Anda di halaman 1dari 13

STRUKTUR MAKNA LEKSIKAL I

I. BATASAN LEKSIKAL

Istilah leksikal merupakan kata sifat dari lesikon (Inggris: lexicon). Kata leksikon itu
sendiri berasal dari bahasa Yunani lexicon yang artinya “kata” atau “kosa kata”. Kata sifatnya
leksikal, yakni sesuatu yang berkaitan dengan leksikon. Leksikon yang biasa juga disebut
kosa kata, dapat diartikan sebagai berikut.

a) Kekayaan kata yang dimiliki oleh suatu bahasa.


b) Semua kata yang terdapat dalam suatu bahasa.
c) Idiolek yaitu kata-kata yang dikuasai oleh seseorang atau dialek yaitu kata-kata
yang dipakai orang di lingkungan yang sama.
d) Istilah; kata-kata yang dipakai dalam suatu bidang ilmu pengetahuan.
e) Gloasarium; kamus yang sederhana, kamus dalam bentuk ringkas, daftar kata-kata
dalam bidang tertentu dengan penjelasannya.
f) Komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan
pemakaiannya.
g) Kamus; daftar sejumlah kata atau frasa dari suatu bahasa yang disusun secara
alfabetis disertai batasan dan keterangan lainnya (dalam Kridalaksana, 1982:98
h) Ensiklopedi; karya universal yang menghimpun uraian tentang beragai cabang
ilmu atau bidang bidang ilmu tertentu dalam artikel-artikel terpisah terpisah dan
tersusun menurut abjad. Jika disarikan, leksikon atau kosa kata adalah sejumlah
kata dalam suatu bahasa yang digunakan secara aktif maupun pasif, baik yang
masih tersebar di kalangan masyarakat maupun yang sudah dikumpulkan berupa
kamus.

II. KEGUNAAN LEKSIKON


Eksistensi bahasa dalam kehidupan manusia sebagai alat utama untuk berkomunikasi
antar anggora masyarakatnya. Dalam komunikasi bahasa akan tergambarkan kehidupan
(kebudayaan) masyarakat pemakainya. Bahasa menunjukkan bangsa. Pada prinsipnya
pemakaian bahasa ialah penggunaan kata-kata atau kosa kata dalam kehidupan. Karena itu,
terampil tidaknya seseorang menggunakan bahasa akan ditentukan oleh kuantitas dan
kualitas kosa kata yang dimilikinya.
Kosa kata atau leksikon sangat bermanfaat dalam kehidupan, antara lain: (a)
meningkatkan taraf hidup, kemampuan mental dan perkembangan konseptual pemakai
bahasa, (b) mempertajam proses berfikir kritis, dan (c) memperluas cakrawala pendangan
hidup pemakainya.

Dalam proses leksemik dan proses morfologis, leksem sebagai satuan berperanan sebagai
masukan; sedangkan kata sebagai satuan gramatikal ber- peranan sebagai hasilan. Proses ini
dapat digambarkan sebagai berikut.

LEKSEM PROSES LEKSIKON


LEKSEMIK

Berubahnya leksem menjadi kata disebut proses gramatikalisasi, dan kembalinya kata
menjadi unsur leksikal lagi disebut proses leksikalisasi. Misalnya:

(1) ketidakadilan

proses I : gramatikalisasi leksem tidak dan adil (secara berasingan) menjadi kata;

proses II : penggabungan kedua kata itu menjadi frasa tidak adil (ini terjadi dalam tingkat
sintaksis);

proses III : leksikalisasi frasa tidak adil menjadi gabungan leksem;

proses IV : konfiksasi dengan ke – an terhadap gabungan leksem tidak adil menjadi kata
turunan ketidakadilan.

(2) disendratarikan

proses I : gramatikalisasi leksem-leksem seni, drama dan tari (secara berasingan) masing-
masing menjadi kata;

proses II : penggabungan ketiga kata itu menjadi seni drama tari (dalam tingkat sintaksis);
proses III : leksikaliasi frasa seni drama tari menjadi gabungan leksem;

proses IV : pemendekan (kontraksi) gabungan leksem itu menjadi sendratari;

proses V : leksikalisasi kata sendratari menjadi leksem;


proses VI : sufiksasi –kan terhadap leksem sendratari menjadi sendratarikan;

proses VII : prefiksasi di- terhadap sendratarikan menjadi disendratarikan

III.Menurut John I Saeed

Menurut Saeed (2003: 63-71) Struktur leksikal adalah bermacam-macam pertalian semantik
yang terdapat di dalam kata. Suatu kata merupakan hubungan satu sama lain dalam berbagai
bentuk. Ini merupakan akibat dari kandungan komponen makna yang kompleks. Ada beberapa
hubungan semantis (antarmakna) yang memperlihatkan adanya persamaan, pertentangan,
tumpang tindih, dan sebagainnya. Hubungan inilah yang dikenal dalam ilmu bahasa, di
antaranya, sebagai homonimi, polisemi, sinonimi, antonimi, hiponimi, dan.

1) HOMONIMI

Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang
artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda atau
hal lain’. Matthews (dalam Sudaryat, 2004: 95) mengatakan, “Homonyms are identical forms
with different meanings, *homonymy is a relation between such forms, and so on.” Homonim
berasal dari kata homo dan kata nim. Jadi, homonim adalah beberapa kata yang mempunyai
kesamaan bentuk dan pelafalan tetapi maknanya berbeda. Oleh Fromkin dan Rodman (dalam
Sudaryat, 2004: 95), homonim diperkenalkan dengan nama lain homofon. Untuk lebih
sederhananya, Verhaar (dalam Sudaryat, 2004: 96) melambangkan homonim dengan X dan Y
yang bermakna lain tetapi berbentuk sama. Hubungan X dan Y dalam kerangka homonim disebut
homonimi. Dengan demikian Homonimi adalah kata yang mempunyai tulisan dan bunyi yang
sama tetapi maknanya berbeda.

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya homonimi

1. kata-kata yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. Misalnya,
kata bisa yang berarti racun ular berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata bisa yang
berarti sanggup berasal dari bahasa Jawa. Contoh lain kata bang yang berarti azan berasal
dari bahasa Jawa, sedangkan kata bang (kependekan dari abang) yang berarti kakak laki-
laki berasal dari bahasa Melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti pangkal, permulaan
berasal dari bahasa Melayu, sedangkan kata asal yang berarti kalau berasal dari dialek
Jakarta.

2. Kata-kata yang berhomonimi itu terjadi sebagaimana hasil proses morfologis.


Umpamanya kata mengukur dalam kalimat ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah
berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria itu mengukur luasnya
kebun kami. Jelas, kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan
awalan me- pada kata kukur (me+kukur=mengukur); sedangkan kata mengukur yang
kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur
(me+ukur=mengukur).

Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi ini pun dapat terjadi pada tataran
morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.

a. Ø Homonimi antarmorfem, tentunya sebuah morfem terikat dengan morfem terikat yang
lainnya. Misalnya, antara morfem –nya pada kalimat:”ini buku saya, itu bukumu, dan
yang di sana bukunya” berhomonimi dengan -nya pada kalimat “Mau belajar tetapi
bukunya belum ada.”. Morfem –nya yang pertama adalah kata ganti orang ketiga
sedangkan morfem-nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.

b. Ø Homonimi antarkata, misalnya antara kata bisa ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti
‘sanggup, atau dapat’ seperti sudah disebutkan di muka. Contoh lain, antara kata semi
yang berarti ‘tunas’ dan kata semi yang berarti ‘setengah’.

c. Ø Homonimi antarfrase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti ‘perasaan cinta
dari seorang anak kepada ibunya’ dan frasa cinta anak yang berarti ‘cinta kepada anak
dari seorang ibu’. Contoh lain, orang tua yang berarti ‘ayah ibu’ dan frase orang tua yang
berarti ‘orang yang sudah tua’. Juga antara frase lukisan Yusuf yang berarti ‘lukisan hasil
karya Yusuf, serta lukisan Yusuf yang berarti ‘lukisan wajah Yusuf’.

d. Ø Homonimi antarkalimat, misalnya, antara istri lurah yang baru itu cantik yang berarti
‘lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, dan kalimat istri lurah yang
baru itu cantik yang berarti ‘lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang
cantik’.

2) POLISEMI

Polisemi berasal dari kata poly yang artinya banyak, dan sema yang artinya tanda. Jadi,
dapat dikatakan bahwa polisemi adalah kata yang memiliki bermacam-macam makna.
Menurut Chaer (2009:101) polisemi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata,
bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. “When a word has multiple meanings
that are related conceptually or historically,” demikian Fromkin dan Rodman (1998:164)
memberikan penjelasan tentang polisemi. Menurut Moeliono (dalam Sudaryat, 2004: 96),
polisemi merupakan suatu kata yang dipergunakan untuk berbagai keperluan tapi masih
berhubungan dalam maknanya. Polisemi tumbuh akibat dari faktor kesejarahan dan faktor
perluasan makna. Dengan demikian, Polisemi adalah relasi makna suatu kata yang memiliki
makna lebih dari satu atau kata yang memiliki makna yang berbeda-beda tetapi masih dalam
satu aluran arti.

Contoh :

a) KEPALA

o Bagian tubuh dari leher ke atas, seperti terdapat pada manusia dan hewan.

o Bagian dari sesuatu yang terletak di sebelah atas atau depan.

o Pemimpin atau ketua seperti kepala sekolah, kepala kantor, kepala bagian.

o Jiwa atau orang seperti dalam kalimat “setiap kepala menerima bantuan sebesar
Rp. 200.000”.

o Akal budi seperti pada kalimat “badannya besar tapi kepalanya kosong”.

b) KAMBING HITAM

o Kambing yang berwarna hitam

o Orang yang dipersalahkan


3) SINONIMI

Secara etimologi sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti
‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain
untuk benda atau hal yang sama’. Beberapa pakar linguistik terkemuka memberikan definisi
tentang sinonim. Menurut Matthews (dalam Sudaryat, 2004: 97), sinonim adalah “the
relation between two lexical units with a shared meaning.” Verhaar (dalam Sudaryat, 2004:
97) melambangkan suatu kata dalam kasus sinonim dengan X dan kata lainnya dengan Y.
Menurutnya, bila X dan Y bermakna hampir sama, maka kesamaan makna antara X dan Y
itulah yang disebut dengan sinonim. Menurut Harimuti Kridaklasana sinonim ialah bahasa
yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain, persamaan itu berlaku bagi kata,
kelompok kata, atau kalimat, walaupan umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata
saja (Kridalaksana dalam Sudaryat, 2004:97). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
sinonim adalah dua kata yang mempunyai komponen makna yang sama meski bunyi
pelafalan dan bentuknya berbeda.

Contoh:

 Pintar, pandai, cakap, cerdik, cerdas, banyak akal, mahir

 Gagah, kuat, tegap, perkasa, berani, megah

 Mati, meninggal, berpulang, mangkat, wafat, mampus

 Bodoh, tolol, dungu, goblok, otak udang

 Cantik, molek, baik, bagus, indah, permai

Kesamaan makna (sinonim dapat ditentukan dengan tiga cara), yaitu:

a. Substitusi (penyulihan)

Hal tersebut dapat terjadi bila kata dalam konteks tertentu dapat disulih dengan kata yang
lain dan makna konteks tidak berubah, maka kedua kata itu disebut sinonim (Lyons, 1977:
447-450) Lyons lebih lanjut mengemukakan bila dua kalimat memiliki struktur yang sama,
makna yang sama, dan hanya berbeda karena di dalam kalimat yang satu (S1) terdapat kata y,
maka x sinonim dengan y.

b. Pertentangan

Kata dapat dipertentangkan dengan sejumlah kata lain. Pertentangan itu dapat
menghaslkan sinonim. Misalnya: kata berat bertentangan dengan ringan dan enteng di dalam
bahasa indonesia. Maka ringan dan enteng disebut sinonim, atau ask ‘bertanya’ bertentangan
dengan reply dan answer di dalam bahasa Inggris. Maka reply dan answer dsebut sinonim
dalam bahasa Inggris

c. Penetuan konotasi

Jika terdapat perangkat kata yang memilki makna kognitifnya sama, tetapi makna
emotifnya berbeda, maka kata-kata itu tergolong sinonIm.Misalnya: kamar kecil, kakus,
jamban, wc mengacu ke acuan yang sama, tetap konotasinya berbeda.

Dalam beberapa buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim adalah
persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab
selain yang sama maknanya, yang bersinonim pun bukan hanya kata dengan kata, tetapi juga
banyak terjadi antara satuan-satuan bahasa lainnya.

Contoh :

a. Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), seperti antara dia dengan nya,
antara saya dengan ku dalam kalimat.

o Minta bantuan dia

-Minta bantuannya

o Bukan teman saya

-Bukan temanku

b. Sinonim antara kata dengan kata seperti antara mati dengan meninggal; antara buruk
dengan jelek; antara bunga dengan puspa, dan sebagainya.
c. Sinonim antara kata dengan frase atau sebaliknya. Mislnya antara meninggal dengan
tutup usia; antara hamil dengan duduk perut; antara pencuri dengan tamu yang tidak
diundang; antara tidak boleh tidak dengan harus.

d. Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu dengan orang tua; antara
meninggal dunia dengan berpulang ke rahmatullah; dan antara mobil baru dengan mobil
yang baru. Malah juga antara baju hangat dan baju dingin.

e. Sinonim antara kalimat dengan kalimat. Seperti adik menendang bola dengan bola
ditendang adik. Kedua kalimat inipun dianggap bersinonim, meskipun pertama kalimat
aktif dan yang kedua kalimat pasif.

4) ANTONIMI

Kata antonimi berasal dari kata Yunani Kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’, dan anti
yang artinya ‘melawan’. Maka secara harfiah antonym berarti ‘nama lain untuk benda lain
pula. Bila sinonim lebih mengacu pada perhubungan makna yang bertalian dengan kesamaan
makna, maka antonim lebih cenderung pada perhubungan makna yang bertalian dengan
perlawanan makna. Diketahui bahwa antonim berwujud X mempunyai makna berkesebalikan
dengan Y. Hubungan perlawanan antar makna ini disebut antonimi. Kasus yang terjadi pada
sinonimi juga terjadi pada antonimi. Yakni tidak ada antonimi yang lengkap karena tidak
semua konteks dapat ditempatinya secara penuh. Sehubungan dengan ini banyak pula
menyebut antonimi sebagai oposisi makna. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari
konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat kontras saja.

Oposisi ini dapat dibedakan menjadi :

a. Oposisi Mutlak

Di sini terdapat pertantangan makna secara mutlak. Umpamanya antara kata


hidup dan mati. Antara hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang
hidup tentu tidak (belum) mati; sedangkan sesuatu yang mati tentu sudah tidak hidup lagi.
Memang menurut kedokteran ada keadaan yang disebut “koma”, yaitu keadaan seseorang
yang hidup tidak , tetapi mati pun belum. Namun, orang yang berada dalam keadaan
“koma” itu sudah tidak dapat berbuat apa-apa seperti manusia hidup. Yang tersisa sebagai
bukti hidup hanyalah detak jantungnya saja. Contoh lain dari oposisi mutlak ini adalah
kata gerak dan diam. Sesuatu yang (ber)gerak tentu tiada dalam keadaan diam; dan
sesuatu yang diam tentu tidak dalam keadaan (ber)gerak . kedua proses ini todak dapat
berlangsung bersamaan, tetapi secara bergantian.

b. Oposisi Kutub

Makna kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat
mutlak,melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata
tersebut, mislnya, kata kaya dan miskin adalah dua buah kata yang beroposisi kutub.
Pertentangan antara kaya dan miskin tidak mutlak. Orang yang tidak kaya belum tentu
merasa miskin, dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa kaya.

c. Oposisi Hubungan

Makna kata-kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling


melengkapi. Artinya, kehadira kata yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi
oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Umpamanya, kata
menjual beroposisi dengan kata memebeli. Kata menjual dan membeli walaupun
maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku serempak. Proses menjual dan
proses membeli terjadi pada waktu yang bersamaan, sehingga bisa dikatakan tak aka nada
proses menjual jika tidak ada proses membeli. Contoh lainnya dalam kata kerja adalah
suami dengan istri, mundur dengan maju, pulang dengan pergi, pasang dengan surut,
memberi dengan menerima, belajar dengan mengajar, dan sebagainya. Contohnya dalam
kata benda adalah ayah dengan ibu, guru dengan murid, atas dengan bawah, utara dengan
selatan, buruh dengan majikan, dan sebagainya.

d. Oposisi Hierarkial

Makna kata-kata yang beroposisi hierarkial ini menyatakan suatu deret jenjang
atau tingkatan. Oleh karena itu, kata-kata yang beroposisi hierarkial ini adalah kata-kata
yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan
penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya kata meter
beroposisi hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam deretan nama satuan
yang menyatakan ukuran panjang. Selain itu, kata kuintal dan ton, serta kata prajurit dan
kata opsir.

e. Oposisi Majemuk

Dalam perbendaharaan kata Indonesia ada kata-kata yang beroposisi terhadap


lebih dari sebuah kata. Misalnya, kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk, dengan
kata berbaring, dengan kata berjongkok. Isitlah ini lazim disebut dengan istilah oposisi
majemuk. Contoh lain, kata diam yang bisa beroposisi dengan kata berbicara, bergerak,
dan bekerja.

5) HIPONIMI

Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti “nama” dan hypo
berarti “di bawah”. Jadi, secara harfiah berarti “nama yang termasuk di bawah nama lain”.
Sesuai dengan yang diungkapkan Keraf (dalam Sudaryat, 2004: 97) Hiponimi adalah
semacam relasi antar kata yang berwujud atas- bawah, atau dalam suatu makna terkandung
sejumlah komponen yang lain. Karena ada kelas atas yang mencakup sejumlah komponen
yang lebih kecil dan ada kelas bawah yang merupakan komponen-komponen yang tercakup
dalam kelas atas, maka kata yang berkedudukan di kelas atas ini disebut superordinat dan
kata yang berada di kelas bawah disebut hiponim. Istilah superordinat dan hiponim adalah
istilah semantik. Dari Kamus Linguistik Harimurti Kridalaksana kita dapat memperoleh
kejelasan bahwa hiponimi adalah hubungan dalam semantik antara makna spesifik dan
makna generik. Makna generik yaitu unsur leksikal yang maknanya mencakup segolongan
unsur.

Contoh:

 Kata bemo dan kendaraan. Kata bemo berhiponim terhadap kata kendaraan, sebab bemo
adalah salah satu jenis kendaraan. Sebaliknya kata kendaraan berhipernim terhadap kata
bemo sebab kata kendaraan meliputi makna bemo disamping jenis kendaraan lain
( seperti becak, sepeda, kereta api, dan bis ).
 Antara kucing, anjing, dan kambing di satu pihak dan hewan di pihak yang lainnya.
Kucing, anjing dan kambing disebut hiponim dari hewan; hewan disebut superordinat
dari kucing, anjing dan kambing; kucing, anjing dan kambing disebut ko-hiponim.

 Hipernim = buah yaitu, anggur,pisang, semangka, jeruk, dan lain-lain.

 Hipernim = ikan yaitu, lele, nila, hiu, paus, dan lain-lain.

6) MERONIMI

Partonimi atau Meronimi adalah bentuk ujaran yang maknanya merupakan bagian atau
komponen dari bentuk ujaran yang lain. Menurut Chaer (2009: 101) meronimi menyatakan
adanya kata (unsur leksikal) yang merupakan bagian dari kata lain. Jika kita menyebutkan
sebuah kata maka tanpa perlu dijelaskan makna kata tersebut sudah mewakili kata lain.
Menurut Crystal (dalam Sudaryat, 2004: 98), meronimi adalah hubungan ‘bagian’ dan
‘keseluruhan’. Dalam meronimi, suatu benda diuraikan menurut unsur-unsur yang
membangunnya. Jadi unsur-unsurnya harus lengkap untuk membentuk yang di atas. Konsep
meronimi hampir serupa dengan hiponimi dan hipernimi hanya saja pada meronimi kata
(unsur leksikal) yang ada merupakan bagian dari makna kata lain, bukan jenis atau macam
dari benda lain.

Contoh:

 Pintu, jendela, dan atap adalah meronimi dari rumah.

 Roda, knalpot, dan mesin adalah meronimi dari kendaraan bermotor.

Meronimi tidak bersifat dua arah, melainkan bersifat satu arah. Pintu adalah meronimi
dari rumah, tapi rumah bukan meronimi dari pintu.

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Fromkin, Victoria dan Robert Rodman. 1998. An Introduction to Language. New York: Holt,
Rinehart and Winston Inc.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. Beberapa Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Kanisius.
Lyons, John. 1977. Semantics: Volume 1. Inggris: Cambridge University Press.
Saeed, John I. 2003. Semantics. New Jersey: Blackwell Publishing
Sudaryat, Yayat. 2004. Struktur Makna: Prinsip-prinsip Studi Semantik. Bandung: Raksa
Cipta.

STRUKTUR MAKNA LEKSIKAL I

Laporan Bacaan ini Diberikan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Semantik Lanjut
Oleh: Kelompok II

Reno Novita Sari

NIM: 1610722040

Yuni Almayanti

NIM: 1610721002

Program Studi Linguistik

Pasca Sarjana

Universitas Andalas

Padang

2020

Anda mungkin juga menyukai