Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS INTERTEKSTUAL DAN SASTRA BANDINGAN

Disajikan Untuk Mata Kuliah Teori, Apresiasi Dan Pengajaran Sastra


Dosen : Prof. Dr. Emzir, M.Pd dan Dr. Nuruddin, MA

Oleh :
Harjon Basri (No. Reg 7316130263)
Muhammad Jabal An Nur (No. Reg 7316130273)

Pendidikan Bahasa (S2)


Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Sastra telah menjadi bagian dari peradaban manusia sejak manusia hidup di muka
bumi. Sastra mewakili peradaban, budaya, serta adat yang diyakini oleh masyarakat sejak
dahulu. Pengalaman budaya yang kita anut sekarang merupakan cerminan dari pemahaman
budaya yang nenek luhur kita telah anut dalam waktu yang cukup lama.
Sama halnya dengan budaya sekarang yang merupakan cerminan masa lalu atau
perwakilan budaya masa lalu karya sastra yang lahir saat ini yang menganut berbagai macam
aliran juga tak lepas dari adanya pengaruh dari karya sastra sebelumya. Untuk memperkaya
makna serta pemahaman tentang karya sastra itu sendiri tentunya mengaitkan hubungan
dengan karya sastra terdahulu dengan yang sekarang ataupun bahkan dengan bangsa lain
merupakan hal yang penting dalam memahami pesan yang terkandung dalam teks sastra yang
bersnagkutan.
Teori sastra bandingan dan intertekstual merupakan analisis sastra yang mencoba
membantu dalam memahami makna antar teks lintas generasi, waktu, geografis, budaya, dan
berbagai paham masyarakat lainnya.

BAB II
ISI

A.   Pengertian Teori Interteks


Interteks berasal dari akar kata inter + teks. Prefiks inter yang berarti (di) antara, dalam
hubungan ini memiliki kesejajaran dengan prefiks ‘intra’, ‘trans’, dan ‘para’. Teks, barasal dari
kata textus (Latin), yang berarti tenunan, anyaman, susunan, dan jalinan. Dengan demikian,
intertekstual didefenisikan sebagai jaringan antara teks yang satu dengan teks yang lain.
Sebagai varian, intratekstual melibatkan hubungan antarteks dalam kaya penulis tunggal,
transtekstual, merupakan hubungan secara arsitektural, yaitu interrelasi tipe-tipe wacana, mode
ucapan, dan genre literer, kulit buku, ilustrasi dan sebagainya1[1].
Rohman mendefenisikan metode intertektual sebagai teknik mengolah dua objek kajian
yang dilandasi pada asumsi adanya keterpengaruhan2[2]. Dasar asumsinya bahwa tidak ada
sebuah karya sastra yang benar-benar orisinil tanpa adanya pengaruh dari karya-karya lainnya.
Setiap karya sastra pasti memiliki hubungan dengan karya-karya lainnya. Hubungan dua karya
sastra itu biasa dikaji dalam sastra bandingan. Tema-tema kajian itu antara lain genre, tema
,bentuk, aliran, ideologi , dan lain-lain.
Hubungan itu dapat diidentifikasi berdasarkan dua hal berikut:
1.    Hubungan pengaruh (influence). Pengaruh ini merupakan asumsi ada satu karya yang
memberikan kaitan sebab akibat dengan karya sesudahnya. Sebagai hasil olah kreatif, karya
sesudahnya banyak sedikit pengaruh di dalamnya. Hubungan itu dapat dilihat dari struktur
frasa, kalimat, frasa, hingga tema besar karya sastra tersebut. Contoh, karya puisi Sapardi
Djoko Damono dianggap mamperoleh pengaruh dari Sanoesi Pane dalam hal bentuk. Novel
berjuta - juta dari Deli (2006) karya Emil W. Aulia jelas mendapatkan pengaruh dari novel Max
Havelaar (1856) Karya Multatuli.
2.    Hubungan kebetulan (immanence). Dua karya memang tidak memilikin pengaruh, tetapi bisa
jadi dua karya membahas tema yang sama. Hal itu jelas sebuah kebetulan karena alam
kesadaran manusia bisa terhubung melalui mekanisme alam. Sebagai contoh, cerita rakyat
Dayang Sumbi tidak memiliki kejelasan pengaruh dengan Odiphus Rex, tetapi jalan ceritanya
sama. Dua cerita itu sama-sama menceritakan tokoh yang membunuh ayah untuk menikahi
ibunya. Dua cerita itu memberikan pesan larangan inses. Hubungan kebetulan tersebut bisa
saja terjadi karena kritikus tidak bisa melacak struktur keterkaitan secara langsung 3[3].
Julia Kristeva yang dikutip Junus menyatakan munculnya interteks sebenarnya
dipengaruhi oleh hakikat teks yang di dalamnya terdapat teks lain. Hal ini mengisyaratkan
bahwa unsur teks yang masuk ke teks lain itu dapat saja hanya setitik saja. Jika kemungkinan
unsur yang masuk itu banyak, berarti telah terjadi resepsi yang berarti. Jika dalam suatu teks
terdapat teks lain berarti teks sastra tersebut disebut karnaval. Teks yang lahir kemudian hanya
mosaik karya sebelumnya. Mosaik tersebut ibarat bahan yang terpecah-pecah, terpencar-
pencar, sehingga pengarang berikutnya sering harus menata ulang ke dalam karyanya. Dari ini
akan tercipta sebuah karya yang merupakan transformasi karya lain4[4].
Dari pendapat demikian, Culler, menyimpulkan bahwa studi intertekstualitas akan
membawa peneliti memandang teks-teks pendahulu sebagai sumbangan pada suatu kode yang

4
memungkinkan efek signification, yaitu pemaknaan yang bermacam-macam. Melalui
pemaknaan yang bermacam-macam, akan ditemukan makna yang asli. Pada saat itu pula teks
asli akan diketemukan. Yakni, teks yang kurang lebih disebut orisinil. Kendati istilah orisinil ini
masih mengundang perdebatan, karena hampir tak mungkin karya satra yang “bebas” dari
karya orang lain. Namun demikian, melalui studi interteks, setidaknya peneliti akan mampu
memilih dan memilahkan, mana karya yang paling dekat dengan karya asli dan mana yang
telah bergeser5[5].
Penelitian intertekstual tersebut, sebenarnya merupakan pemahaman sastra sebagai
sebuah “presupposition”. Yakni, sebuah perkiraan bahwa sebuah teks baru mengandung teks
lain sebelumnya. Perkiraan ini, tentu ada yang tepat dan ada yang meleset, tegantung kejelian
peneliti. Namun hal demikian diakui oleh Roland Barthes (Endraswara: 133), bahwa dalam diri
dia sesungguhnya telah penuh dengan teks-teks lain. Dalam diri pengarang penuh lapis-lapis
teks-teks lain yang sewaktu-waktu dapat keluar dalam karyanya. Jika yang terungkap dalam
karyanya banyak memuat teks lain, mamang akan kehilangan orisinilnya6[6].
Penelitian interteks sebenarnya bagian dari sastra bandingan. Interteks memang lebih
sempit dibanding sastra perbandingan. Jika sebagian besar interteks merupakan gerakan
peneliti baik klasik maupun modern, yang selalu berhubungan dengan teks sastra, satra
bandingan justru lebih luas lagi. Sastra bandingan dapat melebar ke arah bandingan antara
sastra dengan bidang lain yang mungkin (di luar sastra) (Endraswara: 130)7[7].
Seperti di atas, tidak ada karya yang asli dalam pengertian yang sesungguhnya. Artinya
suatu karya seni diciptakan ke dalam keadaan kosong tanpa referensi dunia lain. Karya seperti
ini, kalau memang ada, justru tidak akan dapat dipahami. Teori intertekstual dalam kaitannya
dengan teks formal dapat mengidentifikasi lautan teks, memasukannya dalam peta pemahaman
sehingga menghasilkan karya yang baru. Karya yang dihasilkan, oleh Kristeva disebut sebagai
mosaik kutipan. Teori interteks, dengan menganggap bahwa segala sesuatu adalah teks,
sebagai teks informal, maka teori interteks menembus sekat pemisah antar disiplin sehingga
berbagai ilmu merupakan objek bagi ilmu yang bersangkutan8[8].
Karya sastra mengambil objeknya dari seni lukis, seni bangunan, seni tari, kepercayaan
kuno, adat istiadat, dan sebagainya. Sebaliknya, seni lukis, seni tari, seni bangunan dapat
mengambil sumbernya dalam seni sastra. Interteks membangun jaringan baru yang selama ini
terpecah-pecah, mengembalikan yang terdegradasi, yang terpinggirkan, dan terlupakan,
mengembalikan objek yang kurang bermakna menjadi bermakna. Dalam interteks,
sebagaimana dipahami dalam teori postrukturalisme, tidak ada makna yang asli, makna tidak
melekat dalam objek, pada gilirannya semua objek menjadi bermakna sebab makna diperoleh
melalui perluasan, penggantian, dan pembaharuan dalam arti seluas-luasnya9[9].
Teori interteks penting dalam memahami sastra. Pada saat sesorang memahami karya
sastra, menyusun parodi atau ironi, maka ia harus menginterpretasikan sekaligus bergerak ke

9
level lain, bahkan ke genre yang sama sekali baru. Hubungan dengan interpretasi terjadi
sebagai sebab akibat keharusan kontekstual yaitu dengan hadirnya pola-pola kultural masa
lampau yang tersimpan selama proses pembacaan sebelumnya. Interteks dalam hubungan ini
berfungsi untuk membangkitkan memori. Bergerak ketataran lain dimungkinkan dengan adanya
energy kreatifitas, karya seni tidak pernah melukiskan suatu obyek yang sama dengan cara
yang persis sama. Perbedaan yang dimaksud dilakukan melalui bahasa (dalam karya sastra),
garis dan warna (dalam lukisan), susunan nada (dalam seni suara), gaya (dalam seni
bangunan), dan dan sebagainya (Ratna: 214-215)10[10].
Munculnya interteks, sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh pembuatan sejarah
sastra. Karena, melalui pembuatan sejarah sastra, interteks akan menyumbangkan bahan yang
luar biasa pentingnya. Maksudnya, jika dalam tradisi sastra pinjam-meminjam (gaduh) antara
sastra satu dengan yang lain, akan terlihat pengaruhnya. Sedangkan munculnya sastra
bandingan dengan bidang lain, kemungkinan besar dipengaruhi oleh penelitian lintas disiplin
ilmu. Lintas disiplin ini akan memandang sebuah fenomena yang senada akan memiliki
sumbangan penting dan saling terpengaruh. Pengaruh tersebut akan menjadi lengkap apabila
telah dibandingkan secara cermat satu sama lain11[11].
Identifikasi terhadap teks dan interteks didasarkan atas pemahaman bahwa karya sastra
adalah gejala kedua setelah bahasa. Teks yang baru dibangun atas dasar teks lain yang sudah
pernah dibaca sebelumnya, sehingga menghasilkan suatu peta umum dalam proses
pembacaan. Dalam interteks dibedakan antara kutipan, kerangka pemikiran, dan tiruan
khususnya dengan plagiat. Lokus makna dan dengan demikian berbagai defenisi yang
berkaitan dengan nilai, didasarkan atas kemampuan dalam menemukan orisinilitas, sehingga
karya benar-benar berbeda dengan karya terdahulu 12[12]. Dalam kerangka teori interteks,
menurut Kristeva, dikutip oleh Culler setiap teks harus dibaca dengan latar belakang dengan
teks lain, dengan kalimat lain, tidak ada satu teks pun yang benar-benar mandiri13[13].
Teori tidak terbatas dimanfaatkan pada disiplin tertentu. Benar, interteks lahir dalam
bidang sastra, sebagaimana teori yang lain, seperti strukturalisme, teori interteks juga juga
dapat dimanfaatkan dalam seni lukis, seni tari, dan seni bangunan, termasuk studi kultural pada
umumnya. Proses peniruan tidak harus berarti plagiat. Peniruan dalam dalam proses kreatif
berarti meberikan muatan, arti, dan makna yang baru. Justru dalam proses peniruan inilah
terkandung kreatifitas. Proses peniruan dalam teori kontemporer jalas sangat berbeda, bahkan
berlawanan secara diametral dengan pengertian tradisional, seperti dalam bidang filologi dan
maasyarakat sehari-hari. Seperti disinggung di atas, peniruan dalam interteks adalah proses
identifikasi objek kedalam level yang lebih tinggi sehingga karya yang dihasilkan menjadi baru,
seolah-olah dilihat untuk pertama kali (Ratna: 215)14[14].
Masalah lain yang perlu ditegaskan dalam teori interteks adalah kesadaran bahwa tiruan
tidak harus lebih rendah mutunya dibandingkan dengan keaslian. Penolakan terhadap tiruan

10

11

12

13

14
dan objek lain yang dikaegorikan sebagai ‘tidak asli’ sebagian atau seluruhnya diakibatkan oleh
adanya oposisi biner, dengan konsekuensi logis salah satu diantaranya dianggap sebagai
inferior. Demikian pula halnya karya-karya yang dianggap sebagai bersumber dari karya lain,
termasuk terjamahan, salinan, saduran, dan berbagai bentuk modifikasi yang lain secara apriori
dikategorikan sebagai bermutu lebih rendah. Teori kontemporer, misalnya, dengan
memanfaatkan konsep perbedaan (differance) Derridean, memandang kedua aspek sebagai
memiliki dua aspek yang sejajar, tergantung dari sudut mana melihatnya, untuk keperluan apa
aspek tersebut dibicarakan15[15].
Dalam praktik analisis interteks perlu dibedakan pengertian antara naskah, teks, dan
wacana. Menurut Barthes (Ratna, 212-213) naskah atau karya adalah bahan kasar seperti
bentuk buku, lontar, disket, dan bentuk-bentuk yang dapat ditaruh di rak buku. Naskah atau
karya merupakan objek studi filologi. Teks dan wacana pada umumnya merupakan sinonim.
Meskipun demikian, menurut Barthes, teks hanya eksis melalui wacana. Secara praktis, teks
digunakan dalam bidang sastra, wacana dalam bidang linguistik. Masyarakat luas lebih
mengenal istilah wacana (diskursus)16[16].

B.   Prinsip-prinsip Intertekstual


Interteks mengimplikasikan intersubjektifitas, pengetahuan terbagi yang diaplikasikan
dalam proses membaca. Menurut para strukturalis, Culler menyatakan ada beberapa konsep
penting yang harus dijelaskan agar pemahaman secara intertekstual dapat dicapai secara
maksimal. Konsep-konsep yang dimaksud, diantaranya:
1.    Recuperation (prinsip penemuan kembali),
2.    Naturalization (prinsip untuk membuat yang semula asing menjadi biasa),
3.    Motivation (prinsip penyesuaian, bahwa teks tidak tidak arbitrer atau tidak koheren),
4.    Vriasemblation, (prinsip integrasi antara satu teks dengan teks atau sesuatu yang lain)17[17].
Todorov menunjukkan tiga model hubungan teks dalam kaitannya dengan cirri-ciri
vriasemblation, yaitu:
a.    Sebagai model hubungan teks tertentu dengan teks lain yang tersebar di masyarakat, yang
disebut opini umum,
b.    Hubungan teks dengan genre tertentu,
c.    Kedok yang menutupi teks itu sendiri, tetapi yang memungkinkannya untuk
menghubungkannya dengan realitas, bukan pada hukum-hukumnya sendiri18[18].
Senada dengan Todorov, Culler menjalaskan bahwa vriasemblation merupakan konsep
strukturalis yang sangat penting dalam membangun teori interteks. Culler kemudian
memberikan lima tingkat vriasemlations, lima cara untuk menghubungkan teks dengan teks lain
sehingga dapat dimengerti, teks-teks yang dimaksudkan yaitu:
a.    Teks yang diambil langsung dari dunia nyata,

15

16

17

18
b.    Teks cultural general, teks dunia nyata itu sendiri tetapi dalam kerangka dan tunduk terhadap
pola-pola kebudayaan tertentu,,
c.    Teks sebagai konvensi genre, sebagai teks artifisial literal sehingga terjadi perjanjian antara
penulis dan pembaca,
d.    Teks yang dikutip baik secara implisit maupun eksplisit dari genre-genre di atas, dengaan
menambah otoritas makna dan kulitas otoritasnya, dan
e.    Interekstual secara khusus, yaitu dengan mengambil teks sebagai dasar dan titik pijak proses
kreatif, misalnya, teks sebagai parodi dan ironi19[19].
Vriasemblation merupakan konsep strukturalis yang sangat penting dalam interteks.
Vriasemlation memberikan intensitas pada model-model kultural sebagai sumber makna dan
koherensi. Puisi-puisi kontemporer seperti karangan Sutardji, dapat dibaca dan dimengerti
dengan menemukan kembali, menaturalisasikan, menyesuaikan, dan mengintegrasikan .
Teori interteks disatu pihak memiliki kaitan dengan pastiche, karya yang disusun atas
dasar adaptasi dan persamaan-persamaannya di masa lampau, bricolage, tranformasi material
melalui komposisi. Interteks juga memiliki kaitan dengan konsep Baudrillard, simulasi, yang
suatu proses menciptakan bentuk-bentuk yang baru tetapi bentuk asli tetapi bentuk aslinya
tidak pernah ada. Hasilnya disebut simulacrum. Dipihak yang lain, interteks memiliki kaitan erat
dengan prisip-prinsip dialogis yang dikembangkan oleh Bakhtin. Dalam hubungan ini, Bakhtin
mengembangkan teorinya melalui orang lain pada umumnya menurut preposisi Meadean,
bukan ego-id Freud.
Untuk menjelaskan makna dialogis, Bakhtin (Ratna: 217) menawarkan istilah polifoni
(suara rangkap) yang diambil dalam dunia musik. Denagn menggunakan ‘orang lain pada
umumnya’, maka subyek kreator mangarang bukan semata-mata atas dasar kesadaran
psikologis, malainkan karena hasrat untuk tampil di luar diri, yang disebut dengan gagasan
exotopy. Karya sastra dengan demikian bukanlah flksi biografis, malainkan dialogis 20[20]. Karya
seni diciptakan oleh karena pengarang ingin berkomunikasi dan berbagi pengalaman dengan
pembaca. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa studi biografi tidak bermanfaat dalam
memahami karya sastra secara keseluruhan. Artinya, fungsi biografi terbatas sebagai latar
balakang proses penciptaan, bukan untuk menemukan nilai-nilai karya yang
sesungguhnya21[21].
Sumbangan teori dialogis poliffoni adalah representasi suara yang didengarkan secara
simultan, sebagai kompsisi musikal, yang dengan sendirinya bersifat independen terhadap
intensi-intensi pengarang. Menurut Bakhtin yang dikutip Todorov menyatakan dialogis polifoni
mempunyai kekuatan besar sebab hanya melalui penglihatan orang lain, dalam kerangka
subjek transindividual kebudayaan yang terisolasi dapat dijelaskan secara lebih luas dan
mendalam22[22].
C.   Asumsi-Asumsi Dalam Interteks
Studi interteks menurut Flow) didasarkan beberapa asumsi kritis:

19

20

21

22
1.    Konsep interteks menurut peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan juga
aspek perbedaan dan sejarah teks,
2.    Teks tak hanya struktur yang ada, tetapi tetapi satu sama lain juga saling memburu, sehingga
terjadi perulangan atau transformasi teks,
3.    Ketidak hadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga pada teks tertentu
merupakan proses waktu yang menentukan,
4.    Bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai implisit. Teks
boleh saja diciptakan ke bentuk lain; di luar norma ideologi dan budaya, di luar genre, di luar
gaya dan idiom, dan di luar hubungan teks-teks lain,
5.    Hubungan teks yang satu dengan yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan
tersebut bisa secara abstrak, hubungan interteks juga sering terjadi penghilangan-
penghilangan bagian tertentu,
6.    Pengaruh mediasi dalam interteks sering memepengaruhi juga pada penghilangan gaya
maupun norma-norma sastra,
7.    Dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi,
8.    Analisis interteks berbeda dengan melakukan kritik melainkan lebih terfokus pada konsep
pengaruh23[23].
Jika dicermati dari asumsi di atas, penelitian interteks semula memang pengembangan
dari resepsi sastra, terutama resepsi teks. Asumsi paham ineterteks adalah bahwa teks sastra
tidak berdiri sendiri. Teks dibangun atas teks yang lain. Pengarang ketika mengekspresikan
karyanya, telah meresepsi karya sebelumnya. Hanya saja, terjadi interteks tergantung keahlian
pengarang menyembunyikan atau sebakliknya memang ingin menampakkan karya orang lain
dalam karyanya.
Pemerhati interteks dan sastra perbandinngan sebenarnya kurang lebih sama. Baik
interteks maupun sastra perbandingan, sebernarnya ingin melacak orisinalitas sebuah teks
sastra. Jika karya sastra semakin tidak memuat teks lain, berarti fungsi kreativitas sangat tinggi.
Pencipta telah memanfaatkan kemampuan berkreasi sehingga seakan-akan tak ada teks lain
yang muncul di dalamnya. Namun, jika peneliti interteks dan atau sastra perbandingan sangat
jeli, apa yang disembunyikan pencipta atas teks lain sering terungkap24[24].

D.   Pokok Kajian Intertekstual


Kajian satra bandingan, pada akhirnya harus masuk ke dalam wilayah hipogram.
Menurut Riffartere (Endraswara: 132) hipogram adalah modal utama dalam sastra yang akan
melahirkan karya berikutnya25[25]. Jadi, hipogram adalah karya sastra yang menjadi latar
kelahiran karya berikutnya.
Hipogram dan transformasi ini akan jalan terus-menerus sejauh proses sastra itu hidup.
Hipogram merupakan ”induk” yang akan menetaskan karya-karya baru. Dalam hal ini, peneliti
sastra berusaha membandingkan antara karya “induk” dengan karya baru. Namun, tidak ingin

23

24

25
mencari keaslian sehingga menganggap bahwa yang lebih tua lebih hebat, seperti halnya studi
filologi. Studi interteks justru ingin melihat seberapa jauh tingkat kreatifitas pengarang26[26].
Menurut Pradopo prinsip dasar intertekstualitas (Endraswara: 133) adalah karya hanya
dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi
hipogram. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran berkarya.
Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara. Dalam kaitan ini, sastrawan yang
lahir berikutnya adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya. Dengan demikian,
mereka selalu menciptakan karya asli, karena dalam mencipta selalu diolah dengan pandangan
sendiri, dengan horison dan atau harapannya sendiri27[27].
Dengan adanya sumber tertentu yang dimanfaatkan dalam proses interteks, maka
konsep yang dianggap penting adalah hipogram. Riffaterre mendefenisikan hipogram sebagai
struktur prateks, generator teks puitika. Hipogram mungkin kata-kata tiruan, kutipan, kompleks
tematik, kata-kata tunggal, atau keseluruhan teks. Hipogram memiliki hubungan dengan
anagram dan paragram menurut pemahaman Saussure. Perbedaannya, apabila paragram
memiliki cirri-ciri leksikal dan grafemis, sebaliknya hipogram adalah kata-kata yang terikat
dalam kalimat yang secara organisatoris merefleksikan prasyarat matriks kara-kata inti.
Pengarang, baik secara sadar atau tidak menggunakan hypogram untuk matriks atau
kata-kata kunci yang pada gilirannya melahirkan model atau serial varian. Menurut Riffaterre,
matriks, model, dan teks adalah varian hipogram28[28]. Dalam studi kultural teori interteks jelas
berfungasi untuk mengevokasi keberagaman kultural. Sebagai mosaik, maka kutipan adalah
pesan tertentu. Objek, yaitu kutipan itu sendiri yang mengarahkan aktifitas subyek29[29].

Hipogram karya sastra akan meliputi:


1.    Ekspansi, yaitu perluasan atau pengembangan karya,
2.    Konversi adalah pemutarbalikkan hipogram atau matriknya,
3.    Modifikasi, adalah perubahan tataran linguistik, manipulasi urutan kata dan kalimat. Dapat saja
pengarang hanya mengganti nama tokoh, padahal tema dan jalan cerita sama,
4.    Ekserp, adalah semacam intisari dari unsur atau episode dalam hipogram yang disadap oleh
pengarang. Ekserp biasanya lebih halus, dan sangat sulit dikenali, jika penulis belum biasa
membandingkan karya30[30].
Dari penelitian interteks, akan terlihat lebih jauh bahwa karya berikutnya merupakan
respon pada karya-karya sebelumnya. Karenanya, Cortius menyatakan bahwa karya sastra
adalah barisan teks atau himpunan teks. Penampilan teks pada teks lain tersebut dapat
dirumuskansebagai berikut:
a.    Kehadiran teks secara fisik suatu teks dalam teks yang lainnya,

26

27

28

29

30
b.    Kehadiran teks pada teks lain kemungkinan hanya berupa kesinambungan tradisi, sehingga
pencipta sesudahnya jelas telah membaca karya sebelumnya31[31].
Kehadiran teks lain pada suatu teks, akan mewarnai teks baru tersebut. Dalam kaitan
ini, Riffaterre menyatakan bahwa karya sastra (sajak) biasanya baru bermakna penuh dalam
hubungannya dengan sajak lain, baik dalam hal persamaannya maupun pertentangannya. Hal
ini menyugestikan bahwa karya sastra yang lahir kemudian, sesungguhnya tidak berdiri sendiri.
Karya sastra yang lahir berikutnya merupakan “pantulan” karya sebelumnya. Pantulan tersebut
dapat langsung maupun tidak langsung. Jika pantulan itu langsung, tentu karya tersebut
memiliki hubungan interteks yang sangat tajam. Senbaliknya, jika pengaruh tersebut tidak
langsung akan menimbulkan hubungan interteks yang halus. Hubungan interteks yang pertama,
akan mudah diketahui siapa saja yang telah membaca beberapa karya. Sedangkan interteks
yang kedua, tentu menbutuhkan kejelian membaca untuk mengetahuinya32[32].
E.   Fokus Penelitian Interteks
Secara garis besar, penelitian intertekstual memiliki dua fokus:
1.    Meminta perhatian kita tentang pentingnya teks terdahulu (prior teks). Tuntutan adanya
otonomi teks sebenarnya dapat menyesatkan gagasan, sebuah karya memiliki arti karena
dalam hal-hal tertentu telah dituliskan terlebih dahulu oleh pengarang lain.
2.    Intertekstual akan membimbing peneliti untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai
penyumbang kode yang memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikasi.
Dari dua focus ini, tampak bahwa karya sastra sebelumnya banyak berperan dalam
penciptaan. Bahkan Barthes berpendapat, karya sastra yang anonim sekalipun kadang-kadang
akan mewarnai penciptaan karya selanjutnya (Endraswara: 134)33[33].
Hubungan intertekstual tersebut ternyata tidak hanya pada karya satra yang satu
bahasa. Interteks dapat melebar atau meluas ke sastra lain. Yang penting, asalkan pengarang
menguasai bahasa karya sastra lain, akan terjadi interteks. Kini tugas peneliti menemukan
presupposition. Mungkin saja pengarang sangat halus menyembunyikan presupposition
sehingga menbutuhkan tafsir yang meyakinkan. Presupposition sebenarnya merupakan
perkiraan “tanda” terjadi transformasi taks. “Tanda” ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu;

1.    Presupposition logis, biasanya tampak pada pemikiran pengarang dalam kalimat atau pun
dalam kata-kata tertentu. Kalimat atau kata tersebut jika dihadirkan secara eksplisit tentu tidak
masalah. Namun, jika pencipta berikutnya sangat samar-samar, peneliti harus mampu
manafsirkan. Misalkan, “berapa lama kau menghuni teralis besi?”, ini berarti presupposition-nya
merujuk pada narapidana.
2.    Presupposition pragmatis, yaitu tidak lagi bertolak dari relassi antar kalimat dan kata,
malainkan antar ucapan dan ungkapan. Dalam karya sastra, mungkin berupa special kind of
speech act dan juga special words. Misalkan saja, “buka pintu”, bisa hadir presupposition
permohonan dan perintah34[34].

31

32

33

34
A.   Defenisi Sastra Bandingan
Sastra bandingan dianggap pertama kali dikenalkan oleh Noel dan Laplace meskipun
keduanya pada saat itu masih ragu menggunkaan istilah sastra bandingan sehingga pada
akhirnya dilupakan oleh banyak orang.
Namun pada akhirnya istilah sastra bandingan diperenalkan kembali secara luas oleh
Abel Francois Villemain dan Ampere yang dikenal juga sebagai “bapak” sastra bandingan dan
mulai pesat perkembangannya pada tahun 1970-an.
Sastra bandingan merupakan kritik sastra yang mengkaji tentang hubungan karya sastra
dengan karya sastra yang lain baik dari segi penulisan, sejarah, maupun karakternya.
Sastra bandingan mengkaji pada umumnya mengkaji kepada dua hal yaitu tempat dan
waktu. Menurut Suwardi “sastra bandingan adalah studi teks across cultural. studi ini
merupakan upaya interdisipliner yaitu lebih banyak mengkaji sastar menurut aspek waktu dan
tempat”35[35]
Sastra bandingan juga digunakan untuk mengebangkan karya sastra itu sendiri dengan
melihat kajian teksnya sehingga hubungan antara sastra yang dibandingkan dapat dianalisa.
Menuut Benecto Crose dalam Suwardi “studi sastra bandingan adalah kajian yang
berupa eksplorasi perubahan (vicissitude), alternation, (penggantian), pengembangan
(development), dan perbedaan timbal balik diantara dua arya atau lebih”.36[36]
B.   Ruang Lingkup
Sastra bandingan berdsarkan defenisinya mengkaji satra lintas budaya. Maka dari itu
ada beberapa istilah yang dapat digunakan sebelum mengkaji atau membandingkan karya
sastra itu sendiri.
Sastra nasional dan sastra dunia merupakan salah satu contoh pengkategorian karya
sastra berdasrkan tempatnya. Sastra nasional dapat diartikan sebagai sastra yang menjadi milik
dari suatu bangsa tertentu. Menurut suwardi “sastra nasional adalah sastra yang secara umum
menjadi milik bangsa”.37[37]
Sastra dunia dalam hal ini berbeda dengan sastra nasional jika sastra nasional hanya
terbatas pada wilayah satu bangsa tertentu sastra dunia diakui beberapa bangsa atau diakui
dunia. Karya sastra dunia banyak diterjemahkan kedalam bahasa-bahasa lain dibelahan dunia
karena umunya karya ini bersifat masterpiece.
sastra bandingan pada umumnya mengkaji dua hal yaitu persamaan atau paralelisme
antara satu teks dengan yang lain dan pegaruh karya sastra terhadap karya sastra yang lain.
Sastra bandingan dapat digolongkan kedalam empat bagian utama yaitu :
1.  Kajian yang bersifat komparatif, kajian yang mengkaji antara satu teks dengan teks yang lain.
Nama pengarang, tahun penerbitan, lokasi, dan hal lainnya merupakan kajian dalam bidang ini.
2.  Kajian bandingan historis, yaitu ingin melihat nilai-nilai historis yang melatar belakangi
munculnya suatu karya sastra.
3.  Kajian teoritik, yaitu membandingkan karya sastra berdasarkan genre, aliran dalam sastra,
tema, kritik sastra, dsb.

35

36

37
4.  Kajian antar disiplin ilmu, yaitu bandingan karya sastra dengan bidang lain misalnya politik,
agama, budaya, seni, dan sebagainya.
Menurut Baribin dalam Suwardi terdapat tiga lingkup karya sastra yaitu:
1.    Bandingan sastra lisan, yaitu untuk membandingkan cerita rakyat dan migrasinya, serta
bagaimana dan kapan cerita rakyat itu masuk ke dalam karya sastra yang lebih artistik.
2.  Bandingan sastra tulis, yaitu menyangkut misalnya sastra Indonesia mdern dan klasik.
3.  Bandingan dalam kerangka supranasiona, yaitu perbandingan kajian sastra teoritik dan sejarah
sastra.
Dari ruang lingkup yang telah dipaparkan diatas dapat dikatakan bahwa ruang lingkup
perbandingan karya sastra pada dasarnya mengkaji dua hal yaitu persamaan ataupun
perbedaan diantara sastra yang dikaji dan pengaruh antara karya sastra tersebut.

C.   Metodologi
Dalam perbandingan karya sastra tidak hanya terikat pada satu daerah dengan daerah
lainnya namun juga dengan satu negara dengan dengan negara lainnya.
Perbandingan sastra juga mengkaji karya sastra lintas waktu yaitu karya sastra pada
terbuat pada saat ini dengan karya sastra yang dibuat pada waktu yang terdahulu atau sering
diistilahkan dengan analisis sastra diakronik. Namun perbandingan sastra dalam era waktu
yang sama juga bisa dikaji atau yang sering disebut dengan kajian sinkronik.
Dalam memandingkan karya sastra baik secara sinkronis dan diakronis terdapat beberapa
hal yang harus dipahami mengapa suatu karya bisa berbeda atau sama dan bahkan saling
memepengaruhi satu sama lain.
Dalam mengkaji karya sastra ada beberpa istilah yang penting yang harus dipahami untuk
membantu menganalisa karya sastra bandingan antara lain:
1.    Transformasi, perubahan atau pemindahan karya sastra dari waktu ke waktu.
2.    Terjemahan, yaitu suatu proses tradisi memindahkan atau mengalihkan bahasa yang
memungkinkan terjadinya perubahan bentuk teks baik tambahan ataupun pengurangan.
3.    Peniruan,yaitu proses kreatif pengarang berikutnya dengan cara meniru baik sebagian ataupun
keseluruhan terhadap karya sebelumnya
4.    Kecenderungan, yaitu tradisi yang memuat kemiripan antara karya sebelumnya dan
sesudahnya.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Penelitian intertekstual sebenarnya merupakan pemahaman sastra sebagai sebuah
“presupposition”. Yakni, sebuah perkiraan bahwa sebuah teks baru mengandung teks lain
sebelumnya. Perkiraan ini, tentu ada yang tepat dan ada yang meleset, tegantung kejelian
peneliti. Dalam diri penulis sesungguhnya telah penuh dengan teks-teks lain, penuh lapis-lapis
teks-teks lain yang sewaktu-waktu dapat keluar dalam karyanya. Jadi, tidak ada karya yang asli
dalam pengertian yang sesungguhnya
Penelitian interteks sebenarnya bagian dari sastra bandingan. Interteks memang lebih
sempit dibanding sastra perbandingan. Jika sebagian besar interteks merupakan gerakan
peneliti baik klasik maupun modern, yang selalu berhubungan dengan teks sastra, satra
bandingan justru lebih luas lagi. Sastra bandingan dapat melebar kearah bandingan antara
sastra dengan bidang lain yang mungkin (di luar sastra).
Munculnya interteks, sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh pembuatan sejarah
sastra. Karena, melalui pembuatan sejarah sastra, interteks akan menyumbangkan bahan yang
luar biasa pentingnya. Maksudnya, jika dalam tradisi sastra pinjam-meminjam (gaduh) antara
sastra satu dengan yang lain, akan terlihat pengaruhnya. Sedangkan munculnya sastra
bandingan dengan bidang lain, kemungkinan besar dipengaruhi oleh penelitian lintas disiplin
ilmu. Lintas disiplin ini akan memandang sebuah fenomena yang senada akan memiliki
sumbangan penting dan saling terpengaruh. Pengaruh tersebut akan menjadi lengkap apabila
telah dibandingkan secara cermat satu sama lain

REFERENSI
Endraswara, Suwardi. 2002. Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi.
Jakarta: CAPS.
Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Culturaln Studies Representasi Fiksi Dan Fakta. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007.Teori, Metode, dan Teknik Penulisan Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rohman, Saifur. 2012. Pengantar Metodologi Pengajaraan Sastra. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

[1] Nyoman Kutha Ratna, Sastra dan Culturaln Studies Representasi Fiksi Dan Fakta. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), h 211-212.
[2]  Saifur Rohman, Pengantar Metodologi Pengajaraan Sastra, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h 84-85.
[3] Ibid.
[4] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Jakarta: CAPS,
2002), h.132.
[5] ibid.
[6] ibid
[7] ibid
[8] Nyoman Kutha Ratna, op.cit. h  216.
[9] ibid
[10] ibid
[11] Suwandi Endraswara, Op. cit. h 130.
[12] Nyoman Kutha Ratna, op. cit, 112
[13] ibid
[14]ibid
[15] ibid
[16] ibid
[17] ibid
[18]ibid
[19] ibid
[20] ibid
[21]ibid
[22] ibid
[23] Suwardi Endraswara, op. cit, h 131
[24] ibid
[25] ibid
[26] ibid
[27] ibid
[28] Nyoman Kutha Ratna, op. cit, h 217
[29] ibid
[30] Suwardi Endraswara, lok. cit
[31] ibid
[32] ibid
[33] ibid
[34] ibid
[35] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Jakarta: CAPS,
2002), h.128
[36] ibid
[37] Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi, (Jakarta: CAPS,
2002), h.133

Anda mungkin juga menyukai