbadi
pengarang memengaruhi gambaran masyarakat yang ingin
disampaikannya; (c) sejauh mana genre sastra yang digunakan pengarang
dapat dianggap mewakili seluruh masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra.
Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian; (a) sejauh mana
sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya; (b) sejauh mana
sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja; dan (c) sejauh mana terjadi
sintetis antara kemungkinan (a) dengan (b) di atas.

Secara epistemologi dapat dikatakan tidak mungkin untuk


membangun suatu membangun suatu sosiologi sastra general yang
meliputi seluruh pendekatan yang dikemukakan itu. Konsep mengenai
masyarakat saja telah berbeda antara pendekatan yang satu dengan
pendekatan yang lain, belum lagi konsep mengenai sastra itu
sendiri.pendekatan sosiologi sastra yang dianggap menonjol dan
mempunyai tradisi yaang kuat, yaitu marxis.

Dibandingkan dengan teori-teori sosial yang lain, teori marxis


menduduki posisi yang dominan dalam segala disksi mengenai sosiologi
sastra (John Hall, 1979).

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam


masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai
kehidupan itu. Sementara itu, Soerjono Soekarno mengartikan sosiologi
sebagai suatu ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan
penilaian. Sosiologi tidak menetapkan kearah mana sesuatu seharusnya
berkembang dalam arti memberi petunjuk-petunjuk yang menyangkut
kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut.
Jadi kalau diambil kesimpulan arti dari pendekatan sosiologi tersebut
adalah suatu landasan kajian sebuah studi atau penelitian untuk
mempelajari hidup bersama dalam masyarakat.

Ilmu sosial tidak mudah membuat garis pemisah yang tegas antara
disiplin ilmu yang satu dengan yang lain. Sehingga kesan adanya tumpang
tindih sering kali tidak dapat dihindari, termasuk memahami dalam hal ini
kajian sosiologi antropologi. Sosiologi berusaha memahami hakekat
masyarakat dalam kehidupan kelompok, baik struktur, dinamika, institusi,
dan interaksi sosialnya. Antropologi berusaha memahami perilaku
manusia (antropos) sesuai latar belakang kepercayaan dan kebudayaannya
secara manusiawi (humaniora).

Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini


menaruh perhatian yang besar terhadap aspek documenter sastra dan
landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya.
Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman
tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan
sejarah yang merupakan asal usulnya.

Pedekatan yang dilakukan terhadap karya sastra pada dasarnya ada


dua, yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Unsur-unsur
merupakan unsur-unsur dalam yang diangkat dari isi karya sastra, seperti
tema, alur atau plot, perwatakan, gaya bahasa dan penokohan. Sedangkan
unsur-unsur ekstrinsik berupa pengaruh dari luar yang terdapat dalam
karya sastra itu diantaranya sosiologi, politik, filsafat, antropologi dan
lain-lain. Ilmu-ilmu ini merupakan pendukung dalam pengembangan karya
sastra, dengan demikian ilmu-ilmu tersebut erat hubungannya dengan
karya sastra. Analisis aspek ekstrinsik karya sastra ialah analisis karya
sastra itu sendiri dari segi isinya, dan sepanjang mungkin melihat
kaitannya dengan kenyataan-kenyataan dari luar karya sastra itu sendiri.

Pendekatan sosiologis atau pendekatan ekstrinsik biasanya


mempermasalahkan sesuatu diseputar sastra dan masyarakat bersifat
sempit dan eksternal. Yang dipersoalkan biasanya mengenai hubungan
sastra dan situasi sosial tertentu, sistem ekonomi, sosial, adat istiadat, dan
politik. Dapat dipahami bahwa bilamana seseorang ingin mengetahui
keadaan sosiologis dari suatu masa karya tertentu ditulis, kita memang
belum tentu dapat mengenal tata kemasyarakatan yang ada pada waktu itu,
tetapi setidak-tidaknya kita dapat mengenal tema mana yang kira-kira
dominan pada waktu itu melalui pendekatan sosiologis.
Suatu hal yang perlu dipahami dalam melakukan pendekatan sosiologi
ini adalah bahwa walaupun seorang pengarang melukiskan kondisi sosial
yang berada di lingkungannya, namun ia belum tentu menyuarakan
keinginan masyarakatnya. Dari arti ia tidaklah mewakili atau
menyalurkan keinginan-keinginan kelompok masyarakat tertentu, yang
pasti pengarang menyalurkan atau mewakili hati nuraninya sendiri, dan
bila ia kebetulan mengucapkan sesuatu yang bergejolak dimasyarakat, hal
ini merupakan suatu kebetulan ketajaman batinnya dapat menangkap
isyarat-isyarat tersebut. Dari berbagai pandangan di atas dapat
disimpulkan bahwa analisis sosiologi sastra bertujuan untuk memaparkan
dengan cermat fungsi dan keterkaitan antarunsur yang membangun sebuah
karya sastra dari aspek kemasyarakatan pengarang, pembaca, dan gejala
sosial yang ada.

Sosiologi Sastra tidak hanya membicarakan karya sastra itu sendiri


melainkan hubungan masyarakat dan lingkungannya serta kebudayaan
yang menghasilkannya. Atmazaki via Sutri (1990: 7) menyatakan bahwa
pendekatan Sosiologi Sastra mempunyai tiga unsur di dalamnya. Unsur-
unsur tersebut antara lain sebagai berikut:

a) Konteks sosial pengarang


Faktor-faktor yang mempengaruhi pengarang dalam
menciptakan karya sastra. Faktor-faktor tersebut antara lain mata
pencaharian, profesi kepegawaian, dan masyarakat lingkungan
pengarang.
b) Sastra sebagai cerminan masyarakat
Karya sastra mengungkapkan gejala sosial masyarakat dimana
karya itu tercipta dalam sastra akan terkandung nilai moral, politik,
pendidikan, dan agama dalam sebuah masyarakat.
c) Fungsi sastra
Fungsi sastra dalam hal ini adalah nilai seni dengan
masyarakat, apakah di antara unsur tersebut ada keterkaitan atau
saling berpengaruh.

Sosiologi sastra merupakan salah satu teori dalam sastra yang


bersifat interdisiplin. Sosiologi sastra merupakan perpaduan dari dua
disiplin ilmu yang berbeda, yaitu sosiologi dan sastra. Secara singkat,
sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses
sosial, termasuk di dalamnya perubahan-perubahan sosial (Soekanto,
2005:57), sedangkan sastra adalah karya rekaan yang merupakan lukisan-
lukisan kehidupan atau pencerminan dari kehidupan nyata manusia sehari-
hari (Arafah, 2011:5). Dari dua pengertian singkat tersebut, jelas bahwa
sosiologi dan sastramempunyai hubungan yang erat karena keduanya
berurusan dengan masyarakat. Bedanya, adalah objek sosiologi adalah
masyarakat dalam interaksi kehidupan manusia di dunia nyata, sedangkan
objeksosiologi sastra adalahmasyarakat yang terefleksi, tercermin, atau
interpretasi lewat karya sastra, yaitu dunia dalam kata-kata. Dengan
demikian, jika kajian sosiologi lebih bersifat objektif-faktual, maka
sosiologi sastra lebih bersifat subjektif-imajinatif.

Fakta sosial dalam sastra tidak dapat dinafikan lagi, karena kapan
dan dimana pun sastra diciptakan, selalu merefleksikan situasi sosial
masyarakatnya. Baik pengarang sebagai penciptanya, karya sastra sebagai
cptaan, bahasa sebagai medium, hingga pembaca sebagai penikmat karya
sastra, tidakdapat dilepaskan dari konteks realitas sosial. Hubungan antara
keempat komponen tersebut dengan konteks sosial tampakjelas pada
pandangaan Damono (2002:1).

Sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dihayati,


dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah
anggota masyarakat; ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah
lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya; bahasa itu
sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran
kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.

Sosiologi sastra berangkat dari prinsip bahwa karya sastra


merupakan refleksi/cerminan masyarakat pada zaman karya sastra itu
ditulis. Sebagai anggota masyarakat, penulis tidak dapat melepaskan diri
dari lingkungan sosial budaya, politik, keamanan, ekonomi dan alam yang
melingkupinya. Selain merupakan eksperimen moral dituangkan oleh
pengarang melalui bahasa, menurut Damono (1978:1) sastra dalam
kenyataannya menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu
sendiri merupakan kenyataan sosial.

Model kajian sosiologi sastra cukup beragam, bergantung dari


perspektif teore tis yang digunakan. Beberapa di antaranya seperti
diuraikan berikut ini.

Wellek dan Warren (1989:111) mengemukakan tiga sasaran


pendekatan sosiologi sastra. Pertama, sosiologi pengarang yang
membicarakan status sosial pengarang, ideologi sosial pengarang, dan
faktor lain tentang pengarang sebagai penghasil karya sastra. Kedua,
sosiologi karya sastra, yaitu isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal yang
tersirat dalam karya sastra itu sendiri yang berkaitan dengan masalah
sosial. Ketiga, sosiologi pembaca sastra, yang mengkaji masalah pembaca
dan pengaruh sosial karya sastra ini bagi pembaca.

Laurenson daan Swingwood (dalam Edraswara, 2011:79)


mengemukakan tiga perspektif sosiologi sastra. Pertama, penelitian yang
memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya
merupakan refleksi situasi pada masa sastra itu diciptakan. Kedua,
peneltian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial
penulisnya. Ketiga, penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi
peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.
Watt ( dalam Damono, 2002:4-6) membicarakan hubungan timbal
balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Pertama, konteks sosial
pengarang. Teori pertama ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan
dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Selain itu,
termasuk juga faktor-faktor sosial yang bisa mempengarui si pengarang
sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Teori ini melihat sampai sejauh
mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Ketiga,
fungsi sosial sastra. Dalam hal ini kita terlibat dalam pertanyaan-
pertanyaan seperti “sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai
sosial?” dan “sampai berapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial?”.

A. Metode Analisis
Metode penelitian adalah cara kerja untuk memahami objek yang
menjadi sasaran penelitian. Langkah-langkah dalam menganalisis
menggunakan metode sosiologi sastra pertama yaitu menganalisis unsur
intrinsiknya. Analisis karya sastra dengan pendekatan apapun tidak boleh
melupakan analisis unsur intrinsiknya. Setelah dijabarkan unsur-unsur
intrinsiknya, dikaitkan permasalahan dengan menggunakan teori sosiologi,
misalnya hubungan antar individu, perubahan social dan kondisi
masyarakat sosial.
1) Analisis Cerpen Pendeketan Sosiologi Sastra
a. Sosiologi Pengarang

Djenar Maesa Ayu adalah seorang penulis Indonesia yang


sangat berprestasi di bidangnya. lahir di Jakarta, 14 Januari 1973.
Djenar lahir dari buah cinta seniman besar Sjumandjaya dan aktris
Tutie Kirana. Ia anak tunggal dari perkawinan kedua ayahnya dan
perkawinan kedua sang bunda, yang hanya sempat mengenyam
setahun masa pernikahan. Ia lantas tinggal bersama ibunya, meski
tidak pernah jauh pula dari sang ayah yang sering mengajaknya ke
lokasi syuting.
Kepandaiannya berakting ia berhasil membawa penghargaan
sebagai nominator artis pendatang baru terbaik sekaligus artis
terfavorit versi Indonesia Movie Award 2007 dan nominator
pemeran pembantu terbaik di Festival Film Bandung 2008,
barangkali turun dari bakat ibunya. Sementara itu, gaya bicaranya
yang acapkali meledak-ledak, seperti idenya, seolah mengalir dari
ayahnya.

Tidak hanya menulis buku, ibu dari Banyu Bening dan Btari
Maharani ini juga aktif menulis cerpen yang kerap dimuat di
beberapa media nasional. Seperti Waktu Nayla yang meraih
predikat Cerpen Terbaik Kompas 2003, Menyusul Ayah juga
mendapatkan penghargaan sebagai Cerpen Terbaik 2003 versi
Jurnal Perempuan. Cerpen-cerpennya telah tersebar di berbagai
media massa Indonesia seperti Kompas, The Jakarta Post,
Republika, Koran Tempo, Majalah Cosmopolitan,Lampung Post,
dan majalah Djakarta, serta masih banyak lagi.

MEREKA BILANG, SAYA MONYET! adalah karya buku


pertama Djenar yang juga sudah diangkat kelayar lebar yang
disutradarainya sendiri dan menghadiahkannya Piala Citra untuk
Sutradara Terbaik. Dan bahkan Buku “Mereka Bilang, Saya
Monyet!” masuk dalam nominasi 10 besar buku terbaik dalam
ajang Khatulistiwa Literary Award pada 2003. Setelah itu pada
Februari 2005, Djenar mengeluarkan buku keduanya, JANGAN
MAIN-MAIN (DENGAN KELAMINMU) juga meraih sukses dan
cetak ulang selang dua hari dari tanggal rilisnya, dan Djenar pun
baru saja meluncurkan buku cerpen T(w)ITIT!. yang diangkat dari
tweet di akun twitternya. yang memiliki lebih kurang sekitar
61.000 follower.
Karya buku Djenar Maesa Ayu diantaranya adalah Mereka
Bilang, Saya Monyet!, Kumpulan Cerpen (2002). Jangan Main-
main (dengan Kelaminmu), Kumpulan Cerpen (2004). Nayla,
novel (2005), Tentang Cerita Pendek, Kumpulan Cerpen (2006), 1
Perempuan 14 Laki-laki (Jan 2011). buku cerita pendek T(w)ITIT!.

b. Sosiologi Karya Sastra

Dalam cerpen saya dimata sebagaian orang karya Djenar


Maesa Ayu berisi tentang seorang laki-laki yang mengalami
penyakit HIV namun semangat hidupnya didukung oleh teman-
teman yang ia kenal, apa saja yang dia inginkan akan terkabulkan
demi menyenangkan dan menghibur laki-laki tersebut. Namun
cemooh datang dari orang-orang yang tak tahu bagaiman keadaan
dia, namun dengan sabar dan keangkuhannya segala omongan itu
tak dihiraukan dengannya. Dalam karya tersebut jika melihat dari
segi makananya sesungguhnya seseorang yang mengalami
keterpurukan bukan harus dijauhi, cemooh, menuduh yang tidak-
tidak namun sebaliknya kita harus merangkul sehingga rasa beban
yang ia rasakan tak begitu ia fikirkan, tujuan sipengarang membuat
cerpen yang berjudul tersebut untuk membuat kita sadar akan
bahaya penyakit HIV yang sampai sekarang ini belun ada obatnya
namun bukan berarti kita harus menjauhinya. Selain itu pengarang
ingin mengatakan kepedulian terhadap teman haruslah tak
memandang bagaimana keadaan teman tersebut.

c. Sosiologi Sastra

Pengarang hidup pada pada zaman yang sudah moderen


sehingga karyanya mengungkap takbir kehidupan yang sudah
terjadi, dari HIV saya sudah bisa mengungkapkan pada zaman
seperti ini banyak sekali pemuda pemudi yang melakukan seks
bebas dengan beberapa pasangan yang ia inginkan, pengaruh
cerpen tersebut akan menyadarkan pemikiran kita akan seks bebas
tersebut akan menjadi bumerang bagi kita sendiri, dalam segi
agama pengarang ingin bermaksut bahwa hal seperti itu sudah jelas
dilarang oleh semua anutan yang ada dibumi ini.

2) Analisis Puisi Pendeketan Sosiologi Sastra

Hujan Bulan Juni

Oleh : Sapardi Djoko Damono

Tak ada yang lebih tabah

dari hujan bulan juni

dirahasiakannya rintik rindunya

kepada pohon ‘berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

dari hujan bulan juni

dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

dari hujan bulan juni

dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu

Hujan dalam puisi tersebut seolah menjelma menjadi tokoh


yang begitu dekat dengan pembaca, bahkan dapat mewakili diri
pembaca sendiri, karena mungkin pembaca memiliki rasa yang sama
dengan apa yang dirasakan oleh hujan bulan Juni dalam puisi tersebut,
yaitu:

 Hujan bulan Juni yang tabah, yang menahan dirinya (cintanya)


untuk tidak turun ke bumi karena belum waktunya. Ini bisa
diartikan sebagai seseorang yang menahan perasaannya (rindu atau
cintanya) kepada seseorang karena belum waktunya untuk
disampaikan.
 Hujan bulan Juni yang bijaksana, karena mampu menahan diri dan
rindunya untuk bertemu dengan bunga-bunga (yang dicintainya).
 Hujan bulan Juni yang arif, karena dibiarkannnya (cintanya) yang
tak terucapkan diserap akar pohon bunga.

Puisi tersebut juga menggambarkan seseorang yang memiliki rasa


rindu atau cinta kepada orang lain, tetapi karena suatu hal seseorang
tersebut menjadi ragu-ragu atau merasa tidak mungkin untuk
menyampaikannya, dan mencoba untuk menghilangkan atau
menghapuskan rasa yang dimilikinya itu dan membiarkannya untuk
tetap tak tersampaikan.

Bila dikaitkan dengan kenyataan sehari-hari, dari judulnya saja itu


sudah merupakan sesuatu yang hampir tidak mungkin. Karena bulan
Juni termasuk dalam musim kemarau, hujan tidak mungkin turun. Dan
jika dilihat dari tahun penciptaan puisinya yaitu tahun 1989, yang pada
saat itu musim kemarau dan musim hujan masih berjalan secara
teratur, tidak seperti sekarang. Karena itulah hujan harus menahan diri
untuk tidak turun ke bumi. Jadi, dapat ditafsirkan bahwa hujan bulan
Juni merupakan gambaran atau pengistilahan dari perasaan rindu atau
cinta sang penyair kepada seseorang yang ditahan, yang tak mungkin
untuk disampaikan, dan membiarkannya untuk tetap tak tersampaikan.
Jika dilihat dari sisi penyairnya mungkin pada waktu itu si penyair
ingin menyampaikan sesuatu kepada seseorang, tetapi tidak dapat
disampaikan karena mungkin ada suatu hal yang menghalanginya
untuk menyampaikan sesuatu itu, si penyair juga berusaha untuk
menghapuskan jejak-jejak perasaannya yang ragu-ragu untuk
disampaikan, dan si penyair hanya bisa menyampaikannya lewat
sebuah puisi.

Disini penyair menyampaikan sebuah pesan kepada pembaca atau


masyrakat yaitu beberapa aspek etika agar pembaca atau masyrakat
diharapkan memiliki sifat-sifat yang di ibaratkan pada puisi hujan
bulan juni, yaitu sifat tabah, bijak, dan arif dalam menghadapi segala
sesuatu atau dalam mengambil suatu keputusan.

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (lahir di Surakarta, 20 Maret


1940; umur 72 tahun) ialah seorang pujangga Indonesia yang
terkemuka, yang termasuk dalam sastrawan angkatan 70’an. Ia dikenal
dari berbagai puisi-puisinya yang menggunakan kata-kata yang
sederhana tapi mampu untuk membawa pembaca dalam dunianya dan
seolah-olah mer asakan apa yang dirasakan olehnya, sehingga
beberapa di antaranya sangat populer.

Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang


mengenalinya, seperti Aku Ingin (sering kali dituliskan bait
pertamanya pada undangan perkawinan), Hujan Bulan Juni, Pada
Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu
Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan
musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda
Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet “Dua Ibu”). Ananda
Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa
karya SDD (Sapardi Djoko Damono).
Sehingga banyak puisi Sapardi yang dijadikan musikalisasi puisi
yang kemudian melahirkan beberapa album musikalisasi, salah satunya
yaitu album “Hujan Bulan Juni” (1990) yang seluruhnya merupakan
musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono.

Jadi, sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra,


seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang
sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari
masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat

Sosiologi sastra berorientasi memetik, memandang karya sastra


sebagai cerminan masyarakat, yang perhatiannya berpusat pada struktur
kemasyarakatan dalam karya sastra. Pendekatan sosiologi sastra bertujuan
untuk memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antarunsur yang
membangun sebuah karya sastra dari aspek kemasyarakatan pengarang,
pembaca, dan gejala sosial yang ada.

DAFTAR PUSTAKA
Tuloli Nani. 2000. Kajian Sastra. Gorontalo: BMT Nurul Jannah
Faruk. 2012. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Didipu Herman. 2018. Dasar-Dasar Apresiasi, Kajian, Dan Pembelajaran Prosa
Fiksi. Gorontalo: CV Athra Samudra

Anda mungkin juga menyukai