b. Linguistik makro : linguistik yang menyelidiki bahasa dalam kaitannya dengan faktor
di luar bahasa.
(dibagi lagi menjadi subdisiplin sosiolinguistik,psikolinguistik,antropolinguistik,
etnolinguistik,stilistika,filologi,dialektologi,filsafat,ilmu bahasa,dan neurolinguistik)
4. Berdasarkan tujuannya apakah penyelidikan linguistik untuk merumuskan teori atau
untuk diterapkan.Dibagi menjadi :
a. Linguistik teoritis : linguistik yang berusaha mengadakan penyelidikan terhadap
bahasa yang tujuannya hanya untuk kepentingan teori belaka.
b. Linguistik terapan : linguistik yang berusaha mengadakan penelitian dengan tujuan
untuk memecahkan masalah-masalah di masyarakat.
5. Berdasarkan aliran / teori yang digunakan dalam penyelidikan bahasa dapat dibagi
menjadi :
a. Linguistik tradisional
b. Linguistik struktural
c. Linguistik transformasional
d. Linguistik generatif
e. Linguistik semantik
f. Linguistik relasional
g. Linguistik sistemik
b) Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil patokan-patokan dari bahasa
lain, terutama bahasa Latin;
c) Kaidah-kaidah bahasa dibuat secara prekriptif, yakni benar atau salah;
d) Persoalan kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan melibatkan logika;
e) Penemuan-penemuan atau kaidah-kaidah terdahulu cenderung untuk selalu dipertahankan.
2. LINGUISTIK STRUKTURAL: bahasa adalah suatu struktur dengan tahapan yang saling berkaitan, satu
kesinambungan yang bisa dianalisis. Aliran ini berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat
khas yang dimiliki bahasa itu. tata bahasa struktural menyatakan kata kerja adalah kata yang dapat berdistribusi
dengan frase “dengan . . . .”
Linguistik structural digolongkan menjadi:
Ferdinand de Saussure: Sebuah buku berjudul Course de Linguistique Generale yang berisi konsep :Telaah
sinkronik dan diskronik, Perbedaan lingue dan parole, Perbedaan signifian dan signifie, Hubungan
sintakmatik dan paradigmatik.
Aliran Praha: Aliran praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakasa salah seorang tokohnya, yaitu Vilem
mathesius. Tokoh-tokoh lainnya adalah Nikolai Trubetskoy, Roman Jakobsoe, dan Morris Halle. Mereka
berpengaruh dalam bidang fonologi dan sintaksis. Dalam bidang Fonologi membedakan antara fonetik dan
fonologi. Dalam bidang sintaksis menelaah kalimat berdasarkan pendekatan fungsional ( struktur formal
dan struktur informasi).
Aliran Glosematik: Louise Hjemslev, meneruskan ajaran Ferdinand de Saussure. Ia berusaha membuat ilmu
bahasa menjadi ilmu yang berdiri sendiri, bebas dari ilmu lain, dengan peralatan, metodologis dan
terminologis sendiri.
Aliran Firthian: Tokoh John R, Firth terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi yitu suatu cara
untuk menentukan arti pada tataran fonetis. Fonologi prosodi terdiri atas satuan-satuan fonematis dan satuan
prosodi.
Aliran Sistemik: M.A.K. Halliday. Pokok-pokok pandangannya yaitu :Memberi perhatian penuh pada segi
kemasyarakatan bahasa. Memandang bahasa sebagai ‘pelaksana’ (pembedaan langue dan parole), Lebih
mengutamakan pemerian ciri-ciri bahasa tertentu beserta variasi-variasinya (kurang tertarik semestaan
bahasa)
Aliran Tagmetik: unit dasar dari grammar ( tata bahasa) adalah tagmeme. Yang dimaksud tagmeme adalah
korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk kata yang saling dipertukarkan untuk
mengisi slot tersebut. Bahasa menurut Kenneth L. Pike tersusun atas tiga level yaitu phonology,
grammar, dan lesixon.
3. LINGUISTIK KASUS: Tata bahasa kasus pertama kali diperkenalkan oleh Charles J. Fillmore dalam karangannya
berjudul The Case for Casetahun 1968. Yang dimaksud kasus adalah hubungan antara verba dengan nomina.
Verba disini sama dengan predikat, sedangkan nomina sama dengan argumen dalam teori semantik generatif. Tata
bahasa kasus atau teori kasus pertama kali diperkenalkan oleh Charles J. Fillmore dalam karangannya berjudul “The
Case for Case” tahun 1968 yang dimuat dalam buku Bach, E. dan R. Harms Universal in Linguistic Theory, terbitan
Holt Rinehart and Winston. Dalam karangannya yang terbit tahun 1968 itu Fillmore membagi kalimat atas (1)
modalitas, yang bisa berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbia; dan (2) proposisi, yang terdiri dari sebuah
verba disertai dengan sejumlah kasus. Yang dimaksud dengan kasus dalam teori ini adalah hubungan antara verba
dengan nomina.
4. LINGUISTIK TRANSFORMASI GENERATIF: Ahli linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku adalah
Noam Chomsky. Sarjana inilah yang mencetuskan teori transformasi melalui bukunya Syntactic Structures (1957),
yang kemudian disebut classical theory. Dalam perkembangan selanjutnya, teori transformasi dengan pokok pikiran
kemampuan dan kinerja yang dicetuskannya melalui Aspects of the Theory of Syntax (1965) disebut standard
theory. Karena pendekatan teori ini secara sintaktis tanpa menyinggung makna (semantik), teori ini disebut juga
sintaksis generatif (generative syntax). Pada tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori extended standard theory.
Selanjutnya pada tahun 1970, Chomsky menulis buku generative semantics; tahun 1980 government and binding
theory; dan tahun 1993 Minimalist program. Setiap tata bahasa dari suatu bahasa, menurut Chomsky adalah
merupakan teori dari bahasa itu sendiri; dan tata bahasa itu harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai
kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat.
2) Tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga satuan atau istilah yang digunakan tidak
berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya ini harus sejajar dengan teori linguistik tertentu.
Chomsky membedakan adanya kemampuan dan perbuatan berbahasa. Kemampuan adalah pengetahuan yang
dimilikin pemakai bahasa mengenai bahasanya, sedangkan perbuatan adalah pemakai bahasa itu sendiri dalam
keadaan sebenarnya.
5. LINGUISTIK RELASIONAL: Tata bahasa ini muncul pada tahun 1970-an sebagai tantangan langsung terhadap
beberapa asumsi yang paling mendasar dari teori sintaksis yang dicanangkan oleh aliran tata bahsa transformasi.
Tata bahasa relasional juga berusaha mencari kaidah kesemestaan bahasa. Dalam hal ini tata bahasa relasional
banyak menyerang tata bahasa transformasi bkarena menganggap teori tata bahasa transformsi tidak dapat
diterapkan pada bahasa – bahasa lain selain bahasa Inggris.
6. SEMANTIK GENERATIF: Menjelang dasawarsa tujuh puluhan beberapa murid dan pengikut Chomsky, antara
lain Pascal, Lakoff, Mc Cawly, dan Kiparsky, sebagai reaksi terhadap Chomsky, memisahkan diri dari kelompok
Chomsky dan membentuk aliran sendiri. Kelompok Lakoff ini, kemudian terkenal dengan sebutan kaum Semantik
generatif. Menurut semantik generatif, sudah seharusnya semantik dan sintaksis diselidiki bersama sekaligus karena
keduanya adalah satu.
Fonetik Akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai gelombang bunyi, melalui alat khusus. Misalnya
spektograf bunyi untuk mempelajari ciri-ciri gelombang bahasa melalui gambar-gambar yang
menunjukkan ciri frekuensi, intensitas, dan waktu dari bunyi bahasa tertentu.
Fonetik Auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa oleh telinga kita atau
menyelidiki bunyi bahasa sebagai sesuatu yang diterima oleh pendengar. Misalnya, apabila diteliti
dengan alat-alat tertentu dapatlah diketahui bagaimana kedudukan lidah saat menyebutkan bunyi-bunyi
sengau seperti [m], [n], [ň] dan [η], posisi pita suara ketika menyebutkan bunyi bersuara seperti [b], [d],
[g], [v] ataupun bunyi tidak bersuara seperti [p], [t], [k], [f] dan sebagainya.
BUNYI SEGMENTAL ialah bunyi yang dihasilkan oleh pernafasan, alat ucap dan pita suara. Bunyi Segmental ada
empat macam
Konsonan= bunyi yang terhambat oleh alat ucap
Vokal = bunyi yang tidak terhambat oleh alat ucap
Diftong= dua vokal yang dibaca satu bunyi, misalnya: /ai/ dalam sungai, /au/ dalam /kau/
Kluster= dua konsonan yang dibaca satu bunyi.
BUNYI SUPRASEGMENTAL. Dalam suatu runtutan bunyi yang sambung-bersambung terus-menerus
diselangseling dengan jeda singkat atau agak singkat, disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah bunyi,
panjang pendek bunyi, ada bunyi yang dapat disegmentasikan yang disebut bunyi segmental.
1 . Tekanan atau Stres
Menyangkut masalah keras lunaknya bunyi.
2 . Nada atau Pitch
Berkenaan dengan tinggi rendahnya bunyi.
3 Jeda atau Persendian
Berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar.
Jeda antar kata, diberi tanda ( / )
Jeda antar frase, diberi tanda ( // )
Jeda antar kalimat, diberi tanda ( # )
FONEMIK adalah ilmu yang mempelajari bunyi-ujaran dalam fungsinya sebagai pembeda arti. Jadi fonemik
merupakanbunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Pada tingkat fonemik,berbagai unsur
seperti tekanan, durasi dan nada bersifat fungsional alias dapat membedakan makna. Seperti contoh dalam bahasa
Batak Toba, kata tutu (dengan tekanan pada suku pertama) bermakna ‘batu gilas’, sedangkan pada kata tutu (dengan
tekanan pada suku kedua) berarti ‘betul’. Perbedaan letak tekanan pada kedua kata itu menyebabkan makna yang
berbeda. Hal ini berarti tekanan dalam bahasa Batak Toba bersifat fungsional.
FON atau bunyi bahasa (speech sound) adalah satuan bunyi bahasa yang bersifat konkret, dapat didengar, dapat
diucapkan dan dihasilkan oleh alat ucap. Berkaitan dengan itu, maka fon dijadikan sebagai objek penelitian dari
fonetik, karena bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap manusia pada umumnya tidak memperhatikan apakah
bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna kata atau tidak. Contohnya kata panci, terdiri atas
p/a/n/c/i, lutut terdiri atas l/u/t
FONEM adalah bunyi yang membedakan makna, merupakan kesatuan bunyi terkecil yang berfungsi sebagai
pembeda makna atau satuan terkecil dalam sebuah bahasa yang masih bisa menunjukkan perbedaan makna.
Sehingga fonem dijadikan sebagai objek penelitian dari fonemik. Kalau dalam fonetik, misalnya, kita meneliti
bunyi-bunyi [a] yang berbeda pada kata-kata lancar, laba, dan lain; atau pada perbedaan bunyi [i] seperti yang
terdapat pada kata-kata ini, intan, dan pahit; maka dalam fonemik kita meneliti apakah perbedaan bunyi itu
mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Jika bunyi itu membedakan makna, maka bunyi tersebut kita
sebut fonem, dan jika tidak membedakan makna, maka bunyi tersebut bukan termasuk fonem. Jumlah fonem yang
dimiliki suatu bahasa tidak sama jumlahnya dengan yang dimiliki bahasa lain. Jumlah
fonem bahasa Indonesia ada 24 buah, terdiri dari 6 buah fonem vokal (a, i. u, e, ∂, dan o)
dan 18 fonem konsonan (p, t, c, k, b, d, j, g, m, n, n, η, s, h, r, l, w, dan z), bukan termasuk huruf f,q,v,y,x [4].
Bentuk linguistik [palaη] yang biasa dijumpai dalam Bahasa Indonesia bermakna palang. Bentuk ini bisa dipisah
menjadi lima bentuk linguistik yang lebih kecil, yaitu [p], [a], [l], [a], dan [η]. Kelima bentuk linguistik ini (masing-
masing) tidak mempunyai makna. Jika salah satu bentuk linguistik terkecil tersebut (misal [p]) diganti dengan
bentuklinguistik terkecil lain (misal diganti [k], [t], [j], [m], [d],), maka akan menjadi:
[palaη] ‘palang’ [k] [kalaη] ‘sangga’,
[palaη] ‘palang’ [t] [talaη] ‘sejenis ikan’,
INSYA ALLAH LULUS UTN
Page |8
-Konsonan palatal yaitu konsonan akibat tengah lidah menyentuh langit-langit keras. Contoh: c, j, ny.
-Konsonan velar yaitu konsonan yang terjadi karena belakang lidah menyentuh langit-langit lembut.Mis: k,g,kh ,ng.
-Konsonan laringal yaitu konsonan yang dihasilkan oleh pita suara yang dibuka lebar. Contoh: h.
b) Turut tidaknya pita suara bergetar:
- Konsonan bersuara yaitu b, d, n, g, w, z.
- Konsonan tak bersuara yaitu p, t, c, k, f, s, sy.
c) Jalan yang dilalui oleh udara:
- Konsonan oral yaitu konsonan yang dihasilkan oleh udara yang keluar melalui mulut. Contoh: p, b, k, d, w, s, r.
- Konsonan nasal yaitu konsonan yang dihasilkan oleh udara yang keluar dari paru-paru melalui hidung. Contoh: m,
n, ng, ny.
d) Macam halangan yang dijumpai ketika udara keluar dari paru-paru:
- Konsonan hambat, yaitu p, b, k, t, d.
- Konsonan frikatif (bunyi geser) yaitu f, v, kh.
- Konsonan spiran (bunyi desis) yaitu s, z, sy.
- Konsonan likuida (lateral) yaitu l.
- Konsonan trill (bunyi getar) yaitu r.
bentuk dasar yang ekasuku, contohnya {menge}+{cat}= mengecat. Bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari
morfem yang sama tersebut disebut alomorf.
MORFEM BEBAS DAN MORFEM TERIKAT. Dikatakan morfem bebas karena ia dapat berdiri sendiri, dan
dikatakan terikat jika ia tidak dapat berdiri sendiri. Misalnya: Morfem bebas – “saya”, “buku”, dsb.
Morfem terikat – “ber-“, “kan-“, “me-“, “juang”, “henti”, “gaul”, dsb
MORFEM SEGMENTAL adalah morfem yang terjadi dari fonem atau susunan fonem segmental. Sebagai contoh,
morfem {rumah}, dapat dianalisis ke dalam segmen-segmen yang berupa fonem [r,u,m,a,h]. Fonem-fonem itu
tergolong ke dalam fonem segmental. oleh karena itu, morfem {rumah} tergolong ke dalam jenis morfem
segmental. MORFEM SUPRA SEGMENTAL adalah morfem yang terjadi dari fonem suprasegmental. Misal, jeda
dalam bahasa Indonesia. Contoh:
bapak wartawan bapak//wartawan
ibu guru ibu//guru
MORFEM YANG BERMAKNA LEKSIKAL merupakan satuan dasar bagi terbentuknya kata. morfem yang
bermakna leksikal itu merupakan leksem, yakni bahan dasar yzng setelah mengalami pengolahan gramatikal
menjadi kata ke dalam subsistem gramatika. Contoh: morfem {sekolah}. berarti ‘tempat belajar’. MORFEM YANG
TAK BERMAKNA LEKSIKAL dapat berupa morfem imbuhan, seperti {ber-}, {ter-}, dan {se-}. morfem-morfem
tersebut baru bermakna jika berada dalam pemakaian. Contoh: {bersepatu} berarti ‘memakai sepatu’.
MORFEM UTUH merupakan morfem-morfem yang unsur-unsurnya bersambungan secara langsung. Contoh:
{makan}, {tidur}, dan {pergi}. MORFEM TERBELAH morfem-morfem yang tidak tergantung menjadi satu
keutuhan. morfem-morfem itu terbelah oleh morfem yang lain. Contoh: {kehabisan} dan {berlarian} terdapat
imbuhan ke-an atau {ke….an} dan imbuhan ber-an atau {ber….an}. contoh lain adalah morfem{gerigi} dan
{gemetar}. Masing-masing morfem memilki morf /g..igi/ dan /g..etar/. Jadi, ciri terbelahnya terletak pada morfnya,
tidak terletak pada morfemnya itu sendiri. morfem itu direalisasikan menjadi morf terbelah jika mendapatkan
sisipan, yakni morfem sisipan {-er-} pada morfem {gigi} dan sisipan {-em-} pada morfem {getar}.
MORFEM MONOFONEMIS merupakan morfem yang terdiri dari satu fonem. Dalam bahasa Indonesia pada dapat
dilihat pada morfem {-i} kata datangi atau morfem{a} dalam bahasa Inggris pada seperti pada kata asystematic.
MORFEM POLIFONEMIS merupakan morfem yang terdiri dari dua, tiga, dan empat fonem. Contoh, dalam bahasa
Inggris morfem {un-} berarti ‘tidak’ dan dalam bahasa Indonesia morfem {se-} berarti ‘satu, sama’.
MORFEM ADITIF adalah morfem yang ditambah atau ditambahkan. kata-kata yang mengalami afiksasi, seperti
yang terdapat pada contoh-contoh berikut merupakan kata-kata yang terbentuk dari morfem aditif itu.
mengaji childhood
berbaju houses
MORFEM REPLASIF merupakan morfem yang bersifat penggantian. dalam bahasa Inggris, misalnya, terdapat
morfem penggantian yang menandai jamak. Contoh: {fut} à {fi:t}. MORFEM SUBSTRAKTIF adalah morfem
yang alomorfnya terbentuk dari hasil pengurangan terhadap unsur (fonem) yang terdapat morf yang lain. Biasanya
terdapat dalam bahasa Perancis.
PENGAFIKSAN: Bentuk (atau morfem) terikat yang dipakai untuk menurunkan kata disebut afiks atau imbuhan
(Alwi dkk., 2003: 31). Pengertian lain proses pembubuhan imbuhan pada suatu satuan, baik satuan itu berupa
bentuk tunggal maupun bentuk kompleks, untuk membentuk kata (Cahyono, 1995:145). Contoh: Berbaju,
Menemukan, Ditemukan, Jawaban. Bila dilihat pada contoh, berdasarkan letak morfem terikat dengan morfem
bebas pembubuhan dapat dibagi menjadi empat, yaitu pembubuhan depan (prefiks), pembubuhan tengah (infiks),
pembubuhan akhir (sufiks), dan pembubuhan terbelah (konfiks).
REDUPLIKASI: pengulangan satuan gramatikal, baik seluruhnya maupun sebagian, baik disertai variasi fonem
maupun tidak (Cahyono, 1995:145). Contoh: berbulan-bulan, satu-satu, seseorang, compang-camping, sayur-mayur.
PENGGABUNGAN/PEMAJEMUKAN: Proses pembentukan kata dari dua morfem bermakna leksikal (Oka dan
Suparno, 1994:181).Contoh: Sapu tangan, Rumah sakit.
PERUBAHAN INTERN adalah perubahan bentuk morfem yang terdapat dalam morfem itu sendiri.Contoh: Foot
menjadi feet.
SUPLISI adalah proses morfologis yang menyebabkan adanya bentuk sama sekali baru.Contoh: Go went
MODIFIKASI KOSONG ialah proses morfologis yang tidak menimbulkan perubahan pada bentuknya tetapi
konsepnya saja yang berubah. Contoh: read- read-read.
PROSES MORFOFONEMIK: Proses perubahan fonem sebuah morfem yang digunakan untuk mempermudah
ucapan.Contoh:Perubahan prefiks meng- (meng- + lihat = melihat, meng- + terjemah = menerjemahkan)
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 11
KATA adalah satuan terkecil dari kalimat yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai makna. Kata-kata yang
terbentuk dari gabungan huruf atau morfem baru kita akui sebagai kata bila bentuk itu sudah mempunyai makna.
KATA ialah morfem atau kombinasi morfem yang oleh bahasawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat
diujarkan sebagai bentuk yang bebas. (Kridalaksana). Dari segi bentuknya kata dapat dibedakan atas dua macam,
yaitu (1) kata yang bermofem tunggal, dan (2) kata yang bermorfem banyak. Kata yang bermorfem tunggal disebut
juga kata dasar atau kata yang tidak berimbuhan. Kata dasar pada umumnya berpotensi untuk dikembangkan
menjadi kata turunan atau kata berimbuhan.
Pembentukan kata ini mempunyai dua sifat, yaitu : 1). Inflektif Kata-kata dalam bahasa-bahasa berfleksi, seprti
bahasa arab, bahasa latin, bahasa sansekerta, untuk dapat digunakan di dalam kalimat harus disesuaikan dulu
bentuknya dengan kategori-kategori gramatikal yang berlaku dalam bahasa itu. 2). Derifatif Pembentukan kata
secara derivatif adalah membentuk kata baru, kata yang identitas leksikalnya tidak sama dengan kata dasarnya,
contoh dalam bahasa indonesia dapat diberikan, misalnya, dari kata air yang berkelas nomina dibentuk
menjadi mengairi yang berkelas verba: dari kata makan yang berkelas verba dibentuk kata makanan yang berkelas
nomina.
SPO
Kata “berenang” menjadi berkategori nomina karena yang dimaksud adalah pekerjaan berenangnya. Peran dalam
struktur sintaksis tergantung pada makna gramatikalnya. Kata yang bermakna pelaku dan penerima tetap tidak
berubah walaupun kata kerja yang aktif diganti menjadi pasif. Pelaku berarti objek yang melakukan pekerjaan.
Penerima berarti objek yang dikenai pekerjaan. Makna pelaku dan sasaran merupakan makna gramatikal. Eksistensi
struktur sintaksis terkecil ditopang oleh urutan kata, bentuk kata, dan intonasi. Perbedaan urutan kata dapat
menimbulkan perbedaan makna.
Contohnya: tiga jam – jam tiga. Nenek melirik kakek. – Kakek melirik nenek.
Dalam kalimat aktif transitif mempunyai kendala gramatikal yaitu fungsi predikat dan objek tidak dapat diselipi
kata keterangan.
Contohnya: Nenek melirik tadi pagi kakek.(salah)
Intonasi merupakan penekanan. Perbedaan intonasi juga menimbulkan perbedaan makna. Intonasi ada tiga macam
yaitu intonasi deklaratif untuk kalimat bermodus deklaratif atau berita dengan tanda titik, intonasi interogatif
dengan tanda tanya, dan intonasi interjektif dengan tanda seru. Intonasi juga dapat berupa nada naik atau tekanan.
Contohnya: Kucing / makan tikus mati. Kucing makan tikus / mati. Kalimat tersebut sudah berbeda makna
karena tafsiran gramatikal yang berbeda yang disebut ambigu atau taksa. Konektor bertugas menghubungkan
konstituen satu dengan yang lain. dilihat dari sifatnya, ada dua macam konektor. Konektor koordinatif
menghubungkan dua konstituen sederajat. Konjungsinya seperti dan, atau, dan tetapi. Contohnya: Nenek dan kakek
pergi ke sawah. Konektor subordinatif menghubungkan dua konstituen yang tidak sederajat. Konjungsinya seperti
kalau, meskipun, dan karena. Contohnya: Kalau diundang, saya tentu akan datang.
SATUAN-SATUAN SINTAKSIS:
FRASA merupakan satuan sintaksis terkecil yang merupakan pemadu kalimat. Ada beberapa pendapat yang
menyatakan pengertian frasa yang berbeda-beda. (Sumadi, 2009), menyatakan bahwa frasa adalah satuan
gramatik yang terdiri atas satu kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. (Abdul Chaer , 2007)
menyatakan bahwa frasa adalah gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis dalam kalimat. Dari
pengertian tersebut, Abdul Chaer menyimpulkan bahwa frasa itu pasti terdiri lebih dari satu kata.contoh:
Adik membaca buku. Dari batasan di atas dapatlah dikemukakan bahwa frase mempunyai dua sifat, yaitu
a. Frase merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih.
b. Frase merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa, maksudnya frase itu selalu
terdapat dalam satu fungsi unsur klausa yaitu: S, P, O, atau K.
Macam-macam frase:
A. Frase endosentrik
Frase endosentrik adalah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya. Frase endosentrik
dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:
1. Frase endosentrik yang koordinatif, yaitu: frase yang terdiri dari unsur-unsur yang setara, ini dibuktikan
oleh kemungkinan unsur-unsur itu dihubungkan dengan kata penghubung. Misalnya: kakek-nenek,
pembinaan dan pengembangan, laki bini, belajar atau bekerja.
2. Frase endosentrik yang atributif, yaitu frase yang terdiri dari unsur-unsur yang tidak setara. Karena itu,
unsur-unsurnya tidak mungkin dihubungkan. Misalnya: perjalanan panjang, dan hari libur. Perjalanan, hari
merupakan unsur pusat, yaitu: unsur yang secara distribusional sama dengan seluruh frase dan secara
semantik merupakan unsur terpenting, sedangkan unsur lainnya merupakan atributif.
3. Frase endosentrik yang apositif: frase yang atributnya berupa aposisi/ keterangan tambahan. Misalnya:
Susi, anak Pak Saleh, sangat pandai. Dalam frase Susi, anak Pak Saleh secara sematik unsur yang satu,
dalam hal ini unsur anak Pak Saleh, sama dengan unsur lainnya, yaitu Susi. Karena, unsur anak Pak Saleh
dapat menggantikan unsur Susi. Perhatikan jajaran berikut:
Susi, anak Pak Saleh, sangat pandai
Susi, …., sangat pandai.
…., anak Pak Saleh sangat pandai.
Unsur Susi merupakan unsur pusat, sedangkan unsur anak Pak Saleh merupakan aposisi (Ap).
B. Frase Eksosentrik
Frase eksosentrik ialah frase yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya. Misalnya:
Siswa kelas 1A sedang bergotong royong di dalam kelas. Frase di dalam kelas tidak mempunyai distribusi
yang sama dengan unsurnya. Ketidaksamaan itu dapat dilihat dari jajaran berikut:
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 13
4. Pola kalimat IV (pola tambahan) = kata benda-adverbial. Contoh: Ibu ke pasar. Ayah dari kantor. Pola
kalimat IV disebut kalimat adverbial
Jenis Kalimat
A. Kalimat inti dan kalimat non inti.
Kalimat inti disebut juga kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang lengkap bersifat
deklaratif, aktif atau netral dan afirmatif. Dalam bahasa Indonesia paling tidak kalimat inti kita dapati
dengan pola sebagai berikut :
FN + FV = Nenek datang
FN + FV + FN = Nenek membaca komik
FN + FV + FN + PN = Nenek membacakan kakek komik
FN + FN = Nenek dokter
FN + FA = Nenek cantik
FN + Fnum = Uangnya dua juta
FN + FP = Uangnya di dompet
B. Kalimat tunggal dan kalimat majemuk
Kalimat tunggal : klausanya hanya satu
Kalimat majemuk : klausa dalam kalimat terdapat lebih dari satu
Macam-macam kalimat majemuk :
1) Kalimat majemuk koordinatif.
2) Kalimat majemuk subordinatif
3) Kalimat majemuk kompleks.
C. Kalimat mayor dan kalimat minor
Kalimat mayor : klausanya lengkap, minimal mempunyai subjek dan predikat
Kalimat minor : klausanya tidak lengkap, hanya terdiri dari S/P/O/K saja.
D. Kalimat verbal dan kalimat non verbal
E. Kalimat bebas dan kalimat terikat.
WACANA
a. Pengertian Wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan
gramatikal tertinggi dan terbesar. Sebagai satuan gramatikal tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari
kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya. Persyaratan
gramatikal dapat dipenuhi kalau dalam wacana itu sudah terbina kekohesifan, yaitu adanya keserasian
hubungan antara unsur-unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan benar.
b. Alat Wacana
Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif, antara lain:
Pertama, konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian kalimat; atau menghubungkan
paragraf dengan paragraf. Kedua, menggunakan kata ganti dia, nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan
anaforis sehingga bagian kalimat yang sama tidak perlu diulang melainkan menggunakan kata ganti.
Ketiga, menggunakan elipsis, yaitu penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang
lain. Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koheren dapat juga dibuat dengan
bantuan berbagai aspek semantik, antara lain: Pertama, menggunakan hubungan pertentangan pada kedua
bagian kalimat yang terdapat dalam wacana itu. Kedua, menggunakan hubungan generik – spesifik; atau
sebaliknya spesifik – generik. Ketiga, menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua bagian
kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Keempat, menggunakan hubungan sebab –
akibat di antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Kelima,
menggunakan hubungan tujuan di dalam isi sebuah wacana. Keenam, menggunakan hubungan rujukan
yang sama pada dua bagian kalimat atau pada dua kalimat dalam satu wacana.
c. Jenis Wacana
Berkenaan dengan sasarannya, yaitu bahasa lisan atau bahasa tulis, dilihat adanya wacana lisan dan wacana
tulis. Dilihat dari penggunaan bahasa apakah dalam bentuk uraian ataukah bentuk puitik dibagi wacana
prosa dan wacana puisi. Selanjutnya, wacana prosa, dilihat dari penyampaian isinya dibedakan menjadi
wacana narasi, wacana eksposisi, wacana persuasi dan wacana argumentasi.
d. Subsatuan Wacana
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 15
Dalam wacana berupa karangan ilmiah, dibangun oleh subsatuan atau sub-subsatuan wacana yang disebut
bab, subbab, paragraf, atau juga subparagraf. Namun, dalam wacana –wacana singkat sub-subsatuan
wacana tidak ada.
ALAT-ALAT SINTAKSIS ialah piranti kalimat yang berperan dalam menentukan makna kalimat itu dan atau
memberikan informasi kepada penutur (pendengar/pembaca) tentang bagian mana dari kalimat itu yang dianggap
penting oleh penutur (pembicara/penulis)
URUTAN KATA ialah letak atau posisi kata yang satu dengan yang lain dalam suatu konstruksi sintaksis. Urutan
kata merupakan alat sintaksis karena urutan dapat menjadi faktor yang menentukan makna satuan sintaksis. Urutan
kata dalam kalimat dapat menyebabkan perbedaan makna kalimat yang bersangkutan. Contoh : Makan lagi berarti
‘perbuatan makan itu berulang kembali’. BENTUK KATA yang berbeda juga menentukan makna yang berbeda.
Umpamanya kalau kata memakan pada kalimat burung itu memakan ulardiganti dengan bentuk dimakan sehingga
kalimat menjadi burung itu dimakan ular, maka makna kalimat itu menjadi berubah.
INTONASI adalah gabungan antara jeda dan nada. Secara terpisah dari intonasi, jeda merupakan alat sintaksis
karena jeda dapat menentukan makna satuan gramatik tertentu. Pada tataran frasa, jeda dapat membedakan makna
frasa berikut : (Ryan memakai topi dan kacamata hitam), (Ryan memakai topi / dan kacamata hitam.(Ryan memakai
topi dan kacamata / hitam).
terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga dari acuannya. Misal kata buaya dalam kalimat:
Dasar buaya, ibunya sendiri ditipunya.
Menurut Chaer (1994), makna dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis
semantiknya, dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya referen
pada sebuah kata atau leksem dapat dibedakan adanya makna referensial dan makna nonreferensial, berdasarkan
ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif,
berdasarkan ketepatan maknanya dikenal makna kata dan makna istilah atau makna umum dan makna khusus. Lalu
berdasarkan kriteri lain atau sudut pandang lain dapat disebutkan adanya makna-makna asosiatif, kolokatif,
reflektif, idiomatik dan sebagainya.
HAKIKAT MAKNA. Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari 2 komponen, yaitu
komponen signifian (yang mengartikan) yang berwujud runtunan bunyi, dan komponen signifie (yang diartikan)
yang berwujud pengertian atau konsep (yang dimiliki signifian). Menurut teori yang dikembangkan Ferdinand de
Saussure, makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Jika tanda
linguistik tersebut disamakan identitasnya dengan kata atau leksem, berarti makna adalah pengertian atau konsep
yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem. Jika disamakan dengan morfem, maka makna adalah pengertian atau
konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik morfem dasar maupun morfem afiks. Di dalam penggunaannya
dalam pertuturan yang nyata, makna kata atau leksem itu seringkali terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya
dan juga acuannya. Banyak pakar menyatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata
itu sudah berada dalam konteks kalimatnya. Pakar itu juga mengatakan bahwa makna kalimat baru dapat ditentukan
apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya. Bahasa bersifat arbiter, sehingga
hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
JENIS-JENIS MAKNA:
MAKNA LEKSIKAL, GRAMATIKAL, DAN KONTEKSTUAL
MAKNA LEKSIKAL adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon. Satuan dari leksikon
adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau
perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita persamakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat
diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu, dapat pula
dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil
observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer, 1994).
Umpamanya kata tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan
timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali
ini gagal akibat serangan hama tikus. Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski
tanpa konteks apapun. Dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, sesuai
dengan hasil observasi indera kita atau makna apa adanya. MAKNA GRAMATIKAL ini adalah makna yang
hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi
(Chaer, 1994). Proses afiksasi awalan ter- pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh
adik, melahirkan makna ’dapat’, dan dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke
atas melahirkan makna gramatikal ’tidak sengaja’. Makna gramatikal adalah makna yang ada jika terjadi proses
gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau kalimatisasi. MAKNA KONTEKSTUAL adalah makna
sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan
situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu.
Perbedaan MAKNA REFERENSIAL DAN MAKNA NONREFERENSIAL berdasarkan ada tidak adanya
referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata
itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka
kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang bermakna referensial karena
mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut ’meja’. Sebaliknya kata karenatidak
mempunyai referen, jadi kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial. Sebuah kata atau leksem
dikatakan bermakna referensial jika ada referensnya atau acuannya. Ada sejumlah kata yang disebut kata diektik,
yang acuannya tidak menetap pada satu wujud. Misalnya : kata-kata pronominal seperti, dia, saya dan kamu.
MAKNA DENOTATIF pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif lazim diberi
penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran,
perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif.
Oleh karena itu, makna denotasi sering disebut sebagai ’makna sebenarnya’(Chaer, 1994). Umpama
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 17
kataperempuan dan wanita kedua kata itu mempunyai dua makna yang sama, yaitu ’manusia dewasa bukan laki-
laki’. Sebuah kata disebut mempunyai MAKNA KONOTATIF apabila kata itu mempunyai ”nilai rasa”, baik
positif maupun negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga
disebut berkonotasi netral. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Misalnya
kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti ’cerewet’, tetapi sekarang konotasinya positif.
MAKNA KATA DAN MAKNA ISTILAH. Setiap kata atau leksem memiliki makna, namun dalam
penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau
konteks situasinya. Berbeda dengan kata, istilah mempunyai makna yang jelas, yang pasti, yang tidak
meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks.
Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
Leech (1976) membagi makna menjadi MAKNA KONSEPTUAL DAN MAKNA ASOSIATIF. Yang dimaksud
dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa
pun. Kata kuda memiliki makna konseptual ’sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai’. Jadi makna
konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna referensial. Makna
asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu
dengan sesuatu yang berada di luar bahasa. Misalnya, katamelati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau
kesucian.
MAKNA IDIOMATIK DAN PERIBAHASA. Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat
”diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh dari idiom
adalah bentuk membanting tulang dengan makna ’bekerja keras’, meja hijau dengan makna ’pengadilan’.
Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-
unsurnya karena adanya ”asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Umpamanya
peribahasa Seperti anjing dengan kucingyang bermakna ’dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur’.
Makna ini memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu
berkelahi, tidak pernah damai.
MAKNA KIAS. Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan sebagai oposisi dari arti
sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti
sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-bentuk
seperti puteri malam dalam arti ’bulan’, raja siang dalam arti ’matahari’.
MAKNA ASOSIATIF merupakan asosiasi yang muncul dalam benak seseorang jika mendengar kata tertentu.
Asosiasi ini dipengaruhi unsur-unsur psikis, pengetahuan dan pengalaman seseorang. Oleh karena itu, makna
asosiatif terutama dikaji bidang psikolinguistik. Makna denotatif villa adalah ’rumah peristirahatan di luar kota’.
Selain makna denotatif itu, bagi kebanyakan orang Indonesia villa juga mengandung makna asosiatif ’gunung’,
’alam’, ’pedesaan’, ’sungai’, bergantung pada pengalaman seseorang.
MAKNA AFEKTIF berkaitan dengan perasaan seseorang jika mendengar atau membaca kata tertentu. Perasaan
yang muncul dapat positif atau negatif. Kata jujur, rendah hati, dan bijaksana menimbulkan makna afektif yang
positif, sedangkan korupsi dan kolusi menimbulkan makna afektif yang negatif.
MAKNA ETIMOLOGIS berbeda dengan makna leksikal karena berkaitan dengan asal-usul kata dan perubahan
makna kata dilihat dari aspek sejarah kata. Makna etimologis suatu kata mencerminkan perubahan yang terjadi
dengan kata tertentu. Melalui perubahan makna kata, dapat ditelusuri perubahan nilai, norma, keadaan sosial-
politik, dan keadaan ekonomi suatu masyarakat.
RELASI MAKNA adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan yang lain, dapat
berwujud macam-macam. Berikut ini diuraikan beberapa wujud relasi makna:
Sinonimi. Verhaar (1978) mendefiniskan sinonim sebagai ungkapan (berupa kata, frase, atau kalimat) yang
maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Misalnya: buruk dan jelek . Kesinoniman mutlak
atau kesinoniman simetris tidak ada dalam perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia. Hal itu disebabkan oleh
faktor-faktor sebagai berikut:
a. Waktu
Misalnya kata hulubalang dan komandan merupakan dua buah kata yang bersinonim tetapi karena faktor waktu,
maka kedua kata tersebut tidak bisa dipertukarkan. Hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, sedangkan
komandan cocok untuk situasi masa kini.
b. Tempat atau daerah
Misalnya kata saya dan beta merupakan dua kata yang bersinonim , tetapi kedua kata tersebut tidak dapat
dipertukarkan. Beta hanya cocok digunakan dalam konteks pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku).
c. Sosial
Misalnya aku dan saya adalah dua buah kata yang bersinonim, teapi kata aku hanya dapat digunakan untuk
teman sebaya dan tidak digunakan kepada orang yang lebih tua atau status sosialnya lebih tinggi.
d. Bidang Kegiatan
Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang bersionim. Namun kata tasawuf hanya
lazim dalam agama islam, kebatinan untuk yang bukan islam dan mistik untuk semua agama.
e. Nuansa Makna
Misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau, atau mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata
melihat bisa digunakan secara umum, tetapi kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan melihat dengan
sudut mata, melolot hanya digunakan dengan mata terbuka lebar, meninjau hanya digunakan hanya dugunakan
hanya dugunakan untuk menyatakan melihat dari tempat yang jauh.
Dalam bahasa Indonesia selain kata yang mempunyai sinonim ternyata terdapat satuan lain yang juga
mempunyai sinonim, satuan-satuan tersebut adalah:
1) Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat)
Misalnya dia dengan nya, saya dengan ku
a) Minta bantuan dia
Minta bantuannya
b) Bukan teman saya
Bukan temanku
2) Sinonim antara kata denga kata
Misalnya mati dengan meninggal, buruk dengan jelek, dsb.
3) Sinonim antara kata dengan frase atau sebaliknya
Misalnya meninggal dengan tutup usia, pencuri dengan tamu tak diundang
4) Sinonim antara frase dengan frase
Misalnya ayah ibu, dengan orang tua
5) Sininim antara kalimat dengan kalimat
Misanlya adik menendang bola dengan bola ditendang adik
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam sinonim bahasa Indonesia
- tidak semua kata dalam bahasa Indonesia memiliki sinonim
- kata-kata bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Mislanya kata benar dan betul,
tetapi kata kebenaran dan kebetulan tidak bersinonim.
- ada kata-kata yang yang dalam arti sebenarnya tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti kiasan justru
mempunyai sinonim, misalnya kata hitam dalam arti sebenarnya tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti
kiasan hitam bersnonim dengan gelap, mesum, buruk, jahat dsb.
Antonimi atau Oposisi. Verhaar (1978) mendefinisikan antinimi adalah ungkapan (bisa berupa kata, tetapi
dapat juga berbentuk frase, atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain.
Mislanya kata bagus berartonim dengan kata buruk, besar dengan kecil, membeli dengan menjual dsb.
Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonimi bersifat dua arah. Jadi kalau bagus berantonim dengan
buruk maka buruk berantonim dengan bagus.
Antonim disbut juga dengan istilah lawan kata, lawan makna atau oposisi.
Berdasarkan sifatnya oposisi dapat dibedakan menjadi:
a. Oposisi Mutlak
Terdapat perlawanan makna yang mutlak. Misalnya antara hidup dengan mati terdapat batas yang mutlak, sebab
sesuatu yang hidup pasti tidak mati, dan sesuatu yang mati pasti tidak hidup.
b. Oposisi Kutub
Makna kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentanganya tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat
gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata tersebut, misalnya kata kaya dan miskin, terdapat
tingkatan pada kata tersebut misalnya agak kaya, cukup kaya, sangat kaya dan paling kaya begitu juga dengan
kata miskin.
Kata-kata yang berasoiasi kutub ini umumnya berasal dari kelas kata adjektif, misalnya jauh-dekat, panjang-
pendek, tinggi-rendah dsb.
c. Oposisi Hubungan
Makna kata-kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya kehadiran kata
yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak
ada.
Misalnya kata menjual beroposisi dengan membeli, suami degan istri.
Kata-kata yang beropsosisi hubungan ini bisa berupa kata-kata kerja seperti maju-mundur, pulang-pergi,
pasang-surut, belajar-mengajar atau berupa kata benda misalnya ayah-ibu, buruh-majikan, guru-murid dsb.
d. Oposisi Hierarkial
Makna kata kata yang beroposisi hierakrial ini menyatakan suatu deret jenjang atau tindakan. Oleh karena itu
kata-kata yang beroposisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang dan
isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan dan sebagainya.
Misalnya meter beroposisi dengan kilometer karena beraada dalam satuan yang menyakatan panjang. Kuintal
beroposisi dengan ton karena keduanya berada dalam satuan ukuran yang menyatakan berat.
e. Oposisi Majemuk
Dalam bahasa Indonesia ada beberapa kata yang beropsisi dengan lebih dari satu kata. Mislanya kata berdiri bisa
beroposisi dengan kata duduk, berbaring,berjongkok dsb. Misalnya kata diam beroposisi dengan berbicara,
bergerak, dan bekerja.
Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai antonim atau oposisi. Misalnya mobil, rumput, monyet
dsb.
Homonimi, Homofoni, dan Homograf
a. Homonimi
Verhaar (1978) mendefiniskan homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya
sama dengan ungkapan lain tetapi maknanya tidak sama.
Misalnya bisa yang bermakna racun ular dan bisa yang bermakna sanggup.
Ada dua sebab kemungkinan terjadinya homonimi yaitu:
1. Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya bisa yang
berati racun berasal dari bahasa Melayu, sedangkan bisa yang berarti sanggup berasal dari bahasa Jawa.
2. Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologis. Mislanya mengukur dalam
kalimat. Ibu mengukur kelapa di dapur, adalah berhomonim pada kalimat ayah mengukur luasnya halaman
rumah kami.
Homonimi juga terjadi pada tataran morfem, kata, frase, dan kalimat
a) Homonimi antarmorfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya. Mislanya
morfem –nya pada kalimat, ini buku saya, itu bukumu dan dan yang disana bukunya berhomonim dengan –nya
pada kalimat mau belajar tapi bukunya tidak ada.
b) Homonimi antarkata misalnya bisa yang bermakna sanggup dan bisa yang bermakna racun ular. Semi yang
bermakna tunas dan semi yang bermakna setengah.
c) Hominimi antarfrase, misalnya antara frase cinta anak yang bermakan cita seorang anak kepada orang
tuanya dengan cinta anak yang bermakna cinta orang tua kepada anaknya. lukisan saya yang bermakna lukisan
karya saya, lukisan milik saya atau lukisan wajah saya.
d) Homonimi antarkalimat misalnya istri lurah yang baru itu cantik yang bermakna lurah yang baru dilantik
itu mempunyai istri yang cantik, dengan lurah itu baru saja menikah dengan seorang wanita cantik.
b. Homofoni
Homofoni berasal dari dua kata yaitu kata homo yang bermakna sama dan fon yang bermakna bunyi, jadi
homofoni adalah kata-kata yang mempununyai bentuk yang berbeda, maknanya berbeda tetapi mempunyai bunyi
yang sama. Misalnya kata bang dengan bank. Bank adalah lembaga yang mengurus lalu lintas uang, sedangkan
bang berasal dari abang yang bermakna kakak laki-laki. Sangsi dengan sanksi, sangsi yang bermakna ragu
dengan sanksi yang bermakna akibat atau konsekuensi.
c. Homografi
Homografi secara etimologi beras dari kata homo yang bermakna sama dengan graf yang bermakna tulisan, jadi
homografi adalah kata-kata mempunyai tulisan yang sama tetapi bunyi dan maknanya berbeda. Misalnya teras
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 20
dengan teras, teras yang pertama dilafalkan tǝras bermakna inti kayu dan teras yang kedua dilafalkan teras
yang bermakna bagian dari rumah. Apel dengan apel, apel yang pertama dilafalkan apěl yang bermakna upacara
dan apel yang dilafalkan apɛl yang bermakna buah apel.
Hiponimi dan Hipernimi
a. Hiponimi
Verhaar (1978:137) hiponim adalah ungkapan biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat beupa frase atau
kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Misalnya gurame adalah
hiponim dari ikan. Sebab makna gurame termasuk dalam makna kata ikan. Gurame memang ikan tetapi bukan
hanya gurami yang termasuk juga bandeng, tenggiri, salmon, mujair, cakalang, teri, mas dan sebagainya.
Hubungan antara gurame, teri, cakalang dan ikan –kan lain disebut hubungan kohiponim. Jadi gurame
berkohiponim dengan tenggiri, bandeng dan sebagainya.
Hubungan hiponim ini hanya bersifat satu arah, artinya hiponim dari bandeng adalah ikan, tetapi ikan tidak
berhiponim dengan bandeng melainkan ikan berhipernim dengan bandeng.
b. Hipernimi
Konsep hipernimi adalah kebalikan dari konsep hiponimi. Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan
adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya.
Oleh karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernim dari sebuah kata merupakan hipernim
dari kata lainnya, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial di atasnya.
Misalnya kata mahluk berhipernim dengan manusia dan binatang tetapi binatang berhipernim juga dengan ikan,
kambing, monyet, gajah dan sebagainya, ikan berhipernim juga dengan gurame, tongkol, bandeng dan
sebagainya.
Disamping istilah hiponimi dan hipernimi terdapat istilah lain yaitu meronimi. Kedua istilah ini mengadung
konsep yang hampir sama. Bedanya kalau hiponimi menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang maknanya
berada di bawah makna kata lain, sedangkan meronimi menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang
merupakan bagian bagian dari kata lain. Misalnya ikan mempunyai bagian-bagian tubuh, kepala, sirip, ekor,
ingsang, sisik, dan sebagainya maka bisa dikatakan bahwa meronimi dari ikan adalah kepala, sirip, ekor,
ingsang, sisik dan sebagainya.
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, frase, ) yang memiliki makna lebih dari satu.
Misalnya kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki makna
- Bagian tubuh dari leher ke atas (seperti terdapat pada manusia dan hewan)
- Bagian dari sesuatu yang terletak di bagian atas atau depan yang merupakan bagian yang penting (kepala
Ketera api, kepala meja).
- Bagian dari sesuatu yang berbentuk bulat (kepala paku, kepla jarum)
- Pemimpin atau ketua (kepala sekolah, kepala kantor)
- Jiwa orang seperti dalam kalimat “setiap kepala menerima bantuan RP. 5000.000”
- Akal budi seperti dalam kalimat “ badanya besar tetapi kepalanya kosong”.
Konsep polisemi hampir sama dengan konsep homonimi. Perbedaanya adalah homonimi bukanlah sebuah kata,
melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan maknanya sama. Tentu saja homonimi itu bukan sebuah kata
maka maknanya pun berbeda. Makna kata pada homonimi tidak ada kaitannya atau hubungannya sama sekali
antara yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari
satu, makna kata pada polisemi masih ada hubungannya antara makna yang satu dengan yang lain karen
memang kembangkan dari komponen-komponen makna kata-kata tersebut.
Ambiguitas adalah ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Pengertian
ambiguitas hampir sama dengan pengertain polisemi. Perbedaanya terletak pada kegandaan makna dalam
polisemi dari kata, sedangkan kegandaan makna pada ambiguitas berasal dari satuan yang lebih besar yaitu frase
atau kalimat dan terjadi akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda.
Misalnya buku sejarah baru dapat ditasfirkan sebagai (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu berisi
sejarah zaman baru
Pengertian ambiguitas hampir sama dengan homonimi. Perbedaanya terletak pada apabila homonimi dilihat
sebagai bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah
bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk
tersebut. Ambiguitas hanya terjadi pada tataran frase dann kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada
semua satuan gramatikal.
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 21
Redundansi. Istilah redundansi sering diartikan sebagai berlebih-lebihan pemakaian unsur segemental dalam
suatu bnetuk ujaran. Mislanya : bola ditendang amir dengan bola ditendang oleh si amir. Pemakaian kata oleh
pada kalimat kedua tersebut dianggap sebagai sesuatu yang redundasi, yang berlebihan dan sebenarnya tidak
perlu.
PERUBAHAN MAKNA. Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah, tetapi secara
diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Dalam masa yang relative singkat, makna sebuah kata tidak akan
berubah, tetapi dalam waktu yang relative lama ada kemungkinan makna tersebut akan berubah. Ini tidak berlaku
untuk semua kosakata, tetapi hanya terjadi pada sebuah kata saja, yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi
2. Perkembangan sosial budaya
3. Perkembangan pemakaian kata
4. Pertukaran tanggapan indera (sinestesia)
5. Adanya asosiasi
menyatakan sesuatu tetapi juga melakukan sesuatu. Filosof J.L. Austin membedakan antara tuturan performatif
(performativei) dan konstatif (constative).
Tuturan performatif (performative utterance): tuturan yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah
diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga;
misalnya: dalam ujaran Saya mengucapkan terima kasih, pembicara mengujarkannya dan sekaligus menyelesaikan
perbuatan “mengucapkan” (Kridalaksana, 1984: 2001).
Ciri-ciri tindakan performatif:
Subyek harus orang pertama, bukan orang kedua atau ketiga.
Tindakan sedang/akan dilakukan
Tindak tutur (istilah Kridalaksana ‘pertuturan’ (speech act, speech event): pengujaran kalimat untuk menyatakan
agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar (Kridalaksana, 1984: 154).
Tiga jenis tindakan yang berkaitan dengan ujaran(tindak tutur):
Lokusi adalah semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan kalimat
sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Di
sini maksud atau fungsi ujaran itu belum menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya
disingkat P) Jawa mengujarkan “Aku serak” dalam tindak lokusi kita akan mengartikan “aku” sebagai
‘pronomina persona tunggal’ (yaitu si P) dan “serak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’,
tanpa bermaksud untuk minta minum.
Ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud dan fungsi atau daya
ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan. Jadi, “Aku ngelak” yang diujarkan oleh P dengan
maksud ‘minta minum’ adalah sebuah tindak ilokusi.
Perlokusi mengacu ke efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara singkat, perlokusi
adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika MT melakukan tindakan mengambilkan air
minum untuk P sebagai akibat dari TT itu maka di sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi.
n mengatakan kepada t bahwa X.
(merupakan tindak mengatakan sesuatu: menghasilkan serangkaian bunyi
1. Lokusi
yang berarti sesuatu. Ini merupakan aspek bahasa yang merupakan pokok
penekanan linguistik tradisional).
Dalam mengatakan X, n menegaskan (asserts) bahwa P.
(Dilakukan dengan mengatakan sesuatu, dan mencakup tindak-tindak
seperti bertaruh, berjanji, menolak, dan memesan. Sebagian verba yang
2. Ilokusi
digunakan untuk melabel tindak ilokusi bisa digunakan secara
performatif. Dengan demikian mengatakan Saya menolak bahwa X sama
halnya menolak bahwa X.)
Dengan mengatakan X, n meyakinkan (convinces) t bahwa P.
(Menghasilkan efek tertentu pada pendengar. Persuasi merupakan tindak
3. Perlokusi perlokusi: orang tidak dapat mempersuai seseorang tentang sesuatu hanya
dengan mengatakan Saya mempersuasi anda. Contoh-contoh yang sesuai
adalah meyakinkan, melukai, menakut-nakuti, dan membuat tertawa)
Searle (1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis TT (dalam Ibrahim, 1993: 11-54).
Kelima TT itu sebagai berikut:
TT representatif yaitu TT yang mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya, misalnya
menyatakan, melaporkan, menunjukkan, dan menyebutkan.
TT direktif yaitu TT yang dilakukan P-nya dengan maksud agar si pendengar atau MT melakukan tindakan
yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, dan menantang.
TT ekspresif ialah TT yang dilakukan dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal
yang disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengeritik, dan mengeluh.
TT komisif adalah TT yang mengikat P-nya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam ujarannya,
misalnya berjanji dan bersumpah.
TT deklaratif merupakan TT yang dilakukan P dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan
sebagainya) yang baru, misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan memberi maaf.
Grice menjabarkan prinsip kerja sama itu menjadi empat maksim percakapan (periksa Gunarwan, 1993: 11; Lubis,
1993: 73):
Maksim Kuantitas
Berbicara sejumlah yang dibutuhkan oleh pendengar. Kalau lebih berarti ada tujuannya. Misalnya: Ibu
kota Provinsi Jawa Timur Surabaya. (Secara kuantitas cukup jelas). Ibu kota Provinsi Jawa
Timur Sura …… Tuturan ini disampaikan oleh guru, lalu murid menjawab ….. baya.
Maksim Kualitas
Prinsip yang menghendaki orang-orang berbicara berdasarkan bukti-bukti yang memadai.
Misalnya: Buku itu dibuat dari kertas. Bukti cukup memadai, tetapi apabila ada tuturan *Buku itu
dibuat dari nasi, bukti tidak memadai. Dalam kaitannya dengan maksim kualitas, terdapat
penyimpangan maksim, misalnya Modal saja tidak bisa dan Untung saja tidak dapat.
Maksim relevansi
Penutur dan mitra tutur berbicara secara relevan berdasarkan konteks pembicaraan.
Misalnya:
A : Sekarang jam berapa?
B : Azan baru saja terdengar
Jawaban dari MT tidak langsung menjawab tentang satuan waktu, tetapi direlevansikan dengan suara
Adzan yang menunjukkan waktu salat.
Maksim cara
Tuturan harus dikomunikasikan secara wajar, tidak boleh ambigu (taksa), tidak terbalik (harus runtut).
Misalnya:
A : Dia penyanyi solo.
B : Benar, dia sering tampil di TVRI.
Tetapi kadang-kadang dalam tuturan yang wajar terjadi dis-ambiguasi (pengawaambiguan), sehingga
kata-kata yang ambigu itu hanya satu makna.
Misalnya:
A : Kamu penjahat kelas kakap, ya?
B : Bukan, hiu.
A : Ini Tanah Abang, ya?
B : Jangan menghina, masak saya miskin seperti ini punya tanah.
Dalam kaitannya dengan kategori pragmatik ini ada tuturan komisif, tuturan impositif (direktif), tuturan asertif,
tuturan ekspresif.
Tuturan komisif: berjanji, menawarkan. Misalnya:
Saya akan datang.
Boleh saya bawakan?
Saya akan setia.
Swear.
Tuturan impositif (direktif): menyuruh, memerintah, memohon. Misalnya:
Apakah Anda bisa menolong saya.
Saya akan datang
(ada efek yang lain untuk memerintah)
Tuturan asertif: menyatakan sesuatu (objektif). Misalnya:
Bali terletak di sebelah timur Pulau Jawa.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Undilk memiliki 9 jurusan.
Tuturan ekspresif: menyatakan perasaan (emosi). Misalnya:
Gedung itu indah sekali.
Gadis itu cantik sekali.
Kadang-kadang sulit dibedakan antara tuturan asertif dengan ekspresif
6 prinsip kesopanan menurut Leech.
Maksim kebijaksanaan/kedermawanan, tact maxim.
Ditujukan pada orang lain (other centred maxim). Jenis maksim ini untuk berjanji dan
menawarkan (impositif, komisif). memaksimalkan keuntungan orang lain, meminimalkan
kerugian orang lain.
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 25
Misalnya:
A : Ada yang bisa saya bantu?
Mari saya bawakan!
B : Tidak usah. Terima kasih.
Oh ya,.... terima kasih
Tuturan A dan B disebut pragmatik paradoks.
Maksim penerimaan (approbation maxim). Ditujukan pada diri sendiri, bukan pada orang lain (self
centred maxim). Maksim penerimaan ini ditujukan untuk menawarkan dan berjanji. Memaksimalkan
kerugian diri sendiri, meminimalkan keuntungan diri sendiri.
Misalnya:
Bolehkah saya bantu?
Mari saya bantu.
Apakah Anda bersedia membawakan..... ?
Bawakan ini! (tidak sopan)
Mai saya antarkan!
Tolong saya dihantarkan!
Maksim kemurahhatian (generosity maxim). Pusatnya orang lain (other centred maxim) Maksim ini
ditujukan untuk kategori asertif dan ekspresif. Memaksimalkan rasa hormat pada orang lain,
meminimalkan rasa tidak hormat pada orang lain.
Misalnya:
Rumahmu nyaman sekali sekali,
Pekaranganya luas, sayang kalau tidak ditanami.
Maksim kerendahhatian (modesty maxim). Pusatnya pada diri sendiri (self centred maxim).
Meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri dan memaksimalkan rasa tidak hormat pada diri sendiri.
Misalnya:
A : Kau sangat pandai.
B : Ah tidak, biasa-biasa saja.
A : Mobilnya bagus!
B : Ah, begini saja kok bagus.
Maksim kesetujuan atau kecocokan (agreement maxim). Pusatnya pada orang lain (other centred
maxim). Ditujukan untuk menyatakan pendapat dan ekspresif. Memaksimalkan kesetujuan pada orang
lain dan meminimalkan ketidaksetujuan pada orang lain.
Misalnya:
A : Rumah pak Herman luas dan resik.
B : Iya, luas dan sejuk
A : Rumah pak Herman luas dan resik.
B : Ah ... biasa saja kok ... malah kurang nyaman.
(Ketidaksetujuan total / tidak sopan)
A : Wah, cantik sekali kamu?
B : Iya, kaya kera .... .
(Ketidaksetujuan parsial / sopan)
Maksim kesimpatian (symphaty maxim). Pusatnya orang lain (other centred maxim). Ditujukan
untuk menyatakan asertif dan ekspresif. Memaksimalkan simpati pada orang lain dan meminimalkan
antipati pada orang lain.
Misalnya:
A : Saya lolos di UMPTN, Jon.
B : Selamat, ya.
A : Baru-baru ini dia telah meninggal.
B : Oh, saya turut berduka cita.
bahasa bersifat kuantitatif. Artinya kajian sosiolinguistik sendiri lebih bertumpu pada hubungan dengan perincian-
perincian penggunaaan bahasa yang sebenarnya, seperti deskripsi pola-pola pemakaian bahasa/dialek dalam budaya
tertentu yang dilakukan penutur, topik dan latar pembicaraan. Sedangkan sosiologi bahasa lebih berhubungan
dengan faktor-faktor sosial yang saling bertimbal balik dengan bahasa/dialek.
Sosiologuistik dengan Linguistik. Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mengkaji linguistik yang dihubungkan
dengan faktor sosiologi. Hal yang dikaji dalam linguistik (ilmu yang mengkaji bahasa sebagai fenomena yang
inedependen) dijadikan dasar bagi sosiolinguistik untuk menunjukkan perbedaan penggunaan bahasa yang dikaitkan
dengan faktor sosial
Sosiolinguistik dengan Sosiologi. Sosiolinguistik memandang bahasa sebagai dasar kajian (lihat kembali hubungan
antara sosiolinguistik dan linguistik) dan memandang struktur sosial sebagai faktor penentu variabel. Hubungan
sosiolinguistik – sosiologi
(1) Data sosiolinguistik yang memberikan ciri-ciri kehidupan sosial, menjadi barometer untuk sosiologi;
(2) Aspek sikap berbahasa mempengaruhi budaya material dan spiritual suatu masyarakat;
(3) Bahasa yang diteliti secara sosiolinguistik adalah alat utama dari perkembanagan penegetahuan menegenai
sosiologi.
Hubungan Sosiolinguistik dengan Pragmatik. Sebagaimana sosiolinguistik, pragmatik juga beranggapan bahwa
bahasa (tuturan) tidaklah monostyle.Pragmatik memandang bahasa sebagai alat komunikasi yang keberadaannya
(baik bentuk maupun maknanya) ditentukan oleh penutur dan ditentukan dan keberagamannya ditentukan oleh
topik, tempat, sarana, dan waktu. Fakta-fakta ini dimanfaatkan oleh sosiolinguistik untuk menjelaskan variasi-
variasi bahasa atau ragam bahasa.
Hubungan Sosiolinguistik dan Antropologi. Antropologi merupakan ilmu tentang manusia, khususnya tentang
asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat-istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau.Sosiolinguistik berusaha
untuk memanfaatkan penggolongan masyarakat melalui budaya yang dilakukan antropologi serta memandangnya
sebagai faktor pemengaruh bahasa. Sosiolinguistik berusaha menguji ulang data linguistik yang ditemukan
antropologi itu. Pandangan hidup (yang tercermin dalam perilaku) dipakai sebagai faktor penyebab variasi bahasa
terutama aspek kosakata dan struktur.
Hubungan Sosiolinguistik dengan Psikologi. Pada masa Chomsky, linguistik mulai dikaitkan dengan psikologi
dan dipandang sebagai ilmu yang tidak independen. Lebih jauh Chomsky mengatakan (1974) bahwa linguistik
bukanlah ilmu yang berdiri sendiri. Linguistik merupakan bagian dari psikologi dalam cara berpikir manusia.
Chomsky melihat bahasa sebagai dua unsure yang bersatu, yakni competence
dan performance. Competence merupakan unsur dalam bahasa (deepstructure) dan menempatkan bahasa dari segi
kejiwaan penutur,sedangkan performance merupakan unsur yang terlihat dari parole. Dengan demikian, Chomsky
memandang bahwa bahasa bukanlah gejala tunggal. namun dipengaruhi oleh faktor kejiwaan penuturnya.
Kegunaan Sosiolinguistik: Sosiolinguistik menjelaskan bagaimana menggunakan bahasa itu dalam aspek atau segi
sosial tertentu seperti dirumuskan Fishman (1967:15) bahwa yang dipersoalkan dalam sosiolinguistik adalah, “who
speak what language, to whom, when, and to what end”.Dari rumusan Fishman itu dapat kita jabarkan manfaat atau
kegunaan sosiolinguistik bagi kehidupan praktis. Pertama-tama pengetahuan sosiolinguistik dapat kita manfaatkan
dalam berkomunikasi atau berinteraksi. Sosiolinguistik akan mendapatkan pedoman kepada kita dalam
berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa apa yang harus kita gunakan jika kita
berbicara dengan orang tertentu
Masalah-Masalah Sosiolinguistik. Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung di University of
California, Los Angeles, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik.
Ketujuh dimensi yang merupakan masalah dalam sosiolinguistik itu adalah (1) identitas sosial dari penutur, (2)
identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur
terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penelitian sosial yang berbeda oleh penutur
akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6) tingkatan variasi dan ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dari
penelitian sosiolinguistik (lihat Dittmar 1976:128). Identitas sosial dari penutur adalah, antara lain, dapat
diketahui dari pertanyaan apa dan siapa penutur tersebut, dan bagaimana hubungannya dengen lawan
tuturnya. Maka, identitas penutur dapat berupa anggota keluarga (ayah, ibu, kakak, adik, paman, dan sebagainya),
dapat berupa teman karib, atasan atau bawahan (di tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang
dituakan, dan sebagainya. Identitas penutur itu dapat mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur. Identitas sosial
dari pendengar tentu harus dilihat dari pihak penutur. Maka, identitas pendengar itupun dapat berupa anggota
keluarga (ayah, ibu, kakak, adik, paman, dan sebagainya), dapat berupa teman karib, atasan atau bawahan (di
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 28
tempat kerja), guru, murid, tetangga, pejabat, orang yang dituakan, dan sebagainya. Identitas pendengar atau para
pendengar juga akan mempengaruhi pilihan kode dalam bertutur. Lingkungan sosial tempat peristiwa tutur
terjadi dapat berupa ruang keluargadi dalam sebuah rumah tangga, di dalam mesjid, di lapangan sepak bola, di
ruang kuliah, di perpustakaan, atau di pinggir jalan. Tempat peristiwa tutur terjadi dapat pula mempengaruhi
pilihan kode dan gaya dalam bertutur. Misalnya, di ruang perpustakaan tentunya kita harus berbicara dengan
suara yang tidak keras, di lapangan sepak bola kita boleh berbicara keras-keras, malah diruang yang bising dengan
suara mesin-mesin kita harus berbicara dengan suara keras, sebab kalau tidak keras tentu tidak dapat didengar oleh
lawan bicara kita. Analisis diakronik dan sinkronik dari dialek-dialek sosial berupa deskripsi pola-pola
dialek-dialek sosial itu, baik dari berlaku pada masa tertentu atau yang berlaku pada masa yang tidak
terbatas. Dialek sosial ini digunakan para penutur sehubungan dengan kedudukan mereka sebagai anggota kelas-
kelas sosial tertentu di dalam masyarakat. Penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap bentuk-bentuk
perilaku ujaran. Maksudnya, setiap penutur tentunya mempunyai kelas sosial tertentu di dalam masyarakat. Maka,
berdasarkan kelas sosialnya itu, dia mempunyai penilaian tersendiri, yang tentunya sama, atau jadi berbeda, tidak
akan terlalu jauh dari kelas sosialnya, terhadap bentuk-bentuk perilaku ujaran yang berlangsung. Tingkatan variasi
atau linguistik, maksudnya, bahwa sehubungan dengan heterogennya anggota suatu masyarakat tutur,
adanya berbagai fungsi sosial dan politik bahasa, serta adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka alat
komunikasi, manusia yang disebut bahasa itu menjadi sangat bervariasi. Setiap variasi, entah namanya dialek,
varietas, atau ragam, mempunyai fungsi sosialnya masing-masing. Dimensi terakhir, yakni penerapan paraktis
dari penelitian sosiolinguistik, merupakan topik yang membicarakan kegunaan penelitian sosiolinguistik
untuk mengatasi masalah-masalah praktis dalam masyarakat. Misalnya, masalah pengajaran bahasa,
pembukuan bahasa, penerjemahan, mengatasi konflik sosial akibat konflik bahasa, dan sebagainya.
Pengertian Kode. Istilah kode dipakai untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan, sehingga
selain kode yang mengacu kepada bahasa (seperti bahasa Inggris, Belanda, Jepang, Indonesia), juga mengacu
kepada variasi bahasa, seperti varian regional (bahasa Jawa dialek Banyuwas, Jogja-Solo, Surabaya), juga varian
kelas sosial disebut dialek sosial atau sosiolek (bahasa Jawa halus dan kasar), varian ragam dan gaya dirangkum
dalam laras bahasa (gaya sopan, gaya hormat, atau gaya santai), dan varian kegunaan atau register (bahasa pidato,
bahasa doa, dan bahasa lawak). Kenyataan seperti di atas menunjukkan bahwa hierarki kebahasaan dimulai dari
bahasa/language pada level paling atas disusul dengan kode yang terdiri atas varian, ragam, gaya, dan register.
ALIH KODE (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur
menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek
ketergantungan bahasa (languagedependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual
sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa
masih cenderung mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Suwito
(1985) membagi alih kode menjadi dua, yaitu
1. alih kode ekstern bila alih bahasa, seperti dari bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan
2. alih kode intern bila alih kode berupa alih varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
Beberapa faktor yang menyebabkan alih kode adalah:
1. Penutur seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur karena suatu tujuan. Misalnya
mengubah situasi dari resmi menjadi tidak resmi atau sebaliknya.
2. Mitra Tutur mitra tutur yang latar belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam
wujud alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung alih kode berupa alih
bahasa.
3. Hadirnya Penutur Ketiga untuk menetralisasi situasi dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya
penutur dan mitra tutur beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda.
4. Pokok Pembicaraan. Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan
terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan
gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa takbaku, gaya
sedikit emosional, dan serba seenaknya.
5. Untuk membangkitkan rasa humor biasanya dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara.
6. Untuk sekadar bergengsi walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor sosio-situasional tidak
mengharapkan adanya alih kode, terjadi alih kode, sehingga tampak adanya pemaksaan, tidak wajar, dan cenderung
tidak komunikatif.
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 29
CAMPUR KODE (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan
mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk
penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa
kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut
tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu
fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence). Campur kode dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing): Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala
variasinya
2. Campur kode ke luar (outer code-mixing): campur kode yang berasal dari bahasa asing. Latar belakang terjadinya
campur kode dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
1. sikap (attitudinal type), latar belakang sikap penutur
2. kebahasaan(linguistik type), latar belakang keterbatasan bahasa, sehingga ada alasan identifikasi peranan,
identifikasi ragam, dan keinginan untuk menjelaskan atau menafsirkan.
Dengan demikian campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antaraperanan penutur, bentuk bahasa,
dan fungsi bahasa. Beberapa wujud campur kode,
1. penyisipan kata,
2. menyisipan frasa,
3. penyisipan klausa,
4. penyisipan ungkapan atau idiom, dan
5. penyisipan bentuk baster (gabungan pembentukan asli dan asing).
PERSAMAAN ALIH KODE DAN CAMPUR kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam masyarakat
multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan yang cukup nyata, yaitu alih
kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan
dengan sadar, dan disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode utama atau
kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan kode yang lain yang terlibat dalam
penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode.
Unsur bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh penutur menggunakan bahasa
dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa, sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari
satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur
klausa atau frasa yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran (hybrid cluases/hybrid phrases) dan
masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur kode.
Tahap Linguistik
Tahap ilmu linguistik semula berorientasi pada aliran behaviorisme dan kemudian beralih ke
mentalisme (nativisme) pada tahun 1957.
Didukung pula oleh neurolinguistik yaitu menunjukkan bahwa manusia ditakdirkan memiliki otak
yang berbeda dengan yang yang lain baik dalam struktur maupun fungsinya.
Pada bagian manusia ada bagian-bagian otak yang dikhususkan untuk kebahasaan sedangkan pada
bagian binatang tidak ada.
Sedangkan secara biolinguistik manusia juga ditakdirkan memiliki struktur biologi yang lain dengan
binatang. Misalnya mulut manusia memiliki struktur yang sedemikian rupa sehingga memungkinkan
mengeluarkan bunyi yang berbeda-beda. Ukuran ruang mulut dalam bandingannya dengan lidah,
kelenturan lidah, dan tipisnya bibir membuat manusia mampu untuk menggerak-gerakkan secara
mudah dan untuk menghasilkan bunyi.
Kaitan antara neurobiology mendukung pandangan Chomsky yang mengatakan bahwa pertumbuhan
bahasa pada manusia itu terprogram secara genetik.
Pandangan Chomsky mengatakan bahwa pertumbuhan bahasa pada manusia tidak ada bedanya dengan
pertumbuhan payudara atau kumis pada manusia.
Waktu dilahirkan, manusia sudah dibekali dengan faculties of the mind(kapling minda) bagian yang
khusus diciptakan untuk pemerolehan bahasa.
Menurut Chomsky manusia memiliki bekal kodrati (innate properties) waktu lahir dan bekal inilah
yang kemudian membuatnya mampu untuk mengembangkan bahasa.
Orang telah banyak melakukan penelitian dan mencoba mengajar binatang untuk berbahasa, tetapi
tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil.
Ketidakberhasilan penelitian membuktikan bahwa pemerolehan bahasa adalah unik untuk manusia
(species specific) hanya manusialah yang dapat berbahasa.
Makhluk lain dapat melakukan banyak hal, termasuk hal-hal yang dilakukan manusia, tetapi
kemampuan mereka terbatas hanya pada ihwal yang non verbal. Begitu pada ihwal yang verbal di
situlah mereka menjadi berbeda dengan manusia.
Tahap Kognitif
Pada tahap ini psikolinguistik mulai mengarah pada peran kognisi dan landasan biologis manusia
dalam pemerolehan bahasa.
Pada tahap ini orang juga mulai berbicara tentang peran biologi pada bahasa karena mereka mulai
merasa bahwa biologi merupakan landasan di mana bahasa itu tumbuh.
Chomsky dan Lenneberg mengatakan bahwa pertumbuhan bahasa seorang manusia itu terkait secara
genetic dengan pertumbuhan biologinya.
BAHASA ITU BERSIFAT UNIK, Bahasa dikatakan bersifat unik, artinya setiap bahasa mempunyai ciri
khas sendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lainnya. Ciri khas ini bisa menyangkut sistem bunyi, sistem
pembentukan kata, sistem pembentukan kalimat, atau sistem-sistem lainnya.
BAHASA ITU BERSIFAT UNIVERSAL, Selain bersifat unik, bahasa juga bersifat universal. Artinya, ada
ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Misalnya, ciri universal bahasa
yang paling umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan.
BAHASA ITU BERSIFAT PRODUKTIF, Bahasa bersifat produktif, artinya meskipun unsur-unsur bahasa
itu terbatas, tetapi dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang
tidak terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu. Misalnya, kita
ambil fonem dalam bahasa Indonesia, /a/, /i/, /k/, dan /t/. Dari empat fonem tersebut dapat kita hasilkan
satuan-satuan bahasa:
/i/-/k/-/a/-/t/
/k/-/i/-/t/-/a/
/k/-/i/-/a/-/t/
/k/-/a/-/i/-/t/
BAHASA ITU BERVARIASI, Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang
dengan berbagai status sosial dan latar belakang budaya yang tidak sama. Karena perbedaan tersebut
maka bahasa yang digunakan menjadi bervariasi. Ada tiga istilah dalam variasi bahasa yaitu:
Idiolek : Ragam bahasa yang bersifat perorangan.
Dialek : Variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat
atau suatu waktu.
Ragam : Variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tertentu. Misalnya, ragam baku dan ragam
tidak baku.
BAHASA ITU BERSIFAT DINAMIS, Bahasa tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia
sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Karena keterikatan
dan keterkaitan bahasa itu dengan manusia, sedangkan dalam kehidupannya di dalam masyarakat kegiatan
manusia itu selalu berubah, maka bahasa menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap, menjadi dinamis.
Perubahan itu dapat berupa pemunculan kata atau istilah baru, peralihan makna sebuah kata, dan
perubahan-perubahan lainnya.
BAHASA ITU MANUSIAWI, Alat komunikasi manusia berbeda dengan binatang. Alat komunikasi
binatang bersifat tetap, statis. Sedangkan alat komunikasi manusia, yaitu bahasa bersifat produktif dan
dinamis. Maka, bahasa bersifat manusiawi, dalam arti bahasa itu hanya milik manusia dan hanya dapat
digunakan oleh manusia.
Menurut Sigel dan Cocking (2000:5) pemerolehan bahasa merupakan proses yang digunakan oleh anak-anak untuk
menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan ucapan orang tua sampai dapat memilih kaidah tata bahasa yang paling
baik dan sederhana dari bahasa yang bersangkutan.
Pemerolehan bahasa umumnya berlangsung di lingkungan masyarakat bahasa target dengan sifat alami dan
informal serta lebih merujuk pada tuntutan komunikasi. Berbeda dengan belajar bahasa yang berlangsung secara
formal dan artifisial serta merujuk pada tuntutan pembelajaran (Schutz, 2006:12), dan pemerolehan bahasa
dibedakan menjadi pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua.
Pemerolehan bahasa pertama terjadi jika anak belum pernah belajar bahasa apapun, lalu memperoleh bahasa.
Pemerolehan ini dapat satu bahasa atau monolingual FLA (First Language Acquisition), dapat juga dua bahasa
secara bersamaan atau berurutan(bilingual FLA). Bahkan dapat lebih dari dua bahasa (multilingual
FLA). Sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi jika seseorang memperoleh bahasa setelah menguasai bahasa
pertama atau merupakan proses seseorang mengembangkan keterampilan dalam bahasa kedua atau bahasa asing.
Menurut Vygotsky pemerolehan bahasa pertama diperoleh dari interaksi anak dengan lingkungannya, walaupun
anak sudah memiliki potensi dasar atau piranti pemerolehan bahasa yang oleh Chomsky disebut language
acquisition device (LAD), potensi itu akan berkembang secara maksimal setelah mendapat stimulus dari
lingkungan.
Chomsky dalam Schutz (2006:1) tampaknya setuju dengan hakikat dasar masalah bahasa. Dalam analisis tentang
pemerolehan bahasa, ia berpendapat bahwa misteri perbuatan belajar berasal dari dua fakta utama tentang
penggunaan bahasa, yakni bahasa itu taat asas dan kreatif.
Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang
kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses
performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan.
Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara alamiah.
Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan
pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak
menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses
penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-
kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri
(Simanjuntak, 1986). Selanjutnya, Chomsky juga beranggapan bahwa pengguna bahasa mengerti struktur dari
bahasanya yang membuat seseorang dapat mengkreasikan kalimatkalimat baru yang tidak terhitung jumlahnya dan
membuat seseorang mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi, kompetensi adalah pengetahuan intuitif yang dimiliki
seorang individu mengenai bahasa ibunya (native languange). Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada, tetapi
dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya, sedangkan performansi adalah sesuatu yang dihasilkan
oleh kompetensi.
Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi anak dalam memperoleh bahasa pertamanya dan apakah
setiap anak memiliki strategi yang sama dalam memperoleh bahasa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini,
Dardjowidjojo, (2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa
anak di mana pun juga memperoleh bahasa pertamanya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak
hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang
menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa
juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini.
Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana
yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya
seperti apa ditentukan oleh input sekitarnya.
Chomsky berpendapat bahwa pemerolehan bahasa itu berdasarkan pada nature karena menurutnya ketika anak
dilahirkan ia telah dengan dibekali dengan sebuah alat tertentu yang membuatnya mampu mempelajari suatu
bahasa. Alat tersebut disebut dengan Piranti Pemerolehan Bahasa (Language Acquisition Device) yang bersifat
universal yang dibuktikan oleh adanya kesamaan pada anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa mereka
(Dardjowidjojo, 2005:235-236). Noam Chomsky berpendapat bahwa seorang anak telah dilahirkan dengan
kecakapan alami untuk menguasai bahasa apabila anak sudah sampai pada peringkat kematangan tertentu. Pada
tiap-tiap peringkat kematangan, anak tersebut akan membentuk hipotesis-hipotesis terhadap aturan-aturan yang ada
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 36
dalam bahasa yang digunakannya di dalam komunikasi sehari-hari dengan orang-orang di sekitarnya. Semua
perbaikan atas kesalahan yang dibuatnya akan mempertegas lagi aturan-aturan bahasa yang tersimpan di dalam
otaknya. Jadi, pemerolehan bahasa bukan didasarkan pada nurture (pemerolehan itu ditentukan oleh alam
lingkungan) tetapi padanature. Artinya anak memperoleh bahasa seperti dia memperoleh kemampuan untuk berdiri
dan berjalan. Anak tidak dilahirkan sebagai tabularasa, tetapi telah dibekali denganInnate Properties (bekal kodrati)
yaitu Faculties of the Mind (kapling minda) yang salah satu bagiannya khusus untk memperoleh bahasa,
yaitu Language Acquisition Device. LAD inidianggap sebagai bagian fisiologis dari otak yang khusus untuk
mengolah masukan (input) dan menentukan apa yang dikuasai lebih dahulu seperti bunyi, kata, frasa, kalimat, dan
seterusnya. Meskipun kita tidak tahu persis tepatnya dimana LAD itu berada karena sifatnya yang abstrak.
Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa.Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang
mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari
prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.
Ali (1995:77) mengatakan bahasa ibu adalah bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak awal hidupnya melalui
interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungan. Hal ini
menunjukkan bahasa pertama (B1) merupakan suatu proses awal yang diperoleh anak dalam mengenal bunyi dan
lambang yang disebut bahasa. Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu
(a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan masa sekolah.
Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan
pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan.
Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasa mempunyai dua cara yang, berbeda
berdikari, dan mandiri mengenai pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Pertama, pemerolehan bahasa
merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama
mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan
kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi. Kedua, untuk mengembangkan kompetensi dalam
bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa
hanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi ada hipotesis pemerolehan belajar yang menuntut bahwa orang-orang
dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuan memungut bahasa bahasa tidaklah hilang pada masa puber. Orang-
orang dewasa juga dapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-
anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat pada orang dewasa.
Pemerolehan dan pembelajaran dapat dibedakan dalam lima hal, yaitu:
Pemerolehan memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama, seorang anak penutur
asli, sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal,
Pemerolehan secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja.
Pemerolehan bahasa kedua seperti memungut bahasa kedua, sedangkan pembelajaran mengetahui
bahasa kedua,
Pemerolehan mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapat pengetahuan
secara eksplisit,
Pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaran menolong sekali.
Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi dua cara:
Pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin adalah pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada
pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria yang
ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang guru sesuai dengan apa yang
dianggap paling cocok bagi siswanya.
Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang terjadi dalam
komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan,guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap
individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendiri-sendiri. Interaksi menuntut komunikasi
bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciri penting dari pemerolehan bahasa kedua secara
alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan
sistematis yang sengaja
Pemerolehan Bahasa Kedua:
Bagi sebagian besar anak Indonesia, bahasa Indonesia bukan bahasa pertama mereka, melainkan
bahasa kedua, atau ketiga.
Pengenalan/penguasaan bahasa Indonesia dapat terjadi melalui proses pemerolehan atau proses belajar.
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 37
Proses pemerolehan terjadi secara alamiah, tanpa sadar, melalui interaksi tak formal dengan orang tua
dan/atau teman sebaya, tanpa bimbingan.
Proses belajar terjadi secara formal, disengaja, melalui interaksi edukatif, ada bimbingan, dan
dilakukan dengan sadar.
Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2) didapat bersama-sama atau dalam waktu berbeda. Jika
didapat dalam waktu yang berbeda, Bahasa Kedua (B2) didapat pada usia prasekolah atau pada usia
Sekolah Dasar.
Bahasa Kedua (B2) dapat diperoleh di lingkungan Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2). Jika
diperoleh di lingkungan Bahasa Pertama, Bahasa Kedua dipelajari melalui proses belajar formal; jika
didapat di lingkungan Bahasa Kedua, Bahasa Kedua didapat melalui interaksi tidak formal, melalui
keluarga, atau anggota masya-rakat Bahasa Kedua.
Tahap pemerolehan bahasa:
KURANG DARI 1 TAHUN: Belum dapat mengucapkan kata-kata, Belum menggunakan bahasa dalam arti
yang sebenarnya, Dapat membedakan beberapa ucapan orang dewasa.
1 TAHUN: Mulai mengoceh, Bermain dengan bunyi (bermain dengan jari-jari tangan dan kakinya),
Perkembangan pada tahap ini disebut pralinguistik, Bentuk ucapan hanya satu kata, sederhana, mudah
diucapkan dan memiliki arti konkrit (nama benda, kejadian atau orang-orang di sekitar anak, Mulai
pengenalan semantik (pengenalan makna).
2 TAHUN: Mengetahui kurang lebih memiliki 50 kata, Kebanyakan mulai mencapai kombinasi dua kata
yang dikombinasikan dalam ucapan-ucapan pendek tanpa kata penunjuk, kata depan atau bentuk lain yang
seharusnya digunakan, Mulai mengenal berbagai makna kata tetapi tidak dapat menggunakan bentuk bahasa
yang menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya peristiwa, Mulai dapat membuat kalimat-
kalimat pendek.
TAMAN KANAK-KANAK: Memiliki dan memahami sejumlah besar kosa kata, Mampu membuat
pertanyaan-pertanyaan, kalimat majemuk dan berbagai bentuk kalimat, Dapat berbicara dengan sopan dengan
orang tua dan guru.
SEKOLAH DASAR: Peningkatan perkembangan bahasa, dari bahasa lisan ke bahasa tulis, Peningkatan
perkembangan penggunaan bahasa.
REMAJA: Penggunaan bahasa yang khas sebagai bagian dari terbentuknya identitas diri (merupakan usia
yang sensitif untuk belajar berbahasa).
DEWASA: Terdapat perbedaan-perbedaan yang besar antara individu yang satu dengan yang lainnya dalam
perkembangan bahasa (sesuai dengan tingkat pendidikan, peranan dalam masyarakat, dan jenis pekerjaan).
mendasarkan pada proses akuisisi melalui perubahan tingkah laku yang teramati. Gagasan behavioristik terutama
didasarkan pada teori belajar yang pusat perhatian tertuju pada peranan lingkungan, baik verbal maupun nonverbal.
Teori belajar behavioris ini menjelaskan bahwa perubahan tingkah laku dilakukan dengan menggunakan model
stimulus (S) dan respon (R) Dengan demikian, akuisisi bahasa dapat diterangkan berdasarkan konsep SR. Setiap
ujaran dan bagian ujaran yang dihasilkan anak adalah reaksi atau respon terhadap stimulus yang ada. Apabila
berkata, “Bu, saya minta makan”, sebenarnya sebelum ada ujaran ini anak telah ada stimulus berupa perut terasa
kosong dan lapar. Keinginan makan, antara lain dapat dipenuhi dengan makan nasi atau bubur. Bagi seorang anak
yang beraksi terhadap stimulus yang akan datang, ia mencoba menghasilkan sebagian ujaran berupa bunyi yang
kemudian memperoleh pengakuan dari orang yang di lingkungan anak itu. Kaum behavioris memusatkan perhatian
pada pola tingkah laku berbahasa yang berdaya guna untuk menghasilkan respon yang benar terhadap setiap
stimulus. Apabila respon terhadap stimulus telah disetujui kebenarannya, hal itu menjadi kebiasaan. Misalnya
seorang anak mengucapkan , "ma ma ma",dan tidak ada anggota keluarga yang menolak kehadiran kata itu, maka
tuturan "ma ma ma", akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu akan diulangi lagi ketika anak tadi melihat sesosok
tubuh manusia yang akan disebut ibu yang akan dipanggil "ma ma ma". Hal yang sama akan berlaku untuk setiap
kata-kata lain yang didengar anak. Teori akuisisi bahasa berdasarkan konsep behavioris menjelaskan bahwa anak-
anak mengakuisisi bahasa melalui hubungan dengan lingkungan, dalam hal ini dengan cara meniru. Dalam
hubungan dengan peniruan ini Pateda (1990:45) menyatakan bahwa faktor yang penting dalam peniruan adalah
frekuensi berulangnya satu kata dan urutan kata. ujaran-ujaran itu akan mendapat pengukuhan, sehingga anak akan
lebih berani menghasilkan kata dan urutan kata. Seandainya kata dan urutan kata itu salah, maka lingkungan tidak
akan memberikan pengukuhan. dengan cara ini, lingkungan akan mendorong anak menghasilkan tuturan yang
gramatikal dan tidak memberi pengukuhan terhadap tuturan yang tidak gramatikal.
Teori Pemerolehan Bahasa Mentalistik
Menurut pandangan kaum mentalis atau rasionalis atau nativis, proses akuisisi bahasa bukan karena hasil proses
belajar, tetapi karena sejak lahir ia telah memiliki sejumlah kapasitas atau potensi bahasa yang akan berkembang
sesuai dengan proses kematangan intelektualnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Chomsky (1959) bahwa anak yang
lahir ke dunia ini telah membawa kapasitas atau potensi. Potensi bahasa ini akan turut menentukan struktur bahasa
yang akan digunakan. Pandangan ini yang akan kelask disebut hipotesis rasionalis atau hipotesis ide-ide bawaan
yang akan dipertentangkan dengan hipotesis empiris yang berpendapat bahwa bahasa diperoleh melalui proses
belajar atau pengalaman. Seperti telah dikatakan di atas bahwa anak memiliki kapasitas atau potensi bahasa maka
potensi bahasa ini akan berkembang apabila saatnya tiba. Pandangan ini biasanya disebut pandangan nativis
(Brown, 1980:20). Kaum mentalis beranggapan bahwa setiap anak yang lahir telah memiliki apa yang disebut LAD
(Language Acquisition Device). Kelengkapan bahas ini berisi sejumlah hipotesis bawaan. Hipotesis bawaan
menurut para ahli berpendapat bahasa adalah satu pola tingkah laku spesifik dan bentuk tertentu dari persepsi
kecakapan mengategorikan dan mekanisme hubungan bahasa, secara biologis telah ditemukan (Comsky, 1959). Mc
Neill (Brown, 1980:22) menyatakan bahwa LAD itu terdiri atas:
a) kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan bunyi-bunyi yang lain.
b) kecakapan mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang kemudian.
c) pengetahuan tenteng sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkin, dan kecapan menggunakan sistem
bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan sistem linguistik, Dengan demikian, dapat melahirkan sistem
yang dirasakan mungkin diluar data linguistik yang ditemukan.
Pandangan kaum mentalis yang perlu diperhatikan adalah penemuan mereka tentang sistem bekerjanya bahasa
anak. Chomsky dan kawan-kawan berpendapat bahwa perkembangan bahasa anak bukanlah perubahan rangkaian
proses yang berlangsung sedikit semi sedikit pada struktur bahasa yang tidak benar, dan juga standia lanjut. Akan
tetapi standia yang bersistem yang berbentuk kelengkapan-kelengkapan bawaan ditambah dengan pengalaman anak
ketika ia melaksanakan sosialisasi diri. Kelengkapan bawaan ini kemudian diperluas, dikembangkan, dan bahkan
diubah. Dalam hubungan anak membawa sejumlah kapasitas dan potensi, kaum mentalis memberikan alasan-alasan
sebagai berikut:. Semua manusia belajar bahasa tertentu; semua bahasa manusia sama-sama dapat dipelajari oleh
manusia; semua bahasa manusia bebeda dalam aspek lahirnya, tetapi semua bahasa mempunyai ciri pembeda yang
umum, ciri-ciri pembeda ini yang terdapat pada semua bahasa merupakan kunci terhadap pengertian potensi bawaan
bahasa tersebut. Argumen ini mengarahkan kita kepada pengambilan kesimpulan bahwa potensi bawaan bukan saja
potensi untuk dapat mempelajari bahasa, tetapi hal itu merupakan potensi genetik yang akan menentukan struktur
bahasa yang akan dipelajarinya.
Teori Akuisisi Bahasa Kognitif
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 39
Dalam psikolingustik, teori kognitif ini yang memandang bahasa lebih mendalam lagi. Para penganut teori ini,
berpendapat bahwa kaidah generatif yang dikemukakan oleh kaum mentalis sangat abstrak, formal, dan eksplisit
serta sangat logis. Meskipun demikian, mereka mengemukakan secara spesifik dan terbatas pada bentuk-bentuk
bahasa. Mereka belum membahas hal-hal menyangkut dalam lapisan bahasa, yakni ingatan, persepsi, pikiran,
makna, dan emosi yang saling berpengaruh dalam struktur jiwa manusia. Para ahli bahasa mulai melihat bahwa
bahasa adalah manifestasi dari perkembangan umum yang merupakan aspek kognitif dan aspek afektif yang
menyatakan tentang dunia diri manusia itu sendiri. Teori kognitif menekankan hasil kerja mental, hasil kerja yang
nonbehavioris. Proses-proses mental dibayangkan sebagai yang secara kualitatif berbeda dari tingkah laku yang
dapat diobservasi. Titik awal teori kognitif adalah anggapan terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan
struktur di dalam bahasa yang ia dengar di sekelilingnya. Baik pemahaman maupun produksi serta komprehensi,
bahasa pada anak dipandang sebagai hasil proses kognitif yang secara terus-menerus berkembang dan berubah. Jadi,
stimulus merupakan masukan bagi anak yang kemudian berproses dalam otak. Pada otak ini terjadi mekanisme
internal yang diatur oleh pengatur kognitif yang kemudian keluar sebagai hasil pengolahan kognitif tadi. Teori
kognitif telah membawa satu persoalan dalam pemberian organisasi kognitif bahasa anak. Persoalan itu, yakni
belum ada model yang terperinci yang memeriksa organisasi kognitif bahasa anak itu. Untunglah Slobin telah
menformulasikan sejumla prinsip operasi yang telah menarik perhatian para ahli, Clark dan Clark
(Hamied,1987:22-23) telah menyusun kembali dan memformulasikan prinsip operasi Slobin tersebut. Prinsip
koherensi semantik ada tiga aspek yaitu mencari modifikasi sistematik dalam bentuk kata; mencari penanda
gramatis yang dengan jelas menunjukkan perbedaan yang mendasari dan menghindari kekecualian. Prinsip Struktur
lahir meliputi: memperhatikan ujung kata; memperhatikan urutan kata, awalan, dan akhiran; dan menghindari
penyelaan atau pengaturan kembali satu-satuan linguistik. Tiga Prinsip koherensi semantik behubungan dengan
peletakan gagasan terhadap bahas, sedangkan tiga prinsip struktur lahir berkenaan dengan masalah segmentasi yaitu
bagaimana membagi alur ujaran yang terus-menerus menjadi satuan-satuan linguistik yang terpisah dan bermakna.
Penganut teori kognitif beranggapan bahwa ada prinsip yang mendasari organisasi linguistik yang digunakan oleh
anak untuk menafsirkan serta mengoperasikan lingkungan linguistiknya. Semua ini adalah hasil pekerjaan mental
yang meskipun tidak dapat diamati, jelas mempunyai dasar fisik. Proses mental secara kualitatif berbeda dari
tingkah laku yang dapat diamati, dan karena berbeda dengan pandangan behavior (Pateda, 1990).
c. Menegaskan kembali (echoing) yaitu mengulang apa yang dikatakan anak, terutama apabila tuturannya tidak
lengkap atau tidak sesuai dengan maksud. Misalnya:
Anak : “Mah itu!” sambil menunjuk. Mukanya seperti ketakutan.
Ibu : “Oh, cecak, Rani takut cecak? Nggak apa-apa. Cecak baik, kok!”
Anak : “Iya!”
d. Memperluas (expanding) yaitu mengungkapkan kembali apa yang dikatakan anak dalam bentuk kebahasaan
yang lebih kompleks.
e. Menamai (labeling), yaitu mengindentifikasi nama-nama benda. Bisa dalam bentuk benda sebenarnya atau
benda tiruan (realia), gambar, permainan kata, dan sebagainya.
f. Penguatan (reinforcement) yaitu menanggapi atau memberi respon positif atas perilaku bahasa anak. Misalnya,
dengan memuji, memberi acungan jempol, dan tepuk tangan.
g. Pemodelan (modelling), yaitu contoh berbhasa yang dilakukan orang tua atau orang dewasa (Santrock, 1994;
Benson, 1998).
Faktor Intelegensi Intelengesi adalah daya atau kemampuan anak dalam berpikir atau bernalar. Zanden (1980)
mendefinisikannya sebagai kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah. Intelengesiini bersifat abstrak dan
tak dapat diamati secara langsung. Pemahaman kita tentang tingkat intelengensi seseorang hanya dapat disimpulkan
melalui perilakunya.
Faktor Motivasi. Benson (1988) menyatakan bahwa kekuatan motivasi dapat menjelaskan “Mengapa seorang anak
yang normal sukses mempelajari bahasa ibunya”. Sumber motivasi itu ada 2 yaitu dari dalam dan luar diri anak.
Dalam belajar bahasa seorang anak tidak terdorong demi bahasa sendiri. Dia belajar bahasa karena kebutuhan dasar
yang bersifat, seperti lapar, haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang (Goodman, 1986; Tompkins dan
Hoskisson. 1995). Inilah yang disebut motivasi intrinsik yang berasal dari dalam diri anak sendiri. Untuk itulah
mereka memerlukan kemunikasi dengan sekitarnya. Kebutuhan komunikasi ini ditunjukkan agar dia dapat dipahami
dan memahami guna mewujudkan kepentingan dirinya.
STRATEGI PEMEROLEHAN BAHASA ANAK. Berbeda dengan orang dewasa, anak kecil cenderung lebih cepat
belajar dan menguasai suatu bahsa. Dalam lingkungan masyarakat bahasa apa pun mereka hidup anak-anak hanya
memerlukan waktu relatif sebentar untuk menguasai sistem bahasa itu. Apalagi kalau mereka berada dalam
lingkungan bahasa ibunya (Bahasa Pertama). Sebenarnya strategi apa yang ditempuh anak-anak dalam belajar
bahasa sehingga dengan cepat mereka dapat menguasai itu. Padahal mereka tidak sengaja belajar atau diajari secara
khusus. Ternyata, untuk memperoleh kemampuan bahasa lisannya mereka melakukannya dengan berbagai cara
seperti di berikut ini.Mengingat, Meniru, Mengalami Langsung, dan Bermain
Pengaruh Pembelajaran dalam Pemerolehan Bahasa Anak
Pengaruh pembelajaran pada urutan pemerolehan bahasa
Untuk dapat belajar bahasa Indonesia dengan baik, anak-anak hendaknya juga memiliki kesiapan psikolinguistik.
Untuk dapat memiliki kesiapan psikolinguistik anak-anak hendaknya memperoleh kesempatan untuk paling
tidak mendengar penggunaan bahasa Indonesia dilingkungan keluarganya.lebih baik lagi kalau dilingkungan
keluarganya terdapat Koran, majalah, dan buku-buku dalam bahasa Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan
anak.
Pengaruh pembelajaran pada proses pemerolehan bahasa
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia disekolah, khususnya bagi anak-anak di kelas rendah sekolah dasar ialah
bahwa pembelajaran bahasa Indonesia disekolah tentu juga mempunyai pengaruh yang paling besar dalam
pemerolehan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kondisi yang sebaik-baiknya perlu diupayakan agar anak-anak
memperoleh pengalaman berbahasa sebanyak –banyaknya dengan memperhatikan kaidah bahasa yang berlaku.
Namun, perlu diingat jangan sampai pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah menekankan pada penggunaan
kaidah semata. Pemerolehan bahasa yang mendekati pemerolehan bahasa yang alami perlu di usahakan. Caranya
dengan menggunakan konteks-konteks berbahasa yang sebenarnya, yang dekat dengan kehidupan anak.
Misalnya saja dimunculkan topik-topik “menjaga adik”, “membantu ayah dan ibu”, silaturahmi dengan sanak
famili”, “bermain bola”, dan sebagainya.
Pengaruh pembelajaran pada kecepatan pemerolehan bahasa
Long (1983) lewat Freeman dan Long (1991) mengkaji sebelas hasil penelitian tentang capaian belajar bahasa
kedua, yang menggunakan tiga kelompok belajar yaitu yang memperoleh pembelajaran saja, yang memperoleh
pembelajaran dan juga berada dalam lingkungan yang menggunakan bahasa yang dipelajari , dan yang
memperoleh bahasa secara alami tanpa pembelajaran disekolah.
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 41
Ragam atau variasi bahasa adalah bentuk atau wujud bahasa yang ditandai oleh ciri-ciri linguistik tertentu, seperti
fonologi, morfologi, dan sintaksis. Di samping ditandai oleh cirri-ciri linguistik, timbulnya ragam bahasa juga
ditandai oleh cirri-ciri nonlinguistik, misalnya, lokasi atau tempat penggunaannya, lingkungan sosial pemakaiannya,
dan lingkungan keprofesian pemakai bahasa yang bersangkutan.
Berdasarkan pokok pembicaraan, ragam bahasa dibedakan antara lain atas:
Ragam bahasa undang-undang
Ragam bahasa jurnalistik
Ragam bahasa ilmiah
Ragam bahasa sastra
Berdasarkan media pembicaraan, ragam bahasa dibedakan atas:
Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur
dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata, dan lafal. Dalam ragam bahasa lisan
ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat
untuk mengungkapkan ide. Contoh ragam lisan antara lain meliputi: Ragam bahasa cakapan Ragam bahasa,
pidato,Ragam bahasa kuliah, Ragam bahasa panggung. Ciri-ciri ragam bahasa lisan : Memerlukan
kehadiran orang lain, Unsur gramatikal tidak dinyatakan secara lengkap, Terikat ruang dan waktu,
Dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suara.
Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai
unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata
bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur
tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan
ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide. Contoh ragam lisan antara lain meliputi:
Ragam bahasa teknis, Ragam bahasa undang-undang, Ragam bahasa catatan, Ragam bahasa surat. Ciri-ciri
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 42
ragam bahasa tulis :Tidak memerlukan kehaduran orang lain, Unsur gramatikal dinyatakan secara lengkap,
Tidak terikat ruang dan waktu, Dipengaruhi oleh tanda baca atau ejaan.
Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara dibedakan menurut akrab tidaknya pembicara:
Ragam bahasa resmi
Ragam bahasa akrab
Ragam bahasa agak resmi
Ragam bahasa santai
Ragam bahasa berdasarkan penutur:
Ragam bahasa berdasarkan daerah disebut ragam daerah (logat/dialek).
Ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur.
Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur.
Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan
dan rasa persatuan bangsa Indonesia, oleh karena itu para pemuda indonesia yang tergabung dalam perkumpulan
pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa indonesia menjadi bahasa persatuan untuk
seluruh bangsa indonesia. (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Ada empat faktor yang menyebabkan Bahasa melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia, yaitu:
1. Bahasa melayu adalah merupakan Lingua Franca di Indonesia, bahasa perhubungan dan bahasa perdagangan.
2. Sistem bahasa melayu sederhana, mudah di pelajari karena dalam bahasa melayu tidak di kenal tingkatan
bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus).
3. Suku Jawa, Suku Sunda, dan Suku2 yang lainnya dengan sukarela menerima bahasa melayu menjadi bahasa
indonesia sebagai bahasa nasional.
4. Bahasa melayu mempunyai kesanggupan untuk di pakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang luas.
Menyimak kritis merupakan menyimak intensif tingkat tinggi. Menyimak kritis ialah menyimak yang dilakukan
dengan sungguh-sungguh untuk memberikan penilaian secara objektif, menentukan kebenaran dan kelebihan, serta
kekurangan-kekurangan materi yang disimak. Misalnya dalam menyimak kritis berita.
Tarigan (1985) membaca merupakan suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk
memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata atau bahasa tulis.
Tujuan membaca yaitu:
1) Untuk memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta atau informasi yang ia butuhkan
2) Untuk memperoleh ide utama dari apa yang dibacanya
3) Untuk mengetahui urutan atau susunan tentang sesuatu
4) Untuk menyimpulkan dari apa yang dibacanya itu
5) Untuk mengklasifikasikan
6) Untuk menilai atau mengevaluasi, untuk membandingkan atau mempertentangkan
7) Untuk memperoleh kesenangan dan sebagainya.
Jenis-jenis membaca: membaca permulaan(lugas/elementer), membaca lanjut, membaca teknik(nyaring), membaca
dalam hati (ekstensif dan intensif), membaca cepat, membaca bahasa, membaca estetis(indah).
Menulis merupakan proses berfikir, proses yang dialami, dilakukan dan dipergunakan oleh penulis untuk
menyampaikan gagasan, pesan informasi melalui media kata-kata/bahasa tulis sehingga dapat dipahami oleh
pembaca. Fungsi utama dari tulisan adalah sebagai alat komunikasi yang tidak langsung
Tujuan Menulis: Tujuan Penugasan, Tujuan Altruistik (menyenangkan pembaca), Tujuan Persuasif, Tujuan
Informasional, Tujuan Pernyataan diri, Tujuan Kreatif, Tujuan Pemecahan Masalah.
Teori Menulis:Tahap Pramenulis(prewriting), Pengedrafan(drafting), Tahap Perefisian(revising), Tahap Mengedit,
Tahap Mempublikasikan.
Berbicara adalah proses penyampaian informasi dari pembicara kepada pendengar dengan tujuan terjadi perubahan
pengetahuan, sikap, dan keterampilan pendengar sebagai akibat dari informasi yang diterimanya (Nuraeni, 2002:
22). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Empat (Pusat Bahasa, 2010:102) dinyatakan bahwa berbicara
adalah berkata; bercakap; berbahasa; melahirkan pendapat dengan perkataan, tulisan dan sebagainya atau
berunding.
Menurut Logan, tujuan berbicara dapat dibedakan atas lima golongan, yakni: (1) menghibur, (2)
menginformasikan (3) menstimulasi, (4) meyakinkan, dan (5) menggerakkan
Logan, dkk. (dalam Sua, 2006: 22) membagi berbicara ke dalam empat landasan yakni (1) situasi, (2) tujuan, (3)
metode penyampaian, dan (4) jumlah penyimak.
2.1.8 MENULIS TEKS ILMIAH (SUMBER PUSTAKA, PENGUTIPAN, TOPIK, FAKTA, DLL.)
Penulisan daftar pustaka yang benar:
Penyusunan urutan daftar pustaka menurut alfabet yang dengan berturut-turut dari atas ke bawah, tanpa memakai
angka ( , 2, 3, dan sebagainya ).
Dalam penulisan daftar pustaka butuh di perhatikan banyak hal di bawah ini :
menulis nama pengarang ( nama pengarang sisi belakang terlebih dulu ditulis, lantas diikuti dengan nama
depan )
catat tahun terbit buku, sesudah itu diberi sinyal titik (. )
catat tahun terbit buku memberikan garis bawah atau cetak miring. sesudah judul buku lantas diberikan sinyal
titik (. )
catat kota terbit serta nama penerbitnya. pada ke-2 sisi tersebut diberi sinyal titik dua ( : ), setelah nama
penerbit diberikan sinyal titik (. )
Apabila dapat dipakai dua sumber pustaka atau lebih dengan pengarang yang sama, maka sumber dirilis dari
buku yang terlebih dulu terbit, lantas diikuti dengan buku yang baru terbit. pada ke-2 sumber pustaka itu
dibubuhkan sinyal garis panjang.
Apabila daftar pustaka datang dari sumber internet, maka bisa ditulis layaknya yang dianjurkan oleh sophia
(2002), di mana komponen bibliografi online tersebut ditulis seperti berikut :
nama pengarang
tanggal revisi terakhhir
judul makalah
media yang memuat
url yang terdiri dari protocol/situs/path/file
tanggal akses
Penulisan daftar pustaka dalam pengambilan data dari buku, pertama ; penulisan nama untuk awal memakai
huruf besar terlebih dulu sesudah nama belakang ditulis beri ( sinyal koma ), diawali dari nama belakang lantas
beri ( sinyal koma ) serta dilanjutkan dengan nama depan, ke-2 ; tahun pembuatan atau penerbitan buku, ketiga ;
judul bukunya ingat ditulis unakan huruf miring sesudah judul pakai ( sinyal titik ), keempat ; area
diterbitkannya sesudah area penerbitan pakai ( sinyal titik dua ), serta kelima ; penerbit buku tersebut diakhiri
dengan ( sinyal titik ). layaknya perumpamaan di bawah ini :
peranginangin, kasiman ( 2006 ). aplikasi situs dengan php serta mysql. yogyakarta : penerbit andi offset.
Penulisan daftar pustaka yang kian lebih satu/dua orang penulis dalam buku yang sama. pertama catat nama
belakang dari penulis yang pertama sesudah nama belakang beri ( sinyal koma ) lantas catat nama depan bila
nama depan berbentuk singkatan catat saja singkatan itu sesudah nama pertama selesai beri ( sinyal titik ) lantas
beri ( sinyal koma ) untuk nama ke-2 / ketiga ditulis sama layaknya nama sali alis tak ada pergantian, yang
beralih penulisannya cuma orang pertama namun orang ke-2 serta ketiga terus. sesudah penulisan nama ke-2
selesai, nah bila tiga penulis pakai sinyal serta ( & ) pada nama paling akhir begitupula bila penulisnya cuma dua
orang saja, sesudah penulisan nama selesai, ke-2 ; tahun pembuatan atau cetakan buku tersebut dengan dimulai
sinyal kurung buka serta kurung tutup/ ( ) sesudah itu beri ( sinyal titik ). ketiga ; judul buku atau karangan
sesudah itu beri ( sinyal koma ) serta ditulis dengan huruf miring ok. keempat ; yakni penulisan area
penerbitan/cetakan sesudah itu beri ( sinyal titik dua : ) serta paling akhir kelima ; nama perusahaan penerbit
buku atau catatan tersebut serta diakhiri ( sinyal titik ) ok. untuk gelar akademik tidak ditulis dalam penulisan
daftar pustaka. nah ini perumpamaannya layaknya di bawah ini :
suteja, b. r., sarapung, j. a, & handaya, w. b. t. ( 2008 ). memasuki dunia e-learning, bandung : penerbit
informatika.
Contoh Penulisan Pustaka untuk Buku
Alloway, B.J. & D.C. Ayres. 1993. Chemical Principles of Environmental Pollution. Blackie Akademic &
Professional, London.
Contoh Penulisan Daftar Pustaka Untuk Buku Terjemahan
Draper, N.& H. Smith. 1992. Analisis Regresi Terapan. Edisi ke-2. Terjemahan Bambang Sumantri. Gramedia,
Jakarta.
Contoh Penulisan Pustaka dari Jurnal/majalah ilmiah
Swafford, J.O., G.A. Jones, C.A. Thornton, S.L. Stump & D.R. Miller. 1999. The Impact on Instructional
Practice of a Teacher Change Model. Journal of Research and Development in Education. 32:69-82.
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 46
Contoh penulisan pustaka yang mengambil sumber dari Makalah yang tidak dipublikasikan
Ibrahim, M. 2005. Pembelajaran Kontekstual (contextual Teaching and Learning), Hakikat, Filosofi dan
Contoh Implementasinya. Makalah pada penelitian Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Pembelajaran
Kontekstual di Perguruan Tinggi. PMIPA FKIP Unlam, Banjarmasin. Tidak di Publikasikan.
Contoh Penulisan Pustaka dengan sumber Publikasi oleh perusahaan/ Lembaga
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. 1996. Katalog Sarjana FMIPA IPB
1995-1999. FMIPA IPB, Bogor.
Contoh Penulisan Pustaka yang mengambil sumber dari surat kabar/koran
Ada Nama Pengarang :
Jumani, M. 2012. Tembus Rimba Kahung. Banjarmasin Post. 27 Desember 2012. hal.. .. (kolom ..)
Tidak ada Nama Pengarang :
Ditemukan, Antikanker Baru. Banjarmasin Post. 9 Agustus 2000. hal 6 (kolom 7-8).
Contoh Penulisan Pustaka yang mengambil sumber dari Internet :
Jumani, M. 2013. Kunci Determinasi Ordo Serangga. http://www.mjumani.net/2013/02/kunci-determinasi-
ordo-serangga-part-1.html
1. Dari Buku
Nama Pengerang. Tahun terbit. Judul Buku. Kota terbit: Penerbit.
Contoh:
Keraf, Gorys. 1980. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
2. Artikel dari koran
Nama Penulis. Tahun terbit. “Judul Artikel”. Nama Koran. Tanggal terbit.
Contoh:
Tabah, Anton. 1984. “Polwan Semakin Efektif dalam Penegakan Hukum”. Sinar Harapan, 1 September 1984.
3. Artikel dari majalah
Nama Penulis. Tahun terbit. “Judul Artikel”. Nama Majalah Nomor edisi.
Contoh:
Kleiden, Ignas. 2005. “Politik Perubahan Tanpa Perubahan Politik”. Tempo No. 50 tahun XXXIII.
4. Artikel dari Internet
Nama Penulis. Tahun dibuatnya artikel (jika ada). “Judul Artikel”. Alamat situs. Tanggal diaksesnya artikel.
Contoh:
Malik, Aji Istofana. 2006. “Cara Menulis Daftar Pustaka dan Catatan Kaki”.
http://aurigamaulana.blogspot.com/2013/10/cara-menulis-daftar-pustaka-dan-catatan-kaki.html. Diakses
tanggal 15 September 2010.
Penulisan daftar pustaka yang lebih dari satu/dua orang penulis dalam buku yang sama. Pertama tulis nama
belakang dari penulis yang pertama setelah nama belakang beri (tanda koma) lalu tulis nama depan jika nama
depan berupa singkatan tulis saja singkatan itu setelah nama pertama selesai beri (tanda titik) lalu beri (tanda
koma) untuk nama kedua / ketiga ditulis sama seperti nama sali alis tidak ada perubahan, yang berubah
penulisannya hanya orang pertama sedangkan orang kedua dan ketiga tetap. Setelah penulisan nama kedua
selesai, nah jika tiga penulis gunakan tanda dan (&) pada nama terakhir begitupula jika penulisnya hanya dua
orang saja, setelah penulisan nama selesai, Kedua; tahun pembuatan atau cetakan buku tersebut dengan diawali
[tanda kurung buka dan kurung tutup/ ( )] setelah itu beri (tanda titik). Ketiga; judul buku atau karangan setelah
itu beri (tanda koma) dan ditulis dengan huruf miring ok. keempat; yaitu penulisan tempat penerbitan/cetakan
setelah itu beri (tanda titik dua : ) dan terakhir kelima; nama perusahaan penerbit buku atau tulisan tersebut dan
diakhiri (tanda titik) ok. Untuk gelar akademik tidak ditulis dalam penulisan daftar pustaka. Nah ini contohnya
Seperti dibawah ini:
Suteja, B.R., Sarapung, J.A, & Handaya, W.B.T. (2008). Memasuki Dunia E-Learning, Bandung: Penerbit
Informatika.
CONTOH CATATAN KAKI
1. Buku
Nomor Nama Pengerang, Judul Buku (Kota terbit: Penerbit, Tahun terbit), hal.
Contoh:
3Keraf, Gorys, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: Gramedia, 1980), hal. 18.
IDEALISME DAN MATERIALISME. Idealisme adalah aliran yang menilai tinggi angan-angan (idea) dan
cita-cita (ideal) sebagai hasil perasaan daripada dunia nyata. Aliran ini pada awalnya dikemukakan oleh
Socrates (469-399 sM.) yang dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Plato (427-347 sM.). Dalam bidang
seni rupa pelukis yang beraliran idealisme cenderung lebih suka mewujudkan benda-benda sebaik mungkin
daripada apa adanya. Dalam ilmu kesusilaan idealisme mengandung pandangan hidup di mana rohani
mewujudkan kekuatan yang berkuasa dan menjelaskan bahwa semua benda di dalam alam dan pengalaman
adalah perwujudan pikiran, pandangan yang nyata. Dalam aliran idealisme terdapat aliran romantisme,
simbolisme, ekspresionisme, mistisisme, dan surealisme. Sedangkan yang termasuk ke dalam aliran
materialism ialah aliran realisme, naturalisme, impresionisme, serta determinisme. Aliran lain yang
berpandangan ke arah manusia sebagai pribadi yang unik dikenal sebagai aliran eksistensialisme.Lawan
aliran idealisme adalah aliran materialisme. Aliran ini mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung
pada materi dan gerak. Ajaran ini sudah dikemukakan oleh Democrates pada abad ke-4 sM, yang mengatakan
bahwa semua kejadian yang gaib, dan ajaib di alam ini digerakkan oleh atom dan keluasan geraknya. Tidak
ada kekuatan gaib yang bersifat supernatural yang mengatur kehidupan ini. Di dalam seni sastra aliran
materialisme atau naturalisme ini merupakan kelanjutan dari aliran realisme
Aliran ROMANTISME ini menekankan kepada ungkapan perasaan sebagai dasar perwujudan pemikiran
pengarang sehingga pembaca tersentuh emosinya setelah membaca ungkapan perasaannya. Untuk
mewujudkan pemikirannya, pengarang menggunakan bentuk pengungkapan yang seindah-indahnya dan
sesempurnasempurnanya
SIMBOLISME adalah aliran kesusastraan yang penyajian tokoh-tokohnya bukan manusia melainkan
binatang, atau benda-benda lainnya seperti tumbuh-tumbuhan yang disimbolkan sebagai perilaku manusia.
Binatang-binatang atau tumbuh-tumbuhan diperlakukan sebagai manusia yang dapat bertindak, berbicara,
berkomunikasi, berpikir, berpendapat sebagaimana halnya manusia. Kehadiran karya sastra yang beraliran
simbolisme ini biasanya ditentukan oleh situasi yang tidak mendukung pencerita atau pengarang berbicara.
Pada masyarakat lama, misalnya di mana kebebasan berbicara dibatasi oleh aturan etika moral yang mengikat
kebersamaan dalam kelompok masyarakat, pandangan dan pendapat mereka disalurkan melalui bentuk-
bentuk peribahasa atau fable
Aliran EKSPRESIONISME adalah aliran dalam karya seni, yang mementingkan curahan batin atau curahan
jiwa dan tidak mementingkan peristiwa-peristiwa atau kejadiankejadian yang nyata. Ekspresi batin yang
keras dan meledak-ledak. biasa dianggap sebagai pernyataan atau sikap pengarang. Aliran ini mula-mula
berkembang di Jerman sebelum Perang Dunia I, Pengarang Indonesia yang dianggap ekspresionis ialah
Chairil Anwar.
MISTISISME adalah aliran dalam kesusastraan yang mengacu pada pemikiran mistik, yaitu pemikiran yang
berdasarkan kepercayaan kepada Zat Tuhan Yang Maha Esa, yang meliputi segala hal di alam ini. Karya
sastra yang beraliran mistisisme ini memperlihatkan karya yang mencari penyatuan diri dengan Zat Tuhan
Yang Maha Esa, yaitu Tuhan Semesta Alam. Pada masa kesusastraan Klasik dikenal Raja Ali Haji dengan
Gurindam Dua Belas-nya yang sarat dengan ajaran mistik. Pada karya-karya sastra sekarang ini yang
memperlihatkan aliran mistik, misalnya Abdul Hadi W.M., Danarto, dan Rifai Ali.
SUREALISME adalah aliran di dalam kesusastraan yang banyak melukiskan kehidupan dan pembicaraan
alam bawah sadar, alam mimpi. Segala peristiwa yang dilukiskan terjadi dalam waktu yang bersamaan dan
serentak. Aliran ini dipengaruhi oleh Sigmund Freud (1856-1939) ahli psikiatri Austria yang dikenal dengan
psikoanalisisnya terhadap gejala histeria yang dialami manusia. Dia berpendapat bahwa gejala histeria
traumatic yang dialami seseorang dapat disembuhkan melalui analisis kejiwaan yang dilakukan dengan
kondisi kesadaran pasien, bukan dengan cara menghipnotis sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya
Breuer. Menurut Freud emosi yang terpendam itu bersifat seksual. Perbuatan manusia digerakkan oleh libido,
nafsu seksual yang asli. Dengan menggali bawah sadar manusia, ia akan dapat dikembalikan kepada
kondisinya semula.
REALISME adalah aliran dalam karya sastra yang berusaha melukiskan suatu objek seperti apa adanya
Pengarang berperan secara objektif. Dalam keobjektifanlah ia melihat keindahan objek yang dibidiknya dan
dihasilkan di dalam karya sastra
IMPRESIONISME berarti aliran dalam bidang seni sastra, seni lukis, seni musik yang lebih mengutamakan
kesan tentang suatu objek yang diamati dari pada wujud objek itu sendiri. Di bidang seni lukis, aliran ini
bermula di Perancis pada akhir abad ke-l9.. Di dalam seni sastra aliran impresionisme tidak berbeda dengan
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 49
aliran realisme, hanya pada impresionisme yang dipentingkan adalah kesan yang diperoleh tentang objek
yang diamati penulis. Selanjutnya, kesan awal yang diperoleh pengarang diolah dan dideskripsikan menjadi
visi pengarang yang sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. Karya sastra yang beraliran impresionisme
pada umumnya terdapat pada masa angkatan Pujangga Baru, masa Jepang, yang pada masa itu kebebasan
berekspresi tentang cita-cita, harapan, ide belum dapat disalurkan secara terbuka. Semua idealism disalurkan
melalui bentuk yang halus yang maknanya terselubung. Pengarang Indonesia yang karyanya bersifat impresif
antara lain ialah Sanusi Pane, dengan puisi-puisinya Candi, Teratai, Sungai, Abdul Hadi W.M., dan W.S
Rendra. Aliran naturalisme adalah aliran yang mengemukakan bahwa fenomena alam yang nyata ini terjadi
karena kekuatan alam itu sendiri yang berinteraksi sesamanya.
Di dalam karya sastra aliran NATURALISME adalah aliran yang juga menampilkan peristiwa sebagaimana
adanya. Karena itu ia tidak jauh berbeda dengan realisme. Hanya saja, kalau realisme menampilkan objek apa
adanya yang mengarah kepada kesan positif, kesan yang menyenangkan, sedangkan naturalisme sebaliknya.
Dalam kesusastraan Barat, yang dikenal sebagai tokoh naturalis ialah Emil Zola (1840-1902) pengarang
Perancis. Dalam karyanya gambaran kemesuman, pornografi digambarkan apa adanya. Aliran seni untuk seni
(l’art pour art’) melatarbelakangi pandangannya dalam berkarya. Di Indonesia pengarang yang karyanya
cenderung beraliran naturalisme adalah Armijn Pane dengan novel Belenggu-nya, Motinggo Busye pada
awal-awal novelnya tahun 60-an dan 70-an bahkan memperlihatkan novel yang dikategorikan pornografis.
Novel Saman (l998) karya Ayu Utami juga memperlihatkan kecenderungan ke arah naturalis.
DETERMINISME ialah aliran dalam kesusastraan yang merupakan cabang dari naturalisme yang
menekankan kepada takdir sebagai bagian dari kehidupan manusia yang ditentukan oleh unsur biologis dan
lingkungan. Takdir yang dialami manusia bukanlah takdir yang ditentukan oleh yang Mahakuasa melainkan
takdir yang datang menimpa nasib seseorang karena faktor keturunan dan faktor lingkungan yang
mempengaruhinya.
EKSISTENSIALISME.Aliran ini adalah aliran di dalam filsafat yang muncul dari rasa ketidakpuasan
terhadap dikotomi aliran idealisme dan aliran materialisme dalam memaknai kehidupan ini. Aliran idealisme
yang hanya mementingkan ide sebagai sumber kebenaran kehidupan dan materialisme yang menganggap
materi sebagai sumber kebenaran kehidupan, mengabaikan manusia sebagai makhluk hidup yang mempunyai
keberadaan sendiri yang tidak sama dengan makhluk lainnya. Idealisme melihat manusia hanya sebagai
subjek, hanya sebagai kesadaran, sedangkan materialisme melihat manusia hanya sebagai objek.
Materialisme lupa bahwa sesuatu di dunia ini disebut objek karena adanya subjek. Eksistensialisme ingin
mencari jalan ke luar dari kedua pemikiran yang dianggap ekstrem itu yang berpikiran bahwa manusia di
samping ia sebagai subjek ia pun juga sekaligus sebagai objek dalam kehidupan ini (Ahmad Tafsir,1994 hal
193). Kata eksistensi berasal dari kata exist, bahasa Latin yang diturunkan dari kata ex yang berarti ke luar
dan sistere berarti berdiri. Jadi eksistensi berarti berdiri dengan ke luar dari diri sendiri. Pikiran seperti ini
dalam bahasa Jerman dikenal dengan dasei. Dengan ia ke luar dari dirinya, manusia menyadari keberadaan
dirinya, ia berada sebagai aku atau sebagai pribadi yang menghadapi dunia dan mengerti apa yang
dihadapinya dan bagaimana menghadapinya. Dalam menyadari keberadaannya, manusia selalu memperbaiki,
atau membangun dirinya, ia tidak pernah selesai dalam membangun dirinya. Dalam perkembangannya, aliran
eksistensialisme berkembang menjadi dua jalur, yaitu eksistensialisme yang ateistis dan eksistensialisme
yang theistis. Eksistensialisme yang ateistis dikembangkan oleh Jean Paul Sartre dan eksistensialisme yang
theistis dikembangkan oleh Gabriel Marcel. Dia menyatakan dengan tegas bahwa semua eksistensi adalah
kenyataan karena adanya Tuhan. Manusia tidak mungkin ada kalau tidak ada Tuhan yang menciptakannya,
dan konkretisasi alam dunia ini merupakan bukti nyata dari keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh
karena itu, keberadaan manusia di alam ini harus kembali ke jalan Tuhan dan mewujudkan pujian kepada
Tuhan. Di dalam kesusastraan Indonesia, eksistensialisme ini terlihat pada novel-novel karya Iwan
Simatupang, seperti Ziarah, Merahnya Merah, dan Kering, Dalam karyanya, Iwan Simatupang
memperlihatkan manusia sebagai tamu di dunia ini. Sebagai tamu, ia datang, dan pergi lagi. Manusia gelisah,
tidak punya rumah, selalu berada dalam perjalanan dan berlangitkan relativisme-relativisme.
dongeng, roman, essay, resensi. PROSA NON FIKSI ialah karangan yang tidak berdasarkan rekaan atau khayalan
pengarang tetapi berisi hal-hal yang berupa informasi faktual (kenyataan) atau berdasarkan pengamatan pengarang.
Prosa nonfiksi disebut juga karangan semi ilmiah seperti : artikel, tajuk rencana, opini, biografi, tips, reportase,
jurnalisme baru, iklan, pidato dan feature.
PROSA itu sendiri ialah karangan bebas yang tidak terikat oleh banyaknya baris, banyaknya suku kata, serta tak
terikat oleh irama dan rimanya seperti dalam puisi. Sehingga prosa dapat dibedakan menjadi prosa lama dan prosa
baru. PROSA LAMA: hikayat, cerita berbingkai, tambo(cerita sejarah/fiktif), dongeng, fable, sage, legenda.
PROSA BARU: roman, novel, cerpen, kisah, biografi dan autobiografi, esay.
DRAMA berasal dari kata Yunani, draomai yang berarti berbuat, bertindak, bereaksi, dan sebagainya. Jadi, kata
drama dapat diartikan sebagai perbuatan atau tindakan. Seraca umum, pengertian drama adalah karya sastra yang
ditulis dalam bentuk dialog dengan maksud dipertunjukkan oleh aktor. Pementasan naskah drama dikenal dengan
istilah teater
Dalam pembagian jenis drama,biasanya digunakan tiga dasar, yakni: berdasarkan penyajian lakon drama,
berdasarkan sarana, dan berdasarkan keberadaan naskah drama
drama dapat dibedakan menjadi delapan jenis, yaitu:
Tragedi: drama yang penuh dengan kesedihan
Komedi: drama penggeli hati yang penuh dengan kelucuan.
Tragekomedi: perpaduan antara drama tragedi dan komedi.
Opera: drama yang dialognya dinyanyikan dengan diiringi musik.
Melodrama: drama yang dialognya diucapkan dengan diiringi melodi/musik.
Farce: drama yang menyerupai dagelan, tetapi tidak sepenuhnya dagelan.
Tablo: jenis drama yang mengutamakan gerak, para pemainnya tidak mengucapkan dialog, tetapi hanya
melakukan gerakan-gerakan.
Sendratari: gabungan antara seni drama dan seni tari.
Berdasarkan sarana pementasannya, pembagian jenis drama dibagi antara lain:
Drama Panggung: drama yang dimainkan oleh para aktor dipanggung.
Drama Radio: drama radio tidak bisa dilihat dan diraba, tetapi hanya bisa didengarkan oleh penikmat.
Drama Televisi: hampir sama dengan drama panggung, hanya bedanya drama televisi tak dapat diraba.
Drama Film: drama film menggunakan layar lebar dan biasanya dipertunjukkan di bioskop.
Drama Wayang: drama yang diiringi pegelaran wayang.
Drama Boneka: para tokoh drama digambarkan dengan boneka yang dimainkan oleh beberapa orang.
Jenis drama selanjutnya adalah, berdasarkan ada atau tidaknya naskah drama:
Drama Tradisional: tontonan drama yang tidak menggunakan naskah.
Drama Modern: tontonan drama menggunakan naskah.
Drama menurut segi penceritaan:
Drama tragedy
Drama komedi: komedi situasi, komedi slaptic, komedi satire, komedi farce
Drama misteri: criminal, horor, mistik
Drama laga/action: modern, tradisional
Melodrama
Drama sejarah
Drama menurut kandungan isi ceritanya, yaitu
Drama komedi adalah drama yang lucu dan menggelitik penuh keceriaan.
Drama Tragedi adalah drama yang ceritanya sedih penuh kemalangan.
Drama Tragedi adalah drama yang ada sedih dan ada lucunya.
Opera Opera adalah drama yang mengandung musik dan nyanyian.
Lelucon/Dagelan adalah drama yang lakonnya selalu bertingkah pola jenaka merangsang gelak tawa penonton.
Operet / Operette adalah opera yang ceritanya lebih pendek.
Pantomim adalah drama yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tubuh atau bahasa isyarat tanpa pembicaraan.
Tablo adalah drama yang mirip pantomim yang dibarengi oleh gerak-gerik anggota tubuh dan mimik wajah
pelakunya.
Passie adalah drama yang mengandung unsur agama/relijius.
Wayang adalah drama yang pemain dramanya adalah boneka wayang.
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 52
D. ANGKATAN ’45
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra
angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra
pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil
Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep
ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati
nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis
dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
1. Chairil Anwar
a. Kerikil Tajam (1949).
b. Deru Campur Debu (1949).
c. Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
2. Asrul Sani
a. Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972)
b. Mantera (kumpulan sajak, 1975)
c. Tiga Menguak Takdir (1950)
3. Idrus
a. Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)
b. Aki (1949)
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 56
E. ANGKATAN 50 – 60-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya
sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956
dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan
sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis.
Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal
tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir
pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
1. Pramoedya Ananta Toer
a. Kranji dan Bekasi Jatuh (1947)
b. Bukan Pasar Malam (1951)
c. Di Tepi Kali Bekasi (1951)
d. Keluarga Gerilya (1951)
e. Mereka yang Dilumpuhkan (1951)
f. Perburuan (1950)
g. Cerita dari Blira (1952)
h. Gadis Pantai (1965)
2. Nh. Dini
a. Dua Dunia (1950)
b. Hati jang Damai (1960)
3. Mochtar Lubis
a. Tak ada Esok (1950)
b. Jalan Tak Ada Ujung (1952)
c. Tanah Gersang (1964)
d. Si Djamal (1964)
4. Marius Ramis Dayoh
a. Putra Budiman (1951)
b. Pahlawan Minahasa (1957)
5. Ajip Rosidi
a. Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955)
b. Di tengah Keluarga (1956)
c. Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957)
d. Cari Muatan (1959)
e. Pertemuan Kembali (1961)
f. Pesta (kumpulan sajak, 1956)
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 57
F. ANGKATAN 66 – 70-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis.[3] Semangat avant-
garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam
aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit
Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada
angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro,
Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo
dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 58
Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer,
Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran
Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya.
1. Taufik Ismail
a. Malu (Aku) Jadi Oarng Indonesia
b. Tirani dan Benteng
c. Buku Tamu Musim Perjuangan
d. Sajak Ladang Jagung
e. Kenalkan
f. Saya Hewan
g. Puisi-puisi Langit
2. Sutardji Calzoum Bachri
a. O
b. Amuk
c. Kapak
3. Abdul Hadi Widji Muthari
a. Meditasi (1976)
b. Laut Belum Pasang (1971)
c. Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975)
d. Tergantung Pada Angin (1977)
4. Sapardi Djoko Damono
a. Dukamu Abadi – (kumpulan puisi) (1969)
b. Mata Pisau dan Akuarium – (kumpulan puisi) (1974)
5. Goenawan Soesatyo Mohamad
a. Parikesit (1969)
b. Interlude (1971)
c. Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang – (kumpulan esai) (1972)
d. Seks, Sastra, dan Kita (1980)
6. Umar Kayam
a. Seribu kunang-kunag di Manhattan
b. Sri Sumarah dan Bawuk
c. Lebaran di Karet
d. Pada Suatu Saat di Bandar Sangging
e. Kelir Tanpa Batas
f. Para Priyayi
g. Jalan Menikung
7. Danarto
a. Godlob
b. Adam Makrifat
c. Berhala
8. Nasjah Djamin
a. Hilanglah si Anak Hilang (1963)
b. Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1968)
9. Putu Wijaya
a. Bila Malam Bertambah Malam (1971)
b. Telegram (1973)
c. Stasiun (1977)
d. Pabrik
e. Gres
f. Bom
10. Iwan Martua Dongan Simatupang
a. Merahnya Merah (1968)
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 59
b. Ziarah (1970)
c. Kering (1972)
d. Keong (1975)
e. RT Nol/ RW Nol
f. Tegak Lurus dengan Langit
11. Djamil Suherman
a. Perjalanan ke Akhirat (1962)
b. Manifestasi (1963)
12. Titis Basino
a. Dia, Hotel, Surat Keputusan (1963)
b. Lesbian (1976)
c. Bukan Rumahku (1876)
d. Pelabuhan Hati (1978)
13. Leon Agusta
a. Monumen Safari (1966)
b. Catatan Putih (1975)
c. Di Bawah Bayangan sang Kekasih (1978)
d. Hukla (1979)
14. M.A. Salmoen
a. Masa Bergolak (1968)
b. Parakitri Tahi Simbolon
c. Ibu (1969)
15. Chairul Harun
a. Warisan (1979)
16. Kuntowijoyo
a. Khotbah di Atas Bukit (1976)
17. M. Balfas
a. Lingkaran-lingkaran Retak (1978)
b. Mahbub Djunaidi
c. Dari Hari ke Hari (1975)
18. Wildan Yatim
a. Pergolakan (1974)
19. Harijadi S. Hartowardojo
a. Perjanjian dengan Maut (1976)
20. Ismail Marahimin
a. Dan Perang pun Usai (1979)
21. Wisran Hadi
a. Empat Orang Melayu
b. Jalan lurus
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi
ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan
novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu
dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu
mengalahkan peran antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya
sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan
yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang
lebih berat.
Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dikomandani Titie Said, antara
lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.
Y.B Mangunwijaya
o Burung-burung Manyar (1981)
Darman Moenir
o Bako (1983)
o Dendang (1988)
Budi Darma
o Olenka (1983)
o Rafilus (1988)
Sindhunata
o Anak Bajang Menggiring Angin (1984)
Arswendo Atmowiloto
o Canting (1986)
Hilman Hariwijaya
o Lupus - 28 novel (1986-2007)
o Lupus Kecil - 13 novel (1989-2003)
o Olga Sepatu Roda (1992)
o Lupus ABG - 11 novel (1995-2005)
Dorothea Rosa Herliany
o Nyanyian Gaduh (1987)
o Matahari yang Mengalir (1990)
o Kepompong Sunyi (1993)
o Nikah Ilalang (1995)
o Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)
Gustaf Rizal
o Segi Empat Patah Sisi (1990)
o Segi Tiga Lepas Kaki (1991)
o Ben (1992)
o Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999)
Remy Sylado
o Ca Bau Kan (1999)
o Kerudung Merah Kirmizi (2002)
Afrizal Malna
o Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987)
H. ANGKATAN REFORMASI
"Sastrawan Angkatan Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi,
cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian
Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi.
Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-
politik. Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun
1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak
melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra -- puisi, cerpen, dan novel -- pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair
yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep
Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya, juga ikut
meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.Widji Thukul: Puisi Pelor, Darman
I. ANGKATAN 2000-AN
Andrea Hirata salah satu novelis tersukses pada dekade pertama abad ke-21
Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena
tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan
Angkatan 2000". Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta
pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam
Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi
Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea
Rosa Herliany.
Ahmad Fuadi
o Negeri 5 Menara (2009)
o Ranah 3 Warna (2011)
Andrea Hirata
o Laskar Pelangi (2005)
o Sang Pemimpi (2006)
o Edensor (2007)
o Maryamah Karpov (2008)
o Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010)
Ayu Utami
o Saman (1998)
o Larung (2001)
Dewi Lestari
o Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001)
o Supernova 2: Akar (2002)
o Supernova 3: Petir (2004)
o Supernova 4: Partikel (2012)
Habiburrahman El Shirazy
o Ayat-Ayat Cinta (2004)
o Diatas Sajadah Cinta (2004)
o Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
o Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
o Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
o Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
o Dalam Mihrab Cinta (2007)
INSYA ALLAH LULUS UTN
P a g e | 62
Herlinatiens
o Garis Tepi Seorang Lesbian (2003)
o Dejavu, Sayap yang Pecah (2004)
o Jilbab Britney Spears (2004)
o Sajak Cinta Yang Pertama (2005)
o Malam Untuk Soe Hok Gie (2005)
o Rebonding (2005)
o Broken Heart, Psikopop Teen Guide (2005)
o Koella, Bersamamu dan Terluka (2006)
o Sebuah Cinta yang Menangis (2006)
Raudal Tanjung Banua
o Pulau Cinta di Peta Buta (2003)
o Ziarah bagi yang Hidup (2004)
o Parang Tak Berulu (2005)
o Gugusan Mata Ibu (2005)
Seno Gumira Ajidarma
o Atas Nama Malam
o Sepotong Senja untuk Pacarku
o Biola Tak Berdawai
UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK DRAMA. Karya sastra drama memiliki unsur intrinsik serta unsur
ekstrinsik yang diperlukan untuk membangun ceritanya. Unsur intrinsik drama terdiri dari tema, plot, tokoh,
dialog, karakter, serta latar. Drama yang merupakan ciptaan kreatif pengarang harus memiliki tema yang
kuat, agar tercipta sebuah cerita yang tak lekang oleh waktu. Tanpa adanya konflik, cerita drama akan terasa
datar. Konflik terdapat di dalam plot, yang terjadi karena adanya ketegangan antartokoh. Tokoh drama
terbagi menurut peran dan fungsinya dalam lakon. Menurut perannya tokoh terdiri dari tokoh utama, tokoh
bawahan, serta tokoh tambahan. Di dalam drama fungsi tokoh sangat penting, yaitu sebagai tokoh protagonis,
tokoh antagonis, dan tokoh tritagonis. Cakapan merupakan ciri utama drama yang mungkin berupa dialog
namun dapat pula berbentuk monolog. Selain itu, ada pula karakter dan latar yang saling berhubungan erat.
Latar dalam drama sangat mempengaruhi karakter tokoh.