Anda di halaman 1dari 6

Bahasa Dalam Konteks Sosial

Manusia adalah mahkluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri melainkan selalu berinteraksi dengan
sesamanya. Untuk keperluan tersebut, manusia menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi sekaligus
sebagai identitas kelompok. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbentuknya bagaian bahasa di
dunia yang memiliki ciri-ciri yang unik yang menyebabkan berbeda dengan bahasa lainnya.

Hubungan antara bahasa dengan konteks sosial tersebut dipelajari dalam bidang Sosiolinguistik,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Trudgill bahwa “Sosiolinguistik adalah bagian linguistik yang
berhubung kaitan dengan bahasa, fenomena bahasa dan budaya. Bidang ini juga mengkaji fenomena
masyarakat dan berhubung kaitan dengan bidang sain sosial seperti Antropologi seperti sistem kerabat.
Antropologi bisa juga melibatkan geografi dan sosiologi serta psikologi sosial”.

Manakala, Fishman menyatakan bahwa Sosiolinguistik memiliki komponen utama yaitu ciri-ciri bahasa
dan fungsi bahasa. Fungsi bahasa dimaksud adalah fungsi sosial (regulatory) yaitu untuk membentuk
arahan dan fungsi interpersonal yaitu menjaga hubungan baik serta fungsi imajinatif yaitu untuk
menirukan alam fantasi serta fungsi emosi seperti untuk mengungkapkan suasana hati seperti marah,
sedih, gembira dan apresiasi.

Konteks sosial bahasa mempunyai kelas sosial (sosial class) yang mengacu kepada golongan masyarakat
yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan,
pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Misalnya si A adalah seorang bapak di keluarganya, yang
juga berstatus sosial sebagai guru. Jika dia guru di sekolah negeri, dia juga masuk ke dalam kelas
pegawai negeri. Jika dia seorang sarjana, dia bisa masuk kelas sosial golongan “terdidik”.

Kita melihat di Indonesia kelas sekelompok pejabat yang mempunyai kedudukan tinggi. Tetapi ragam
bahasanya justru nonbaku. Ragam bahasa mereka dapat dikenali dari segi lafal mereka, yaitu akhiran
-kan yang dilafalkan -ken. Jadi perbedaan atau penggolongan kelompok masyarakat manusia tercermin
dalam ragam bahasa golongan masyarakat itu.[1]

Tahun 1966, William Labov menerbitkan hasil penelitiannya yang luas tentang tutur kota New York,
berjudul The Social Stratification of English in New York City (lapisan sosial Bahasa Inggris di Kota New
York). Ia mengadakan wawancara yang direkam, tidak dengan sejumlah kecil informan, hanya terdiri dari
340 orang. Dengan ini Lobov memasukkan metode sosiologi ke dalam penelitiannya. Sosiologi
menggunakan metode pngukuran kuantitatif dengan jumlah besar, dan dengan metode sampling.

Ada kaidah yang baku dalam bahasa Inggris. Jika subjek adalah kata ganti orang ke tiga tunggal (she, he,
it), predikat kata kerjanya harus menggunakan sifiks-s. kemudian diadakan penelitian apakah ada
hubungan antara kelompok sosial dengan gejala bahasa ini. Penelitian diadakan di dua tempat, yaitu di
Detroit (AS) dan di Norwich (Inggris). Informannya meliputi berbagai tingkat kelas sosial, yaitu:

v Kelas Menengah Tinggi (KMT)

v Kelas Menengah Atas (KMA)

vKelas Pekerja (buruh) Menengah (KPM)

vKelas Pekerja Bawah (KPB)

Tidak diikuti Tanya jawab. Dalam komunikasi dua arah, secara berganti-ganti si pengirim bisa menjadi
penerima, dan penerima menjadi pangirim. Komunikasi dua arah ini terjadi dalam rapat, perundingan,
diskusi dan sebagainya. Sebagai alat komunikasi, bahasa itu terdiri dari dua aspek yaitu:

a) Aspek linguistic.

b) Aspek nonlinguistik atau paralinguistik.

Kedua aspek itu bekerjasama dalam membangun komunikasi bahasa. Aspek linguistik mencakup tataran
fonologis, morfologis, dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya yang akan disampaikan,
yaitu semantik (yang di dalamnya terdapat makna, gagasan, idea atau konsep). Aspek paralinguistik
mencakup: Kualitas ujaran, yaitu pola ujaran seseorang seperti falsetto (suara tinggi), staccato (suara
terputus-putus), dan sebagainya.[2]

Aspek linguistic dan paralinguistik berfungsi sebagai alat komunikasi, bersama-sama dengan konteks
situasi membentuk atau membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi.

Bahasa dalam konteks sosial mempunyai unsur supra segimental, yaitu tekanan (stress), nada (pitch),
dan intonasi, Jarak dan gerak-gerik tubuh, seperti gerakan tangan, anggukan kepala, rabaan dan
sebagainya. Rabaan, yakni yang berkenaan dengan indera perasa (pada kulit).

Peristiwa Tutur

Yang dimaksud dengan peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam
satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu
pokok tuturan, didalam tempat, waktu dan situasi tertentu.[3]

Dell Hymes mengatakan bahwa peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang dikenal
dengan speaking. Kedelapan komponen tersebut adalah:

1) S (Setting and Scene) : Waktu, tempat dan situasi yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan
variasi bahasa yang berbeda.

2) P (Participants) : Pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bias pembicara dan pendengar,
penyapa dan pesapa atau pengirim pesan dan penerima pesan.

3) E (End : purupose and goal) : merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan peristiwa yang terjadi
pada ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu perkara, namun para partisipan di dalam
peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda.
4) A (Act Sequences) : Bentuk ujaran dalam perkuliahan, dalam percakapan biasa dan dalam pesta
pasti berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan

5) K (Key : tone or spirit of Act) : mengacu pada nada, cara dan semangat dimana suatu pesan
disampaikan

6) I (Instrumentalities) : mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis,
melalui telegraf atau telepon.

7) N (Norm of interaction and interpretation) : mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.

8) G (Genres) : mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan
sebagainya.

Tindak tutur.

Tindak tutur atau tindak ujar adalah aktivitas menuturkan atau mengujarkan tuturan dengan maksud
tertentu. Tindak tutur bersifat pokok di dalam pragmatik. Tindak tutur merupakan dasar bagi analisis
topik-topik pragmatik lain seperti praanggapan, perikutan, implikatur, percakapan, prinsip kerja sama,
prinsip kesatuan, dsb.

Tindak Tutur Berdasarkan Tujuan Penuturannya

Menurur Austin (1962) dalam tuturan dibedakan menjadi tuturan konstatif dan tuturan performatif.

Tuturan konstatif adalah tuturan yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji benar atau
salah dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia.

Contoh :

“Manuk Dadali adalah lagu daerah Jawa Barat.”

“Dakka ibu kota Bangladesh.”

Tuturan performatif adalah tuturan yang pengutaraanya digunakan untuk melakukan sesuatu.

Contoh :

“Saya berani menjamin Milan akan memenangkan pertandingan malam ini.”

“Saya berjanji akan datang besok.”

Murid Austin, Searle mengembangkan dua jenis tuturan itu ke dalam tiga jenis tindak tutur. Menurut
Searle (1983), tindak tutur dapat dibedakan menjadi tindak tutur lokusi, tindak tutur ilokusi, dan tindak
tutur perlokusi.

Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan sesuatu.

Contoh :
”Dia kebingungan.”

“Saya sakit.”

“Bajunya basah.”

Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi atau daya tuturan atau
tindak tutur yang ditujukan untuk memberikan efek atau pengaruh kepada lawan tutur.

Contoh :

“Ban motor saya bocor.”

“Di bus itu banyak copet yang biasanya menyamar menjadi pengamen.”

Tindak tutur perlokusi adalah efek yang dihasilkan dengan mengujarkan sesuatu bahasa. Efek atau daya
tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja, dapat pula secara tidak sengaja. Tindak tutur
yang pengujarannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra tutur, inilah yang merupakan tindak
perlokusi.

Contoh :

“Pukul saja!”

Selanjutnya, Searle mengklasifikasikan tuturan ilokusi ke dalam lima jenis tindak tutur, yaitu: tindak
tutur asertif yang disebut juga dengan tindak tutur representatif, direktif yang disebut juga dengan
tindak tutur impositif, ekspresif yang disebut juga dengan tindak tutur evaluative, komisif, dan isbati
yang disebut juga dengan tindak tutur deklarasi.

A.Tindak tutur Asertif atau Representatif.

adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya akan kebenaran atas apa yang diujarkannya.

Contoh :

“Sebentar lagi rumah itu ambruk terkena angin.”

“Yang datang rapat baru 26 orang.”


B.Tindak tutur Direktif atau Impositif

adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan
di dalam tuturan itu.

Contoh :

• “Tolong tutup pintunya!”

• “Lebih baik kamu masuk saja.”

C.Tindak tutur Ekspresif / Evaluatif

adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal
yang disebutkan di dalam tuturan itu.

Contoh :

• “Pekerjaanmu kurang memuaskan.”

D.Tindak tutur Komisif

adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam
tuturannya.

Contoh :

• ”Besok saya akan tiba tepat waktu.”


E.Tindak tutur Isbati / Deklarasi

adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal (status, keadaan, dsb) yang
baru.

Contoh :

“Jangan membuat tugas sembarangan!”[4]

[1] Abdul chaer, Sosiolinguistik (Jakarta: Rineka Cipta, 1980)

[2] A Chaedar al Wasiah, Sosiologi Bahasa (Bandung:Angkasa, 1985)

[3] Mansyur Pateda, Sosiolinguistik (Bandung:Angkasa,1987)

[4] J.S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar (Jakarta: PT. Gramedia, 1989)

Anda mungkin juga menyukai