ONTOLOGI
apa (substansi)
EPISTEMOLOGI
FILSAFAT Bagaimana
(metodologi)
AKSIOLOGI
mengapa/untuk apa
(fungsi)
MATERI 2
KONSEP FILSAFAT
BAHASA
PENGERTIAN FILSAFAT BAHASA
Pengertian Pertama
Filsafat bahasa diartikan sebagai suatu penyelidikan yang mendalam
terhadap bahasa yang digunakan dalam filsafat, sehingga dapat
dibedakan antara pertanyataan filsafat yang mengandung makna
(meaningfull) dan yang tidak bermakna (meaningless). Definisi ini
mengisyaratkan bahwa objek material filsafat bahasa adalah bahasa
kefilsafatan atau bahasa yang dipergunakan dalam filsafat. Adapun
objek formalnya adalah pandangan filsafati atau tinjauan secara
filsafati (Mustansyir, 1988:45). Filsafat bahasa dalam pengertian ini
mengacu pada sebuah gerakan filsafat yang pada kali pertamanya –
yaitu pada abad XX-- berkembang di Inggris, dengan G.E. Moore
sebagai pelopornya. Filsafat dalam pengertian ini dikenal dengan
filsafat analitik atau filsafat analitika bahasa (Kaelan, 1998:6).
PENGERTIAN FILSAFAT BAHASA (lanjut)
Pengertain Kedua
Filsafat bahasa merupakan salah satu cabang ilmu bahasa (linguistik)
yang dapat dimanfatkan untuk membahas hakikat bahasa itu sendiri
(dalam fakultas bahasa). Filsafat bahasa dalam pengertian yang kedua
ini berkaitan dengan telaah mendasar atas hal-hal yang fundamental
tentang bahasa dalam segi esensi atau substansi, sumber dan
pengembangannya, serta fungsinya dalam kehidupan manusia.
Telaah atau kajian atas filsafat bahasa akan berjalan dengan baik jika
dilakukan oleh seorang yang mencintai filsafat dan/atau ahli filsafat
sekaligus ahli bahasa. Pengertian ahli bahasa dan filsafat di sini adalah
mahir atau memiliki pemahaman yang memadai ihwal bahasa dari segi
hakikat, sifat-sifat, satuan-satuan, asal, arah perkembangan, dan
fungsinya dalam kehidupan manusia.
METODE PEMELAJARAN FILSAFAT BAHASA
(HIDAYAT, 2006: 15—17)
METODE
HISTORIS FILSAFAT
BAHASA INTUITIF
SISTEMATIS ANALISIS
ABSTRAK
KRITIS
MATERI 3
URGENSI FILSAFAT
BAHASA
MANFAAT FILSAFAT BAHASA
BAGI PEMELAJARNYA
semangat
demokratis persatuan
kebangsaan
rasa ingin
peduli
kreatif tahu
sosial
Berbagai ragam dalam pemakaian Bahasa
Menurut Suhardi dan Sembiring (dalam
Kushartanti dkk 2009: 50), ada lima
ragam dalam pemakaian bahasa:
(1)Ragam intim
(2)Ragam santai
(3)Ragam konsultatif
(4)Ragam formal/baku
(5)Ragam beku.
MATERI 9
ASAL-USUL BAHASA
ASAL-USUL BAHASA
Untuk memperdalam pemahaman atas
bahasa, terkait dengan asal-usul ini
dapat dirunut bahasa dari asal-usulnya:
asal-usul bahasa secara umum dan asal-
usul bahasa dalam satuan-satuannya.
MATERI 10
REPRESENTASI
MAKNA BAHASA
MAKNA BAHASA DALAM KAJIAN
FENOMENOLOGI
Hermeneutika adalah cara baru untuk ‘bergaul’ dengan bahasa. Bila seseorang
memahami bahasa suatu negara, dapat dipastikan ia tidak akan mungkin benci
terhadap negara itu (Sumaryono 2010: 27). Bahasa yang kurang jelas merupakan
wacana yang dapat diinterpretasi untuk meminimalisasi atau mengurangi prasangka
(Ricoeur tt: 1—23).
Di dalam Alquran misalnya, selain terdapat ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya,
terdapat pula ayat-ayat yang mutasyabihat ‘samar-samar’; misalnya Alif Lam Mim, Alif
Lam Ra, Nun, Ya Sin, dan lain-lain (Alwasilah 2008:125). Ayat-ayat tersebut perlu
dipahami secara hermeneutis. Ayat 79 dalam surat Al-Waqi’ah berikut ini juga
membutuhkan metode hermeneutika untuk memahaminya: ‘La yamassuhu illa al-
muthahharun. ‘Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan’. Apa
pengertian menyentuh di sini dan siapakah yang dimaksud orang-orang yang disucikan
tersebut? Tentu saja interpretasi ini membutuhkan bekal yang cukup karena untuk
melaksanakan pekerjaan itu diperlukan pemahaman konteks verbal dan
nonverbalnya. Konteks verbal tersebut berupa ayat-ayat lain yang berhubungan
dengan ayat itu. Konteks nonverbalnya antara lain aspek historisitas atau asbab an-
nuzul ‘sebab-sebab turunnya’ ayat tersebut.
Bila seseorang berkata “Saya sedih” atau “Saya gembira”, apakah ekspresi yang
diungkapkannya benar-benar menunjukkan intensitas perasaannya? Ekspresi
atau ungkapan dalam bahasa sehari-hari adalah bersifat umum dan bersifat
stereotyped (sekadar ikut-ikutan) dalam pola sikap. Orang pada umumnya
mengungkapkan faktor yang bersifat ‘sebagaimana orang biasanya berbuat’
dalam keadaan sedih atau gembira atas dasar pengalaman-pengalaman
hidupnya. Mereka tidak mengungkapkan nuansa-nuansa dan corak khusus dari
pengalamannya sendiri yang bersifat pribadi. Walaupun filsuf-filsuf analitik
menyatakan bahwa ada korespondensi satu lawan satu antara konsep dan
ungkapannya, namun keraguan masih dapat kita ajukan pula demi
mempertahankan kualitas ungkapan atau ekspresi itu. Kekayaan pengalaman kita
akan menjadi miskin (minim) atau kerdil bila hal itu sudah terungkap dalam
ucapan ataupun tulisan. Bila kita berbicara, maka kata-kata yang kita ucapkan itu
pada dasarnya itu lebih sempit bila dibandingkan dengan buah pikiran atau
pengalaman kita. Bila kita menuliskannya, maka kata-kata yang tertulis itu juga
menjadi lebih sempit artinya (Sumaryono 2010:25).
SYARAT ADANYA INTERPRETASI