Anda di halaman 1dari 75

PENGANTAR FILSAFAT BAHASA

Imam Baehaqie, Sastra Indonesia,


Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Semarang
1
IDENTITAS MATA KULIAH
1. Nama Mata Kuliah
Pengantar Filsafat Bahasa
2. Capaian Pembelajaran Lulusan
a. CP Sikap:
Menginternalisasi nilai, norma, dan etika
akademik
b. CP Pengetahuan:
Menguasai ilmu-ilmu dasar yang relevan dengan
bidang linguistik dan sastra untuk mendapatkan
kajian sastra dan linguistik yang mendalam dan
komprehensif
IDENTITAS MATA KULIAH (lanjut)
c. CP Keterampilan
(1) Umum: Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis,
sistematis, dan inovatif dalam konteks pengembangan atau
implementasi ilmu pengetahuan dan/atau teknologi yang
memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora yang sesuai
dengan bidang keahliannya
(2) Khusus: Mampu mengaplikasikan ilmu-ilmu dasar yang
relevan dengan bidang linguistik dan sastra untuk mendapatkan
kajian linguistik dan sastra yang mendalam dan komprehensif
3.Capaian Pembelajaran Mata Kuliah
a. Menguasai teori-teori dasar dalam bidang linguistik
b. Menguasai prinsip-prinsip dasar analisis bahasa dari
berbagai aliran linguistik
4.Dosen Pengampu : Imam Baehaqie, S.Pd, M.Hum.
MATERI 1
DASAR-DASAR
FILSAFAT
APA ITU FILSAFAT?
Secara Harfiah
Secara harfiah atau etimologis, istilah “filsafat” yang
merupakan padanan kata falsafah (bahasa Arab),
philosophy (bahasa Inggris), philosophia (Latin), dan
philosophie (Jerman, Belanda, dan Prancis) berasal dari
bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia merupakan
bentuk polimorfemis yang terdiri atas philein, philia, atau
philo ‘cinta atau ingin’ dan sophos atau sophia ‘bijaksana
atau arif/pandai (tahu secara mendalam)’. Jadi, philosophia
atau filsafat berarti (1) cinta pada kebijaksanaan dan (2)
ingin arif atau ingin pandai secara mendalam.
APA ITU FILSAFAT? (lanjut)
Secara Historis
Mula-mula istilah filsafat digunakan oleh Pythagoras (582-496
SM), seorang matematikus dan filsuf Yunani. Pada masa itu istilah
“filsafat” masih dipergunakan secara umum dengan arti yang
sangat luas, yaitu untuk menyebut semua disiplin ilmu. Seiring
perkembangan zaman, dari filsafat itu kemudian muncul berbagai
cabang ilmu yang mandiri. Atas dasar itu, filsafat dikatakan sebagai
induk segala ilmu. Setelah filsafat menyapih cabang-cabang ilmu
itu, kini filsafat menjadi dasar, perangka, dan pemersatu bagi
cabang-cabang ilmu tersebut. Kini filsafat menjadi interdisipliner
sistem (Suhadi, 1995: 2)
ASAL MULA FILSAFAT
• Ada empat hal yang melahirkan filsafat, yaitu pertama
ketakjuban atau kekaguman. Bagi Plato, pengamatan terhadap
bintang-bintang, matahari, dan langit merangsang manusia
untuk melakukan penelitian, demi memahami hakikatnya.
Pengamatan juga merambah pada benda yang abstrak. Karena
itu, Immanuel Kant terpukau memandang hukum moral dalam
hatinya. Itulah yang melahirkan filsafat.
• Kedua, ketidakpuasan. Sebelum filsafat lahir, mitos-mitos
diangap sebagai penjelas asal mula dan peristiwa-peristiwa
yang terjadi di alam semesta. Tapi penjelasan berdasar mitos-
mitos tersebut tidak cukup memuaskan. Manusia pun lambat-
laun mulai berpikir rasional. Ketika rasio mulai menurunkan
mitos-mitos itu dari singgasananya, pada saat itu lahirlah filsafat.
ASAL MULA FILSAFAT (lanjut)
• Ketiga, hasrat bertanya. Ketakjuban melahirkan pertanyaan, dan
ketakjuban membuat pertanyaan itu takkunjung habis. Hasrat
bertanya membuat manusia mempertanyakan segalanya, tidak
sekadar pada wujud sesuatu, melainkan juga pada dasar dan
hakikatnya. Inilah salah satu ciri khas filsafat. Bahkan filsafat
dapat mempertanyakan hal-hal atau pertanyaan-pertanyaan
yang sedang ditanyakannya. Inilah yang menyebabkan filsafat
itu ada, tetap ada, dan akan terus ada.
• Keempat, keraguan. Pertanyaan yang diajukan untuk
memperoleh kejelasan yang pasti merupakan suatu pernyataan
tentang adanya aporia (keraguan, ketidakpastian, dan
kebingungan). Jadi, jelas terlihat bahwa keraguanlah yang turut
merangsang manusia untuk berfilsafat (Rapar, 1996: 16-19).
SISTEMATIKA FILSAFAT
Hasil pemikiran tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin
ada banyak sekali terkumpul di dalam buku tebal dan tipis.
Setelah disusun secara sistematis dinamakanlah sistematika
filsafat atau struktur filsafat. Filsafat disusun atas tiga cabang
teori utama, yaitu teori hakikat, teori pengetahuan, dan teori
nilai. Teori hakikat membicarakan hakikat, substansi, atau
esensi pengetahuan itu sendiri (disebut ontologi). Teori
pengetahuan membicarakan cara memperoleh pengetahuan
(disebut epistemologi), sedangkan teori nilai membahas
aspek kegunaan pengetahuan itu (disebut aksiologi). Jadi,
sistematika filsafat meliputi ontologi, epistemologi, dan
aksiologi.
BAGAN SISTEMATIKA
(ATAU STRUKTUR) FILSAFAT
Materi Pembelajaran/Judul Bahan Ajar

ONTOLOGI
apa (substansi)

EPISTEMOLOGI
FILSAFAT Bagaimana
(metodologi)

AKSIOLOGI
mengapa/untuk apa
(fungsi)
MATERI 2
KONSEP FILSAFAT
BAHASA
PENGERTIAN FILSAFAT BAHASA
Pengertian Pertama
Filsafat bahasa diartikan sebagai suatu penyelidikan yang mendalam
terhadap bahasa yang digunakan dalam filsafat, sehingga dapat
dibedakan antara pertanyataan filsafat yang mengandung makna
(meaningfull) dan yang tidak bermakna (meaningless). Definisi ini
mengisyaratkan bahwa objek material filsafat bahasa adalah bahasa
kefilsafatan atau bahasa yang dipergunakan dalam filsafat. Adapun
objek formalnya adalah pandangan filsafati atau tinjauan secara
filsafati (Mustansyir, 1988:45). Filsafat bahasa dalam pengertian ini
mengacu pada sebuah gerakan filsafat yang pada kali pertamanya –
yaitu pada abad XX-- berkembang di Inggris, dengan G.E. Moore
sebagai pelopornya. Filsafat dalam pengertian ini dikenal dengan
filsafat analitik atau filsafat analitika bahasa (Kaelan, 1998:6).
PENGERTIAN FILSAFAT BAHASA (lanjut)
Pengertain Kedua
Filsafat bahasa merupakan salah satu cabang ilmu bahasa (linguistik)
yang dapat dimanfatkan untuk membahas hakikat bahasa itu sendiri
(dalam fakultas bahasa). Filsafat bahasa dalam pengertian yang kedua
ini berkaitan dengan telaah mendasar atas hal-hal yang fundamental
tentang bahasa dalam segi esensi atau substansi, sumber dan
pengembangannya, serta fungsinya dalam kehidupan manusia.
Telaah atau kajian atas filsafat bahasa akan berjalan dengan baik jika
dilakukan oleh seorang yang mencintai filsafat dan/atau ahli filsafat
sekaligus ahli bahasa. Pengertian ahli bahasa dan filsafat di sini adalah
mahir atau memiliki pemahaman yang memadai ihwal bahasa dari segi
hakikat, sifat-sifat, satuan-satuan, asal, arah perkembangan, dan
fungsinya dalam kehidupan manusia.
METODE PEMELAJARAN FILSAFAT BAHASA
(HIDAYAT, 2006: 15—17)

METODE
HISTORIS FILSAFAT
BAHASA INTUITIF

SISTEMATIS ANALISIS
ABSTRAK
KRITIS
MATERI 3
URGENSI FILSAFAT
BAHASA
MANFAAT FILSAFAT BAHASA
BAGI PEMELAJARNYA

MEMBANTU DALAM PEMAHAMAN BAHASA


MANFAAT SECARA MENDASAR (RADIKAL)
FILHASA

MELATIH BERPIKIR FILSAFATI:


radikal, universal, dst.
MATERI 4
KOMPONEN
DAN SATUAN
BAHASA
KOMPONEN BAHASA (1)
Secara garis besar, komponen bahasa terdiri atas tiga elemen,
yaitu grammar ‘tata bahasa’, vocabulary ‘kosakata’, dan
pronunciation ‘pelafalan’.
•Tata bahasa atau gramatika (grammar) merupakan pola dan
aturan yang harus diikuti bila kita mau belajar suatu bahasa dengan
benar.
•Kosakata atau vocabulary merupakan kumpulan kata yang dimiliki
oleh suatu bahasa dan memberikan makna bila kita menggunakan
bahasa tersebut. Istilah lainnya adalah perbendaharaan kata,
khazanah kata, leksikon, dan satuan ekspresi.
•Pelafalan atau pronunciation adalah cara mengucapkan kata-kata
suatu bahasa.
KOMPONEN BAHASA (2)
Kenyataan tersebut selaras dengan pendapat Poedjosoedarmo
(2003: 24), yaitu bahwa komponen bahasa meliputi komponen
fonologis, komponen semantis, dan komponen sintaktis. Komponen
fonologis berkaitan dengan pelafalan atau pronunciation, yaitu
cara mengucapkan kata-kata suatu bahasa. Komponen sintaktis
berhubungan dengan tata bahasa atau gramatika (grammar)
bahasa, yaitu pola dan aturan yang harus diikuti bila kita mau
belajar suatu bahasa dengan benar. Adapun komponen semantic
terkait dengan makna satuan-satuan kebahasaan, utamanya
berkenaan dengan kosakata atau vocabulary merupakan kumpulan
kata yang dimiliki oleh suatu bahasa dan memberikan makna bila
kita menggunakan bahasa tersebut.
SATUAN BAHASA
(1) Fon
(2) Fonem
(3) Morfem
(4) Kata
(5) Frasa
(6) Klausa
(7) Kalimat
(8) Wacana
Pelambangan Satuan Bahasa
(1) Fon: [ā], [u], [U], [ṡ], dll.
(2) Fonem: /a/, /u/, dsb.
(3) Morfem: {ber-}, {sastra},
dst.
MATERI 5
KEARBITRERAN
BAHASA
KECENDERUNGAN
KEARBITRERAN BAHASA
CATATAN
1. Kearbitreran banyak dijumpai pada lapisan
kata; pada tataran frasa ke atas
kearbitreran sudah mengurang.
Contoh danya frasa semar mendem dan
pedagang kaki lima.
2. Dengan semakin banyaknya penelitian,
semakin banyak rahasia dapat
disingkapkan; semakin banyak pula hal-hal
dapat diterangkan secara baik, tidak
arbitraris lagi.
MATERI 6
KESEMESTAAN
DAN KEUNIKAN
BAHASA
KESEMESTAAN BAHASA (1)
• Di dunia ini terdapat ribuan bahasa dan di
Indonesia terdapat ratusan bahasa. Akan tetapi,
ada ciri umum yang melekat pada bahasa-bahasa
itu, yang disebut dengan kesemestaan bahasa
atau universalia bahasa (language universals),
yang terurai sebagai berikut.
• Fungsi utama bahasa adalah sebagai sarana
komunikasi.
• Media utama bahasa adalah bunyi ujaran (vocal
sound).
KESEMESTAAN BAHASA (2)
• Semua bahasa memiliki leksikon atau kosakata, yang
mengandung makna.
• Semua bahasa memiliki tata bahasa atau gramatika
(grammar) (Elson dan Pickett dalam Tarigan, 1985:
2).
• Selaras dengan hal tersebut, Poedjosoedarmo
(2003:189-210) menegaskan bahwa kesemestaan
bahasa meliputi (a) kesemestaan bahasa dalam
gramatika, (b) kesemestaan bahasa dalam fonologi,
dan (c) kesemestaan bahasa dalam semantik.
KEUNIKAN BAHASA (1 dan 2)
1. Kaidah gramatika pada suatu bahasa tidak bersifat
simetris. Artinya, kaidah tata bahasa itu tidak dapat
diterapkan secara otomatis, tetapi tetap perlu
disesuaikan dengan kenyataan pada bahasa yang
dikaidahi. Fakta-fakta kebahasaan berikut
mengisyaratkan bahwa bahasa bersifat unik.
2. Tidak semua bentuk semu dapat dinyatakan dengan
peniadaan pengulangannya. Sebagian kata ulang
semu dapat disampaikan dengan tidak diulang dan
sebagian lainnya dapat dikemukakan tanpa adanya
pengulangan tanpa sedikit pun berubah maknanya.
Contoh: ada paru-paru dan paru tapi tidak
sama halnya dengan laba-laba dan laba.
KEUNIKAN BAHASA (3)
(3) Tidak semua kata dalam bahasa tertentu dapat diterjemahkan
ke dalam bahasa lainnya hanya dengan mengubah salah satu
fonemnya secara konsisten. Sebagian kata dalam bahasa tertentu
dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lain hanya dengan
mengubah salah satu fonemnya, baik fonem segmental maupun
fonem suprasegmentalnya dan sebagian lainnya tidak dapat
diterjemahkan dengan cara demikian. Misalnya, tidak semua kata
yang pada suku keduanya bersonoritas atau bervokal /ǝ/ dalam
bahasa Jawa dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
hanya dengan mengubah fonem tersebut menjadi /a/.i
a dan O
Nggak bisa mangsa ketiga
KEUNIKAN BAHASA (4 dan 5)
(4) Tidak semua verba dalam bahasa tertentu dapat dibubuhi afiks
tertentu. Ada verba yang dapat dibubuhi afiks tertentu dan ada verba
yang tidak dapat bergabung dengan afiks tersebut. Misalnya, dalam
bahasa Indonesia dapat ditemukan adanya verba yang tidak dapat
dibubuhi prefiks meng-/di-. Bisanya hanya bergabung dengan afiks
meng-i/di-i. Dalam bahasa Indonesia tidak ada kata
menduduk/diduduk.
(5) Tidak semua bahasa mengenal jenis kelamin (jantina) dalam
nominanya. Misalnya dalam bahasa Perancis dan Arab dikenal adanya
jenis kelamin pada nominanya, sedangkan dalam bahasa Indonesia,
Inggris, dan Jawa cenderung tidak dikenal jenis kelamin tersebut
pada kategori nominanya. Jikalaupun ada, kategori tersebut tidak
produktif. Kata “mahasiswa” cenderung berjenis kelamin laki-laki.
KEUNIKAN BAHASA (lanjut)
Contoh lain
Putra-putri
Saudara-saudari
Santri-santriwan-santriwati
Sastrawan, juga mencakupi perempuan
Pramugari, pramugara
Ini menarik untuk digali.
KEUNIKAN BAHASA (lanjut)
Dalam bahasa Jepang dan Arab, tekanan sangat mempengaruhi
makna.
Contohnya dalam bahasa Arab: ana dan Anna itu beda makna
Lihat Chaer dalam linguistik umum perihal kesemestaan bahasa.
MATERI 7
KEBERAGAMAN
BAHASA
DI PAESAN TENGAH,
KEC. KEDUNGWUNI, BERARTI, DI SINI,
KAB. PEKALONGAN DI DALAM
ADA SEBUAH BAHASA JAWA INI,
SANTRI ADA KEBERAGAMAN
PONDOK PESANTREN.
INDRAMAYU DIALEK :
PUN BENGONG;
JADI BINGUNG.
DIALEK JOGLO,
DI ANTARA SANTRINYA DIALEK
ADA YANG BERASAL SEMARANGAN,
DARI KAB. INDRAMAYU. SI PENJUAL PUN DIALEK WELERI,
BERHENTI, DIALEK TEGAL,
MENANTI, DIALEK
DAN MENUNGGU. BANYUMAS,
KETIKA ADA DIALEK
PENJUAL MAKANAN KELILING INDRAMAYU,
LEWAT, SANTRI TERSEBUT DMBL.
BERKATA: “BELI TUKU”.
RUMUSAN MASALAH
CIREBONAN
SOLO/ BANYU- TEGAL, WELERI SURA- GLOSS/
BANTEN & PEMALANG
YOGYA MASAN BREBES (KENDAL) BAYA MAKNA
DERMAYON
kita, reang, inyong, inyong, aku, nyong
aku kita nyong aku saya
isun, ingsun nyong nyong
kowe,
kowe sire sira rika koen koe kon kamu
sampeyan
nemen, neni, temen, amat/
tenan pisan pisan banget nemen, temen, teo nemen, pol
temen temenan sekali
keprimen, priye
kepriben,
piye, kepriben, kepriben, primen, bagai
keprimen kepriwe priben, ya' apa
kepriye kepriwe prime, priben, -mana
pribe
pribe
ora ore ora, beli ora ora, belih ora ora, ora’ ora', oga' tidak
manjing, mlebu
mlebu manjing manjing mlebu manjing, mlebu mlebu masuk,
mlebu
pak,arep arep,
arepe,
arep, meh arep arep, pan arep pan pan, pen, ape, pak akan
ape
kate
saka sake sing sekang sing kadi, kading sekoh teka dari
cinta kebebasan
toleran
kasih

semangat
demokratis persatuan
kebangsaan

rasa ingin
peduli
kreatif tahu
sosial
Berbagai ragam dalam pemakaian Bahasa
Menurut Suhardi dan Sembiring (dalam
Kushartanti dkk 2009: 50), ada lima
ragam dalam pemakaian bahasa:
(1)Ragam intim
(2)Ragam santai
(3)Ragam konsultatif
(4)Ragam formal/baku
(5)Ragam beku.
MATERI 9
ASAL-USUL BAHASA
ASAL-USUL BAHASA
Untuk memperdalam pemahaman atas
bahasa, terkait dengan asal-usul ini
dapat dirunut bahasa dari asal-usulnya:
asal-usul bahasa secara umum dan asal-
usul bahasa dalam satuan-satuannya.
MATERI 10
REPRESENTASI
MAKNA BAHASA
MAKNA BAHASA DALAM KAJIAN
FENOMENOLOGI

APA DAN BAGAIMANA MAKNA BAHASA


DALAM FENOMENOLOGI ?
SEJARAH FENOMENOLOGI

Aliran fenomenologi merupakan metode berpikir


yang dikemukakan oleh Edmund Husserl (1859-
1939), seorang filsuf Jerman (berwarga Austria).
Husserl lahir di Prostejov, suatu wilayah di
Cekoslowakia, pada April 1859, dari keluarga Yahudi.
Mula-mula ia menyibukkan diri dalam ilmu pasti
(matematika, ilmu alam, dan astronomi). Namun,
ketika di Wina ia mulai tertarik pada filsafat Franz
Brentano (1938-1917). Dalam filsafat Brentano itulah
sebenarnya fenomenologi mula-mula ada (Hidayat
2006:143).
PENGERTIAN FENOMENOLOGI
Secara etimologis, istilah “fenomenologi” berasal dari dua kata bahasa
Yunani: phenomenon (jamak: phenomena) dan logos. Secara
kebahasaan, istilah phenomenon berkesepadanan makna atau
bersinonim dengan penampilan ‘gejala yang tampak’, yaitu
penampilan sesuatu. Dalam filsafat, fenomena diartikan sebagai
“penampilan sesuatu” yang kontras dengan “sesuatu” itu sendiri. Kant
menjadikan pembedaan ini sebagai tonggak filsafatnya, dan ia
mengajarkan bahwa pemikiran manusia tidak akan pernah sampai
kepada “sesuatu” (nomenon) itu sendiri; yang bisa diketahui hanyalah
penampilan sesuatu itu atau fenomenon. Bagi Husserl, fenomenologi
adalah ilmu pengetahuan tentang fenomena (Misiak dan Sexton 1988:
2; Hidayat 2006:143)).
Fenomenologi merupakan jalan untuk
memperoleh pengertian (meaning) dalam hal ini
meaning diciptakan oleh tindakan-tindakan
mental dan alam hadir dalam kesadaran hanya
melalui tindakan-tindakan mental tersebut (it is
the sole acces to meaning, meaning is created by
mental act, and the word becomes present to
consciousnes only through those acts) (Zubaedi
2007: 128).
CONTOH PENERAPAN FENOMENOLOGI
DALAM STUDI KEBAHASAAN
1. Berdasarkan pendekatan fenomenologis, penelitian terhadap
bahasa akan sampai pada kenyataan bahwa apakah data yang
terkumpul itu merupakan fenomena dalam kegiatan berbahasa
di masyarakat atau tidak. Hal ini dapat diamati dengan sangat
jelas dalam disiplin ilmu dialektologi, sosiolinguistik, dan
etnolinguistik. Dalam studi dialektologi, ada fenomena
penggunaan vokal /o/ untuk bahasa Jawa dialek Solo-Jogja dan
vokal /a/ untuk bahasa Jawa dialek Banyumas. Contoh lainnya
misalnya adanya fenomena bahwa dalam bahasa Jawa dialek
Solo-Jogja hanya ada satu kata bersuku akhir terbuka dengan
vokal /a/ yang tetap dibunyikan [a], yaitu ora [ora] ‘tidak’.
Kenyataan ini berbeda dengan penyikapan terhadap kata toya,
yang dilafalkan dengan [toyↄ] dan kata dosa dilafalkan dengan
[dosↄ] .
2. Dalam bidang sosiolinguistik, fenomena kebahasaan yang tidak bisa
dibantah adalah adanya fenomena penggunaan “bahasa gaul” sebagai
suatu bentuk ragam informal di kalangan remaja Indonesia yang
berupa bahasa slang, sleng, atau slenk seperti bahasa dagadu atau
bahasa prokem sebagaimana temuan atau hasil penelitian Smith-
Hefner, yang tertulis dalam artikel ilmiahnya, Youth Language, Gaul
Sociability, and the New Indonesian Middle Class (2007). Dalam artikel
itu dicontohkan secara lengkap bahasa gaul itu dari satuan lingual yang
berupa kalimat -- misalnya Kacihaaan deh lho,-- sampai dengan
abreviasi gaul seperti JJS (/jejeEs/) untuk jalan-jalan santai, PD atau
pede (/pede/) untuk percaya diri, HTI (/hatei/) untuk hubungan tanpa
ikatan, HTS (/hateEs/) untuk hubungan tanpa status, curhat untuk
curahan hati, dan telmi untuk telat mikir.
3. Dalam kajian etnolinguistik, untuk dapat memahami
perilaku para warga suatu masyarakat dengan baik,
khazanah pengetahuan yang mereka miliki harus
diketahui dan ini berarti bahwa bahasa mereka harus
dipelajari. Dari kajian etnolinguistik dapat diketahui
adanya tiga macam tingkat tutur dalam bahasa Jawa,
yaitu ngoko, krama, dan krama inggil (Ahimsa-Putra
1997: 4). Dengan cara itulah fenomena bahasa dan
kesadaran berbahasa suatu masyarakat dapat
diketahui.
MAKNA BAHASA DALAM KAJIAN
HERMENEUTIKA

APA DAN BAGAIMANA KAITAN BAHASA


DENGAN HERMENEUTIKA?
PENGERTIAN DAN SEJARAH HERMENEUTIKA
Secara etimologis, kata “hermeneutika” berasal dari bahasa Yunani
hermeneuin ‘menafsirkan”. Oleh karena itu, kata bendanya, hermeneia
secara harfiah bersinonim dengan “penafsiran” atau interpretasi. Istilah
Yunani ini berhubungan dengan tokoh mitologis yang bernama Hermes,
yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan Jupiter
kepada manusia (Palmer 1969:3; Sumaryono 2010:24).
Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung
Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Jika terjadi
kesalahan pemahaman perihal isi pesan itu, akibatnya akan fatal bagi
seluruh manusia. Hermes dituntut untuk dapat mengenterpretasikan dan
menyampaikan pesan itu dalam bahasa yang dipahami oleh pendengarnya.
Sehubungan dengan itu, hermeneutika dapat diartikan sebagai proses
mengubah suatu hal yang tidak diketahui menjadi hal yang dapat dipahami.
Dalam bahasa Arab, hermeneutika disebut takwil (Alwasilah 2008:125).
Dalam perspektif penganut hermeneutika, manusia
merupakan animal symbolicum, yaitu hewan yang bisa
menggunakan simbol-simbol. Simbol merupakan segala
sesuatu yang bisa dimaknai. Simbol-simbol itu sebelumnya
tidak bermakna, tetapi menjadi bermakna setelah diberi
atau dibubuhi [Jawa: ditempeli] makna oleh pemberi makna
itu sendiri atau setelah dimaknai. Simbol-simbol itu bisa
berupa sesuatu yang bersifat material, bisa berupa perilaku,
atau pun bahasa. Bahasa yang dimaksudkan di sini ialah
bunyi-bunyi atau sistem ujaran yang keluar dari alat ucap
manusia yang berisi pesan-pesan atau gagasan-gagasan.
Pakaian yang dikenakan seseorang, baik itu berupa baju, celana,
sepatu, sandal, peci, sarung, jilbab, dan lain-lain kesemuanya memiliki
makna. Dari sini dapat ditegaskan bahwa pakaian yang disukai atau
yang sering digunakan seseorang, misalnya celana jin bolong-bolong,
jilbab lebar, dan lain-lain juga mencerminkan kepribadian seseorang.
Kendaraan yang dimiliki seseorang, apakah itu beroda dua (seperti
sepeda atau sepeda motor) ataukah beroda empat (yang sederhana
maupun yang mewah) menyimpan makna tertentu. Rumah yang
didiami atau dihuni seseorang juga menjadi lambang bagi khazanah
kekayaaan lahir dan batin penghuninya. Makanan dan musik yang
digemari seseorang juga mengandung tafsiran sesuatu. Perilaku
seperti senyum, cemberut, cara berjalan, dan kebiasaan berhias
seseorang juga merupakan simbol yang dapat diinterpretasi.
LANGKAH PENDAKIAN DALAM PEMEROLEHAN MAKNA

LANGKAH PERTAMA: PEMBACAAN (READING)


JIKA YANG DIBACA TEKSNYA BELUM DIKETAHUI MAKNA KATA-
KATANYA PERLU DITERJEMAHKAN DAHULU.
JIKA SUDAH DIKETAHUI,
LANGKAH KEDUA: PEMAHAMAN [TERHADAP MAKNA]
(UNDERSTANDING)
JIKA ADA YANG NGGRONJAL ‘TIDAK LEMPANG’ ATAU TERJAL
“MENANJAK’,
LANGKAH KETIGA: PENAFSIRAN (INTERPRETING)
LANGKAH KEEMPAT: PENEMUAN ATAU PEMEROLEHAN MAKNA
CONTOH PENERAPAN HERMENEUTIKA DALAM STUDI
SOSIAL-HUMANIORA
Dalam antropologi interpretif yang mendapat inspirasi dari kajian
sastra, manusia diasumsikan sebagai makhluk yang dapat
menciptakan dan memanfaatkan simbol-simbol untuk komunikasi
dan membangun kehidupan sosial, sehingga kehidupan manusia
adalah kehidupan simbolik. Dalam sastra, kumpulan simbol ini adalah
teks. Oleh karena itu, kehidupan manusia dan gejala sosial-
humaniora adalah juga “teks”. Sebagai teks, kehadiran gejala ini
tidaklah untuk dijelaskan, tetapi untuk dibaca, ditafsir, diberi makna.
Bagi penganut hermeneutika, sebuah teks juga merupakan
kumpulan simbol. Dalam pandangan mereka, kebudayaan itu juga
seperti sebuah teks. Kegiatan grebek, permainan sepak bola, orasi
budaya itu juga merupakan teks. Karena seperti teks, kebudayaan
dapat ditafsir atau diinterpretasi.
MAKNA HERMENEUTIKA DALAM STUDI BAHASA

Ada tiga makna hermeneutika yang mendasar, yaitu (1)


mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui
kata-kata sebagai medium penyampaian; misalnya ”to say” (2)
menjelaskan secara rasional sesuatu yang sebelumnya masih
samar-samar sehingga maknanya dapat dimengerti, dan (3)
menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam bahasa lain.
Tiga pengertian tersebut terangkum dalam pengertian
”menafsirkan”, interpreting, atau understanding (Palmer 1969: 15).
MAKNA HERMENEUTIKA DALAM STUDI BAHASA (lanjut)

Hermeneutika adalah cara baru untuk ‘bergaul’ dengan bahasa. Bila seseorang
memahami bahasa suatu negara, dapat dipastikan ia tidak akan mungkin benci
terhadap negara itu (Sumaryono 2010: 27). Bahasa yang kurang jelas merupakan
wacana yang dapat diinterpretasi untuk meminimalisasi atau mengurangi prasangka
(Ricoeur tt: 1—23).
Di dalam Alquran misalnya, selain terdapat ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya,
terdapat pula ayat-ayat yang mutasyabihat ‘samar-samar’; misalnya Alif Lam Mim, Alif
Lam Ra, Nun, Ya Sin, dan lain-lain (Alwasilah 2008:125). Ayat-ayat tersebut perlu
dipahami secara hermeneutis. Ayat 79 dalam surat Al-Waqi’ah berikut ini juga
membutuhkan metode hermeneutika untuk memahaminya: ‘La yamassuhu illa al-
muthahharun. ‘Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan’. Apa
pengertian menyentuh di sini dan siapakah yang dimaksud orang-orang yang disucikan
tersebut? Tentu saja interpretasi ini membutuhkan bekal yang cukup karena untuk
melaksanakan pekerjaan itu diperlukan pemahaman konteks verbal dan
nonverbalnya. Konteks verbal tersebut berupa ayat-ayat lain yang berhubungan
dengan ayat itu. Konteks nonverbalnya antara lain aspek historisitas atau asbab an-
nuzul ‘sebab-sebab turunnya’ ayat tersebut.
Bila seseorang berkata “Saya sedih” atau “Saya gembira”, apakah ekspresi yang
diungkapkannya benar-benar menunjukkan intensitas perasaannya? Ekspresi
atau ungkapan dalam bahasa sehari-hari adalah bersifat umum dan bersifat
stereotyped (sekadar ikut-ikutan) dalam pola sikap. Orang pada umumnya
mengungkapkan faktor yang bersifat ‘sebagaimana orang biasanya berbuat’
dalam keadaan sedih atau gembira atas dasar pengalaman-pengalaman
hidupnya. Mereka tidak mengungkapkan nuansa-nuansa dan corak khusus dari
pengalamannya sendiri yang bersifat pribadi. Walaupun filsuf-filsuf analitik
menyatakan bahwa ada korespondensi satu lawan satu antara konsep dan
ungkapannya, namun keraguan masih dapat kita ajukan pula demi
mempertahankan kualitas ungkapan atau ekspresi itu. Kekayaan pengalaman kita
akan menjadi miskin (minim) atau kerdil bila hal itu sudah terungkap dalam
ucapan ataupun tulisan. Bila kita berbicara, maka kata-kata yang kita ucapkan itu
pada dasarnya itu lebih sempit bila dibandingkan dengan buah pikiran atau
pengalaman kita. Bila kita menuliskannya, maka kata-kata yang tertulis itu juga
menjadi lebih sempit artinya (Sumaryono 2010:25).
SYARAT ADANYA INTERPRETASI

Betti (dalam Bleicher 2003:39) mengatakan bahwa tugas orang yang


melakukan interpretasi adalah menjernihkan persoalan mengerti, yaitu
dengan cara menyelidiki setiap detail proses interpretasi. Ia juga harus
merumuskan sebuah metodologi yang akan dipergunakan untuk
mengukur seberapa jauh kemungkinan masuknya pengaruh subjektivitas
terhadap interpretasi subjektif yang diharapkan. Betti mencoba
memahami ‘mengerti’ juga menurut gayanya sendiri. Ia memandang
interpretasi sebagai sarana untuk mengerti.
Belajar pada ilmu padi;
kian berisi kian MATERI 11
merunduk. LOGIKA BAHASA
Manizdada ‘ilman
walam yazdad zuhdan
lam yazdad minallahi
illa bu’dan.
• Logika adalah studi tentang berbagai proses
dan langkah yang terlibat di dalam
penalaran. Adapun penalaran ialah proses
pemikiran untuk memperoleh simpulan
yang logis berdasarkan bukti (evidensi) yang
relevan. Untuk dapat bernalar, kita harus
memiliki pengetahuan mengenai fakta yang
berhubungan. Dalam hal ini, penalaran ada
dua macam, yaitu penalaran deduktif dan
penalaran induktif (Sumarsono, 2004: 177).
• Masih menurut Sumarsono (2004:
177-178), suatu kalimat itu
kebenarannya berdasarkan logika
dalam kalimat tersebut. Misalnya,
kalimat itu dikatakan benar jika ada
acuan atau referensinya atau ada
kenyataan (fakta)-nya. Contohnya,
kalimat “Kerbau adalah bunga“ adalah
kalimat yang bermakna, tetapi kalimat
itu tidak benar karena tidak ada fakta
bahwa kerbau itu tergolong bunga.
Apabila kamu melihat seorang
laki-laki berjalan di atas air
dan terbang di udara maka MATERI 12
janganlah Kamu mengagumi
dan mengikutinya hingga kamu RELATIVITAS
benar-benar tahu bahwa dia BAHASA
mengikuti Rasulullah saw.
(Imam Syafi’i dalam Syaikh
Hafizh bin Ahmad Hakamy,
1995: 293-294).
LINGUISTIC RELATIVITY
ADANYA RELATIVITAS BAHASA DIKEMUKAKAN KALI PERTAMA
OLEH BENJAMIN LEE WORF, YANG BERGURU PADA EDWARD
SAPIR.
ADA TIGA BUTIR PENTING DARI TESIS WORF:
(1)SEMUA PROSES BERPIKIR DILAKUKAN DENGAN BAHASA.
(2)SEMUA BAHASA MEMBENTUK PANDANGAN ATAS REALITA
DARI PENUTURNYA.
(3)PANDANGAN REALITA YANG DIBENTUK OLEH BAHASA ITU
BERBEDA-BEDA (ALWASILAH, 2008: 86-87).
MATERI 13
Inna akramakum indallahi MARTABAT
atqakum.
BAHASA
MARTABAT BAHASA
Martabat bahasa adalah tinggi atau rendahnya derajat
bahasa di mata para pemakainya atau di mata orang
asing; banyak atau sedikitnya rasa hormat yang
diberikan orang terhadapnya.
Apakah penentunya?
Penentunya adalah bukan luas wilayahnya, jumlah
penduduknya, atau kekompleksan tingkat tuturnya,
malainkan kemampuan bahasa tersebut sebagai alat
komunikasi.
Jikalau suatu bahasa dapat dipakai untuk
menyampaikan hal-hal yang sifatnya religius, literer,
ilmiah, politis, dan yudikatif biasanya dipandang
bermartabat tinggi (Poedjosoedarmo, 2003: 29-36).
MATERI 14
Khairunnas
anfauhum linnas.
FUNGSI BAHASA
FUNGSI BAHASA
Fungsi bahasa menurut Poedjosoedarmo (2003: 169-187).
1. Register sebagai penyampai maksud/alat
komunikasi
2. Ragam sebagai penyampai rasa santun
3. Taingkat tutur sebagai penyampai rasa hormat
4. Idiolek sebagai penanda identitas diri
5. Dialek sebagai penanda rasa solidaritas
6. Standardisasi sebagai penopang kemandirian
7. Genre sebagai pengaman kejiwaan
8. Bahasa sebagai cermin kebudayaan.
FUNGSI BAHASA (lanjut)
Fungsi bahasa menurut Jakobson (dalam
Hidayat, Poedjosoedarmo (2003: 27).
1.Emotive speech
2.Phatic Speech
3.Cognitive Speech
4.Rhetorical Speech
5.Metalingual Speech
6.Poetic Speech
MATERI 15
KELEMAHAN
BAHASA
KELEMAHAN BAHASA
Menurut Santoso (2003: 166-170), sebagai
piranti komunikasi, bahasa (verbal) tidak bisa
hadir sempurna. Selalu saja ada yang
tertinggal dalam transformasi ide menjadi
pesan (encoding). Dalam proses penggalian
ide atas sebuah pesan (decoding) pun
senantiasa ada yang terlewatkan. Ada
fenomena bahwa pada banyak situasi orang
dapat berkomunikasi secara efektif justru
dengan penggunaan secara dominan alat
komunikasi nonverbal.
KELEMAHAN BAHASA (lanjut)
Menurut Hidayat (2003: 32-36)
1. Tidak bisa digunakan untuk mengungkap seluruh
realita
2. Tercampur dengan emosi penuturnya
3. Kadang-kadang sarat dengan kepentingan politis
penggunanya
4. Sering bermakna ganda
5. Tidak semua kosakatanya dapat mengakomodasi
ide penuturnya secara tepat
6. Tidak semua kosakatanya mengacu pada objek
yang konkret atau observabel

Anda mungkin juga menyukai