Anda di halaman 1dari 20

TUGAS

APRESIASI SASTRA

Dosen Pengampu :
U’um Qomariyah, S.Pd., M.Hum.
Disusun oleh
Alfin Sukma
NIM 2101418079

Guna Menyelesaikan Tugas


Mata Kuliah Dasar-dasar Teori dan Apresiasi Sastra

PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
TAHUN 2018
1. Pengertian Apresiasi sastra :
Apresiasi Karya Sastra adalah pembelajaran sastra. Menurut Roestam Effendi dkk.(1998),
“Apresiasi adalah kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguh-sungguh. Di dalam
mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan
setelah itu penerapan.” Pengenalan terhadap karya sastra dapat dilakukan melalui membaca,
mendengar, dan menonton. Kesungguhan dalam kegiatan tersebut akan menuju tingkat
pemahaman. Pemahaman terhadap karya sastra akan membuat penghayatan. Indikator yang
dapat dilihat setelah menghayati karya sastra adalah jika bacaan, dengaran, atau tontonan sedih ia
akan ikut sedih, jika gembira ia ikut gembira, begitu seterusnya. Hal itu terjadi seolah-olah ia
melihat, mendengar, dan merasakan dari yang dibacanya. Ia benar-benar terlibat dengan karya
sastra yang digeluti atau diakrabinya.
 Alfred North Whitehead (Jarrett, 1991: 157) mengemukakan bahwa dalam kegiatan
pengapresiasian terhadap sesuatu yang dilakukan seseorang adalah suatu kegiatan yang
dilakukan untuk memperoleh sesuatu (untuk memahami sesuatu), berpartisipasi di
dalamnya, dan penilaian secara keseluruhannya.
 Jarret sendiri menyatakan bahwa apresiasi dapat berupa perhatian (attention) terhadap
sesuatu (Jarrett, 1991: 153). Lebih lanjut, Jarrett (1991: 156) juga menyatakan bahwa
pengapresiasian terhadap sesuatu tersebut dapat berupa ketertarikan (interesting),
pemanfaatan (worthwhile), dan kesenangan (enjoyment) dalam mempelajarinya.
 G. H. Hardy (Hardy, 2005: 15) yang mengungkapkan seseorang yang appreciate terhadap
sesuatu maka orang tersebut menikmati (enjoy) sesuatu tersebut (enjoyment).
 John Dewey (Dewey, 2001: 248) yang menyatakan bahwa apresiasi dapat dimaknai
sebagai menikmati suatu pengalaman atau kesenangan (enjoyment) terhadap sesuatu.
Dalam buku yang sama, John Dewey (Dewey, 2001: 262) juga mengungkapkan
”...appreciation; that is, to understanding and enjoyment of...”, yang mana apresiasi dapat
dimaknai sebagai pemahaman (understanding) dan kesenangan (enjoyment) terhadap
sesuatu. Lebih lanjut, John Dewey menyatakan bahwa pemanfaatan (worth) merupakan
bagian yang penting dari apresiasi. Kegiatan pemanfaatan tersebut dapat berupa kegiatan
pengulangan pengalaman dengan penuh makna (Dewey, 2001: 242).
1. Bentuk-bentuk dan jenis apresiasi sastra :
a) Apresiasi yang bersifat kinetik atau sikap tindakan
Apresiasi bersifat kinetik, yaitu sikap memberikan minat pada sebuah karya sastra lalu berlanjut
pada keseriusan untuk melakukan langkah-langkah apresiatif secara aktif. Misalnya, untuk
bentuk karya sastra berupa prosa fiksi seperti cerpen dan novel, tindakan apresiatifnya ialah
memilih cerpen atau novel yang sesuai kehendaknya.
Selanjutnya, membaca dan menyenangi novel sejenis, menyenangi tema atau pengarangnya,
memahami pesan-pesannya, jalan ceritanya, serta mengenal tokoh-tokoh dan watak tokohnya,
bahkan secara ekstrim ada yang berkeinginan mengindentifikasi diri menjadi tokoh yang
digemari dalam karya prosa tersebut.
Puncak dari sikap apresiasinya ialah ingin dapat membuat karya cerpen atau novel seperti itu.
Setidak-tidaknya dapat memberikan komentar atau tanggapan tentang hal yang berhubungan
dengan novel yang digemari.
Untuk karya puisi, memerhatikan pembacaan puisi, menyukai puisi-puisi tertentu, berusaha
memahami makna puisi yang disukai, mengenal para penyair jenis puisi yang disukai, berusaha
dapat membaca puisi dengan baik, dan puncaknya berkeinginan dapat membuat puisi sejenis
serta menulis tanggapan atau ulasan mengenai puisi itu.
Untuk karya sastra drama apresiasif kinetiknya menyukai pementasan drama, tertentu, mengenal
karakter tokohnya, para kru di belakangnya, dan ingin melakonkan tokoh tertentu pada drama
sejenis. Sekarang mungkin objeknya lebih kepada bentuk tayangan film yang memiliki unsur-
unsur yang sama dengan drama.
b) Apresiasi yang bersifat verbalitas
Apresiasi bersifat verbal, yaitu pemberian penafsiran, penilaian, dan penghargaan yang
berbentuk penjelasan, tanggapan, komentar, kritik, dan saran serta pujian baik secara lisan
maupun tulisan.
Dalam kaitannya dengan aspek kompetensi menyimak, apresiasi bermula pada proses
mendengarkan penyampaian karya sastra secara lisan dengan serius dan seksama, kemudian
berlanjut pada pencapaian langkah-langkah apresiasi yang telah dijelaskan di atas.
Untuk pembelajaran tentang apresiasi sastra, semua bentuk karya sastra yang dapat
diperdengarkan harus dipelajari. Bentuk karya sastra tersebut berjenis prosa dan puisi.
2. Contoh Apresiasi Sastra
a. Apresiasi Puisi
Apresiasi dalam suatu karya mempunyai tingkatan. Waluyo (2002:45) membagi tingkatan
apresiasi meliputi, (1)tingkat menggemari, (2)tingkat menikmati, (3)tingkat mereaksi, dan
(4)tingkat produktif. Pada tingkat menggemari keterlibatan pembaca batinnya belum kuat. Pada
tingkat menikmati, keterlibatan batin pembaca terhadap karya sastra sudah semakin mendalam.
Pada tingkat mereaksi, sikap kiritis terhadap karya sastra semakin menonjol karena ia mampu
menafsirkan  dengan seksama dan ia mampu menyatakan keindahan dan menunjukkan dimana
letak keindahan itu. Pada tingkat produktif, apresiator puisi mampu menghasilkan, mengkritik,
menghasilkan, mendeklamasikan, atau membuat resensi terhadap puisi secara tertulis.
Untuk melakukan apresiasi khususnya apresiasi puisi, pemahaman mendalam tentang
apresiasi puisi memang perlu dilakukan. Agar tidak salah dalam melakukan apresiasi puisi,
konsep apresiasi perlu dipahami dengan cermat. Apresiasi puisi terkait dengan sejumlah aktivitas
yang berhubungan dengan puisi. Aktivitas yang dimaksud dapat berupa kegiatan membaca dan
mendengarkan pembacaan puisi melalui penghayatan sungguh-sungguh (Waluyo, 2003: 19).
Apresiasi merupakan pengalaman lahiríah dan batiniah yang kompleks (Ichsan, 1990: 10).
Apresiasi seseorang terhadap puisi dapat dikembangkan dari tingkat sederhana ke tingkat yang
tinggi. Apresiasi tingkat pertama terjadi apabila seseorang memahami atau merasakan
pengalaman yang ada dalam sebuah puisi. Apresiasi tingkat kedua terjadi apabila daya
intelektual pembaca bekerja lebih giat. Apresiasi tingkat tiga, pembaca menyadari hubungan
kerja sastra dengan dunia luarnya, sehingga pemahamannya pun lebih luas dan mendalam.
Apresiasi puisi berkaitan dengan kegiatan yang ada sangkut pautnya dengan puisi, yaitu
mendengar atau membaca puisi dengan penghayatan yang sungguh-sungguh, menulis puisi, dan
mendeklamasikan. Kegiatan ini menyebabkan seseorang memahami puisi secara mendalam,
merasakan apa yang ditulis penyair, mampu menyerap nilai-nilai yang terkandung didalam puisi,
dan menghargai puisi sebagai karya sastra seni keindahan dan kelemahan.
Kegiatan apresiasi puisi tidak dapat dilepaskan dari pemahaman struktur teks puisi. Kegiatan
mengapresiasi puisi dapat dilakukan dengan memahami struktur teks yang membangun puisi.
Dengan demikian, untuk mengenal, memahami, dan menghargai puisi, dapat dilakukan dengan
mengenal struktur bagian puisi tersebut, baik menyangkut unsur isi maupun bentuk.
Berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu diperhatikan untuk mengapresiasi sebuah
puisi :
1. Membaca puisi berulang kali
2. Melakukan pemenggalan dengan membubuhkan (a) garis miring tunggal ( / ) jika di
tempat tersebut diperlukan tanda baca koma; (b) dua garis miring ( // ) mewakili tanda baca titik,
yaitu jika makna atau pengertian kalimat sudah tercapai.
3. Melakukan parafrase dengan menyisipkan atau menambahkan kata-kata yang dapat
memerjelas maksud kalimat dalam puisi.
4. Menentukan makna kata/kalimat yang konotatif (jika ada).
5. Menceritakan kembali isi puisi dengan kata-kata sendiri dalam bentuk prosa.
Berbekal hasil kerja tahapan-tahapan di atas, unsur intrinsik puisi seperti tema, amanat/
pesan, feeling, dan tone dapat digali dengan lebih mudah.

b. Apresiasi Prosa
Istilah prosa sendiri mengandung pengertian kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-
pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tetentu yang bertolak
dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Prosa sebagai salah satu genre
sastra, mengandung unsur – unsur meliputi (1) pengarang atau narator, (2) isi penciptaan, (3)
media penyampaian isi berupa bahasa, dan (4) elemen-elemen fiksional atau unsur-unsur
intrinsik yang membangun karya fiksi itu sendiri sehingga menjadi suatu wacana. Pada sisi lain,
dalam rangka memaparkan isi tersebut, pengarang akan memaparkannya lewat (1) penjelasan
atau komentar, (2) dialog ataupun monolog, dan (3) lewat lakuan atau action.
Prosa fiksi lebih lanjut masih dapat dibedakan dalam berbagai macam bentuk, baik itu
roman, novel, atau novelet, maupun cerpen. Perbedaan berbagai macam betuk dalam prosa fiksi
itu pada dasarnya hanya terletak pada kadar panjang pendeknya isi cerita, kompleksitas isi cerita,
serta jumlah pelaku yang mendukung cerita itu sendiri. Akan tetapi, elemen-elemen yang
dikandung oleh setiap bentuk prosa fiksi maupun cara pengarang memaparkan isi ceritanya
memiliki kesamaan meskipun dalam unsur-unsur tertentu mengandung perbedaan.
Untuk dapat memberi penghargaan terhadap sesuatu, tentunya kita harus mengenal sesuatu
itu dengan baik dan dengan akrab agar kita dapat bertindak dengan seadil-adilnya terhadap
sesuatu itu, sebelum kita dapat memberi pertimbangan bagaimana penghargaan yang akan
diberikan terhadap sesuam itu. Kalau yang dimaksud dengan sesuatu itu adalah karya sastra,
lebih tepat lagi karya sastra prosa, maka apresiasi itu berati memberi penghargaan dengan
sebaik-baiknya dan seobjektif mungkin terhadap karya sastra prosa. Penghargaan yang seobjektif
mungkin, artinya penghargaan itu dilakukan setelah karya sastra itu kita baca, kita telaah unsur-
unsur pembentuknya, dan kita tafsirkan berdasarkan wawasan dan visi kita terhadap karya sastra
itu.
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian “Apresiasi Prosa” adalah
proses pengindahan, penikmatan, pemahaman, dan penghargaan secara menyeluruh dan serta-
merta terhadap karya sastra prosa guna mendapatkan nilai-nilai yang baik yang terkandung
dalam karya sastra tersebut.
a) Tahap-Tahap Apresiasi
Seperti sudah dibicarakan, prosa atau prosa fiksi adalah sebuah bentuk karya sastra yang
disajikan dalam bentuk bahasa yang tidak terikat oleh jumlah kata dan unsur musikalitas. Bahasa
yang tidak terikat itu digunakan untuk menyampaikan tema atau pokok persoalan dengan sebuah
amanat yang ingin disampaikan berkenaan dengan tema tersebut. Oleh karena itu, dalam
apresiasi dengan tujuan tnembenkan penghargaan terhadap karya prosa itu, kita haruslah bisa
“membongkar” dan menerangjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan ukuran keindahan dan
“kelebihan” karya prosa itu. Dengan demikian, penghargaan yang diberikan dapat diharapkan
bersifat tepat dan objcktif. Suatu apresiasi sastra, menurut Maidar Arsjad dkk dilakukan melalui
beberapa tahap kegiatan. Tahap-tahap itu adalah.
1) Tahap penikmatan atau menyenangi. Tindakan operasionalnya pada tahap ini adalah
misalnya membaca karya sastra (puisi maupun novel}, menghadiri acara deklamasi, dan
sebagainya.
2) Tahap penghargaan. Tindakan operasionalnya, antara lain, melihat kebaikan, nilai, atau
manfaat suatu karya sastra, dan merasakan pengaruh suatu karya ke dalam jiwa, dan
sebagainya.
3) Tahap pemahaman. Tindakan opersionalnya adalah meneliti dan menganalisis unsur
intrinsik dan unsur ektrinsik suatu karya: astra, serta berusaha menyimpulkannya.
4) Tahap penghayatan. Tindakan operasionalnya adalah rnenganalisis lebih lanjut akan suatu
karya, mencari hakikat atau makna suatu karya beserta argumentasinya; membuat tafsiran
dan menyusun pendapat berdasarkan analisis yang telah dibuat.
5) Tahap penerapan. Tindakan operasionalnya adalah melahirkan ide baru, mengamalkan
penemuan, atau mendayagunakan hasil operasi dalam mencapai material, moral, dan
struktural untuk kepentingan sosial, politik, dan budaya.
Apresiasi mempunyai tiga tingkatan, yaitu apresiasi empatik, apresiasi estetis, dan apresiasi
kritis.
1) Apresiasi empatik adalah apresiasi yang hanya menilai baik dan kurang baik hanya
berdasarkan pengamatan belaka. Apresiasi atau penilaian ini biasanya dilakukan oleh orang
awam yang tidak punya pengetahuan dan pengalaman dalam bidang seni.
2) Apresiasi estetis adalah apresiasi untuk menilai keindahan suatu karya seni. Apresiasi pada
tingkat ini dilakukan seseorang setelah mengamati dan menghayati karya seni secara
mendalam.
3) Apresiasi kritis adalah apresiasi yang dilakukan secara ilmiah dan sepenuhnya bersifat
keilmuan dengan menampilkan data secara tepat, dengan analisis, interpretasi, dan penilaian
yang bertanggung jawab.
Apresiasi ini biasanya dilakukan oleh para kritikus yang memang secara khusus mendalami
bidang tersebut. Dalam suatu apresiasi akan terjalin komunikasi antara si pembuat karya seni
(seniman) dengan penikmat karya seni (apresiator). Dengan adanya komunikasi timbal-balik ini,
seniman diharap mampu mengembangkan kemampuannya untuk dapat membuat karya seni yang
lebih bermutu.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Nilai Sastra
Setiap orang memiliki tingkat pemahaman terhadap sastra berbeda-beda. Hal ini dapat
diketahui bila ada pameran buku atau kajian sastra. Karya sastra yang dibuat oleh seorang
pengarang memiliki ciri khas tersendiri. Sebagai contoh buku yang bercerita tentang “Syaikh Siti
Jenar”. Ada banyak ragam versi yang dapat kita temukan. Ada penulis yang berlatar belakang
sejarawan, ada yang memiliki disiplin pendidikan, ada pula seorang filosof.
A.    Lingkungan
Lingkungan keluarga sangat besar peranannya dalam membentuk pemahaman tentang
karya sastra. Keluarga yang telah terkondisi dengan tradisi membaca, memiliki kontribusi yang
besar bagi anggota keluarga itu dalam memahami sastra. Masyarakat yang selalu menghidupkan
karya sastra lewat permainan anak (dolanan), nyanyian yang dipadukan dengan alat musik
tradisional, peristiwa ritual, juga mendukung seseorang dalam memahami karya sastra.
B.     Pengetahuan
Sekolah, kuliah, kursus atau sejenisnya adalah ladang untuk memahami pengetahuan.
Pengetahuan merupakan jembatan untuk memahami karya sastra. Ada sedikit jaminan, bahwa
semakin tinggi seseorang memperoleh ilmu, semakin tinggi pula tingkat pemahaman terhadap
karya sastra. Namun tidak semua orang yang berpengetahuan mencintai karya sastra. Baginya,
pengetahuan hanya diibaratkan sebuah kendaraan untuk mencapai tujuan tertentu.
C.     Pengalaman
Pengalaman adalah guru yang baik. Melihat lebih baik dari mendengar. Mempraktekkan
jauh lebih baik dari pada melihat. Ada rasa keasyikan tersendiri bila membaca cerpen dari
seorang cerpenis kegemarannya. Ada suasana melayang saat mencoba menyerap kata dalam
puisi.
Tapi, membuat cerpen lebih asyik bila hanya sekedar membaca. Mengungkap perasaan
dengan cara menulis puisi jauh lebih mengena. Membuat cerpen, menulis puisi atau sejenisnya,
adalah sebuah pengalaman. Dengan begitu Ia akan mengetahui seberapa tingkat karya sastra.
Dengan pengalaman pula Ia akan menghargai sebuah karya sastra.

Pendekatan dalam Apresiasi Sastra


A. Pendekatan Parafratis
Pendekatan parafratis adalah strategi pemahaman kandungan makna dalam suatu cipta
sastra dengan jalan mengungkapkan kembali gagasan yang disampaikan pengarang dengan
menggunakan kata-kata maupun kalimat yang berbeda dengan kata-kata dan kalimat yang
digunakan pengarangnya. Tujuan akhir pendekatan ini adalah untuk menyederhanakan
pemakaian kata dan kalimat seorang pengarang sehingga pembaca lebih mudah memahami
kandungan makna yang terdapat dalam suatu cipta sastra.
Seperti telah diketahui, kata-kata dalam cipta satsra umumnya padat dan suplimatif.
Misalnya, seorang penyair yang ingin menyampaikan gagasan tentang betapa cepatnya
perjalanan kehidupan serta betapa singkat kehidupan manusia itu sendiri yang sisi lain juga akan
segera membahas manusia dari libatan keduniawian ini, dirinya cukup mengungkapkannya
dengan jam mengerdip, tak terduga betapa lekas siang menepi, melapangkan jalan dunia. Dari
contoh itu dapat diketahui bahwa kalimat atau baris dalam puisi sering mengalami elipsis atau
penghilangan suatu unsur, baik berupa kata maupun berupa kelompok kata. Begitu juga1 cara
penulisannya umumnya tidak sma dengan aturan atau sistem pada umumnya. Misalnya jika
seorang kalimat itu seseorang harus mengawalinya dengan huruf besar dan menghakhiri dengan
titik, maka dalam baris-baris puisi dalam aturan itu tidak selamnya dilaksanakan.
Prinsip dasar dari penerapan pendekatan parafratis adalah sebagai berikut:
a.       Gagasan yang sama dapat disampaikan lewat bentuk yang berbeda.
b.      Simbol-simbol yang bersifat konotatif dalam suatu cipta sastra dapat diganti dengan
lambing atau bentuk lain yang tidak mengandung ketaksaan makna.
c.       Kalimat-kalimat atau baris dalam suatu cipta sastra yang mengalami pelesapan dapat
dikembalikan lagi kepada bentuk dasarnya.
d.      Pengubahan suatu cipta sastra baik dalam hal kata maupun kalimat yang semula simbolis
dan elipsis menjadi suatu bentuk kebahasaan yang tidak lagi konotatif akan mempermudah upaya
seseorang untuk memahami kandungan makna dalam suatu bacaan.
e.       Pengungkapan kembali suatu gagasan yang sama dengan menggunakan media atau bentuk
yang tidak sama oleh seorang pembaca akan mempertajam pemahaman gagasan yang diperoleh
pembaca itu sendiri.
Dari prinsip pada butir 5 itu dapat disimpulkan juga bahwa penerapan pendekatan
parafrastis untuk mempermudah upaya pemahaman makna suatu bacaan, juga digunakan untuk
mempertajam, memperluas dan memperlengkapi pemahaman makna yang diperoleh oleh
pembaca itu sendiri. Sebab itu, dalam pelaksanaannya nanti, pendekatan parafrastis ini selain
dapat dilaksanakan pada awal dilaksanakan pada awal kegiatan merapresiasi satra, juga dapat
dilaksanakan setelah kegiatanapresiasi berlangsung.
B.     Pendekatan Emotif
Pendekatan emotif dalam mengapresiasi sastra adalah suatu pendekatan yang berusaha
menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau perasaan pembaca. Ajukan emosi itu dapat
berhubungan dengan keindahan penyajian bentuk maupun ajukan emosi yang berhubungan
dengan isi atau gagasan yang lucu dan menarik.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi adanya pendekatan emotif adalah bahwa rutinitas
masyarakat yang padat mengakibatkan kejenuhan sehingga memerlukan media untuk menghibur
dirinya, di antaranya menikmati cipta sastra itu sendiri. Oleh karena itu, diharapkan pembaca
dapat menemukan unsur-unsur keindahan maaupun kelucuan yang terdapat dalam suatu karya
sastra.
Selain berhubungan dengan masalah keindahan, juga unsur gaya bahasa dan pola
persajakan juga mempengaruhi suasana hati pembaca. Unsur gaya bahasa seperti metafora,
simile maupun penataanse tting mampu menghasilkan panorama yang menarik. Masalah pola
persajakan juga dapat menghasilkan penikmatan keindahan terhadap karya sastra karena dapat
menghadirkan unsur musikalitas yang merdu dan menarik. Penyajian keindahan dalam puisi,
selain lewat permainan bunyi sehingga dikenal adanya penyair yang auditif, dapat juga disajikan
secara visual, misalnya dengan membuat panorama yang menarik dan indah sehingga juga
dikenal adanya penyair yang visual.
Penikmatan itu lebih lanjut juga dengan berhubungan masalah pola persajakan dan
paduan bunyi yang lebih lanjut dan dapat mengahadiri unsur-unsur musikalitas yang merdu dan
menarik. Hal yang demikian dijumpai terutama pada karya-karya puisi karena pada abad ke-18
sampai ke-19 ada kecenderungan untuk menciptakan sair atau karya fiksi seperti halnya alunan
musik, misalnya sebuah puisi berbahasa Jerman dari penyair Tieck berbunyi: liebe denk in suzen
Tonen atau Dennn gedanken steh’n zu fern. Penyajian keindahan dalam puisi dalam keindahan
dalam puisi, selain lewat permainan bunyi sehingga dikenal adanya penyair yang auditif, dapat
juga disajikan secara visual. Salah satu bait puisi  Roestam Effendi dalam percikan perenungan,
misalnya, berbunyi:
Ditengah sunyi menderu rindu
Seperti topan. Merengggutkan dahan
Mencabutkan akar,
Meranggutkan kembang kalbuku
Untuk menemukan dan menikmati cipta satra yang mengandung kelucuan, anda tentunya
juga harus memilih cipta satra yang termasuk dalam ragam-ragam tertentu. Ragam itu misalnya
ragam humor, satirik, sarkasme, maupun ragam komedi.
C.    Pendekatan Analitik
Sewaktu berhadapan dengansebuah cipta sastra, pembaca dapat menampilkan
pertanyaan: unsur-unsur apakah yang membangun cipta sastra yang saya baca ini? Bagaimana
peranan setiap unsur itu dan bagaimana hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainya?
Dan bagaimakah cara memahaminya? Jika pembaca berusaha mencari jawaban dari keseluruhan
pertanyaan itu, pada dasarnya pembaca telah melaksanakan atau menerapkan pendekatan
analitis.
Pendekatan analitis merupakan suatu pendekatan yang berusaha memahami gagasan, cara
pengarang menampilkan gagasan atau mengimajikan ide-idenya, sikap pengarang dalam
menampilkan gagasan-gagasannya, elemen intrinsik dan mekanisme hubungan dari setiap
elemen intrinsik itu sehingga mampu membangun adanya keselarasan dan kesatuan dalam
rangka membangun totalitas bentuk maupun totalitas maknanya.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi munculnya pendekatan analitis adalah sebagai berikut.
a.       Cipta sastra itu dibentuk oleh elemen-elemen tertentu.
b.      Setiap elemen dalam cipta sastra memiliki fungsi tertentu dan senantiasa memiliki
hubungan antara yang satu dengan yang lainnya meskipun karakteristik berbeda.
c.       Dari adanya karakteristik setiap elemen itu, maka antara elemenyang satu dengan elemen
yang lain, pada awalnya dapat dibahasa secara terpisah meskipun pada akhirnya setiap elemen
itu harus disikapi sebagai suatu kesatuan.
Kegiatan mengapresiasi sastra dengan menerapkan pendekatan analitis dianggap sebagai
suatu kerja yang bersifat saintifik karena dalam menerapkan pendekatan ini, pembaca harus
memahami terlebih dahulu landasan teori tertentu, bersikap objektif dan menunjukkan hasil
analisis yang tepat, sistematis, dan diakui kebenarannya oleh umum. Namun, kegiatan analisis itu
tidak harus meliputi keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta sastra. Dalam hal ini,
pembaca dapat membatasi diri pada analisis struktur, diksi atau gaya bahasa, atau mungkin
analisis kebahasaaan dalam linguistik.
D.    Pendekatan Historis
Pendekatan historis merupakan suatu pendekatan yang menekankan pada pemahaman
tentang biografi pengarang, latar belakang peristiwa kesejarahan yang melatarbelakangi masa-
masa terwujudnya cipta sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan
penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman.
Prinsip dasar yang melatarbelakangi lahirnya pendekatan adalah anggapan bahwa cipta sastra
bagaimana pun juga merupakan bagian dari zamannya. Selain itu, pemahaman terhadap biografi
pengarang juga sangatpenting dalam upaya memahami kandungan makna dalam suatu cipta
sastra. Sebab itulah, telaah makna suatu teks dalam pendekatan sosio-semantik sangat
mengutamakan konteks, baik konteks sosio-budaya, situasi atau zaman maupun konteks
kehidupan pengarangnya sendiri.
Dalam telaah karya sastra Indonesia lewat pendekatan historis ini, pembaca dapat
memanfaatkan buku kritik dan esay dari H.B. Jassin, Ihtisar sejarah sastra Indonesia karangan
ajib rosidi, serta buku leksikon karangan  pemasuk Eneste, dan lain-lainya. Sebagai informasi
kesejarahan , tambahan, pembaca dapat juga melihat pada keterangan tentang biografi pengarang
yang terdapat dibagian belakang maupun esay-esay tentang kehidupan pengarang yang terdapat
dalam buku kumpulan karangan maupun majalah dan koran.
E.     Pendekatan Sosiopsikologis
Pendekatan sosiopsikologis adalah suatu pendekatan yang berusaha memahami latar
belakang kehidupan sosiobudaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap
pengarang terhadap lingkungan kehidupannya ataupun zamannya pada saat cipta sastra itu
diwujudkan. Pelaksananya pendekatan ini memang sering tumpang tindih dengan pendekatan
historis. Akan tetapi, selama masalah yang akan dibahas untuk setiap pendekatan itu dibatasi
dengan jelas, maka ketumpang tindihan itu pasti dapat dihindari.
Dalam pelaksanaannya, pendekatan sosio-psikologis berusaha memahami bagaimana
kehidupan sosial masyarakat pada masa itu, bagaimana sikap pengarang terhadap lingkungannya,
serta bagaimana hubungan antara cipta sastra itu dengan zamannya. Oleh karena itu, Sapardi
Djokodamono mengungkapkan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami selengkap- lengkapnya
apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan.
Contoh penerapan pendekatan sosiopsikologi itu misalnyakita membaca puisi Chairil
anwar “ Diponegoro” jika dalam pendekatan historis kita dapat membahasnya lewat pendekatan
tentang biografi pengarang peristiwa kesejahrahan yang terjadi pada masa itu, bagaimana sikap
pengarang terhadap lingkunganya serta hubungan antara cipta satra  iti dengan zamanya.
Sehubungan dengan penerapan pendekatan sosio psikologis itu, terdapat anggapan bahwa
cipta sastra merupakan kreasi manusia yang terlibat dalam kehidupan serta mampu menampilkan
tanggapan evaluatif terhadapnya. Sebab itulah dengan mengutip pendapat Grebstein, Spardi
djokodamono mengungkapkan bahwa karya satra tidak dapat dipahami selengkap-lengkapnya
apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan.
F.     Pendekatan Didaktis
Pendekatan didaktis adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan dan memahami
gagasan, tanggapan maupun sikap pengarang terhadap kehidupan,. Gagasan, tanggapan maupun
sikap itu dalam hal ini akanmampu terwujud dalam suatu pandangan etis, filosofis, maupun
agamis sehingga akan mengandung nilai-nilai yang mampu memperkaya kehidupan rohaniah
pembaca.
Pendekatan didaktis ini pada dasarnya juga merupakan suatu pendekatan  yang telah
beranjak jauh dari pesan tersurat yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Sebab itulah penerapan
pendekatan didaktis dalam apresiasi sastra akan menuntut daya kemampuan intelektual,
kepekaan rasa, maupun sikap yang mampan darri pembacanya.
Bagi pembaca pada umumnya, penerapan pendekatan didaktis dalam tingakatan
pemilihan bahan yang sesuai dengan pengetahuan maupun tingkat kemantangannya akan terasa
lebih banyak mengasikkan, hal itu terjadi karena pembaca umumnya berusaha mencari petunjuk
dan keteladanan lewat teks yang dibaca. Akan tetapi pada sisi lain pada sikap  itu juga berkontras
dengan sikap tidak senangnya jika harus menerima pesan, petuah atau nasihat dari orang lain
yang bernada mengurui . sebab dengan itulah dengan menemukan nilai-nolai kehidupan lewat
yang difikirkan nilai-nilai kehidupan lewat daya fikir kritisnya sendiri, nilai yang dapat akan
lebih mengendap pada aspek kejiwaanya serta lebih menikmatkan batinnya.
Penggunaan pendekatan didaktis  ini diawali dengan upaya  pemahaman satuan-satuan
pokok  pikiran yang terdapat dalam suatu cipta sastra. Satuan pokok pikiran itu pada dasarnya
disarikan dari paparan gagasan pengarang, baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog,
lakuan maupun deskripsi peristiwa dari pengarang, baik berupa atau penyairnya. Dalam
penerapan pendekatan didaktis ini, sebagai pembimbing kegiatan berfikirnya, pembaca dapt
berangkat dari berpola berfikir, misalnya jika malin kundang itu akhirnya mati, karena durhaka
kepada ibunya, maka dalam hidupnya manusia itu harus bersikap baik kepda orang tua.
Pelaksanaannya, pendekatan didaktis menuntut daya kemampuan intelektual, kepekaan
rasa, maupun sikap yang mapan dari pembacanya. Bagi pembaca pada umumnya, penerapan
pendekatan didaktis dalam tingkatan pemilihan bahan yang sesuai dengan pengetahuan maupun
tingkat kematangannya akan terasa lebih mengasyikkan. Hal itu terjadi karena pembaca
umumnya berusaha mencari petunjuk dan keteladanan lewat teks yang dibaca. Penggunaan
pendekatan ini diawali dengaan upaya pemahaman satuan-satuan pokok pikiran yang terdapat
dalam suatu cipta sastra. Satuan pokok pikiran itu pada dasarnya disarikan dari paparan gagasan
pengarang, baik berupa tuturan ekspresif, komentar, dialog, lakuan maupun deskripsi peristiwa
dari pengarang atau penyairnya.
Contoh dari pendekatan didaktis dalam kegiatan mengapresiasikan puisi misalnya kita membaca
puisi  Goenawan Muhammad berjudul “tahunpun turun membuka sayapnya”
Tahunpun turu membuka sayapnya
Keluas jauh benua-benua
Dan laut membias: warna biru langit semesta
Dan zaman menderas: manusia tetap setia
Misalnya, dari puisi diatas kita dapat menentukan satuan-satuan pokok pikiran yang mmeliputi
(1) waktu itu senantiasa berjalan dan terus berganti (2) kehidupan yang indah ini senantiasa
membukakan diri bangi manusia untuk menhayatinya, dan (3) meskipun zaman terus berjalan
dengan cepat, manusia juga tetap setia mengisi kehidupannya.
Bekal Awal dalam Apresiasi
Karya sastra Prosa memiliki berbagai macam unsur yang sangat kompleks, antara lain (1)
unsur keindahan, (2) unsur kontemplatif yang berhubungan dengan nilai-nilai atau renungan
tentang keagamaan, filsafat, politik, serta berbagai macam komplesitas permasalahan
kehidupan,  (3) media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun struktur wacana, serta
(4) unsur-unsur intrinsik yang berhubungan dengan ciri karakteristik karya sastra itu sendiri
sebagai suatu teks.
Bekal awal yang harus dimiliki oleh seorang calon apresitor adalah (1) kepekaan emosi
atau perasaan sehingga pembaca mampu memahami dan menikmati unsu-unsur keindahan yang
terdapat dalam karya sastra, (2) pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan
dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan, baik lewat penghayatan kehidupan ini secara
intensif-kontemplatif maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah
humanitas, misalnya buku filsafat dan psikologi, (3) pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan
(4) pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik karya sastra yang akan berhubungan dengan
telaah teori sastra.
 Pentahapan dalam Apresiasi Sastra
a.       Tahap Pertama
Seorang apresiator membiarkan pikirannya, perasaan dan daya khayalnya mengembara
sebebas mungkin mengikuti apa yang dimaui oleh pengarang karya sastra yang dibacanya. Pada
tahap ini apresiator belum mengambil sikap kritis terhadap karya sastra yang dibacanya.
b.      Tahap Kedua
Seorang apresiator menghadapi karya sastra secara intelektual. Ia menanggalkan perasaan
dan daya khayalnya, dan berusaha memahami karya sastra tersebut dengan cara menyelidiki
karya sastra dari unsur-unsur pembentuknya. Ini berarti, apresiator memandang karya sastra
sebagai suatu struktur. Pada tahapan ini, penyelidikan unsur-unsur karya sastra oleh apresiator
dimaksudkan untuk mendekatkan diri pada karya sastra itu.
c.       Tahap Ketiga
Apresiator memandang karya sastra dalam kerangka historisnya. Artinya, ia memandang
karya sastra sebagai pribadi yang mempunyai ruang dan waktu. Dalam pandanganya, tidak ada
karya sastra yang tidak diciptakan dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan kata lain, pada
tahapan ini seorang apresiator mencoba memahami karya sastra dari unsur sosial budaya, situasi
pengarang, dan segala hal yang melatarbelakangi karya sastra itu diciptakan.
Lalu, bagaimana sikap apresiator yang baik? Apresiator yang baik adalah apresiator yang dapat
menerapkan ketiga tahapan tersebut secara padu, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam
karya sastra itu benar-benar ia pahami dengan membiarkan perasaannya, mencoba menyelidiki
unsur-unsurnya, dan berusaha pula memahami situasi sosial budaya saat karya sastra tersebut
diciptakan.
 Manfaat Apresiasi
Dalam sebuah pertemuan sastra, seorang yang biasa bergelut di bidang
eksak  menyatakan bahwa orang yang membaca karya prosa sedang melakukan pekerjaan yang
sia-sia dan tak ada artinya karena menghabiskan waktu hanya untuk membaca khayalan.
Prosa-fiksi memang merupakan cerita rekaan, khayalan. Ia adalah hasil imajinasi pengarangnya.
Namun, benarkah imajinasi tak ada manfaatnya? Tentu saja pendapat ini tidak benar sebab jika
mau disadari, kehidupan dunia berkembang karena imajinasi orang-orang jenius. Sebagai contoh,
bukankah teori gravitasi bumi ditemukan ilmuwan Issac Newton karena imajinasinya setelah
melihat buah apel jatuh dari pohonnya? Penemuan-penemuan di bidang teknologi pun pada
awalnya terjadi karena imajinasi. Dari mulai penemuan kapal terbang hingga pesawat ulang alik,
dari televisi hingga program-program komputer paling canggih saat ini, pada awalnya terjadi
karena imajinasi. Juga, bukankah lambang-lambang yang digunakan dalam bidang matematika,
angka-angka misalnya, adalah bentuk-bentuk imajinasi?
Dengan bukti-bukti di atas, tentulah kita tak bisa menganggap remeh imajinasi. Imajinasi
sangat bermanfaat dalam kehidupan, termasuk imajinasi yang ada dalam cerita rekaan (karya
fiksi). Cerita rekaan, karena mengandung imajinasi, dapat memperkaya imajinasi pembacanya.
Kekayaan imajinasi ini akan membantu manusia lebih cerdas dan kreatif dalam membangun
kehidupan. Di samping itu, sudah menjadi naluri/kebutuhan manusia menyukai cerita. Dalam
berbagai masyarakat tradisional, muncul cerita-cerita mythe, legenda, dan lain-lain. Orang pun
bisa tahan berjam-jam (bahkan semalam suntuk) untuk menonton pertunjukan wayang. Lalu
mengapa, orang bisa tahan membaca novel seharian sementara membaca buku-buku ilmu
pengetahuan cepat merasa jenuh?
Hal itu terjadi karena dari cerita rekaan/prosa-fiksi orang mendapat hiburan. Tetapi,
manfaat cerita prosa lebih dari itu. Ia tidak hanya menghibur, tetapi juga berguna, atau yang
diistilahkan filsuf Horace, dulce et utile.
Cerita prosa bukan hanya berfungsi sebagai sarana hiburan. Cerita prosa adalah sarana
kita untuk bercermin tentang kehidupan. Benar bahwa yang disajikan dalam cerita prosa adalah
hasil imajinasi pengarang. Akan tetapi, imajinasi tersebut adalah hasil olahan pengarang dari apa
yang dihayatinya dari realitas (kenyataan). Dalam karya prosa, sesungguhnya pengarang
menyuguhkan kembali hasil pengamatan dan pengalamannya kepada pembaca. Pengalaman
yang disuguhkannya itu adalah pengalaman yang sudah melalui proses perenungan dan
pemahaman yang lebih tajam dan dalam. Dengan demikian, tatkala pembaca mambaca karya
prosanya, ia mendapatkan suatu pandangan baru tentang kehidupan yang memperkaya
amatannya terhadap kehidupan yang ia kenal sehari-hari. Dalam kaitan ini, karya prosa
sesungguhnya membantu pembaca untuk lebih memahami kehidupan dan memperkaya
pandangan-pandangan tentang kehidupan.
Memang, hal seperti ini bisa pula didapatkan dari bidang-bidang lain, filsafat misalnya,
tapi, karena karya prosa menyuguhkannya dalam bentuk cerita, lewat penggambaran peristiwa-
peristiwa, lewat penggambaran tokoh-tokohnya yang bermacam-macam karakter, dan lain-lain,
gambaran tentang kehidupan itu akan terasa lebih hidup dan lebih menyentuh.
Selain itu, tidak semua hal dalam hidup ini bisa kita alami sendiri. Apa yang tidak bisa dan tidak
sempat kita alami itu dapat diperoleh melalui prosa. Tidak semua orang tahu bagaimana
kehidupan kaum gembel atau kehidupan di perkampungan-perkampungan kumuh. Namun,
melalui cerpen-cerpen Gerson Poyk atau Joni Ariadinata misalnya, pembaca mendapat gambaran
tentang kehidupan masyarakat kelas underdog tersebut. Atau contoh lainnya, tak semua orang,
terutama generasi sekarang, tahu tentang keadaan masyarakat Indonesia di zaman Jepang.
Melalui cerpen-cerpen karya Idrus, orang mendapat gambaran itu. Benar bahwa hal itu bisa
diperoleh melalui sejarah atau sosiologi. Tetapi, sekali lagi, dari prosa kita akan mendapat
gmbaran itu secara lebih hidup dan lebih menyentuh sebab prosa menyuguhkannya dalam segala
sisinya: perasaan-perasaannya, harapannya, penderitaannya, dan lain-lain. Adapun sejarah atau
sosiologi hanya menyajikannya pada tingkat formal. Dengan demikian, karya prosa
sesungguhnya memperkaya wawasan dan pengetahuan pembacanya.
Media pengungkapan karya prosa adalah bahasa. Dalam menyajikan cerita dalam
karyanya, pengarang berupaya menyuguhkannya dalam bahasa yang dapat menyentuh jiwa
pembacanya. Untuk mencapai hal itu, para pengarang berupaya mengolah bahasa dengan sabaik-
baiknya dan sedalam-dalamnya agar apa yang disampaikannya kuat mengena di hati pembaca.
Mereka mencari kosakata-kosakata yang tepat yang dapat mewakili apa yang mereka inginkan,
menciptakan ungkapanungkapan baru, menvariasikan struktur kalimat, memberi
penggambaranpenggambaran yang hidup dengan bahasa, dan seterusnya. Dengan membaca
karya yang telah mengandung bahasa yang terolah tersebut, pembaca diperkaya bahasanya,
diperkaya rasa bahasanya, dan sebagainya.
Tentulah masih banyak manfaat-manfaat dari membaca (mengapresiasi) karya prosa.
Intensitas kita membaca karya prosa, pada gilirannya akan mempertajam kepekaan kita;
kepekaan sosial, kepekaan religi, kepekaan budaya, dan lain-lain.
c. Apresiasi Drama
Hakikat Apresiasi Drama
a.    Pengertian Apresiasi Drama
Yang dimaksud dengan apresiasi drama ialah kegiatan membaca, menonton, menghayati,
memahami, atau menghargai karya drama (Efendi, 2002: 3). Dengan mengapresiasi drama
diharapakan kita akan bisa menghayati karakter tokoh – tokoh drama.
Dengan menghayati tokoh dan perkembangan permasalahan dalam drama, pembaca
dapat memahami dengan baik keputusan-keputusan yang diambil oleh tokoh drama,
perkembangan karakter tokoh, dan motivasi yang mendorong sang tokoh untuk bertindak
sesuatu. Dengan pemahaman seperti inilah, sang apresiator dapat memberikan penghargaan
secara tepat atas karya drama yang dibacanya.
b.    Persiapan Apresiator Drama
Kegiatan mengapresiasi drama akan berlangsung optimal kalau apresiator mempunyai
bekal yang memadai untuk melakukannya. Semakin lengkap dan maksimal bekalnya, akan
semakin baik kegiatan apresiasi yang dilakukannya. Bekal yang dimaksud adalah: (1) bekal
pengetahuan, (2) bekal pengalaman, dan (3) bekal kesiapan diri.
Menurut Efendi (2002: 7), mengatakan bahwa seorang apresiator yang memiliki bekal
pengetahuan yang luas dan mendalam akan mampu mengapresiasi sebuah karya drama secara
mendalam. Sebaliknya, seorang apresiator yang memiliki bekal pengetahuan yang sempit dan
terbatas tentu hanya akan mampu mengapresiasi sebuah karya drama secara dangkal pula. Bekal
pengetahuan tersebut meliputi: (1) pengetahuan tentang drama, (2) pengetahuan tentang manusia,
(3) pengatahuan tentang kehidupan, dan (4) pengetahuan tentang bahasa.
Seorang apresiator drama idealnya, memiliki pengetahuan yang memadai tentang drama,
misalnya pengertian drama, unsur-unsur pembentuk drama, jenis-Jenis drama, sejarah
perkembangan drama, dan pementasan drama (teater). Pengetahuan tentang pengertian drama
akan memberikan wawasan kepada apresiator bahwa drama berbeda dengan fiksi (cerita).
Dengan demikian, ia pun akan memperlakukan karya drama berbeda dengan karya fiksi.
Seorang apresiator juga dituntut untuk memiliki bekal kesiapan diri yang baik pula.
Kesiapan diri sang apresiator itu meliputi kesiapan fisik dan kejiwaan. Kesiapan fisik meliputi
kesehatan dan kebugaran sang apresiator. Sebab dalam keadaan sakit atau lelah seorang
apresiator tidak akan mampu mengerahkan seluruh kemampuannya dengan baik. Dengan
demikian sang apresiator tidak akan mampu menghadapi karya yang dibacanya secara optimal.
Tidak hanya kesiapan fisik dan jiwa, tetapi bekal kesiapan akal pikiran sangat penting,
karena hanya dengan kesipan akal pikiran yang prima itulah sang apresiator mampu memikirkan
segala yang ditemukannya dalam drama secara kritis dan objektif. Hal itulah yang akan
membawa sang apresiator pada tingkat pemahaman drama yang mendalam dan utuh.
E.  Pendekatan Apresiasi Drama
Terdapat empat pendekatan yang bisa digunakan dalam mengapresiasi drama, yaitu: (1)
pendekatan objektif, (2) pendekatan mimesis, (3) pendekatan genetis, dan (4) pendekatan
pragmatis (Efendi, 2002:10-11).
1. Pendekatan objektif ialah pendekatan yang memandang karya drama sebagai karya yang
sudah utuh dan mandiri. Artinya karya drama dapat dibaca dan dipahami tanpa harus
mengaitkan dengan semesta (kehidupan di sekitar kita) sebagai sumber penciptaanya, dan
masyarakat pembaca sebagai penikmatnya. Menurut pendekatan ini karya drama dapat
dipahami hanya dengan membaca naskah itu sendiri.
2. Pendekatan mimesis ialah pendekatan yang memandang karya drama sebagai hasil cipta
manusia yang ditulis berdasarkan bahan-bahan yang diangkat dari semesta (pengalaman
hidup penulis atau hasil penghayatan penulis atas kehidupan di sekitarnya). Untuk itu,
sebuah karya drama mustahil dipahami tanpa mengaitkannya dengan semesta sebagai
sumber penciptaannya. Dengan kata lain, untuk dapat memahami drama secara mendalam
diperlukan kegiatan mendialogkan secara terus-menerus antara penghayatan dan
pemahaman terhadap apa yang ditulis penulis dalam drama yang dibaca dengan pengetahuan
dan pengalaman hidup sang apresiator (Efendi, 2002: 11).
3. Pendekatan genetis adalah pendekatan yang memandang karya drama sebagai hasil cipta
seorang penulis drama. Untuk itu pemahaman atas karya tersebut tidak mungkin dilakukan
tanpa mengaitkannya dengan si penulisnya itu sendiri. Dengan demikian, untuk bisa
memahami dengan baik dan mendalam sebuah naskah drama, sang apresiator perlu
membekali diri dengan pengetahuan tentang penulis drama tersebut.
4. Pendekatan pragmatis ialah pendekatan yang memandang karya drama sebagai sesuatu yang
baru bermakna kalau sudah berhadapan dengan masyarakat pembaca atau penonton. Karya
drama baru punya nilai kalau dapat diterima oleh masyarakat pembacanya. Agar dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat pembaca, sebuah karya drama harus mempunyai
makna bagi masyarakat pembacanya, mempunyai manfaat tertentu bagi pembacanya.
Manfaat karya drama tersebut bagi masyarakat pembacanya antara lain, menghibur, dapat
memberikan tambahan pengetahuan atau pengalaman tertentu kepada pembaca, atau dapat
menjadi media berkaca diri bagi pembacanya.

F.   Kegiatan dalam Mengapresiasi Drama


Kegiatan apresiasi drama secara umum dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni
kegiatan (1) apresiasi secara reseptif, dan (2) apresiasi drama secara produktif (Efendi, 2002:13).
Dalam apresiasi drama secara reseptif fokus kegiatan adalah pada pemahaman dan penghayatan
karya drama. Sementara dalam kegiatan apresiasi drama secara produktif fokus utamanya adalah
pada pemahaman dan pemberian tanggapan terhadap karya drama, misalnya dalam bentuk
pemberian tanggapan secara tertulis.
Apresiasi drama secara produktif lebih lanjut juga dapat dihubungkan dengan kegiatan
pementasan drama sebagai kegiatan yang bukan semata-mata bersifat produktif tetapi juga
rekreatif. Disebut juga bersifat rekreatif karena dalam pementasan tersebut seseorang bukan
sekedar berperan sebagai penikmat tetapi juga berperan dalam mengkreasikan ulang karya drama
dari karya naskah menjadi karya pentas. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Efendi (2002:
13).
Menurut Efendi (2002: 13-14) mengatakan bahwa ditinjau dari aktivitas batiniahnya,
terdapat tiga tahapan pokok dalam mengapresiasi drama, yaitu (1) keterlibatan jiwa sang
apreisator, (2) pemahaman dan penghargaan terhadap cara-cara penulisan yang digunakan oleh
sang penulis, dan (3) pendialogan antara hasil pemahamannya terhadap drama yang dibaca
dengan hasil pengamatan, penghayatan, dan pemahamannya terhadap kehidupan sekitarnya.
Keterlibatan jiwa sang apresiator ini penting agar sang apresiator dapat merasakan dengan baik
ucapan tokoh, pemikiran tokoh, tindakan, dan sikap tokoh dalam menghadapi perubahan karakter
tokoh, dan nasib yang dialami oleh seorang tokoh.
Pengahayatan yang mendalam terhadap segala yang terjadi dan terdapat dalam karya
drama sebaiknya tidak membuat sang apresiator larut. Larut jiwa sang apresiator akan membuat
sang apresiator tidak bisa bersikap kritis terhadap apa yang dibacanya. Larutnya kejiwaan hanya
akan membuat sang apresiator menangis, tertawa, sedih, atau jengkel, tetapi tidak mampu
memberikan penilaian terhadap drama yang dibacanya secara kritis dan objektif. Sementara itu,
untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan mendalam terhadap sebuah karya drama sikap
objektif dan kritis sangat diperlukan.
Sikap objektif dan kritis hanya bisa dilakukan oleh sang apresiator kalau sang apresiator
tetap bisa menjaga kesadarannya selama membaca drama tersebut. Sebab, dengan kesadaran
yang penuh sang apresiator dapat selalu menggunakan pengetahuan, pengalaman, dan pikirannya
untuk menilai dan mengkritisi segala hal yang ditemukan dalam drama yang dibacanya (Efendi,
2002: 14).

Anda mungkin juga menyukai