Anda di halaman 1dari 11

Bab 1

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi seorang pengarang
terhadap gejala-gejala sosial di lingkungan sekitarnya. Karya sastra diciptakan pengarangnya
untuk menyampaikan sesuatu kepada penikmat karyanya. Sesuatu yang ingin disampaikan
pengarang adalah perasaan yang dirasakan saat bersentuhan dengan kehidupan sekitarnya.

Namun, pengarang bukanlah sekadar memindahkan apa yang disaksikan dalam


kehidupan ini ke dalam karyanya, lebih dari itu. Pengarang memberikan isi dan sekaligus
menafsirkan sesuai dengan keyakinan dan cita-citanya. Dengan karyanya, pengarang berusaha
mengungkapkan manusia dengan penderitaannya, nafsunya, perjuangannya, cita-citanya dan
sebagainya (Suharianto, 1982:11).

Telaah sastra merupakan tahap awal dalam penelitian karya sastra yang harus dilakukan
untuk mengetahui karya sastra itu berkualitas apa tidak, tetapi untuk mengetahui hal tersebut
tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja melainkan harus dari semua elemen secara
keseluruhan. Analisis struktural sastra disebut juga pendekatan objektif dan menganalisis unsur
intrinsiknya, Fananie (2000: 112) mengemukakan bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan
yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan.

Kehadiran strukturalisme telah mengalami evolusi yang panjang dan dinamis yang
menghasilkan banyak konsep serta istilah yang berbeda-beda. Sampai sekarang penelitian
struktural masih banyak digunakan di berbagai perguruan tinggi. Strukturalisme hadir sebagai
upaya melengkapi penelitian sastra yang ekspresivisme dan berbau historis. Para pemikir yang
tergolong strukturalis diantaranya: Robert Stanton, Rochmat Djoko Pradopo, Ferdinand de
Saussure, Levi Strauss, Goldman, Propp, Barthes dan lainya.

B. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Untuk latar belakang aliran Strukturalsime


2. Untuk mengetahui cakupan teori Robert Stanton

1
Bab 2
Pembahasan

A. Pengertian dan Analisis Teori Struktural

Telaah sastra merupakan tahap awal dalam penelitian karya sastra yang harus dilakukan
untuk mengetahui karya sastra itu berkualitas apa tidak, tetapi untuk mengetahui hal tersebut
tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja melainkan harus dari semua elemen secara
keseluruhan. Analisis struktural merupakan salah satu cara untuk mengetahui kualitas sastra, dan
merupakan jembatan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam karya sastra. Oleh
karena itu, peneliti hendaknya tidak terjebak dalam analisis struktural sebab tujuan utama dalam
penelitian adalah mengkaji makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra.

Fananie (2000: 76) penilaian karya sastra yang baik tidak hanya dinilai berdasarkan pada
salah satu elemennya melainkan harus dilihat secara keseluruhan. Oleh karena itu, karya sastra
yang hanya bagus dalam salah satu aspeknya, belum dapat dikatakan sebagai sastra yang
berkualitas atau sastra yang baik, begitu juga sebaliknya.

Analisis struktural sastra disebut juga pendekatan objektif dan menganalisis unsur
intrinsiknya, Fananie (2000: 112) mengemukakan bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan
yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan. Pendekatan yang dinilai dari
eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konveni sastra yang berlaku.

Konvensi tersebut misalnya, aspek-aspek instrinsik sastra yang meliputi kebulatan


makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot (setting), karakter. Yang jelas, penilaian yang
diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut berdasarkan
keharmonisan semua unsur pembentuknya.

Pada aspek ini semua karya sastra baru bisa disebut bernilai apabila masing-masing unsur
pembentuknya (unsur intrinsiknya) yang tercermin dalam strukturnya, seperti tema, karakter,
plot (setting). Bahasa merupakan satu kesatuan yang utuh. Kesatuan yang mencerminkan satu
harmonisasi sebagaimana yang dituntut dalam kriteria estetik. Sebuah struktur mempunyai tiga
sifat yaitu totalitas, trasformasi, dan pengaturan diri.

Transformasi yang dimaksud bahwa struktur terbentuk dari serangkaian unsur, tetapi
unsur-unsur itu tunduk kepada kaidah-kaidah yang mencirikan sistem itu sebagai sistem. Dengan
kata lain, susunannya sebagai kesatuan akan menjadi konsep lengkap dalam dirinya.
Transformasi dimaksudkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur
dan mengakibatkan hubungan antarstruktur menjadi berubah pula. Pengaturan diri dimaksudkan
bahwa sruktur itu dibentuk oleh kaidah-kaidah instrinsik dari hubungan antarunsur yang akan
mengatur sendiri bila ada unsur yang berubah atau hilang (Peaget dalam Sangidu, 2004: 16).
Transformasi yang terjadi pada sebuah struktur karya sastra bergerak dan melayang-layang
dalam teksnya serta tidak menjalar keluar teksnya. Karya sastra sebagai sebuah struktur
merupakan sebuah bangunan yang terdiri atas berbagai unsur, yang satu dengan yang lainnya
saling berkaitan. Karena itu, setiap perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan

2
mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah. Perubahan hubungan antarunsur pada
poisinya itu secara otomatis akan mengatur diri (otoregulasi) pada posisinya semula (Peaget
dalam Sangidu, 2004: 16).

Struktur bukanlah suatu yang statis, tetapi merupakan suatu yang dinamis karena
didalamnya memiliki sifat transformasi. Karena itu, pengertian struktur tidak hanya terbatas pada
struktur (structure), tetapi sekaligus mencakup pengertian proses menstruktur (structurant)
(Peaget dalam Sangidu, 2004: 16). Dengan demikian, teori struktural adalah suatu disiplin yang
memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling
berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.

Menurut Jabrohim (2003:55) dalam menganalisis strukturalisme suatu karya sastra, hanya
memusatkan perhatian pada otonomi sastra sebagai karya fiksi. Artinya, penyerahan pemberian
makna karya sastra yang dimaksud terhadap eksistensi karya itu sendiri, tanpa mengaitkan
dengan unsur-unsur di luar signifikansinya. Hal ini dikarenakan strukturalisme tergolong
pendekatan objektif yang hanya mengkaji karya sastra itu sendiri.

Sejalan dengan pendapat itu, Teeuw (dikutip Jabrohim, 2003:55) menyatakan bahwa
analisis struktural merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum ia melangkah
pada hal-hal lain. Hal itu berdasarkan anggapan bahwa pada dasarnya karya sastra merupakan
“dunia dalam kata” yang mempunyai makna intrinsik yang hanya dapat digali dari karya sastra
itu sendiri. Jadi, untuk memahami makna karya sastra secara optimal, analisis strukturalisme
yaitu unsur pembangun terhadap karya sastra adalah suatu tahap yang sulit dihindari atau secara
lebih ekstrem hal itu harus dilakukan.

B. Kelahiran Teori Robert Stanton

Kehadiran strukturalisme dalam penelitian sastra pada mulanya hadir di Perancis,


menurut Eagleton dan tumbuh subur pada tahun 1960-an. Meskipun demikian, sesungguhnya
strukturalisme telah ada sejak zaman Yunani dimana Aritoteles telah mengenalkan
strukturalisme dengan konsep: Wholeness, unity, complexity, dan coherence. Strukturalisme
pada dasarnya merupakan paham filsafat dan cara berfikir tentang dunia, terutama berhubungan
dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Memandang dunia sebagai realitas berstruktur
sebagai suatu hal yang tertib dan sebuah relasi serta keharusan. Dalam pandangan ini karya
sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur saling terkait satu sama lain.

Pertumbuhan strukturalisme diawali dengan hadirnya buku Course in General Linguistic


di Perancis (1916) yang ditulis oleh Ferdinand de Saussure yang menyikapi bahasa sebagai suatu
sistem tanda yang dikaji secara sinkronik dan diakronik.[1] Selain srtukturalisme Perancis,
strukturalisme juga muncul di Amerika Serikat setelah munculnya aliran New Criticism dan di
Jenewa dengan nama strukturalisme Praha. Strukturalisme Perancis atau biasa disebut dengan
strukturalisme klasik berakar pada kajian Linguistik Saussere yang lebih menekankan analisisnya
pada bahasa, antropologi budaya Levi Strauss dan dan formalisme; strukturalisme Amerika
diwarnai oleh new criticism yang lebih menekankan pada isi. Sementara strukturalisme Praha
3
berakar pada fenomenologi, hermeneutika, dan madzab sekolah Jenewa serta lebih menekankan
pada aspek tanda atau sign .

Kehadiran strukturalisme telah mengalami evolusi yang panjang dan dinamis yang
menghasilkan banyak konsep serta istilah yang berbeda-beda. Sampai sekarang penelitian
struktural masih banyak digunakan di berbagai perguruan tinggi. Strukturalisme hadir sebagai
upaya melengkapi penelitian sastra yang ekspresivisme dan berbau historis. Para pemikir yang
tergolong strukturalis diantaranya: Robert Stanton, Rochmat Djoko Pradopo, Ferdinand de
Saussure, Levi Strauss, Goldman, Propp, Barthes dan lainya.

C. Konsep Dasar Teori Robert Stanton


Teori struktural yang digunakan untuk menganalisis adalah teori struktural Robert
Stanton. Stanton membagi unsur intrinsik fiksi menjadi dua bagian, yaitu: fakta cerita dan sarana
cerita. Ia membagi unsur fakta cerita menjadi empat, yaitu alur, tokoh, latar, dan tema.
Sedangkan sarana cerita terdiri dari judul, sudut pandang, gaya bahasa dan nada, simbolisme,
dan ironi.

C.1 Fakta Cerita


Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi
sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua
elemen ini dinamakan „struktur faktual‟ atau „tingkatan faktual cerita. Struktur faktual
merupakan salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut
pandang (Stanton, 2007:22). Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagia
berikut:
 Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah
alur biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa
kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau yang menjadi dampak dari berbagai
peristiwa lain yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya
(Stanton, 2007:26).
Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat
membuktikan dirinya sendri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Sebuah
cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-
peristiwa yang mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya
dengan elemen-elemen lain, alur alur memiliki hukum-hukum sendir; alur hendaknya memiliki
bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinan dan logis, dapat menciptakan bermacam-
macam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan (Stanton,
2007:28). Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‟konflik‟ dan ‟klimaks‟. Konflik
utama selalu bersifat fundamental, membenturkan ‟sifat-sifat‟ dan ‟kekuatan-kekuatan‟ tertentu.
(Stanton, 2007:32).

4
Menurut Soediro Satoto, 1996: 28-29 sorot balik (flashback), yaitu urutan tahapannya
dibalik seperti halnya regresif. Teknik flashback jelas mengubah teknik pengaluran dari yang
progresif ke regresif. Berbeda dengan teknik tarik balik (backtracking), jenis pengalurannya tetap
progresif, hanya saja pa da tahap-tahap tertentu, peristiwanya ditarik ke belakang. Jadi yang
ditarik kebelakang hanya peristiwanya (mengenang peristiwa yang lalu) tetapi alurnya tetap alur
maju atau progresif.
Dalam drama “Domba-domba Revolusi” karya B. Soelarto ini alur yang digunakan
adalah alur maju. Cerita berjalan sesuai dengan langkah-langkhanya. Dumulai dari perkenalan,
konflik awal, puncak konflik, klimaks, dan penyelesaian. Perkenalan dimulia ketika Perempuan
(pemilik) losmen kedatangan tamu-tamu dari luar (penyair, pedagang, petualang, dan politikus).
Kemudian terjadi konflik awal antara masing-masing tokoh yang memiliki karakter berbeda.
Puncak konflik terjadi saat Perempuan mencoba memberikan tanda pada penyair yang
menutarakan rasa cintanya. Berlajut dengan kedatangan kembali petualang setelah berhasil
menyingkirkan kuedua rekan komplotannya (pedangang dan politisi). Klimaks nya ketika
petualang juga mencoba menipu perempuan, seperti yang ia lakukakan pada kedua teman
komlotannya. Terakhir, penyelesaian pada darama ini ketika si perempuan membunuh serdadu
dan mencoba membunuh petualang yang dianggapnya sebagai pengkhianat bangsa. Alur maju
memang sangat cocok digunakan pada drama yang bergenre semiaction ini. Alur maju
mempermudah penonton untuk memahami dan menarik amanat pada drama ini. Secara tekstual,
alur maju juga mempermudah pembaca untuk memberikan interpretasi terhadap teks yang
dikajinya.
 Tokoh atau Karakter
Tokoh atau biasa disebut „karakter‟ biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks
pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua,
karakter merujuk pada berbagai percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan
prinsip moral dari individu-individu tersebut. Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu
“tokoh utama‟ yaitu tokoh yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita.
Alasan seorang tokoh untuk bertindak sebagaimana yang dilakukan dinamakan „motivasi‟
(Stanton, 2007:33).
Pada drama “Domba-domba Revolusi” karya B. Soelarto ini ada enam tokoh utamanya.
Masing-masing adalah Perempuan, Penyair, Petualang, Pedagang, Politikus, dan Serdadu. Tokoh
Perempuan mewakili karakter pejuang perempuan. Dalam drama ini, perempuan memiliki sifat
yang begitu keras dan tidak akut terhadap ancaman dari laki-laki. Hal inilah yang kemudian
membawa perempuan menajdi tokoh sentral dalam drama ini. Tokoh selanjutnya adalah penyair.
Sosok yang digambarkan sebagai manusia yang tidak jelas dan agak “ugal-ugalan” dari
penampilnnya. Namun, penampilanya itu bertolah belakng dengan sikapnya. Dibandingkan
tokoh lain yang digambarkan dengan penampilan nasionalis, sosok penyair justru lebih. Ia
membawa sebuah paradigma baru bahwa tidak selamanya sesuatu yang diluarnya jelek itu,
mewakili isi dalamnya. Buktinya penyair yang diluarnya jelek, namun di dalam hatinya begitu
mulia dan sangat nasionalis.

5
Tokoh selanjutnya adalah Petualang. Dalam drama ini, sosok antagonis sangat tepat
disarangkan pada tokoh ini. Kelicikanya begitu terlihat pada drama ini. Sosok berikutnya adalah
pedagang dan politikus. Kedua tokoh ini memiliki pean yang sama. Keduanya sama-sama
menjadi “tameng” untuk melancarkan niat busuk Petualang. Dan akhirnya, kedua tokoh ini harus
meninggal karena kebodohannya. Tokoh selanjutnya yang merupakan tokoh pelangkap adalah
serdadu. Perannya kurang terlihat pada drama ini. Fungsinya lebih menjurus untuk mewakili
sikap bangsa penjajah yang suka “menikmati” perempuan Indonesia.
Kelebihan pada drama ini terletak pada kemampuan penulis memainkan karakter tokoh. Penulis
mampu menganalogikan antara tokoh pada drama dengan realitas. Dalam drama ini, tokoh-tokoh
yang ada mewakili realitas orang-orang yang ada pada masa perjuangan merebut kemerdekaan.
Ada yang nasionalis dan ada pula yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
 Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang
berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlansung. Latar dapat berwujud dekor.
Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu. Latar terkadang berpengaruh pada karakter-
karakter. Latar juga terkadang menjadi contoh representasi tema. Dalam berbagai cerita dapat
dilihat bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mode emosional yang
melingkupi sang karakter. Toneemosional ini disebut dengan istilah „atmosfer‟. Atmosfer bisa
jadi merupakan cermin yang merefleksikan suasana jiwa sang karakter (Stanton, 2007:35-36).
Latar yang digunakan pada drama ini kurang sesuai jika coba menggambarkan keadaan
mempertahankan kemerdekaan. Pada drama ini, settingnya dilakukan di dalam sebuah losmen
tua. Tidak terlalau banyak interaksi dengan lingkungan yang menggambarkan perang
kemerdekaan. Hanya desing peluru dan bom yang ada, itupun terjadi diluar losmen. Hal ini
membuat drama ini kurang menarik namun inti nya masih dapat dipetik. Fokus drama ini
memang sebatas doktrin nasionalis yang ditonjolkan, bukan pada settingnya.
 Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan „makna‟ dalam pengalaman manusia;
sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat (Stanton, 2007:36). Tema membuat
cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir akan menjadi
pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema (Stanton, 2007:37). Tema hendaknya
memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
 Interpretasi yang baik hendaknya selalu menpertimbangkan berbagai detail menonjol dalam
sebuah cerita. Kriteria ini adalah yang paling penting.
 Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita yang saling
berkontradiksi.
 Interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya tidak bergantung pada bukti-bukti yang
tidak secara jelas diutarakan (hanya secara implisit).
 Terakhir, interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas oleh cerita
bersangkutan (Stanton, 2007:44-45).

6
Pada aspek tema, sepertinya tidak ada hal yang perlu di kritisi. Drama ini sudah sesuai
dengan teman yang telah di konstruksi oleh penulisnya. Secara keseluruhan, drama ini
bertemakan para pengkhiat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

C.2 Sarana Cerita


Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun
detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena
dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa
maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi (Stanton, 2007:46 47).
 Judul
`Judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan karena menunjukkan karakter,
latar, dan tema. Judul merupakan kunci pada makna cerita. Sering kali judul dari karya sastra
mempunyai tingkatan-tingkatan makna yang terkandung dalam cerita. Judul juga dapat berisi
sindiran terhadap kondisi yang ingin dikritisi oleh pengarang atau merupakan kesimpulan
terhadap kedaan yang sebenarnya dalam cerita (Stanton, 1965:25-26)
Dalam drama “Domba-domba Revolusi” karya B. Soelarto ini judul yang digunakan
sangat menarik. Penulis memilih kata domba untuk mewakili karakter. Domba memnag sering
digunakan untuk menganalogkan sesuatu yang multi karakter. Seperti istilah serigala berbulu
domba. Secara hermeneutik, domba juga dipilih karena domba merupakan hewan yang berbulu
tebal. Sehingga kita tidak tahu apa yang ada dibalik bulu domba itu, apakah baik atau buruk.
Seperti yang tergambar pada karakter tokoh dalam drama ini.
 Sudut Pandang
Stanton dalam bukunya membagi sudut pandang menjadi empat tipe utama. Pertama,
pada „orang pertama-utama‟ sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. Kedua,
pada „orang pertama-sampingan‟ cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan).
Ketiga, pada ‟orang ketiga-terbatas‟ pengarang mengacu pada semua karakter dan emosinya
sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan
oleh satu karakter saja. Keempat, pada‟orang ketiga-tidak terbatas‟ pengarang mengacu pada
setiap karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat membuat
beberapa karakter melihat, mendengar, atau perpikir atau saat tidak ada satu karakter pun hadir.
Pada drama“Bapak” karya L. Soelarto ini penulis menggunakan sudut pandang orang
ketiga terbatas. Artinya, penulis tidak sepenuhnya mengetahui tentang semua seluk beluk dalam
drama ini. Ini terlihat ketika pembaca tidak mengetahui ternyata tokoh anagonis dalah petualang
dengan segala kelicikannya. Begitu pula yang terjadi pada tokoh perempuan yang ternyata
merupakan ibu tiri dari tokoh penyair.
 Gaya dan Tone
Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang
pengarang memakai alur, karakter dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat
berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan penyebar dalam berbagai
aspek seperti kerumitan, ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan
7
banyaknya imaji dan metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu)
akan menghasilkan gaya (Stanton, 2007:61).
Satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah „tone‟. Tone adalah sikap emosional
pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa menampak dalam berbagai wujud, baik
yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, atau penuh perasaan (Stanton,
2007:63). Tone pada drama ini sangat terlihat pada karater semua tokoh pada drama ini.semua
tokoh memainkan karakternya masing-masing mewakili realitas yang ada. Hal ini membuat
keseimbangan pada drama ini.
 Simbolisme
Dalam fiksi, simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang masing-masing bergantung
pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu
kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut. Dua, simbol yang
ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam semesta
cerita. Tiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita
menemukan tema (Stanton, 2007:65).
Salah satu bentuk simbol yang khas adalah „momen simbolis‟. Istilah ini dapat disamaan
dengan „momen kunci‟ atau „momen pencerahan‟ (dua istilah ini sering dipakai oleh para
kritisi). Momen simbolis, momen kunci, atau momem pencerahan adalah tabula tempat seluruh
detail yang terlihat dan hubungan fisis mereka dibebani oleh makna (Stanton, 2007:68).
Pada drama ini, tidak terlalu banyak symbol yang digunakan. Berbeda dengan konsep drama
turgi yang kaya akan symbol. Drama ini lebih mengutkan dirinya pada karakter dan alur. Dalam
analisa penulis, bahkan tidak ada symbol yang digunakan.
 Ironi
Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu
berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Ironi dapat ditemukan dalam hampir
semua cerita (terutama yang dikategorikan „bagus‟). Dalam dunia fiksi, ada dua jenis ironi yang
dikenal luas yaitu „ironi dramatis‟ dan „tone ironis‟ (Stanton, 2007:71).
Ironi dramati atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara
penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seorang karakter dan hasilnya, atau antara
harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pasangan elemen-elemen di atas terhubung satu
sama lain secara logis (biasanya melalui hubungan kausal atau sebab-akibat) (Stanton, 2007:71).
„Tone ironis‟ atau „ironis verbal‟ digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang
mengungkapkan makna dngan cara berkebalikan (Stanton, 2007:72).
Berbicara mengenai ironi, drama ini tak perlu diragukan lagi. Diantara eleman-eleman
lainnya, kekutaan drama ini terletak pada Ironi yang berhasil dimainkan penulisnya. Ada banyak
ironi pada drama ini yang bisa dinikmati pembaca. Mlai dari politisi yang seharusnya menjadi
pembela bangsa, justru mau mengkhiatai bangsanya. Begitu juga dengan pedagang yang ternyata
hanya setengah hati dan tidak ikhlas menymbangkan hartanya demi kemerdekaan. Kemudian
pada penyair yang justru dalam relaits digambarkan sebagai seorang yang tidak jelas, justru

8
dalam drama ini merupakan pahlawan yang sebenarnya. Hal ini menjadi kelebihan dari drama
ini.

Bab 3
Penutup

A. Kesimpulan

Kehadiran strukturalisme telah mengalami evolusi yang panjang dan dinamis yang
menghasilkan banyak konsep serta istilah yang berbeda-beda. Sampai sekarang penelitian
9
struktural masih banyak digunakan di berbagai perguruan tinggi. Strukturalisme hadir sebagai
upaya melengkapi penelitian sastra yang ekspresivisme dan berbau historis. Para pemikir yang
tergolong strukturalis diantaranya: Robert Stanton, Rochmat Djoko Pradopo, Ferdinand de
Saussure, Levi Strauss, Goldman, Propp, Barthes dan lainya.

Teori struktural yang digunakan untuk menganalisis adalah teori struktural Robert
Stanton. Stanton membagi unsur intrinsik fiksi menjadi dua bagian, yaitu: fakta cerita dan sarana
cerita. Ia membagi unsur fakta cerita menjadi empat, yaitu alur, tokoh, latar, dan tema.
Sedangkan sarana cerita terdiri dari judul, sudut pandang, gaya bahasa dan nada, simbolisme,
dan ironi.

10
Daftar Pustaka

Teew A, 2015. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya

https://docplayer.info/53784949-Bab-ii-pembahasan-a-analisis-struktural-berdasarkan-teori-
struktural-robert-stanton.html

https://www.academia.edu/28705176/TEORI_STRUKTURALISME.docx_makalah_mukhlis_ed
ja

https://majalahpendidikan.com/teori-struktural-sastra/

11

Anda mungkin juga menyukai