“Drama Turgi”
DISUSUN
OLEH :
NAMA : NASRAWATI
NIM : 217 502 020
i
KATA PENGANTAR
Assalamuallaikum Wr. Wb
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami mengucapakan terima kasih kepada dosen
mata kuliah Dasar-Dasar Pemeran Pak Dr. La Ode Taalami, M.Hum. dan teman-teman lain
yang telah mendukung dalam kelancaran pembuatan makalah ini serta Orang Tua yang selalu
mendoakan dan memotivasi serta mendukung kami.
Adapun maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Dasar-Dasar Pemeran. Didalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa
masih terdapat kekurangan dan kekeliruan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca untuk menyusun makalah lain dalam tugas-tugas berikutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat tidak hanya bagi kami tetapi juga bagi para pembaca.
Wassalamuallaikum Wr. Wb
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dramaturgi adalah teori yang mengemukakan bahwa teater dan drama mempunyai
makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia. Dramaturgi dicetuskan
oleh Erving Goffman pada tahun 1959 yang termuat dalam karyanya berjudul "Presentation
of Self in Everyday Life" Dramaturgi merupakan pendalaman dari konsep interaksi sosial,
yang menandai ide-ide individu yang kemudian memicu perubahan sosial masyarakat menuju
era kontemporer. Teori dramaturgi muncul sebagai reaksi atas konflik sosial dan rasial dalam
masyarakat. Dramaturgi berada di antara interaksi sosial dan fenomenologi.
Dalam perspektif dramaturgis, kehidupan ini ibarat teater, interaksi sosial yang mirip
dengan pertunjukan di atas penggung, yang menampilkan peran-peran yang dimainkan para
aktor. Untuk memainkan peran tersebut, biasanya sang aktor menggunakan bahasa verbal dan
menampilkan perilaku noverbal tertentu serta mengenakan atribut-atribut tertentu, misalnya
kendaraan, pakaian dan asesoris lainnya yang sesuai dengan perannya dalam situasi tertentu.
Aktor harus memusatkan pikiran agar dia tidak keseleo-lidah, menjaga kendali diri,
melakukan gerak-gerik, menjaga nada suara dan mengekspresikan wajah yang sesuai dengan
situasi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah teori dramaturgi?
2. Apa asumsi dasar dramaturgi?
3. Apa esensi teori dramaturgi?
4. Bagaimana konsep kerangka fenomenologi?
5. Apa manfaat mempelajari teori dramaturgi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui sejarah teori dramaturgi
2. Untuk mengetahui asumsi dasar dramaturgi
3. Untuk mengetahui esensi teori dramaturgi
4. Untuk mengetahui konsep kerangka fenomenologi
5. Untuk mengetahui manfaat mempelajari teori dramaturgi
1
BAB II
PEMBAHASAN
B. Asumsi Dasar
Dramaturgi sejatinya adalah sebuah perspektif sosiologi yang menitikberatkan pada
manajemen dalam kehidupan sehari-hari. Erving Goffman melalui teori dramaturgi mencoba
untuk membandingkan dunia manusia dengan dunia teater serta menggambarkan
perbandingan antara manusia di kehidupan nyata dengan para pemain atau pemeran di atas
panggung.
Teori ini sering kali tumpang tindih dengan teori komunikasi sosial. Teori
dramaturgi mengeksplorasi bentukan diri sosial, hubungan, dan kenyataan sosial melalui
2
penggunaan bahasa dan interaksi secara mikroanalisis. Teori dramaturgi yang dikemukakan
oleh Erving Goffman ini mengasumsikan bahwa identitas disajikan kepada suatu khalayak
pada suatu kejadian tertentu dan di tempat tertentu.
Aspek penting dalam teori dramaturgi dalam konteks komunikasi adalah konsep
khalayak dan hubungan antara individu dengan khalayak dalam suatu waktu dan tempat
tertentu. Melalui pengelolaan kesan atau impression management, individu harus
mengendalikan presentasi dirinya untuk membangkitkan reaksi khalayak terhadap presentasi
yang disajikan. Dalam teori dramaturgi, kita dapat melihat dua elemen sekaligus yaitu
pengelolaan kesan atau impression management serta cermin diri looking-glass self.
3
b. Belakang Panggung atau Back Stage
Menurut Erving Goffman yang dimaksud dengan back stage adalah bahwa
penampil dapat bersantai dimana ia dapat melepaskan diri semua peralatan lengkap yang
digunakan untuk menampilkan diri.
Ketika pertunjukan telah selesai, individu kembali ke belakang panggung dan
merasa lega bahwa berbagai tindakan yang ditampilkan di atas panggung telah secara bebas
diekspresikan.
Semua tindakannya memang tidak akan memuaskan berbagai pihak kecuali dirinya
sendiri di belakang panggung. Belakang panggung adalah tempat dimana penampil hadir
namun tanpa kehadiran khalayak yang menontonnya. Di belakang panggung pula, seorang
penampil dapat keluar dari karakter aslinya tanpa merasa takut dapat merusak
penampilannya.
4
ditampilkan oleh seorang individu ke publik serta kaitannya dengan motivasi psikologis
dibalik penyajian pola perilaku tersebut.
Teori ini mengasumsikan bahwa penampilan seorang individu merupakan
sekumpulan perilaku yang koheren selama interaksi yang menyebabkan orang lain
memberikan semacam tipe atribusi tentang orang tersebut.
Menurut Sandra Metts, terdapat 5 (lima) tipe atribusi serta berbagai karakteristik
strategi yang menyertainya, yaitu :
Seorang individu yang ingin disukai akan menggunakan strategi kecerobohan serta
beberapa taktik untuk menampilkan emosi positif selama interaksi.
Seorang individu yang ingin dilihat sebagai seseorang yang kompeten atau memiliki
kompetensi tertentu akan menggunakan strategi promosi diri dan beberapa taktik
seperti mengatakan kepada lawan bicara tentang berbagai prestasi yang telah dicapai
dengan memperlihatkan berbagai penghargaan yang diperoleh kepada publik.
Seorang individu yang ingin dilihat sebagai seseorang yang layak atau memiliki
kepantasan akan menggunakan strategi contoh atau menggunakan contoh-contoh dan
beberapa taktik seperti mendemonstrasikan kemampuan yang dimiliki, kompeten,
integritas, atau nilai-nilai dibandingkan dengan menyatakannya secara langsung
kepada publik.
Seorang individu yang ingin dilihat sebagai seseorang yang perlu pertolongan akan
menggunakan strategi permohonan dan taktik dengan menampilkan kelemahan atau
kesedihan untuk memperoleh simpati dan empati orang lain atau menganggap tidak
memiliki kecakapan atau pengetahuan atau pengalaman untuk menghindari tanggung
jawab melakukan tugas.
Seorang individu yang ingin dilihat sebagai seseorang yang memiliki kekuasaan atau
kendali akan menggunakan strategi intimidasi dan taktik seperti menampilkan amarah
atau mendemontrasikan keinginan untuk menghukum atau melukai orang lain.
2. Identitas Sosial Bersituasi (Situated Sosial Identity)
Istilah situated social identity dikenalkan pertama kali oleh ahli sosiologi Erving
Goffman. Ia mengembangkan teori yang sama dengan para ahli psikologi sosial tentang
strategi presentasi diri hanya ia tidak menekankan pada motivasi psikologis dari pola perilaku
yang ditampilkan ke publik. Secara sederhana ia menyatakan bahwa prinsip-pinsip yang
mengorganisasi seluruh interaksi sosial adalah pengelolaan identitas sosial yang terkoordinasi
atau disebut juga dengan face.
5
Erving Goffman menggunakan metafora sebuah permainan untuk menjelaskan
pandangan tentang pengelolaan kesan. Ia berpendapat bahwa ketika manusia berinteraksi,
mereka membentuk dan mengelola face sebagaimana yang ditampilkan oleh para penampil
dalam sebuah scene atau panggung.
Karenanya manusia mempersiapkan penampilan mereka di belakang panggung,
kemudian membawanya ke atas panggung dengan melakukan manipulasi terhadap berbagai
properti dan kostum yang digunakan sesuai dengan peran yang dimainkan. Para penampil
lainnya bertindak sebagai khalayak yang mendukung jalannya pertunjukan.
Tidak selamanya suatu pertunjukan berjalan dengan lancar karena itu diperlukan
suatu strategi yang dikenal dengan sebutan facework. Terdapat dua macam strategi facework
yaitu preventive facework dan corrective facework.
Preventive facework
Strategi facework yang dirancang untuk mempersiapkan berbagai kemungkinan
hilangnya face yang dimiliki atau orang lain. Misalnya, kita menahan diri untuk tidak
berbicara ketika berada dalam sebuah rapat untuk menghindari kita mengatakan sesuatu yang
dapat mendiskreditkan diri sehingga merusak face kita.
Corrective facework
Strategi facework yang dapat membantu memperbaiki sebuah scene mengembalikan
face setelah kita kehilangannya. Misalnya ketika kita kehilangan muka dan merasa malu
maka kita akan meminta maaf dan mencoba untuk memperbaikinya.
Pengelolaan kesan atau impression management merupakan konsep yang secara luas
telah digunakan dalam konteks komunikasi interpersonal dan komunikasi organisasi.
Sementara itu, face dan facework dikaji dalam konteks komunikasi antar budaya (Metts,
dalam Littlejohn dan Foss, 507-508).
b. Model Pengelolaan Kesan (Impression Management Model)
Menurut Sandra Metts, beragam teori telah disajikan untuk menjelaskan
pengelolaan kesan atau impression management. Namun, kesemuanya dapat diintegrasikan
ke dalam suatu model hierarki proses pengelolaan kesan yang ditandai dengan tujuan
interaksi. Terdapat 4 (empat) meta tujuan, yaitu :
Tujuan pertama, demonstrating social competence – para pelaku interaksi saling
berinteraksi secara mulus sehingga terbentuk identitas sosial tanpa melakukan banyak
usaha untuk mencapainya
6
Tujuan kedua, impression construction – keterampilan mengintepretasi suatu situasi
kemudian diwujudkan dalam strategi pengelolaan kesan yang diasumsikan dapat
membentuk kesan yang sesuai. Kunci agar suatu proses interaksi berjalan dengan
mulus adalah kemampuan untuk melakukan pengawasan terhadap kesan yang dibuat
Tujuan ketiga, protecting impression integrity – para pelaku interaksi hendaknya
menaruh perhatian terhadap berbagai ancaman yang mungkin ada dan harus dapat
menghindari ancaman tersebut atau meminimalisir ancaman yang ada baik ancaman
ke diri maupun orang lain
Tujuan keempat, restoring impression integrity – hal ini dilakukan ketika para
pelaku interaksi merasa bahwa segala daya upaya untuk menghindari kehilangan
muka menemui kegagalan. Strategi restorasi menitikberatkan pada restorasi karakter
moral atau perilaku yang tidak sesuai.
c. Cermin Diri (Looking-Glass Self)
Konsep cermin diri dikenalkan pertama kali oleh Charles Horton Cooley yang
menyatakan bahwa relasi diri atau bagaimana seorang individu memandang dirinya bukan
sebagai fenomena soliter tapi lebih melibatkan orang lain. Cooley menyatakan bahwa
masyarakat dan individu bukan merupakan fenomena yang terpisah tetapi merupakan
kumpulan berbagai aspek.
Menurut Cooley, dalam berinteraksi dengan orang lain, kita tidak hanya memberikan
tanggapan terhadap apa yang dilakukan oleh orang lain. Lebih dari itu, secara bersamaan juga
kita melakukan persepsi terhadap diri kita. Diri kita bukan lagi sebagai pribadi yang
memberikan tanggapan tetapi juga sebagai pribadi stimuli sekaligus
Cooley menyebut hal ini dengan sebagai looking-glass self. Terdapat 3 (tiga) elemen
dalam cermin diri atau looking-glass self, yaitu (Rakhmat, 2001 : 99) :
Kita membayangkan bagaimana tampak kita dimata orang lain.
Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita.
Kita mengalami perasaan bangga atau kecewa.
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dramaturgi sejatinya adalah sebuah perspektif sosiologi yang menitikberatkan pada
manajemen dalam kehidupan sehari-hari. Erving Goffman melalui teori dramaturgi mencoba
untuk membandingkan dunia manusia dengan dunia teater serta menggambarkan
perbandingan antara manusia di kehidupan nyata dengan para pemain atau pemeran di atas
panggung.
Aspek penting dalam teori dramaturgi dalam konteks komunikasi adalah konsep
khalayak dan hubungan antara individu dengan khalayak dalam suatu waktu dan tempat
tertentu. Melalui pengelolaan kesan atau impression management, individu harus
mengendalikan presentasi dirinya untuk membangkitkan reaksi khalayak terhadap presentasi
yang disajikan. Dalam teori dramaturgi, kita dapat melihat dua elemen sekaligus yaitu
pengelolaan kesan atau impression management serta cermin diri looking-glass self.
B. SARAN
Semoga dengan adanya pembahasan ini kita lebih memahami tentang Teori Drama
Turgi.
9
DAFTAR PUSTAKA
https://pakarkomunikasi.com/teori-dramaturgi
https://id.wikipedia.org/wiki/Dramaturgi
10