Anda di halaman 1dari 9

Aksiologi Pembelajaran Bahasa dan Sastra

Indonesia dalam Kaitannya dengan


Kesantunan Berbahasa
November 8, 2016 eviramaulida

Pendahuluan

“Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa pesatoean, Bahasa Indonesia”.  Begitu
mantap para pemuda Indonesia mengukuhkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam
ikrar sumpah pemuda 28 Oktober 1928 silam. Tidak tanggung-tanggung, bunyi ketiga pada ikrar
tersebut bahkan dengan berani menjunjung sebuah bahasa persatuan, yakni Bahasa Indonesia.
Hal ini menandakan betapa para pemuda Indonesia memiliki pemikiran yang maju, dalam artian
mereka menyadari betul pentingnya peranan bahasa dalam kemajuan bangsa.

Yudi Latif (2015:5) menyatakan bahwa tidak ada bangsa yang dapat maju tanpa memuliakan
keberaksaraan dan kesasteraan. Fase perjuangan kebangkitan nasional yang salah satunya
ditandai oleh peristiwa sumpah pemuda secara jelas menunjukkan pentingnya perjuangan
kata/bahasa/akrasa/sastra. Setidaknya ada lima hal yang patut dipertimbangkan mengapa upaya
memperhatikan keberaksaraan dan kesasteraan itu penting, yakni (1) menjadi sarana olah
ketepatan (tradisi tulis); (2) merupakan ukuran keberadaban; (3) merupakan organ kemajuan
sosial; (4) sebagai instrumen budaya dan perkembangan saintifik; dan (5) sebagai instrumen dari
perkembangan kognitif.

Secara formal hingga saat ini bahasa Indonesia mempunyai empat kedudukan penting, yaitu
sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam
perkembangannya lebih lanjut, bahasa Indonesia berhasil mendudukan diri sebagai bahasa
budaya dan bahasa ilmu. Khusus mengenai bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, ia berfungsi
sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,
bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dalam
pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan, bahasa resmi di dalam pengembangan
kebudayaan, dan bahasa resmi dalam penyebarluasan iptek (Mansur Muslich, 2010: 33-40).

Fungsi-fungsi dalam kedudukannya sebagai bahasa negara inilah yang menjadikan bahasa
Indonesia penting untuk dikuasai oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, bahasa Indonesia wajib
diajarkan di sekolah tingkat dasar hingga menengah. Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah-
sekolah ini salah satunya ditujukan agar masyarakat dapat menguasai atau pandai berbahasa
Indonesia dengan benar sedari dini. Akan tetapi penguasaan terhadap bahasa tidak cukup pada
tataran strukturnya saja, hal lain yang dipertimbangkan ketika seseorang dikatakan pandai
berbahasa menurut Abdul Chaer (2010: 7) yakni ketika seseorang itu menguasai tata cara atau
etika berbahasa.
Etika berbahasa memiliki keterkaitan erat dengan norma-norma sosial dan sistem budaya yang
berlaku dalam suatu masyarakat pengguna bahasa. Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan
budaya menuntut masyarakatnya agar memiliki kesadaran etis dan toleransi yang tinggi ketika
berbahasa. Hal ini dikarenakan adanya keragaman budaya dalam masyarakat. Adanya keragaman
ini menjadikan bahasa sebagai salah satu alat komunikasi utama menjadi sangat sensitif apabila
penggunaannya tidak tepat. Suatu tuturan dalam bahasa yang sama (misalnya bahasa Indonesia)
yang dituturkan oleh seseorang dapat bermakna baik atau bahkan bermakna buruk bagi orang
lain yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Makna baik dan buruk ini dapat dilihat
dari cara bertutur ataupun substansi bahasa yang digunakan.

Berbicara mengenai substansi bahasa yang digunakan, makalah ini berfokus pada

kesantunan dalam berbahasa sebagai salah satu kegunaan atau manfaat pembelajaran bahasa dari
landasan aksiologis pengembangan ilmu. Kesantunan inilah yang perlu ditanamkan pada siswa
melalui pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini penting untuk diajarkan kepada siswa agar
mereka memiliki bekal kesantunan berbahasa demi menghindari perselisihan ketika
berkomunikasi.

Terkait dengan implementasinya di sekolah, pembelajaran bahasa Indonesia disandingkan


dengan pembelajaran sastra. Penyandingan kedua pembelajaran tersebut dikatakan relevan
karena keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Selain itu, secara aksiologis keduanya sama-
sama menunjang keberhasilan penguasaan bahasa Indonesia pada siswa terkait dengan etika
berbahasa khususnya mengenai kesantunan.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
antara lain sebagai berikut.

1. Apa yang dimaksud dengan aksiologi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam
kaitannya dengan kesantunan berbahasa?
2. Bagaimana implementasi landasan aksiologis pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
dalam kaitannya dengan kesantunan berbahasa?

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan pengertian aksiologi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam


kaitannya dengan kesantunan berbahasa.
2. Mendeskripsikan implementasi landasan aksiologis pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia dalam kaitannya dengan kesantunan berbahasa.

Aksiologi
Aksiologi merupakan salah satu landasan pengembangan ilmu selain ontologi dan epistemologi.
Suriasumantri (2009: 33) mengatakan bahwa aksiologi terkait dengan pertanyaan-pertanyaan
seperti (1) untuk apa pengetahuan berupa ilmu itu dipergunakan?; (2) bagaimana kaitan antara
cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?; (3) bagaimana penentuan obyek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?; dan (4) bagaimana kaitan antara teknik procedural
yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?

Aksiologi menurut Muhadjir Noeng (2015: 83) lebih pada mencermati perkembangan konsep
tentang value (nilai) dalam makna luas. Hal ini terkait dengan etika dalam pengembangan ilmu.
Sejalan dengan hal itu, Surajiyo (2013: 152) menekankan aksiologi ke arah kebermanfaatan
ilmu. Pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia.
Dalam hal ini ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup
manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan kelestarian atau
keseimbangan alam. Berdasarkan pendapat-pendapat mengenai pengertian aksiologi tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa aksiologi merupakan salah satu landasan pengembangan ilmu
yang merujuk pada kegunaan atau kebermanfaatan ilmu dalam kaitannya dengan nilai dan moral.

Kesantunan Berbahasa

Kesantunan berhubungan dengan etika. Dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa, Abdul
Chaer (2010: 6) menyebutkan bahwa etika berbahasa berkenaan dengan perilaku atau tingkah
laku dalam bertutur, sedangkan kesantunan lebih pada substansi bahasanya.

Abdul Chaer (2010: 46) mengungkapkan teori-teori kesantunan berbahasa yang dikemukakan
oleh beberapa tokoh, salah satunya adalah Robin Lakoff. Lakoff menjabarkan tiga kaidah yang
harus dipatuhi agar tuturan terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur sekaligus menjadi
skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan. Tiga kaidah tersebut antara
lain yakni (1) formalitas (formality), (2) ketidaktegasan (hesitancy), dan (3) kesamaan atau
kesekawanan (equality or camaraderie). Bila dijabarkan kaidah pertama itu berarti jangan
memaksa atau jangan angkuh (aloof); kaidah yang kedua berarti buatlah sedemikian rupa
sehingga lawan tutur atau lawan bicara kita dapat menentukan pilihan; dan kaidah yang ketiga
berarti bertindaklah seolah-olah Anda dan lawan tutur Anda menjadi sama atau dengan kata lain
‘buatlah lawan tutur anda merasa senang’. Ringkasnya, tuturan dapat dikatakan santun kalau ia
tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan
lawan tutur itu menjadi senang.

Selain itu ada pula teori kesantunan Geoffrey Leech yang dipaparkan oleh Abdul Chaer (2010:
56). Leech mengajukan teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan (politeness principles),
yang dijabarkan menjadi maksim (ketentuan atau ajaran). Keenam maksim itu antara lain
maksim kebijaksanaan (Tact), kebijaksanaan, penerimaan (Generosity), kemurahan
(Approbation), kerendahan hasil (Modesity), kesetujuan (Agreement), dan kesimpatian
(Sympathy). Adapun skala pengukur kesantunan berbahasa oleh Leech didasarkan pada setiap
maksim interpersonalnya yang dipaparkan dalam Abdul Chaer (2010: 66-69) meliputi (1) skala
kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale), (2) skala pilihan (optionality scale), (3) skala
ketidaklangsungan (indirectness scale), (4) skala keotoritasan (authority scale), dan (5) skala
jarak sosial (social distance).
Ada pula Brown dan Levinson (Abdul Chaer, 2010: 52-65) yang melihat kesantunan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor seperti (1) jarak sosial antara penutur dan lawan tutur, (2)
besarnya perbedaan kekuasaan atau dominasi di antara keduanya, dan (3) status relatif jenis
tindak tutur dalam kebudayaan yang bersangkutan. Mengenai tinggi rendahnya peringkat
kesantunan, Brown dan Levinson menetapkan tiga skala di antaranya (1) jarak sosial, (2) status
sosial penutur dan lawan tutur, dan (3) tindak tutur.

Berdasarkan teori-toeri kesantunan oleh beberapa tokoh tersebut, Abdul Chaer (2010: 109-119)
membaginya menjadi sejumlah larangan yang sebaiknya tidak dilanggar dan sejumlah keharusan
yang sebaiknya dilaksanakan untuk memenuhi etika kesantunan dalam berbahasa. Akan tetapi
pada makalah ini penulis menyimpulkan bahwasanya kesantunan berbahasa dapat diwujudkan
dalam hal-hal berikut. (1) Membuat lawan tutur merasa senang atau tidak merasa diremehkan
dengan memberikan pujian; (2) bersikap lebih rendah dari lawan tutur atau tidak
menyombongkan diri; (3) menunjukkan empati atau tidak menunjukkan perasaan senang
terhadap kemalangan orang lain; (4) menggunakan kalimat tidak langsung ketika menyuruh,
menolak, dan menyatakan ketidaksetujuan; (5) menggunakan kosakata yang secara sosial budaya
terasa lebih santun dan sopan, termasuk juga penggunaan sapaan; dan (6)  menggunakan kata
“maaf” jika harus menyebutkan kata-kata yang dianggap tabu dan disertai penjelasan atau
bahkan lebih santun lagi jika diawali dengan kata “mohon”.

Tidak semua orang memiliki kesadaran akan kesantunan dalam berbahasa. Sering kali ada saja
penyebab seseorang tidak menyertakan kesantunan dalam berbahasa. Ketidaksantunan tersebut
menurut Pranowo via Abdul Chaer (2010: 69-72) disebabkan oleh faktor-faktor seperti (1)
mengritik secara langsung dengan menggunakan kata-kata kasar; (2) adanya dorongan rasa
emosi penutur; (3) protektif terhadap pendapat sendiri; (4) sengaja menuduh lawan tutur; dan (5)
sengaja memojokkan mitra tutur.

Aksiologi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kaitannya dengan


Kesantunan Berbahasa

Sebelumnya telah dibahas mengenai pengertian aksiologi, yakni salah satu landasan
pengembangan ilmu yang merujuk pada kegunaan atau kebermanfaatan ilmu dalam kaitannya
dengan nilai dan moral. Pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, aksiologi atau landasan
aksiologisnya berkaitan dengan bagaimana kegunaan atau kebermanfaatan Bahasa dan Sastra
Indonesia sebagai ilmu diharapkan mampu menanamkan kesadaran siswa mengenai nilai dan
moral yang berlaku di masyarakat.

Bahasa dan Sastra  Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran utama di sekolah, disamping
mempertimbangkan landasan ontologis yang berkaitan dengan isi materi pelajaran dan landasan
epitemologis yang berkaitan dengan metode pembelajarannya, melainkan juga landasan
aksiologis yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran khususnya kebermanfaatannya bagi siswa.
Secara umum, ilmu tidak akan berkembang (dipelajari dan diajarkan) apabila tidak memiliki
manfaat. Oleh karena itu landasan aksiologis justru menjadi landasan pertama yang
dipertimbangkan mengapa Bahasa dan Sastra Indonesia dijadikan sebagai salah satu mata
pelajaran utama di sekolah. Tentunya hal ini berkaitan dengan kebermanfaatannya yang
cenderung memiliki peluang yang besar sebagai sarana menanamkan kesadaran nilai dan moral
pada siswa. Adanya kesadaran nilai dan moral dalam hal ini merupakan manfaat utama dari
setiap ilmu, khususnya Bahasa dan Sastra Indonesia.

Bahasa sebagai salah satu media komunikasi utama memiliki peranan penting dalam menunjang
keberlangsungan kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Oleh karena itu, tidak salah apabila
bahasa masuk sebagai salah satu bidang studi utama yang diajarkan di sekolah. Peranannya yang
penting ini berkenaan pula dengan aksiologi pembelajarannya sebagai salah bidang ilmu yang
harus dikuasai siswa. Ada berbagai manfaat mempelajari Bahasa dan Sastra Indonesia, namun
salah satu yang paling tampak adalah sebagai sarana mengajarkan kesantunan berbahasa pada
siswa. Maka dari itu, aksiologi dalam hal ini menyangkut kegunaan atau kebermanfaatannya
sebagai sarana mencapai tujuan agar siswa mampu memiliki kesantunan dalam berbahasa atau
menggunakan bahasa sesuai dengan nilai dan moral yang berlaku di masyarakat.

Nilai berbicara mengenai benar dan salah, sedangkan moral berbicara mengenai baik dan buruk.
Keduanya saling mempengaruhi. Akan tetapi, apabila berfokus pada kesantunan berbahasa,
maka moral lah yang lebih ditekankan karena kesantunan berbahasa merupakan salah satu
perwujudan moral. Darmiyati Zuchdi (2010: 14-18) memaparkarkan salah satu teori mengenai
moral yakni teori keputusan moral Kohlberg yang dibagi menjadi tiga tingkatan dan kemudian
dibagi lagi menjadi enam tahap. Tingkat pertama (prakonvensional) terdiri atas tahap 1 yakni
moralitas heteronomi dan tahap 2  individualisme (tujuan instrumental dan pertukaran), tingkat
kedua (konvensional) terdiri atas tahap 3 yakni harapan bersama antarpribadi, hubungan dan
persesuaian antarpribadi dan tahap 4 yakni sistem sosial dan suara hati nurani, dan tingkat ketiga
(psacakonvensional) terdiri atas tahap 5 yakni kontrak sosial atau hak milik dan hak individu dan
tahap 6 yakni prinsip-prinsip etis universal.

Salah satu indikasi baik buruknya moral dapat diamati dari kesantunan seseorang menggunakan
bahasa. Orang yang memiliki keputusan moral pada tingkatan pertama cenderung bertindak atas
kemauan individualnya dan tidak mempertimbangkan pandangan orang lain sehingga ketika
bertutur pun kemungkinan kurang dapat menjaga perasaan orang lain. Berbeda halnya dengan
yang berada di tingkat dua yang mulai mempertimbangkan motif pribadi dan hubungan dengan
orang lain atau bahkan tingkat 3 yang sudah benar-benar menyadari hakikat moral. Orang yang
moralnya berada pada tingat kedua dan  ketiga ini cenderung bertindak dengan pertimbangan
sosial sehingga ketika bertutur pun kemungkinan mulai atau bahkan sudah mampu menjaga
perasaan orang lain.

Begitu pula dengan orang yang berpendidikan. Mereka cenderung memiliki kemampuan
berbahasa yang santun daripada orang yang tidak berpendidikan. Dengan kata lain, orang yang
berpendidikan akan cenderung untuk lebih selektif dalam memilih kata-kata yang ia pakai dalam
tuturan dengan mempertimbangkan berbagai hal seperti siapa lawan tuturnya, dimana ia bertutur
dan lain sebagainya sehingga memiliki tingkat kesantunan yang tinggi. Lain halnya dengan yang
orang yang tidak atau kurang berpendidikan, ia bertutur tanpa banyak pertimbangan sehingga
tuturannya memiliki tingkat kesantunan yang lebih rendah.  Oleh karena itu pengajaran moral di
sekolah dapat dikatakan sangat penting agar siswa sedari dini telah mampu berada pada
tingkatan keputusan moral yang tinggi.
Meskipun hal ini bukan satu-satunya penentu baik-buruknya moral yang dimiliki sesorang, tetapi
menanamkan kesantunan dalam berbahasa di sekolah turut memberikan sumbangsih bagi
pembentukan moral bangsa. Oleh karena itu, pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
sekolah menjadi media yang sangat tepat untuk menanamkan kesantunan berbahasa pada siswa
untuk menunjang peningkatan perkembangan moral.

Implementasi Aksiologi Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Kaitannya


dengan Kesantunan Berbahasa

Pembelajaran bahasa di sekolah yang disandingkan dengan pembelajaran sastra dijadikan salah
satu mata pelajaran wajib yakni Bahasa dan Sastra Indonesia. Pada pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia, siswa memang tidak secara langsung dijelaskan mengenai bentuk-bentuk
kesantunan berbahasa secara teoretis seperti halnya yang diajarkan pada mahasiswa Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia. Akan tetapi, guru memiliki kesempatan yang luas untuk
menanamkan perilaku santun dalam berbahasa melalui materi-materi yang diberikan.

Salah satu implementasinya yakni  ketika memberikan materi kebahasaan seperti jenis kalimat
perintah, guru dapat menggiring siswa untuk dapat membedakan kalimat yang santun dan kurang
santun dari contoh-contoh yang diberikan. Misalnya membedakan kalimat “Pindahkan koper
ini!”, “Tolong, pindahkan koper ini”, dan “Dapatkah Anda memindahkan koper ini?”. Ketiga
kalimat perintah tersebut memiliki tingkat kesantunan yang berbeda. Secara tidak langsung guru
dapat mengarahkan siswa untuk memiliki pertimbangan memilih kalimat mana yang akan
digunakan ketika memberikan perintah untuk memindahkan koper pada seseorang. Pertimbangan
itu antara lain seperti jarak sosial, status sosial penutur dan lawan tutur, dan lain sebagainya.
Ketika perintah ditujukan pada orang yang lebih muda, dapatlah kalimat “Pindahkan koper ini!”
digunakan. Akan tetapi jika ditujukan pada yang lebih tua maka kalimat “Dapatkah Anda
memindahkan koper ini?” menjadi pilihan.

Pada pembelajaran tersebut, materi mengenai kalimat perintah tersebut merupakan salah satu
perwujudan landasan ontologis, sedangkan tujuan guru memberikan berbagai macam contoh
kalimat perintah dengan tingkatan-tingkatan tertentu merupakan perwujudan landasan aksiologis.
Kedua landasan ini masih belum lengkap tanpa perwujudan landasan epistemologis yakni cara
atau metode guru dalam menyampaikan materi untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
mampu memudahkan pemahaman siswa. Dalam hal ini guru dapat menggunakan berbagai
metode pembelajaran. Misalnya dengan praktik langsung penggunaan kalimat perintah. Pada
murid A guru memberikan perintah dengan kalimat “Ambilkan spidol itu!” dan pada murid B
guru memberikan perintah dengan kalimat “Budi, bisakah kau membantu Ibu untuk
mengambilkan spidol itu?”. Kemungkinannya adalah m bisa jadi murid A akan melakukan apa
yang diperintahkan guru akan tetapi ia melakukannya dengan berat hati karena merasa
diperintah, sedangkan murid B melakukan perintah perintah gurunya dengan senang hati. Praktik
langsung seperti ini diharapkan mampu memberikan pemahaman pada siswa untuk dapat
membedakan kalimat perintah yang santun dan kurang santun.

Selain pada materi kebahasaan, materi sastra pun dapat dijadikan media menanamkan
kesantunan berbahasa pada siswa. Pada pembelajaran sastra, siswa dikenalkan dengan berbagai
macam majas atau gaya bahasa yang digunakan dalam pertuturan. Abdul Chaer (2010: 20)
mengatakan bahwa dengan menggunakan majas pertuturan bisa lebih santun. Majas atau gaya
bahasa dalam  hal ini merupakan optimalisasi penggunaan bahasa dengan cara tertentu untuk
mengefektifkan pertuturan atau komunikasi. Banyak sekali majas yang dapat dikenalkan pada
siswa seperti yang dijabarkan oleh Gorys Keraf (2008: 129-145) yang di antaranya yakni
personifikasi, metafora, eufimisme, pleonasme, dan lain sebagainya. Sebagai contoh, misalnya
“Ayahnya sudah tak ada di tengah-tengah mereka” yang merupakan majas eufimisme atau
ungkapan yang memperhalus dari makna sebenarnya yakni “Ayahnya sudah mati”.

Sebenarnya penanaman kesantunan berbahasa dalam pembelajaran sastra tidak harus selalu
berkaitan dengan materi yang sedang diajarkanmelainkan juga di luar materi. Misalnya ketika
ada salah satu siswa yang ayahnya baru saja meninggal, guru menyampaikan informasi ini dalam
bentuk majas eufimisme “Salah satu teman kalian, Erza, saat ini sedang berduka karena
ayahnya sudah tiada”. Ada kemungkinan sebagian siswa paham bahwa yang dimaksud guru
adalah bahwa ayah Erza sudah meninggal dan sebagian yang lain belum paham. Dalam situasi
ini guru dapat menjelaskan tuturannya bahwa ia sedang menyampaikan informasi kematian ayah
Erza dalam bentuk tuturan yang memiliki tingkat kesantunan lebih dengan menggunakan majas
eufimisme ketimbang mengatakan kalau ayah Erza sudah mati.

Pemahaman siswa dalam mempertimbangkan tuturan berkaitan pula penguasaan atau


perbendaharaan kosakata yang dimiliki siswa sehingga ia mampu menentukan diksi atau pilihan
kata yang tepat pada tuturan sesuai konteks kesantunan. Maka dari itu dalam pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia siswa dibimbing untuk menguasai empat keterampilan bahasa
seperti menyimak, berbicara, membaca dan menulis untuk membantu mereka dalam memperoleh
sebanyak-banyaknya tabungan kosakata. Selain itu, dengan menguasai keempat keterampilan,
siswa dapat memperoleh wawasan yang luas yang dapat dijadikan sebagai bekal untuk
berinteraksi di lingkungan sosial dengan kesadaran akan nilai dan moral melalui perilaku santun
dalam berbahasa.

Untuk mencapai aksiologi ini, guru memiliki peran yang sangat penting untuk membimbing
siswa secara efektif. Oleh karena itu ia harus memiliki karakteristik profesionalnya sebagai guru
khususnya guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Kamla via Mudyahardjo (2002: 196) karakteristik
professional sangat mempengaruhi efektivitas guru mengajar adalah berkenaan dengan
kemampuan-kemampuan: (1) menerangkan dengan jelas topik-topik yang menjadi bahan ajaran;
(2) menyajikan dengan jelas mengenai mata pelajaran; (3) mengorganisasikan secara sistematis
tentang mata pelajaran; (4) berekspresi; (5) membangkitkan minat dan dorongan siswa untuk
belajar; dan (6) menyusun rencana dan persiapan mengajar.

Karakter professional guru ini diharapkan mampu meningkatkan efektivitas pembelajaran


Bahasa dan Sastra Indonesia dalam kaitannya dengan membentuk perilaku santun berbahasa
pada siswa sebagai aktualisasi dari landasan aksiologinya. Dengan memiliki kesantunan dalam
berbahasa melalui pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, siswa diharapkan mampu menjadi
bagian dari manusia yang berkeribadian Pancasila. Hal ini merujuk pada pendidikan nasional
seperti halnya dijelaskan oleh Tirtarahardja dan Sulo (2008: 91) yang mengusahakan
pembentukan manusia pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan
mampu mandiri. Pancasila menjadi sumber sistem nilai dalam pendidikan atau dengan kata lain
pancasila menjadi sumber dari segala gagasan mengenai wujud manusia dan masyarakat yang
dianggap baik atau sumber dari segala sumber nilai yang menjadi pangkal serta muara dari setiap
keputusan dan tindakan dalam pendidikan.

Mengingat pancasila sebagai sumber sistem nilai dalam pendidikan, maka guru terlebih dahulu
memahami betul hal ini dan mampu menerapkankannya, khususnya dalam pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia. Selain menguasai materi ajar, guru harus mampu memasukkan nilai-nilai
Pancasila dalam proses pembelajaran sebagai acuan moral bagi siswa.

Kesimpulan

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dapat menjadi salah satu sarana penanaman
kesadaran moral pada siswa dalam bentuk kesantunan berbahasa sebagai aktualisasi dari
landasan aksiologi pendidikan. Dalam hal ini guru memiliki peran penting dalam mengarahkan
siswa untuk mampu bersikap santun dalam berbahasa sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai
acuan nilai dalam pendidikan.

Saran

Dalam realisasinya, hendaklah pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia memberikan porsi
yang lebih dalam penanaman nilai dan moral yang berlaku dalam masyarakat Indonesia pada
siswa. Bukan hanya melulu diajarkan konsep kebahasaan atau teori kesastraan saja. Oleh karena
itu, penting kiranya bagi guru untuk merefleksikan kembali apakah pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia yang diampunya sudah memuat nilai-nilai yang membentuk karakter siswa
dalam wujud kesantunan berbahasa atau belum. Jadi, selain mementingkan pengajaran materi
(segi ontologi) dan  cara mengajarkan materi (segi epistemologi), guru juga harus
memperhatikan kebermanfaatan pembelajaran materi (segi aksiologi) sebagai tujuan akhir
pembelajaran.

Daftar Pustaka

Abdul Chaer. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Darmiyati Zuchdi. 2010. Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang


Manusiawi. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Gorys Keraf. 2008. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mansur Muslich. 2010. Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Muhadjir Noeng. 2015. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Rake Sarasin.

Surajiyo. 2013. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Suriasumantri, Jujun S. 2009. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2008. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT Asdi Mahasatya.

Yudi Latif. 2015. “Bahasa dan Lintas Kebangkitan” Makalah disajikan pada Seminar Nasional
Bahasa dan Kekuasaan yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Yogyakarta tanggal 26
November 2015.

#Ket: Makalah dipresentasikan sebagai tugas akhir perkuliahan “Filsafat Ilmu” pada 21
Desember 2015 di Aula PPs Universitas Negeri Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai