Anda di halaman 1dari 25

ETNOLINGUISTIK

LANGENDRIYAN MANGKUNEGARAN

Disusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Etnolinguistik


Oleh:
DAMARSARI TRI A
(C0212015)

Jurusan Sastra Indonesia


Fakultas Ilmu Budaya
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebudayaan yang merupakan kompleks nilai-nilai dan gagasan manusia terhadap
lingkungan. Kehidupan manusia di suatu selalu berusaha mengadaptasikan dan melawan
keadaan lingkungan. Oleh sebab itu kebudayaan juga merupakan usaha manusia untuk
merubah alam lingkungannya.
Suatu perubahan kebudayaan (cultural change), cepat atau lambat, sangat tergantung
dengan manusia sebagai pendukungnya. Perubahan tersebut tergantung dengan sikap
masyarakat terhadap kebudayaan itu dan bagaimana cara masyarakat menanggapi
kebudayaan. Makin cinta dan merasa kebudayaan itu menjadi miliknya sendiri, makin
bertanggung jawablah terhadap kebudayaan itu. Sehingga kebudayaan itu dapat hidup
dan berkembang di dalam masyarakat pendukungnya.
Seni memang merupakan bagian mendasar dari totalitas kehidupan manusia. Dalam
sejarah perkembangan kehidupan masyarakat manusia terbukti, bahwa tak pernah ada
suatu masyarakat di dunia selama ini yang hidup dan berkembang tanpa kesenian
(Sutopo, 2006). Suatu kenyataan menunjukkan bahwa dalam kehidupan manusia selalu
membutuhkan produk seni sesuai dengan aktivitas dan kualitas menurut ukurannya.
Eksistensi seni dalam berbagai bentuk di sepanjang perjalanan kehidupan manusia
terekam bahwa seni pertunjukan dihadirkan untuk memenuhi bermacam-macam
kebutuhan, mulai dari ritual yang disakralkan, pendidikan, sampai tontonan yang bersifat
profan dan hiburan (Hermien Kusmayati, 2006). Kesenian mencerminkan keseluruhan
kepribadian suatu kelompok etnik atau bangsa sehingga juga menjadi lambing

kepribadian suatu kelompok atau bangsa (Edi Subroto, 2007). Gaya di dalam kesenian
pada hakekatnya menjadi lambing kepribadian suatu kelompok atau bangsa yang
memilikinya.
Kesenian yang terdapat di Indonesia, masing-masing daerah melegitimasikan wilayah
atau daerah atau tempat atau pulau, tempat kesenian muncul, hidup, dan berkembang,
misalnya: Pendet (Bali), Ngrema (Jawa Timur), Gambyong (Jawa Tengah), Jaipong
(Jawa Barat), dan lain-lain. Di samping itu, masing-masing wilayah memiliki bentuk
kesenian yang mencirikan, misalnya: Kethek-Ogleng (Wonogiri), Tayub (Blora), Topeng
(Klaten), Soreng (Magelang), Reog (Ponorogo), dan lain-lain. Keragaman bentuk
kesenian yang menggunakan medium bahasa verbal dan non verbal tergolong Opera Jawa
misalnya: Wayang Wong, Kethoprak, dan Langendriyan.
Dalam penelitian ini tidaklah mungkin semua bentuk kesenian menjadi pembicaraan,
penulis memutuskan untuk mengambil sampling salah satu bentuk kesenian yang dapat
mewakili bentuk seni pertunjukan Opera Jawa yaitu Langendriyan. Secara universal
sering teramati bahwa seni pertunjukan paling tidak mengaitkan atau menghadirkan
misalnya pertunjukan tari: gerak, musik, busana, tat arias, cahaya, dan properti.
B. Pembatasan Masalah
Untuk membatasi permasalahan supaya tidak terlalu luas, perlu dijelaskan objek kajian.
Dalam penelitian ini, penulis membatasi pada makna komponen verbal dan non verbal
pada

Langendriyan

Mangkunegaran

dalam

lakon

Menakjinggo

Leno,

serta

perbandingannya dengan Langendriyan versi SMKI Surakarta dan Langendriyan versi


ISI Surakarta (dulu STSI Surakarta). Hal ini bertujuan untuk mengarahkan penelitian dan
mempermudah dalam menganalisis.
C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka permasalahan dalam


penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana makna komponen verbal dan non verbal pada Langendriyan
Mangkunegaran dalam lakon Menakjingga Lena?
2. Bagaimana integrasi komponen verbal dan

noverbal

pada

Langendriyan

Mangkunegaran dalam lakon Menakjingga Lena?


3. Bagaimana perbandingan cerita antara Langendriyan Mangkunegaran dengan
Langendriyan versi SMKI Surakarta dan Langendriyan versi ISI Surakarta?
D. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan makna komponen verbal dan non verbal pada Langendriyan
Mangkunegaran dalam lakon Menakjingga Lena.
2. Mendeskripsikan integrasi komponen verbal dan noverbal pada Langendriyan
Mangkunegaran dalam lakon Menakjingga Lena.
3. Mendeskripsikan perbandingan cerita antara Langendriyan Mangkunegaran dengan
Langendriyan versi SMKI Surakarta dan Langendriyan versi ISI Surakarta.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Manfaatnya secara
teoritis adalah sebagai berikut:
a. Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah linguistik di
Indonesia, khususnya dalam bidang etnolinguistik.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan tentang budaya Jawa, yakni
Langendriyan.
Secara praktis, manfaatnya adalah sebagai berikut:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendeskripsikan tentang Langendriyan
sehingga dapat dijadikan sebagai tambahan dalam materi pelajaran kebudayaan dalam
masyarakat Jawa.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memperkenalkan kembali tentang Langendriyan,
sehingga masyarakat tidak akan merasa awam dengan kebudayaan yang satu ini.

BAB II
LANDASAN TEORI
A. Etnolinguistik
Istilah etnolinguistik berasal dari kata etimologi yang berarti ilmu yang mempelajari
tentang suku-suku dan linguistik yang berarti ilmu yang mengkaji tentang seluk beluk
bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa (Sudaryanto, 1996:9), yang
lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli
etnologi dengan pendekatan linguistik (Shri Ahimsa, 1997:3).
Menurut Harimurti Kridalaksana (1983:42), etnolinguistik adalah (1) cabang linguistik
yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat
yang belum mempunyai tulisan, bidang ini juga disebut linguistik antropologi (2) cabang
linguistik antropologi yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap kebahasawan
terhadap bahasa, salah satu aspek etnolinguistik yang sangat menonjol ialah masalah
relavitas bahasa. Relativitas bahasa adalah salah satu pandangan bahwa bahasa seseorang
menentukan pandangan dunianya melalui ketegori gramatikal dan klasifikasi semantik
yang ada dalam bahasa itu dan yang dikreasi bersama kebudayaan (Harimurti
Kridalaksana, 1983:145).
Menurut Wakit Abdullah (2013:10), etnolinguistik adalah jenis linguistik yang menaruh
perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa, wacana, unit-unit lingual
lainnya) dalam dimensi sosial dan budaya (seperti upacara ritual, peristiwa budaya,
folklor dan lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktikpraktik budaya dan struktur sosial masyarakat.
B. Langendriyan (Secara Umum)
Langendriyan adalah salah satu bentuk dramatari Jawa yang menitikberatkan pada unsur
tari dan unsur suara. Seluruh dialog dalam dramatari ini dilakukan dengan tembang, oleh

karena itu dramatari ini disebut pula opera Jawa, dengan berpijak pada cerita Panji
(Damarwulan-Menakjingga) dari jaman Majapahit. (Haryanto, 1988: 101)
Langendriyan di Surakarta pada mulanya tumbuh di Mangkunegaran pada jaman
pemerintahan KGPAA Mangkunagara IV (1853-1881). Terdapat informasi yang
menyatakan bahwa langendriyan pada awalnya berasal dari Yogyakarta, dan kemudian
secara khusus berkembang di Mangkunegaran (Koentjaraningrat, 1984: 300). Bahkan
langendriyan ini berkembang menjadi kesenian khas dan kebanggaan istana
Mangkunegaran. (Santoso, 1990: 57)
Langendriyan yang berkembang di Yogyakarta dan di Mangkunegaran memiliki bentuk
penyajian yang berbeda. Perbedaan itu tampak dalam susunan tari, susunan tembang,
gending-gending yang digunakan untuk mengiringi, tata busana dan riasnya. Selain itu,
perbedaan juga terdapat pada pendukung tarinya: langendriyan di Yogyakarta pada
mulanya diperankan oleh penari pria, sedangkan langendriyan di Mangkunegaran
diperankan oleh penari wanita.
C. Tembang Macapat
Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai
baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru
wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu. Macapat
dengan nama lain juga bisa ditemukan dalam kebudayaan Bali, Sasak, Madura, dan
Sunda. Selain itu macapat juga pernah ditemukan di Palembang dan Banjarmasin.
Biasanya macapat diartikan sebagai maca papat-papat (membaca empat-empat), yaitu
maksudnya cara membaca terjalin tiap empat suku kata. Namun ini bukan satu-satunya
arti, penafsiran lainnya ada pula. Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan
dimulainya pengaruh Walisanga, namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di

Jawa Tengah. Sebab, di Jawa Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya
Islam.
Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari masa Mataram Baru, pada umumnya ditulis
menggunakan metrum macapat. Sebuah tulisan dalam bentuk prosa atau gancaran pada
umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra namun hanya semacam 'daftar isi'
saja. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam tembang macapat termasuk
Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik,
tembang tengahan dan tembang gedh. Macapat digolongkan kepada kepada kategori
tembang cilik dan juga tembang tengahan, sementara tembang gedh berdasarkan
kakawin atau puisi tradisional Jawa Kuna, namun dalam penggunaannya pada masa
Mataram Baru, tidak diterapkan perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek. Di
sisi lain tembang tengahan juga bisa merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam
bahasa Jawa Pertengahan.
D. Makna
Pengertian sense makna dalam semantik dibedakan dalam meaning arti. Sense
makna adalah pertautan yang ada diantara unsur-unsur bahasa itu sendiri. Mengkaji dan
memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan
dengan hubungan makna yang membuat kata-kata tersebut berbeda dari kata-kata lain.
Sedangkan meaning arti menyangkut makna kata leksikal dari kata-kata itu sendiri,
yang cenderung terdapat dalam kamus sebagai leksikon. Makna erat kaitannya dengan
semantik, oleh karena itu tembang pada Langendriyan Mangkunegaran akan dilihat dari
segi makna leksikal dan makna kultural.
1. Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna yang ada pada leksem-leksem atau makna kata yang
berdiri sendiri, baik dalam bentuk leksem atau berimbuhan. Menurut Harimurti
Kridalaksana (2001:133) menyatakan bahwa makna leksikal adalah makna unsurunsur bahasa sebagai lambang benda, peristiwa dan lain-lain, makna leksikal ini
mempunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya.

Sedangkan menurut Fatimah Djajasudarma (1993:13) makna leksikal adalah makna


kata-kata yang dapat berdiri sendiri, baik dalam bentuk tuturan maupun dalam bentuk
kata dasar.
2. Makna Kultural
Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam
hubungannya dengan budaya tertentu (Wakit Abdullah, 1999:3)
Makna kultural diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol adalah objek
atau peristiwa apapun yang merujuk pada sesuatu. Simbol itu sendiri meliputi apa
saja yang dapat kita rasakan. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa makna kultural
adalah makna yang ada pada masyarakat, yang berupa simbol-simbol dan dijadikan
patokan dalam kehidupan sehari-hari dalam bersikap dan berperilaku. Makna kultural
sangat erat hubungannya dengan kebudayaan, karena makan atersebut akan timbul
sesuai dengan budaya masyarakat sekitar.

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi penelitian merupakan cara, alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam melakukan
penelitian. Metode adalah cara menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian
mencakup kesatuan dan keserangkaian proses penentuang kerangka pikir, perumusan masalah,
penentuan sampel data, teknik pengumpulan data, klasifikasi dan teknik analisi data.
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif sehingga menggunakan metode kualitatif.
Menurut Edi Subroto (2007:5), metode kualitatif adalah metode pengkajian atau metode
penelitian suatu masalah yang tidak dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik.
Metode kualitatif bersifat deskriptif. Maksudnya, peneliti mencatat dengan teliti dan
cermat data yang berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, wacana, dan lain-lain.
B. Data dan Sumber Data
Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1990: 6), data dalam penelitian ini berupa data
tulis dan data lisan. Data tulis berupa tembang macapat yang diambil dari buku
Langendriyan Mangkunegaran dan Seni Pertunjukan Opera Jawa, sedangkan data lisan
berasal dari informan yang terpilih yakni salah satu pakar tari gaya Mangkunegaran.
Sumber data lisan dalam penelitian ini berasal dari informan yang terpilih dengan kriteria
yang telah ditentukan, yakni: (1) mengetahui tentang seluk beluk Langendriyan
Mangkunegaran, (2) mengetahui tentang bahasa Jawa dan budaya Jawa, (3) sehat jasmani
dan rohani, (4) memiliki alat ucap dan ujaran yang baik, (5) bersedia memberikan
informasi tentang Langendriyan Mangkunegaran. Informan yang dimaksud adalah Bu
Umi, salah satu pakar tari Mangkunegaran yang dulunya juga pernah menjadi lakon
Menakjingga dalam Langendriyan Mangkunegaran.
Sumber data tulis berasal dari buku Langendriyan Mangkunegaran dan Seni Pertunjukan
Opera Jawa.

C. Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan teknik simak, catat, dan pustaka. Yang dimaksud teknik
simak dan catat adalah mengadakan penyimakan terhadap pemakaian bahasa lisan yang
bersifat spontan dan mengadakan pencatatan terhadap data relevan yang sesuai dengan
sasaran dan tujuan penelitian (Edi Subroto,1992: 41). Teknik pustaka yaitu menggunakan
data dari sumber tertulis seperti buku, majalah, koran, dll untuk mendapatkan data.
D. Teknik Analisis Data
Metode analisis data ini merupakan upaya peneliti menangani langsung masalah yang
terkandung pada data. Dalam menganalisis data penulis menggunakan metode padan dan
metode perbandingan.
Metode padan adalah metode yang dipakai untuk mengkaji atau menentukan identitas
satuan lingual tertentu dengan memakai alat penentu di luar bahasa (Sudaryanto, 1992:
13).
Metode padan dibedakan atas lima sub jenis berdasarkan macam alat penentunya, antara
lain sebagai berikut :
a. Metode padan referensial dengan penentunya kenyataan yang ditunjuk bahasa atau
sebagai referen bahasa.
b. Metode padan fonetis artikulasi dengan alat penentunya oragna bicara atau pembentu
bahasa.
c. Metode padan translasional dengan penentuk bahasa atau langue lain.
d. Metode padan ortografis dengan alat penentunya tulisan.
e. Metode padan pragmatis dengan alat penentunya mitra wicara.
Metode perbandingan bersifat ex post facto. Artinya, data dikumpulkan setelah semua
kejadian yang dikumpulkan telah selesai berlangsung. Peneliti dapat melihat akibat dari
suatu fenomena dan menguji hubungan sebab akibat dari data-data yang tersedia.
Penelitian dengan metode perbandingan adalah penelitian yang diakukan untuk
membandingkan nilai satu variable dengan variable lainnya dalam waktu yang berbeda.
E. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Teknik penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik penyajian
formal dan informal. Sudaryanto (1993:145) mendefinisikan teknik penyajian informal
adalah hasil analisis disajikan dengan cara mendeskripsikan data dalam bentuk kata-kata
atau kalimat biasa. Metode formal yakni metode penelitian data dengan menggunakan
dokumen tentang data yang dipergunakan sebagai lampiran. Lampiran tersebut dapat
berupa gambar-gambar dokumentasi foto.

BAB IV
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Penyusunan Langendriyan Mangkunegaran
Langendriyan adalah rangkaian kata langen yang berarti hiburan, dan driya yang
berarti hati. Dalam perkembangannya di kalangan masyarakat luas, langendriyan
mempunyai beberapa pengertian, yaitu:
(1) Dramatari yang menggunakan dialog vokal atau tembang.
(2) Dramatari yang menggunakan dialog vokal dengan cerita Damarwulan.
(3) Dramatari yang menggunakan dialog vokal dengan cerita Damarwulan dan dilakukan
oleh penari perempuan.
Langendriyan Mangkunegaran mempunyai pengertian ketiga, yakni dramatari yang
menggunakan dialog vokal dengan cerita Damarwulan dan dilakukan oleh penari
perempuan.

Hal

ini

telah

dilakukan

sejak

masa

pmbentukan

Langendriyan

Mangkunegaran pada masa KGPAA Mangkunegaran sampai sekarang.


Langendriyan Mangkunegaran pada mulanya dipentaskan untuk berbagai keperluan,
antara lain: pahargyan peringatan kelahiran atau Wiyosan Dalem KGPAA Mangkunegara
yang diselenggarakan pada tiap tahun atau tiap bulan, pahargyan penobatan Raja,
menyambut tamu agung, dan upacara pernikahan. Langendriyan Mangkunegaran
sekarang ini lebih banyak ditampilkan untuk acara pertunjukan seni seperti
Mangkunegaran Performing Arts (MPA) atau Wiyosan Dalem Setu Ponan di Bangsal
Prangwedanan Pura Mangkunegaran Surakarta. Langendriyan Mangkunegaran lebih
sering menampilkan lakon Menakjingga Lena (Menakjingga Mati).
B. Makna Komponen Verbal
Komponen verbal dalam Langendriyan berbentuk tembang dengan konvensi-konvensi
yang berlaku. Tembang dalam bentuk penyajian langendriyan mempunyai fungsi sebagai
sarana dialog di antara para tokoh atau penarinya. Tembang yang digunakan dalam
langendriyan diambil dari enis macapat dan tengahan yang lagunya telah disesuaikan

dengan gending sekar atau palaran. Bentuk tembang yang digunakan dalam langendriyan,
di antaranya: Dhandhanggula, Pangkur, Sinom, Asmaradana, Durma, Pocung, dan
Kinanthi. Untuk mengiringi tembang digunakan gending seperti ayak-ayakan, ketawang
dan ladrang.
1. Dhandhanggula
Dhandhanggula diambil dari nama kata raja Kediri, Prabu Dhandhanggendis yang
terkenal sesudah prabu Jayabaya. Dalam Serat Purwaukara, Dhandhanggula diberi
arti ngajeng-ajeng kasaean, bermakna menanti-nanti kebaikan.
Dalam lakon Menakjingga Lena, tembang Dhandhanggula salah satunya dibawakan
oleh Ratu Ayu Kencanawungu kepada Logender.
Siwa patih, marma sun timbali,
Ingsun paring weruh marag sira,
Yen ingsun antuk wangsite,
Saka dewa linuhung,
Sarananing paprangan iki,
Kang bisa mbengkas karya,
Bocah saka dhukuh,
Kekasih Darmasasangka,
Siwa patih, iku upayanen nuli,
Ywa kongsi tan kapanggya
Terjemahan: Paman Patih, adapun paman kupanggil, ketahuilah, saya mendapat
petunjuk gaib, dari Dewa Yang Maha Agung, bahwasanya yang dapat
menyelesaikan peperangan ini, adalah anak dari desa bernama Damarwulan.
Paman patih, segera cari anak itu sampai ketemu.
Sesuai dengan arti dari tembang Dhandhanggula, tembang di atas bermakna bahwa
sang Ratu Ayu Kencanawungu mendapatkan petunjuk yang baik, yakni
menunjukkan siapa orang yang bisa menyelesaikan peperangan. Petunjuk tersebut
diharapkan dapat membawa kebaikan bagi semuanya.
2. Kinanthi
Kinanthi berarti bergandengan, teman, nama zat atau benda , nama bunga. Sesuai arti
itu, tembang Kinanthi berwatak atau biasa digunakan dalam suasana mesra dan
senang.

Dalam lakon Menakjingga Lena, tembang Kinanthi salah satunya dibawakan oleh
Logender kepada Ratu Ayu Kencanawungu.
Dhuh gusti juwita prabu,
Punika pun Damarsasi,
Sumanggeng karsa narendra,
Dhinawuhana pribadi,
Supados suka tyasira,
Ulun pamit medal jawi.
Terjemahan: Duhai paduka Raja Putri, inilah Damarwulan, terserah kehendak
paduka raja, beri perintah secara pribadi, agar senang hatinya. Hamba mohon izin
meninggalkan persidangan.
Sesuai dengan arti dari tembang Kinanthi, tembang di atas bermakna senang, yakni
patih Logender yang berhasil menemukan Damarwulan atas perintah Ratu Ayu
Kencanawungu. Salah satu terjemahannya agar senang hatinya, berarti Ratu Ayu
Kencanawungu yang benar atas petunjuk yang diperlihatkan kepadanya bisa
memberikan perintah kepada Damarwulan secara pribadi.
3. Asmaradana
Asmaradana berasal dari kata Asmara dan Dhana. Asmara adalah nama dewa
percintaan. Dhana berasal dari kata Dahana yang berarti api. Nama Asmaradana
berkaitan dengan peristiwa hangusnya dewa Asmara oleh sorot mata ketiga dewa
Siwa seperti disebutkan dalam kakawin Smaradhana karya Mpu Darmaja. Dalam
Serat Purwaukara, Smarandana diberi arti remen ing paweweh, berarti suka memberi.
Dalam lakon Menakjingga Lena, tembang Asmaradana salah satunya dibawakan oleh
Logender kepada Seta dan Kumitir.
Heh, Seta lawan Kumitir,
Sira pada njampangana,
Lakune ipemukuwe,
Pancen gawening niyaka,
Iki, panggawe praja,
Tur ngiras labuh ipemu,
Nganggo nakdulur priyangga.

Terjemahan: Hai Seta dan Kumitir, pergilah kalian mengawal perjalanan iparmu,
memang demikian perintah prajurit Negara, sekaligus membantu iparmu, demi
saudara sepupu sendiri.
Sesuai dengan arti dari tembang Asmaradana, tembang di atas bermakna suka
memberi, yakni member bantuan. Memberi bantuan yang dimaksud adalah memberi
bantuan kepada Damarwulan untuk mengawal perjalanannya atas perintah prajurit
Negara.
4. Sinom
Sinom ada hubungannya dengan kata Sinoman, yaitu perkumpulan para pemuda
untuk membantu orang punya hajat. Pendapat lain menyatakan bahwa Sinom ada
kaitannya dengan upacara-upacara bagi anak-anak muada zaman dahulu. Dalam
Serat Purwaukara, Sinom diberi arti seskaring rambut yang berarti anak rambut.
Selain itu, Sinom juga diartikan daun muda sehingga kadang-kadang diberi isyarat
dengan lukisan daun muda.
Dalam lakon Menakjingga Lena, tembang Sinom salah satunya dibawakan oleh
Anjasmara dan Damarwulan.
Anjasmara: Dhuh kakang paring warta,
Nggoniro marek sang aji,
Apa wigatining karsa,
Damarwulan: dhuh nyawa pepujan mami,
Marmek sun den timbale
Tinudhing kinen anglurug,
Mring nagri Blambangan
mocok murdane sang Besmi
Anjasmara: kang mangkono, apa ta kowe sandika.
Terjemahan: Anjasmara: Duhai kanda beritahu dinda, mengapa kanda
menghadap sang prabu, ada kepentingan apa gerangan.
Damarwulan: Aduh dinda pujan hatiku, adapun saya dipanggil, diperintah
supaya menyerang ke Negara Blambangan, untuk memenggal kepala sang
Besmi.
Anjasmara: Dengan tugas sedemikian itu, apakah kanda menyanggupkan diri.

Sesuai dengan arti dari tembang Sinom sendiri, tembang yang dibawakan oleh
Anjasmara dan Menakjingga di atas sedang menggambarkan tentang pergulatan hati
Anjasmara yang resah karena Dmarwulan dipanggil oleh Ratu Ayu Kencanawungu.
Damarwulan menjelaskan, tujuan ia dipanggil adalah untuk pergi ke Negara tempat
Menakjingga berada, yakni Blambangan. Damarwulan sebagai pangima perang untuk
membantu Ratu Ayu Kencanawungu mendapatkan kepala sang Besmi, Menakjingga.
5. Pangkur
Pangkur berasal dari nama punggawa dalam kalangan kependetaan seperti tercantum
dalam piagam-piagam berbahasa jawa kuno. Dalam Serat Purwaukara, Pangkur
diberiarti buntut atau ekor. Oleh karena itu Pangkur kadang-kadang diberi sasmita
atau isyarat tut pungkur berarti mengekor dan tut wuntat berarti mengikuti.
Dalam lakon Menakjingga Lena, tembang Pangkur salah satunya dibawakan oleh
Dewi Wahita dan Dewi Puyengan.
Wahita: Yayi, paran karsanira,
Ingsung uwis datan bisa nglakoni,
Suwita mring Bisma Prabu,
Payo anis kewala,
Puyengan: dhuh kakang mbok, sampun nuruti ing tyas dur,
Andika putraning nata,
Mawia pados utami.
Terjemahan: Wahita: Dinda, bagaimana kehendakmu, sudah tidak mau lagi
mengabdi kepada Prabu Bisma, mari kita pergi saja.
Puyengan: Aduh kakanda jangan mengikuti hati yang tidak baik, dikau anak
raja, sepantasnya mencari yang utama.
Sesuai dengan arti dari tembang Pangkur sendiri, tembang di atas menjelaskan
tentang kegundahan hati Dewi Wahita, yang sudah tidak betah, tidak ingin mengabdi
lagi, dan tidak ingin mengikuti Prabu Bisma atau Menakjingga. Lalu hal tersebut
oleh Dewi Puyengan dibantahnya dengan mengingatkan bahwa keduanya
merupakan keturunan kerajaan dan tidak sepantasnya berkata demikian.
6. Durma

Durma dari kata jawa klasik yang berarti harimau. Sesuai dengan arti itu, tembang
Durma berwatak atau biasa diguanakan dalam suasana seram.
Dalam lakon Menakjingga Lena, tembang Durma salah satunya dibawakan oleh
Menakjingga dan Damarwulan pada saat mereka sedang perang tanding (berperang).
Menakjingga: Damarwuln, away ngucireng ngayuda,
Balia sun anteni.
Damarwulan: mangsa sun mundura,
Lah, Bisma den prayitna,
Katiban pusaka mami,
Menakjingga: Mara tibakna,
Curiganira nuli.
Terjemahan: Menakjingga: Damarwulan, jangan lari dari peperangan, kembalilah
saya tunggu.
Damarwulan: Tidak mungkin saya akan mundur. Nah, Bisma, berhati-hatilah,
tertusuk pusakaku.
Menakjingga: Ayo, cepat tusukkan kerismu.
Sesuai dengan arti dari tembang Durma sendiri, tembang di atas menggambarkan
tentang adegan perang Menakjingga dan Damarwulan, di mana Menakjingga
menantang Damarwulan untuk tidak llari dari peperangan, dan Damarwulan pun
menyatakan untuk tidak akan pernah mundur dari peperangan.
7. Pocung
Pucung adalah nama biji kepayang, yang dalam bahasa latin disebut Pengium edule.
Dalam Serat Purwaukara, Pucung berarti kudhuping gegodhongan ( kuncup
dedaunan ) yang biasanya tampak segar. Ucapan cung dalam Pucung cenderung
mengacu pada hal-hal yang bersifat lucu, yang menimbulkan kesegaran, misalnya
kucung dan kacung. Sehingga tembang Pucung berwatak atau biasa digunakan dalam
suasana santai.
Dalam lakon Menakjingga Lena, tembang Pangkur salah satunya dibawakan oleh
Dewi Wahita dan Dewi Puyengan pada saat mengambil pusaka milik Menakjingga.
Wahita: Lah ta yayi, awasna panjupuk ingsun,
Pusakane Bisma,
Bindi pujan wesi kuning,
Puyengan: lah sumangga kakang mbok, dipun prayitna.

Terjemahan: Wahita: Silakan dinda mengawasi saya mengambil pusakanya


Bisma, gada wesi kuning bertuah.
Sesuai dengan arti dari tembang Pocung sendiri, tembang di atas menggambarkan
tentang adegan di mana Dewi Wahita dan Dewi Puyengan mencuri atau mengambil
pusaka milik Menakjingga. Dikatakan lucu, karena pada dasarnya Dewi Wahita dan
Dewi Puyengan sendiri merupakan istri dari Menakjingga, tetapi karena iming-iming
Damarwulan yang menjanjikan keduanya kebahagiaan, maka mereka pun menuruti
perintah dari Damarwulan untuk mengambil pusaka milik Menakjingga tersebut.
C. Komponen Nonverbal dalam Langendriyan Mangkunegaran
Kehadiran komponen nonverbal dalam Langendriyan Mangkunegaran sangat dibutuhkan
untuk mendukung penyampaian maksud-maksud tertentu secara jelas dan ekspresif.
Komponen nonverbal terdiri atas berbagai elemen di antaranya: gerak tari, karawitan tari
(musik tari), rias-busana, dan properti. Komponen nonverbal tidak hanya terfokus pada
gerak tangan, gerak kaki, gerak tubuh, tetapi gerak seluruh anggota tubuh penari.
1. Gerak Tari
Gerak tari yang dimaksud adalah gerak yang dilakukan oleh para penari di
Mangkunegaran Surakarta. Pada dasarnya teknik pelaksanaan gerak memiliki
perbedaan dengan bentuk tari maupun brntuk garapan tari dengan bentuk tari lainnya.
Bentuk gerak tari dan dala menyajikannya memiliki ciri khas yang menjadi identitas
gaya Mangkunegaran.
Gerak tari, berdasarkan sifatnya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu gerak tari
presentatif dan gerak tari representatif. Gerak presentatif atau gerak tan wadhak
adalah gerak yang mengungkapkan rasa atau situasi tertentu atau karakter tertentu,
sehingga gerak tari ini bersifat sulit untuk dimengerti secara nalar. Contoh gerak
presentatif dalam Langendriyan Mangkunegaran seperti sabetan, ombak banyu,
tumpang tali, sekar-suwun, dll.

Sebaliknya, gerak representatif atau gerak wadhag mengungkapkan rasa yang


menghadirkan kembali gerak-gerak dalam kegiatan sehari-hari. Pemahaman terhadap
gerak representatif lebih mudah, karena gerakan-gerakan itu adalah perwujudan dari
gerak yang sering kita lihat dan kita alami dalam kehidupan nyata. Gerak-gerak yang
sifatnya representatif misalnya ngilo asta (bercermin di depan kaca, bercermin
dengan menggunakan tangan), udhal rikma (menata rambut), lumaksana (gerak
jalan / mlaku), dll.
2. Karawitan Tari (Musik Tari)
Karawitan tari merupakan elemen penting atau pendukung utama dalam seni
pertunjukan tari khususnya tari tradisional. Karawitan tari dalam Langendriyan
Mangkunegaran menggunakan seperangkat gamelan laras slendro. Dengan demikian,
karawitan tari dalam Langendriyan Mangkunegaran menggunakan

gendhing-

gendhing laras slendro pathet sanga, yang terdiri dari: gendhing-gendhing srepeg,
ayak-ayakan, ketawang, ladrang, tembang macapat, dan pocapan/jaturan dalang.
3. Rias-Busana
Rias menggunakan make-up tipis dan penekanannya pada wajah menjadi bersih tidak
kelihatan pucat serta bentuk alis ditebalkan dengan warna pensil hitam. Rias yang
digunakan tidak menggambarkan atau mewakili sebuh karakter tertentu. Busana yang
dipergunakan mengacu pada busana yang dipergunakan wayang wong.
4. Properti
Peralatan yang digunakan dalam Langendriyan Mangkunegaran dapat dibagi menjadi
dua, yaitu: (1) alat sebagai media untuk kelengkapan menari misalnya keris, gada,
pedhang, penthung, dll; (2) alat sebagai media untuk ubarampe (keperluan) keraton,
misalnya dhadhap merak, bebek emas, dan kecohan.
D. Integrasi Komponen Verbal dan Nonverbal pada Langendriyan Mangkunegaran dalam
lakon Menakjingga Lena.

Komponen verbal maupun nonverbal memiliki kekuatan sendiri-sendiri dan tentu saja
memiliki makna yang berbeda-beda, namun dalam sebuah seni pertunjukan khususnya
pada Langendriyan Mangkunegaran, menjadi satu kesatuan secara utuh dan
memunculkan kekuatan yang maknanya berbeda. Medium pokok (bahasa verbal) yang
terbingkai dengan tembang macapat, diikuti dengan gerak tari, diiringi dengan karawitan
tari, rias-busana, property, serta adanya tambahan pencahayaan yang akan memunculkan
makna yang lebih mantap, meraik, dan estetis. Dengan demikian sajian Langendriyan
Mangkunegaran lakon Menakjingga Lena (Menakjingga Mati) memunculkan makna
secara utuh dan mantab.
E. Perbandingan Cerita Antara Langendriyan Mangkunegaran dengan Langendriyan Versi
SMKI dan ISI Surakarta.
1. Langendriyan Mangkunegaran
Cerita yang digunakan dalam Langendriyan Mangkunegaran berpijak pada Serat
Damarwulan. Cerita itu dibagi menjadi empat lakon, yaitu:
a. Damarwulan Ngarit (Damarwulan Menyabit Rumput)
b. Ronggolawe Gugur (Ronggolawe Gugur)
c. Menakjingga Lena (Menakjingga Mati)
d. Damarwulan Winisudha (Damarwulan dinobatkan sebagai Raja)
Keempat lakon di atas disusun oleh R.M.H Tandhakusuma pada masa KGPAA
Mangkunagara IV dan baru dipergelarkan secara lengkap pada masa KGPAA
Mangkunagara VII.
Lakon yang sering ditampilkan adalah lakon Menakjingga Lena. Lakon yang sering
ditampilkan sekarang ini merupakan pethilan atau hanya sebagian dari lakon
Menakjingga Lena sebelumnya (ada Ratu Ayu Kencanawungu). Dalam bentuk sajian
yang pethilan ini, lakon Menakjingga Lena hanya ditampilkan oleh enam orang
penari, yakni : Damarwulan, Menakjingga, Dayun, Dewi Wahita, Dewi Puyengan,
dan Dewi Anjasmara.
2. Langendriyan Versi SMKI Surakarta

Langendriyan termasuk daam mata pelajaran Opera di SMKI Surakarta dan bertolak
dari bentuk Langendriyan di Mangkunegaran. Dengan demikian, langendriyan versi
SMKI Surakarta pada dasarnya mengacu dari bentuk pertunjukan Langendriyan
Mangkunegaran. Akan tetapi dalam bentuk sajiannya memiliki beberapa perbedaan,
hal ini terjadi karena langendriyan ini merupakan mata pelajaran yang diperuntukkan
bagi siswa sehingga mempertimbangkan kemampuan para siswa. SMKI Surakarta
dapat menggarap langendriyan dengan beberapa perubahan. Salah satunya tampak
pada pendukung penyajian Langendriyan, yang dilakukan oleh penari putra dan putri.
Langendriyan versi SMKI Surakarta dengan cerita Menakjingga Lena disusun oleh S.
Ngaliman, seorang seniman tari tradisional gaya Surakarta dan juga sebagai salah satu
guru tari tradisional di SMKI pada tahun 1976. Apabila dicermati, persamaan
penggarapan sajian Langendriyan Mangkunegaran dengan Langendriyan versi SMKI
Surakarta hanya sebatas pada unsur garap cerita saja. Bentuk penyajian langendriyan
yang dikembangkan di SMKI disajikan oleh penari putra dan putri, sedangkan pada
Langendriyan Mangkunegaran semua penarinya adalah putri.
3. Langendriyan Versi ISI Surakarta
Bentuk awal garapan langendriyan versi ISI Surakarta merupakan bentuk pethilan
dari Langendriyan Mangkunegaran yang disusun pada tahun 1974 berjudul
Menakjingga

Damarwulan.

Setelah

garapan

tersebut,

kemudian

menyusun

langendriyan dalam bentuk fragmen dengan jumlah pelaku lima orang, yang
memerankan tokoh Menakjingga, Damarwulan, Anjasmara, Ronggolawe dan Dayun.
Dalam perkembangannya, ISI Surakarta menyusun langendriyan dengan cerita
Ronggolawe Gugur. Menurut Sunarno, karya itu merupakan karya puncak garapan ISI
Surakarta yang digarap oleh beberapa seniman di lingkungan ISI Surakarta. Garapan
ini kemudian dikenal sebagai langendriyan versi ISI Surakarta. Apabila dilihat dari

perkembangan wujud sajiannya, bentuk garapan langendriyan karya-karya ISI


Surakarta lebih cenderung mengarah pada sajian dramatari.

BAB V
PENUTUP
Langendriyan adalah salah satu bentuk dramatari Jawa yang menitikberatkan pada unsur
tari dan unsur suara. Langendriyan di Surakarta pada mulanya tumbuh di Mangkunegaran pada
jaman pemerintahan KGPAA Mangkunagara IV (1853-1881). Setelah itu, langendriyan mulai
dikebangkan di luar pura Mangkunegaran, yakni di ISI Surakarta pada tahun 1974 dan SMKI
Surakarta pada tahun 1976.
Di dalam langndriyan sendiri terdapat dua komponen yang penting. Komponen utamanya
berupa komponen verbal, yakni tembang macapat. Sedangkan komponen nonverbalnya berupa
gerak tari, karawitan tari, rias-busana dan properti. Komponen verbal maupun nonverbal
memiliki kekuatan sendiri-sendiri dan tentu saja memiliki makna yang berbeda-beda, namun
dalam sebuah seni pertunjukan khususnya pada Langendriyan Mangkunegaran, menjadi satu
kesatuan secara utuh dan memunculkan kekuatan yang maknanya berbeda.

DAFTAR PUSTAKA
Shri Ahimsa Putra. 1997. Etnolinguistik : Beberapa Bentuk Kajian (makalah). Yogyakarta : Balai
Penelitian Bahasa, Surakarta : Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas
Maret.
Sri Rochana W. 2006. Langendriyan Mangkunegaran, Pembentukan dan Perkembangan Bentuk
Penyajiannya. Surakarta: ISI Press.
Sutarno Haryono. 2010. Kajian Pragmatik: Seni Pertunjukan Opera Jawa. Surakarta: ISI Press.
Wakit Abdullah. 2013. Etnolinguistik : Teori, Metode dan Aplikasinya. Universitas Sebelas Maret
Surakarta: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa.

Sumber internet:
http://id.wikipedia.org/wiki/Macapat

LAMPIRAN

Menakjingga (kostum merah) dan Damarwulan (kostum hijau) sedar berperang.

Dewi Wahita dan Dewi Puyengan.

Anda mungkin juga menyukai