Anda di halaman 1dari 31

PENDAHULUAN

Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu linguistik yang mempelajari bahasa

secara eksternal. Ilmu mengenai bagaimana penggunaan satuan kebahasaan

didalam peristiwa komunikasi. Makna yang dikaji ilmu pragmatik merupakan

makna yang terikat konteks atau dengan kata lain mengkaji penutur dalam

peristiwa komunikasi.

Situasi tutur merupakan hal yang penting dalam ilmu pragmatik karena situasi

tutur dapat mempengaruhi makna dari apa yang dituturkan oleh penutur. Hal

inilah yang membedakan ilmu pragmatik dengan cabang ilmu linguistik lainnya

seperti sintaksis, morfologi dan semantik. Ketiga ilmu linguistik tersebut

kajiannya bukan terhadap penuturan dari penutur melainkan lebih kepada makna,

maksud dan tujuan serta komposisi-komposisi baku lainnya dalam wacana atau

teks tertulis. Dalam pragmatik terkadang sukar membedakan ucapan yang ada dan

apa yang di maksud. Oleh sebab itu , dalam pragmatik harus mempertimbangkan

aspek aspek situasi tutur agar kita dapat memahami suatu ujaran. Makalah ini

akan menjelaskan hal tersebut.

Dalam usaha untuk mengungkapkan diri mereka, orang-orang tidak hanya

menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata dan struktur-struktur

gramatikal saja, tetapi mereka juga memperlihatkan tindakan-tindakan melalui

tuturan-tuturan itu. Jika Anda bekerja dalam situasi pada saat pimpinan Anda

memiliki kekuasaan yang besar, kemudian tuturan pimpinan Anda dalam

pernyataan (1) mempunyai makna yang lebih dari sekadar sebuah pernyataan.

Anda dipecat.
Tuturan dalam (1) dapat digunakan untuk memperlihatkan suatu tindakan

mengakhiri pekerjaan Anda. tetapi, tindakan-tindakan yang ditampilkan dengan

tuturan tidak harus dramatis atau menyakitkan seperti dalam

(1). Tindakan itu dapat lebih menyenangkan seperti pujian yang diperlihatkan

dengan (2a), pengantar ucapan terima kasih dalam (2b), atau ungkapan rasa

terkejut dalam (2c). 2a. Anda sangat menyenangkan. 2b. Terima kasih kembali.

2c. Gila kau!

Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan biasanya disebut tindak

tutur dan dalam bahasa Inggris secara umum diberi label yang lebih khusus,

misalnya permintaan maaf, keluhan, pujian, undangan, janji, atau permohonan.

Istilah-istilah deskriptif untuk tindak tutur yang berlainan digunakan untuk

maksud komunikatif penutur dalam menghasilkan tuturan. Penutur biasanya

berharap maksud komunikatifnya akan dimengerti oleh pendengar. Penutur dan

pendengar biasanya terbantu oleh keadaan di sekitar lingkungan tuturan itu.

Keadaan semacam ini, termasuk juga tuturan-tuturan yang lain, disebut peristiwa

tutur. Dalam banyak hal, sifat peristiwa tuturlah yang menentukan penafsiran

terhadap suatu tuturan ketika menampilkan suatu tindak tutur khusus. Pada suatu

hari di musim dingin, penutur menggapai secangkir teh, karena yakin bahwa teh

itu baru saja dibuat, ia menghirupnya dan menghasilkan tuturan dalam (3).

Peristiwa ini kelihatannya ditafsirkan sebagai suatu keluhan.

Teh ini benar-benar dingin!

Dengan mengubah keadaan menjadi suatu hari yang sangat panas, ketika

penutur diberi segelas es teh oleh seorang pendengar, lalu ia menghirupnya dan

menghasilkan tuturan dalam (3), tuturan itu mungkin ditafsirkan sebagai suatu
penghargaan. Jika tuturan yang sama dapat ditafsirkan sebagai dua macam tindak

tutur yang berbeda, maka jelaslah tidak satupun tuturan yang secara sederhana

memungkinkan adanya hubungan tindakan. Ini juga berarti bahwa terdapat lebih

banyak yang ditemukan dalam penafsiran tindak tutur dari pada makna yang

terdapat dalam tuturan itu

Pada suatu saat, tindakan yang ditampilkan dengan menghasilkan suatu tuturan

akan mengandung 3 tindak yang saling berhubungan. Yang pertama adalah tindak

lokusi, yang merupakan tindak dasar tuturan atau menghasilkan suatu ungkapan

linguistik yang bermakna.jika anda menghadapi kesulitan mengenai pembentukan

suara dan kata secara benar untuk menghasilkan sebuah tuturan yang bermakna

dalam suatu bahasa (misalnya dikarenakan bahasa itu masih asing bagi anda atau

lidah anda seakan-akan lumpuh), boleh jadi anda gagal menghasilkan suatu tindak

lokusi. Untuk mengucapkan aha mokofa dalam bahas inggris biasanya tidak akan

memperhitungkan sebagai suatu tindak lokusi, pada I’ve just bought some

teamemperhitungkannya

Kebanyakan kita tidak hanya menghasikan tuturan-tuturan yang terbentuk dengan

baik tanpa suatu tujuan. Kita membentuk tuturan dengan beberapa fungsi di dalam

pikiran. Ini adalah dimensi ke dua, atau tindak illokusi. Tindak illokusi

ditampilkan melalui penekanan komunikatif suatu tuturan. Kita mungkin

menuturkan kalimat untuk membuat suatu pernyataan, tawaran, penjelasan atau

maksud-maksud komunikatif lainnya. Ini juga dapat disebut sebagai penekanan

illokusi tuturan.

Tentu kita tidak secara sederhana menciptakan tuturan yang memiliki fungsi tanpa

memaksudkan tuturan itu memiliki akibat. Inilah dimensi ketiga, tindak perlokusi.
Dengan bergantung pada keadaan, Anda akan menuturkan suatu kalinat dengan

asumsi bahwa pendengar akan mengenali akibat yang Anda timbulkan (misalnya;

untuk menerangkan suatu aroma yang luar biasa, menraktir atau meminta

pendengar untuk minum teh). Ini biasanya juga dikenal sebagai akibat perlokusi.

Di antara ketiga dimensi tersebut, yang paling banyak dibahas adalah tekanan

illokusi. Istilah tindak tutur umumnya diterjemahkan secara sempit dengan

sekadar diartikan sebagai tekanan illokusi suatu tuturan. Tekanan illokusi suatu

tuturan adalah ‘apa yang diperhitungkan tekanan itu’. Bahwa tuturan yang sama

secara potensial dapat memiliki tekanan illokusi yang agak berlainan (misalnya

janji dengan peringatan). Bagaimana mungkin penutur dapat berasumsi bahwa

tekanan illokusi yang dimaksudkan akan diketahui oleh pendengar? Pertanyaan itu

sudah diarahkan dengan mempertimbangkan 2 hal yaitu; alat-alat penunjuk

tekanan illokusi dan kondisi-kondisi kebahagiaan.

Alat yang paling jelas untuk menunjukkan tekanan illokusi (Alat Penunjuk

Tekanan Illokusi atau APTI) ialah jenis ungkapan yang ditunjukkan di mana

terdapat suatu celah untuk sebuah kata kerja yang secara eksplisit menyebutkan

tindakan illokusi yang sedang ditunjukkan. Kata kerja yang demikian itu dapat

dikatakan sebagai kerja kata performatif (Vp). Penutur biasanya tidak

menunjukkan tindak tutur mereka secara eksplisit, tetapi mereka kadang-kadang

menjelaskan tindak tutur orang yang sedang ditampilkan. Bayangkan sebuah

percakapan telepon antara seorang pria yang mencoba menghubungi Mary dan

temannya.

Him : Dapatkah saya bicara dengan Mary?

Her : Tidak, dia tidak ada di sini.


Him : Saya bertanya kepada Anda, dapatkah saya bicara dengannya?

Her : Saya katakan kepada Anda, DIA TIDAK ADA DI SINI.

Dalam adegan ini masing-masing penutur telah mendeskripsikan dan

menunjukkan perhatiannya pada tekanan illokusi tuturan mereka (‘bertanya’ dan

‘mengatakan’).

Akan tetapi sering kali tidak ada kata kerja performatif yang disebutkan. APTI

yang lain yang dapat diidentifikasikan ialah urutan kata, tekanan, dan intonasi.

Sedangkan alat-alat lainnya, misalnya kualitas suara yang rendah untuk

memperingatkan atau mengancam, mungkin digunakan untuk menunjukkan

tekanan illokusi. Tuturannya juga harus dihasilkan dalam kondisi konvensional

tertentu untuk menentukan tekanan illokusi yang dimaksud.

Kondisi Felisitas

Ada harapan tertentu atau yang diharapkan secara teknis disebut sebagai kondisi

fesilitas, karena tampilan suatu tindak tutur diketahui seperti yang dimaksud.

Terhadap beberapa kasus yang sudah jelas, seperti ‘anda dihukum 6 bulan

penjara.’. Tampilan itu menjadi tidak tepat (tidak sesuai) jika penuturnya bukan

orang dalam konteks yang khusus (ini sebuah kasus tentang seorang hakim di

ruang sidang pengadilan)

Dalam konteks sehari-hari di antara orang-orang kebanyakan, ada juga pra-

kondisi pada tindak tutur. Ada kondisi umum pada peserta, misalnya bahwa

mereka dapat memahami bahasa yang sedang digunakan dan mereka tidak sedang

bermain peran atau sesuatu hal lain yang bukan-bukan. Jadi ada kondisi isi.

Misalnya untuk sebuah peringatan dan janji, kedua tuturan itu harus berisi tentang

peristiwa yang akan terjadi mendatang. Kondisi isi selanjutnya yang diperlukan
dalam sebuah janji ialah bahwa peristiwa yang akan terjadi mendatang itu

merupakan tindakan penutur di masa mendatang.

Kondisi persiapan untuk suatu janji secara signifikan berbeda dengan kondisi

persiapan dalam suatu peringatan. Jika saya berjanji melakukan sesuatu, ada 2

kondisi persiapan; pertama, peristiwa itu tidak akan terjadi sendiri, dan yang

kedua, peristiwa itu akan mempunyai akibat yang bermanfaat. Jika saya

mengucapkan suatu peringatan, ada kondisi persiapan berikut; tidak jelas bahwa

pendengar tahu bahwa peristiwa itu akan terjadi, padahal penutur berpendapat

bahwa peristiwa itu tidak akan terjadi, dan peristiwa itu tidak memiliki akibat

yang bermanfaat. Yang terkait dengan kondisi ini ialah kondisi

ketulusan (sincerity condition), untuk sebuah janji, bahwa penutur secara tulus

bermaksud untuk melaksanakan tindakan itu di masa mendatang sedangkan untuk

suatu peringatan, penutur secara tulus percaya bahwa peristiwa di masa

mendatang itu tidak memiliki suatu akibat yang bermanfaat.

Yang terakhir ialah adanya kondisi esensial, yang meliputi kenyataan bahwa

dengan tindakan ucapan janji itu, saya bermaksud menciptakan suatu

keharusan untuk melaksanakan tindakan yang dijanjikan. Dengan kata lain,

tuturan mengubah pernyataan saya dari ketidakharusan menjadi suatu keharusan.

Sama halnya dengan suatu peringatan, tuturan di bawah kondisi esensial

mengubah pernyataan saya dari tidak memberi informasi suatu peristiwa yang

jelek di masa mendatang menjadi memberikan informasi peristiwa tersebut. Jadi

kondisi esensial menggabungkan suatu spesifikasi tentang apa yang harus ada

dalam isi tuturan, yaitu konteks, dan maksud penutur, agar tindak tutur khusus

ditampilkan secara tepat (atau pada tempatnya).


Hipotesa performatif

Satu cara untuk memikirkan tentang tindak tutur yang sedang ditampilkan melalui

tuturan ialah berasumsi bahwa setiap tuturan pokok (U) terdapat suatu klausa,

sama dengan (6) yang telah disajikan sebelumnya, yang mengandung kata kerja

performatif (Vp) yang membuat tekanan illokusi menjadi jelas. Itulah yang

disebut dengan hipotesa performatif.

Klasifikasi tindak tutur

Sistem klasifikasi umum mencantumkan 5 jenis fungsi umum yang ditunjukan

oleh tindak tutur; deklarasi, representative, ekspresi, direktif, dan komisif.

Deklarasi ialah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui tuturan. Seperti

contoh dalam menggambarkan, penutur harus memiliki pesan institusional

khusus, dalam konteks khusus, untuk menampilkan suatu deklarasi secara tepat.

a. Sekarang saya menyebut anda berdua suami-istri

Pada waktu menggunakan deklarasi penutur mengubah dunia dengan kata-kata.

Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatukan apa yang diyakini penutur

khusus atau bukan. Pernyataan suatu fakta, penegasan, kesimpulan, dan

pendeskripsian, seperti yang digambarkan dalam (16), merupakan contoh dunia

sebagai sesuatu yang diyakini oleh penutur yang menggambarkannya.

Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh

penutur. Tindak tutur itu mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis dan

dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan, kesukaan, kebencian,


kesenangan, atau kesengsaraan. Seperti digambarkan dalam (17), tindak tutur itu

mungkin disebabkan oleh sesuatu yang dilakukan oleh penutur atau pendengar,

tetapi semuanya menyangkut pengalaman penutur.

Pada waktu menggunakan ekspresi penutur menyesuaikan kata-

kata dengan dunia (perasaannya).

Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang

lain melakukan sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi

keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan,

pemberian saran, seperti yang digambarkan dalam (18), dan bentuknya dapat

berupa kalimat positif dan negative.

Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk

mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan

dating.

Tindak tutur ini menyatakan apa saja yang dimaksudkan oleh penutur. Tindak

tutur ini dapat berupa; janji, ancaman, penolakan, ikrar, seperti yang ditunjukan

dalam (19), dan dapat ditampilkan sendiri oleh penutur atau penutur sebagai

anggota kelompok.

(19) a. I'll be back.

(Saya akan kembali)

b. I'm going to get it right next time.

(Saya akan membetulkannya lain kali)

c. We will not do that.

(Kami tidak akan melakukan itu)


Pada waktu menggunakan komisif, penutur berusaha untuk menyesuaikan

dunia dengan kata-kata (lewat penutur).

Kelima fungsi umum tindak tutur beserta sifat-sifat kuncinya ini terangkum

dalam Tabel 6.1.

Tipe tindak Arah penyesuaian P = penutur

tutur: X = situasi

Deklarasi Kata mengubah dunia Pmenyebabkan

Representatif Kata disesuaikan dengan dunia P meyakini X

Ekspresif Kata disesuaikan dengan dunia P merasakan X

Direktif Dunia disesuaikan dengan kata P menginginkan

Komisif Dunia disesuaikan dengan kata Pmemaksudkan

Tabel 6.1. Lima fungsi umum tindak tutur (mengikuti Searle 1979)

Tindak tutur langsung dan tidak langsung

Pendekatan yang berbeda terhadap pemilahan tipe-tipe tindak tutur ini

dapat dibuat berdasarkan strukturnya. Pemisahan struktural yang sederhana di

antara ketiga tipe umum tindak tutur yang diberikan dalam bahasa Inggris ada 3

tipe kalimat dasar. Seperti yang ditunjukkan dalam (20), dengan mudah dapat

diketahui adanya hubungan antara 3 bentuk struktural (deklaratif, interogatif,

impe-ratif) dan tiga fungsi komunikasi umum (pernyataan, pertanyaan,

perintah /permohonan).
(20) a. You wear a seat belt, (declarative)

(Anda mengenakan sabuk pengaman)

b. Do you wear a seat belt? (interrogative)

(Apakah Anda mengenakan sabuk pengaman?)

c. Wear a set belt! (imperative)

(Kenakanlah sabuk pengaman!)

Apabila ada hubungan langsung antara struktur dengan fungsi, maka terdapat

suatu tindak tutur langsung. Dan

apabila ada hubungan tidak langsung antara struktur dengan fungsi, maka

terdapat suatu tindak tutur tidak langsung. Jadi bentuk deklaratif yang

digunakan untuk membuat suatu pernyataan disebut tindak tutur langsung,

sedangkan bentuk deklaratif yang digunakan untuk membuat suatu permohonan

disebut tindak tutur tidak langsung. Seperti yang digambarkan dalam (21),

tuturan dalam (21a.) adalah bentuk deklaratif. Jika tuturan ini digunakan untuk

membuat suatu pernyataan, seperti yang dipara-frasakan dalam (21b.), tuturan

ini berfungsi sebagai suatu tindak tutur langsung. Jika tuturan itu digunakan

untuk membuat suatu perintah/permohonan, seperti yang di-parafrasakan

dalam (21c), tuturan ini berfungsi sebagai suatu tindak tutur tidak langsung.

(21) a. It's cold outside.

(Di luar dingin)

b. I hereby tell you about the weather.

(Dengan ini saya mengatakan kepada Anda

tentang cuaca)
c. I hereby request of you that you close the door.

(Dengan ini saya memohon Anda agar Anda

menutup pintu)

Struktur yang berbeda dapat digunakan untuk me-nyempurnakan fungsi

yang sama, seperti dalam (22), di mana penutur menginginkan orang yang

dituju agar tidak berdiri di depan TV. Fungsi dasar dari seluruh tuturan dalam

(22) ialah perintah/permohonan, tetapi hanya struktur im-

peratif di dalam (22 b.) yang mewakili tindak tutur. Struk

tur interogatif dalam (22 b.) tidak hanya dipakai dalam

bentuk pertanyaan, karena struktur interogatif ini adalah

suatu tindak tutur langsung. Struktur deklaratif dalam (22 c.) dan (22 d.) juga

permohonan tidak langsung.

(22) a. Move out of the way!

(Ke luarlah dari jalan)

b. Do you have to stand in front of the TV?

(Haruskah Anda berdiri di depan TV?)

c. You're standing in front of the TV.

(Anda berdiri di depan TV)

d. You'd make a better door than a window.

(Anda sebaiknya membuat pintu yang lebih baik

dari pada jendela)

Salah satu tipe yang paling umum dari tindak tutur tidak langsung dalam

bahasa Inggris, seperti yang ditun-jukkan dalam (23), memiliki bentuk

interogatif, tetapi se-cara khusus tidak dipakai untuk menanyakan suatu per-
tanyaan (karena tidak hanya mengharapkan suatu jawab-an, akan tetapi kita

mengharapkan suatu tindakan). Contoh-dalam (23) biasanya dipahami sebagai

bentuk permohonan.

(23) a. Could you pass the salt?

(Bisakah Anda mengambilkan garam ifu?) b. Would you open

this?

(Maukah Anda membuka ini?)

Sebenarnya, dalam bahasa Inggris, ada pola khusus yang digunakan untuk

menanyakan suatu pertanyaan tentang kemampuan yang diasumsikan oleh

pendengar ('Can you?', 'Could you?' Dapatkah Anda?) atau kemung-kinan di

masa yang akan datang dengan beranggapan untuk melakukan sesuatu

('Will you?', 'Would you?'

Maukah Anda?) biasanya dianggap sebagai suatu per-mohonan untuk

melakukan sesuatu secara nyata.

Tindak tutur tidak langsung biasanya diasosiasikan dengan lebih sopan

dalam bahasa Inggris dari pada tindak tutur langsung. Untuk mengetahui

mengapa demikian, kita harus melihat gambaran yang lebih besar dari sekedar

suatu tuturan tunggal yang menunjukkan suatu tindak tutur tunggal.

Peristiwa tutur

Kita menganggap permohonan tidak langsung (misal-nya, tuturan dalam

[23]) sebagai suatu peristiwa bertanya yang diperlukan untuk sebuah

permohonan yang ada pada tempatnya. Misalnya, persyaratan persiapan

ialah bahwa penutur berasumsi bahwa pendengar itu mampu, atau DAP
AT, menampilkan tindakan itu. Persyaratan ini me-ngenai tindakan di

masa yang akan datang, bahwa pen-dengar AKAN/MAU melakukan

tindakan itu. Pola ini digambarkan dalam (24).

(24). Permohonan tidak langsung.

a. Persyaratan Tindakan pendengar 'Maukah Anda

isi yang akan datang melakukan X?'

(= pendengar MAU melaksanakan X)

b. Persyaratan Pendengar mampu 'DAPAT-KAH

persiapan menampilkan tindak- Anda melaku-

an kan X?'

(=pendengar MAMPU melakukan X)

c. Tanya jawab pendengar berdasarkan prasyarat untuk membuat permohonan

yang menghasilkan suatu permohonan tidak langsung.

Ada perbedaan yang pasti antara meminta seseorang untuk melakukan X

dan meminta seseorang jika prasya-ratnya untuk melakukan X ada pada

tempatnya, seperti dalam (24 c). Bertanya tentang prasyarat secara teknis

tidak diperhitungkan sebagai suatu pembuatan permohonan, tetapi pertanyaan

tadi membolehkan pendengar untuk bereaksi 'seolah-olah' permohonan

tersebut sudah dibuat. Karena sebuah permohonan itu merupakan se-buah

pembebanan penutur terhadap pendengar, dalam kebanyakan lingkungan

sosial. Bagi penutur lebih baik untuk menghindari pembebanan langsung itu

lewat permohonan langsung. Apabila penutur menanyakan tentang prasyarat,

maka tidak ada permohonan yang dibuat.


Pembahasan yang terdahulu pada dasarnya adalah mengenai seseorang

yang mencoba menyuruh orang lain untuk melakukan sesuatu tanpa adanya

risiko penolakan atau menyebabkan sakit hati. Akan tetapi, ripe situasi ini tidak

terdiri atas tuturan tunggal. Situasi ini merupakan situasi sosial yang

melibatkan pesertanya perlu memiliki hubungan sosial sejenisnya, dan yang

mungkin memiliki rujuan khusus pada kesempatan tertentu.

Kita dapat melihat seperangkat tuturan yang dihasil-kan dalam jenis situasi

ini sebagai suatu peristiwa tutur. Peristiwa tutur ialah suatu kegiatan di mana

para peserta berinteraksi dengan bahasa dalam cara-cara konvensional untuk

mencapai suatu hasil. Peristiwa ini mungkin termasuk suatu tindak tutur sentral

yang nyata, seperti 'Sungguh

saya tidak menyukai ini', seperti dalam peristiwa tutur 'keluhan', tetapi

peristiwa ini juga termasuk ruturan-turur-an lain yang mengarah padanya dan

sesudah itu bereaksi pada tindakan senrral tersebut. Pada kebanyakan kasus,

suaru 'permohonan' tidak dibuat dengan tindak tutur rung-gal yang secara tiba-tiba

diucapkan. Permohonan merupa-kan sebuah tindak tutur secara khusus, seperti

yang di-gambarkan dalam (25).

(25) Him : Oh, Mary. I'm glad you're here.

(Oh, Mary. Saya senang kau berada di sini)

Her : What's up?

(Ada apa?)

Him : I can't get my computer to work.

(Saya tidak dapat mengoperasikan kompu-

ter saya)
Her : Is it broken?

(Apakah komputermu rusak?)

Him : I don't think so.

(Saya kira tidak)

Her : What's it doing?

(Apa yang terjadi?)

Him : I don't know. I'm useless with computers.

(Saya tidak tahu. Saya tidak tahu tentang

komputer)

Her : What kind is it?

(Jenis komputer apa ini?)

Him : It's Mac. Do you use them?

(Komputer Mac. Apakah kau mengguna-

kannya?)

Her : Yeah. (Ya)

Him : Do you have a minute?

(Punya waktu sebentar?) Her : Sure.

(Tentu saja) Him : Oh, great.

(Oh, bagus)

Interaksi yang diperpanjang dalam (25) mungkin disebut suatu peristiwa tutur

'permohonan' tanpa adanya suatu tindak tutur sentral permohonan. Perhatikan bahwa

tidak ada permohonan yang jelas dari 'Dia laki-laki' ke-pada 'Dia perempuan' untuk

melakukan sesuatu. Boleh jadi kita menyiratkan pertanyaan 'Do you have a mi-
nute?'(punya waktu sebentar?) sebagai awal permohonan yang memungkinkan

penerima untuk berkata bahwa dia sibuk atau dia harus berada di tempat lain. Dalam

kon-teks ini, jawaban 'sure'(tentu saja) diambil sebagai suatu kata pengantar yang tidak

hanya mempunyai waktu yang tersedia, tetapi juga suatu keinginan/kemauan untuk

menampilkan tindakan yang dinyatakan. Analisis tentang peristiwa tutur dengan jelas

merupakan suatu cara mem-pelajari bagaimana lebih banyak sesuatu yang disampai-

kan daripada yang dikatakan.

Manfaat dari analisis tindak tutur ini ialah meng-gambarkan jenis-jenis

sesuatu yang dapat kita lakukan dengan kata-kata dan pengidentifikasian beberapa

bentuk-uturan konvensional yang kita gunakan untuk menampilkan tindakan khusus.

Akan tetapi, kita sangat perlu me-lihat lebih banyak interaksi yang diperpanjang

untuk memahami bagaimana tindakan-tindakan itu dilakukan dan diinterpretasikan

dalam peristiwa-peristiwa tutur.

A. P E N G A N T A R

Dalam bab ini akan dibahas secara khusus maksim kebijaksan ungkapan

kebijaksanaan. Sebagai bahan penunj'ang akan dibicarakan dahulu klasifikasi

tindak ilokusi berdasarkan fiingsi dan berdasarkar. yang beraneka ragam.

Sesudah itu, akan dibicarakan kebijaksanaan sejenis sopan santun, disambung


dengan paradoks santun, disambung paradoks santun pragmatik. Selanjutnya,

menyusul pembahasan m representasi semantik dari deklaratif interogatif dan

imperatif inte: impositif, gkala-skala pragmatik. Sebagai penutup, pembahasan

dia pada hubungan kebijaksanaan dengan sikap merendahkan diri.

B. KLASIFIKASI TINDAK ILOKUSI

Tindak ilokusi mempunyai beraneka ragam fiingsi dalam praktik kehi sehari-hari.

Berdasarkan bagaimana hubungannya dengan tujuan sosial menentukan dan

memelihara serta mempertahankan rasa dan sikap hi maka fungsi-fiingsi ilokusi

dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis,

1. Kompetitif : Tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial; mis;

memerintah, meminta, menuntut, mengemis, dan sebag

2. Konvivial : Tujuan ilokusi bersamaan atau bertepatan dengan t

sosial; misalnya: menawarkan, mengundang, menya menyapa,

mengucap terima kasih, mengucap selamat.

3. Kolaboratif : Tujuan ilokusi tidak mensacuhkan ai-o.

4. Konfliktif : Tujuan ilokusi bertabrakan atau bertentangan dengan tujuan

sosial, misalnya: mengancam, menuduh, mengutuk, menyumpahi,

menegur, mencerca, mengomeli.

(Leech, 1983: 105)


Apabila kita teliti benar-benar keempat fungsi di atas, hanya dua jenis yang

pertama saja yang sungguh-sungguh terlibat dengan kesopansantunan. Apabila

fungsi ilokusinya bersifat kompetitif, maka kesopansantunannya mempunyai

sifat negatif, dan tujuannya adalah mengurangi perselisihan yang tersirat dalam

persaingan antara apa yang ingin dicapai oleh pembicara (Pa), dan apa yang

merupakan 'cara atau gaya yang baik'. Sebenarnya tujuan-tujuan yang bersifat

kompetitif ini pada dasarnya tidak sopan, seperti menyuruh seseorang untuk

meminjami uang kepada Anda. Oleh karena itu, 'prinsip sopan santun' (PS)

dibutuhkan untuk meredakan atau mengurangi ketidaksopanan hakiki

tujuan tersebut.

Sebaliknya, fungsi kedua yang bersifat konvivial. Pada hakikatnya 'sopan';

kesopansantunan di sini mempunyai bentuk yang lebih positif dalam mencari

berbagai kesempatan untuk bersikap hormat. Kesopansantunan yang

positif mengandung makna menghormati atau menjalankan prinsip-prinsip sopan

santun. Misalnya, jika kita mempunyai kesempatan mengucapkan selamat atas ulang

tahunnya yang ke-75, maka kita seyogianya berbuat demikian.

Pada fiingsi ketiga bersifat kolaboratif, kesopansantunan itu sebagian besar tidak

relevan. Kebanyakan wacana tulis termasuk ke dalam kategori ini.

Pada fungsi keempat yang bersifat konfliktif, kesopansantunan itu sudah berada di

luar masalah, berada di luar pagar, karena pada hakikatnya ilokusi-ilokusi konfliktif

direncanakan untuk menimbulkan atau menyebabkan pelanggaran. Mengancam

atau memaki seseorang dengan cara sopan merupakan sesuatu yang kontradiksi: satu-
satunya cara untuk dapat mengerti hal itu dengan baik adalah dengan menganggap

bahwa 'pembicara' berbuat demikian secara ironis atau mengejek.

Pembagian di atas didasarkan pada fungsi. Seorangpakar kawakan dalam

bidang ini, J.R. Searle (1979), mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan

berbagai kriteria, seperti yang terlihat pada Gambar 4.2 berikut ini.

1. Asertif: melibatkan pembicara pada kebenaran proposisi Yang

diekspresikan, misalnya: menyatakan, memberitahukan,

menyarankan, membanggakan, mengeluh, menuntut.

melaporkan. Ilokusi-ilokusi yang seperti ini cenderung bersifat

netral dari segi kesopansantunan, dengan demikian dapat dimasukkan

ke dalam kategori kolaboratif. Namun, ada beberapa kekecualian,

misalnya membanggakan, menyombongkan yang pada umumnya

dianggap tidak sopan secara semantis, asertif bersifat proposisional.

2. Direktif: dimaksudkan untuk menimbulkan beberapa efek melalui

tindakan sang penyimak, misalnya: memesan, memerintah-kan,

memohon, meminta, menyarankan, menganjurkan, menasihatkan.

Semua ini seringkali termasuk ke dalam kategori kompetitif, dan

terdiri atas suatu kategori ilokusi-ilokusi di mana kesopansantunan

yang negatif menjadi penting. Sebaliknya, beberapa direktif (seperti

undangan) pada hakikatnya dianggap sopan. Perlu dicatat bahwa untuk

menghilangkan kebingungan dalam pemakaian istilah direktif

dalam hubungannya dengan 'direct and indirect illocutions', Leech


menganjurkan pemakaian istilah impositif bagi ilokusi-ilokusi kompetitif

dalam kelas ini.

3. Komisif: melibatkan pembicara pada beberapa tindakan yang akan

datang, misalnya: menjanjikan bersumpah, menawarkan,

memanjatkan (doa). Semua ini cenderung lebih bersifat konvivial

daripada kompetitif, dilaksanakan justru lebih memenuhi minat

seseorang daripada sang pembicara.

4. Ekspresif: mempunyai fungsi untuk mengekspresikan, mengungkap-

kan atau memberitahukan sikap psikologis sang pembicara menuju

suatu pernyataan keadaan yang diperkirakan oleh ilokusi. Misalnya:

mengucapkan terimakasih, mengucapkan selamat, memaafkan,

mengampuni, menyalahkan, memuji, menyatakan belasungkawa, dan

sebagainya. Seperti juga halnya komisif, maka semua ini juga

cenderung menjadi konvivial, dan oleh sebab itu pada hakikatnya

dianggap sopan. Akan tetapi sebaliknya juga dapat dibenarkan,

misalnya ekspresif-ekspresif seperti 'menyalahkan' dan 'menuduh'.

5. Deklaratif: adalah ilokusi yang 'bila performansinya berhasil akan

menyebabkan korespondensi yang baik antara isi pro-posisional

dengan realitas. Contoh: menyerahkan diri, memecat,

membebaskan, membaptis, memberi nama, menamai,

mengucilkan, mengangkat, menunjuk, menentukan,

menjatuhkan hukuman, menvonis, dan sebagainya. Semua

yang tersebut di sini merupakan kategori tindak ujar yang khas;

semua itu dilakukan oleh seseorang yang mempunyai wewenang


khusus dalam lembaga tertentu. Contoh klasik adalah hakim yang

menjatuhkan hukuman, pendeta yang membaptis anak-anak,

orang terkemuka yang menamai kapal, dan sebagainya. Apabila

ditinjau dari segi kelembagaan dan bukan hanya dari segi tindak

ujar, maka tindakan-tindakan tersebut dapat dikatakan hampir

tidak melibatkan kesopansantunan. Sebagai contoh, walaupun

tindakan menjatuhkan hukuman kepada seorang terdakwa tidak

selalu menyenangkan, namun sang hakim mempunyai

wewenang penuh untuk melakukannya. Oleh karena itu,

hampir tidak dapat dikatakan bahwa men^atuh.-kan hukuman

kepada seseorang itu 'tidak sopan'.

(Leech, 1983:106)

Demikian telah kita kemukakan dua cara atau dua pandangan untuk

mengklasifikasikan tindak ilokusi. Walaupun sudutpandangan berbeda, jelas,

terlihat persamaan antara keduanya; paling sedikit dapat dilihat adanya

keterkaitan atau kesesuaian antara lain:

a) antara asertif dan kolaboratif;

b) antara direktif (impositif) dan kompetitif;

c) antara komisif dan konvivial (kompetitif);

d) antara ekspresif dan konvivial.

C. KEBIJAKSANAAN DAN KESOPANSANTUNAN

Apakah dan bagaimanakah hubungan antara kebijaksanaan dan

kesopansantunan? Pernyataan ini wajar timbul dalam pikiran kita. Salah


satujawaban yang dapat dikemukakan ialah bahwa "kebijaksanaan adalah salah

satu ,enis atau aspek kesopansantunan." Dengan demikian, ada baiknya Ilka kita

menghubungkan aneka tindak ilokusi secara tepat dengan aneka jenis

kesopansantunan yang serasi.

Kalau kita jeli melihat kehidupan sehari-hari, maka akan nampak dengan

jelas bahwa apa yang sopan pada pihak pendengar atau penyimak, mungkin

saja tidak sopan pada pihak pembicara, dan sebaliknya. Dari pengalaman ini

jelas bagi kita bahwa pada hakikatnya kesopansantunan itu bersifat asimetris,

tidak setangkup, tidak seimbang, kedua belah bagiannya tidak sama.

Dasar kebenaran bagi ungkapan-ungkapan kesopansantunan, ialah dapatnya

ungkapan-ungkapan itu secara tepat menerangkan aneka asimetris yang seperti

itu, dan konsekuensi-konsekuensinya baik secara langsung maupun tidak

langsung. Pertama-tama kita harus menerangkannya dengan mengacu pada jenis

sopan santun apa yang paling pen ting dalam masyarakat penutur bahasa

Indonesia. Dengan perkataan lain: kita harus mengetahui benar-benar apa-apa

yang tercakup oleh operasi 'ungkapan kebijaksanaan' atau tact maxim.

Berdasarkan kategori tindak ilokusi yang dibuat oleh Searle (1979) maka yang

tercakup dalam ungkapan kebijaksanaan adalah direktif (atau impositifj dan

komisif, yang dalam konteks proposional X mengacu pada beberapa tindakan

atau aksi yang dilaksanakan masing-masing oleh penyimak atau pembicara.

Tindakan atau aksi ini dapat disebut A, dan dapat dievaluasi berdasarkan apa

yang dianggap oleh pembicara menjadi untung atau ruginya bagi pembicara atau

penyimak. Berdasarkan hal ini, maka X ('kata-kata tertentu yang diucapkan


dengan perasaan dan acuan tertentu' seperti: kamu membeli mangga, dan

sebagainya) dapat ditempatkan dalam skala rugi untung, seperti dalam contoh

berikut ini.

(1) Beli mangga itu.

(2) Ke sinikan koran itu.

(3) Duduk.

(4) Lihat itu.

(5) Nikmati liburanmu.

(6) Tambahi lagi nasinya, dong.

Pada beberapa butir yang kurang menentukan pada skala tersebut -

bergantung pada konteks - nilai yang relevan justru menjadi Iebih

'menguntungkan bagi Pk' daripada 'merugikan bagi Pk'; tetapi jelas, kalau

kita menjaga suasana rasa imperatif itu tetap konstan, maka terasa ada

peningkatan dalam kesopansantunan (sedang faktor lainnya tetap sama) pada

(l)dan(6).

Cara lain untuk menghasilkan suatu skala kesopansantunan adalah

menjaga kesamaan isi proposisional X (X = 'Kamu akan membeli mangga' dan

mempertinggi taraf kesopansantunan dengan mempergunakan lebih banyak

lagi jenis ilokusi tidak langsung. Ilokusi tak langsung cenderung lebih sopan

karena dua hal, yaitu:

(a) ilokusi tak langsung itu meninggikan taraf kefakultatifan.

(b) semakin tak langsung sesuatu ilokusi, semakin berkurang dan tentatif

pula kekuatannya.
Salah satu hal yang harus dijelaskan oleh pragmatik adalah Mengapa

beberapa ilokusi tak langsung berfungsi sebagai impositif sedangkan yang

lainnya tidak? Sebagai contoh (13) merupakan suatu tawaran (dan bukan

merupakan suatu impositif) karena kalimat itu secara tidak langsung

menyatakan bahwa 'duduk' itu merupakan keuntungan bagai penyimak:

(13) Tidak maukahAnda duduk?

(14) Tidak dapatkah Anda duduk?

(15) Tidak keberatankah Anda duduk?

Sebaliknya, khususnya (14) mempunyai suatu kekuatan impositif, sedangkan

(15) seakan-akan tidak dapat dipergunakan dalam flingsi komisif ataupun flingsi

impositif. Hal-hal lain yangperlu mendapatkan penjelasan di sini adalah:

(a) Mengapa penggunaan suatu strategi langsung, seperti penambahan

pengingkaran dalam (13) dan (14) masing-masing cenderung ke arah

yang lebih sopan (13) dan ke arah yang ke arah yang lebih sopan (14)

(b) Mengapa ilokusi-ilokusi tak langsung yang berbeda itu mempunyai

implikasi-implikasi emotif atau sikap yang berbeda pula, yang justru tidak

dapat diturunkan menjadi kesopanan yang bertaraf lebih sederhana?

Contoh berikut ini:

(16) Anda akan diam.

(17) Tak dapatkah Anda tutup mulut?

(18) Sayapasti tutup mulut (seandainya saya adalah Anda).

Semuanya merupakan impositif yang bertujuan agar penyimak diam; tetapi

ketiganya diformulasikan menyarankan suatu siasat yang berbeda dari segi


pembicara pada setiap kasus. Baik (16) yang menyarankan tegasnya perintah

militer, maupun (17) yang menyarankan kejengkelan yang keterlaluan terhadap

perilaku penyimak, sama-sama tidak sopan; sedangkan (18) lebih merupakan

saran persahabatan bagi keuntungan penyimak. Dengan demikian, dapat ditarik

kesimpulan bahwa kurang bermanfaat bila memperhatikan kalimat (7) - (12) dan

(16) - (18), korelasi antara ketaklangsungan dan kesopansantunan. Kita hams

mengatakan bukan hanya 'betapa' sopannya suatu ilokusi tertentu, tetapi 'mengapa'

sarana khusus ketaklangsungan menunjang suatu tujuan ilokusi tertentu. Sebagai

contoh dalam (7) - (12), taraf ketaklangsungan berkorelasi dengan taraf di mana

'penyimak' diizinkan membuat pilihan untuk tidak melaksanakan tindakan yang

diharapkan, yaitu 'menjawab telepon'. Sebenarnya, di sini, butir siasat

ketaklangsungan mencenderungkan impositif ke arah pilihan negatif, sehingga

menyebabkan jauh lebih mudah benar-benar bagi penyimak untuk mengatakan

'tidak'. Dengan cara ini, 'kesopansantunan negatif (yaitu melayani penolakan

kerugian bagi penyimak) justru ditingkatkan dan diperluas.

Memang terasa aneh memberikan kesopansantunan sebagai 'pengu-rangan

perasaan atau kepercayaan yang tidak sopan', walaupun dalam kenyataannya

pada celaan hal itu layak juga. Isi proposisional dari semua kalimat di atas

adalah 'tidak sopan' bagi 'penyimak' sepanjang hal itu mengaitkan beberapa

upaya, kesukaran, atau kerugian bagi 'penyimak'. Dengan mempergunakan

imperatif pada (1) dan (7), maka pembicara

mengungkapkan kepercayaan bahwa penyimak akan melaksanakan tindakan

itu. Tetapi sebaik unsur kesangsian keraguan atau kecondongan ke arah negatif

diperkenalkan serta diperbesar dalam contoh-contoh (9) - (12), maka ekspresi


kepercayaan bahwa penyimak akan melakukan tindakan itu diperkecil dan

diperlemah. (Leech, 1983: 107—9).

Seperti yang telah disinggung secara sepintas pada subbab 4 (prinsip

konversasi), terdapat dua sisi pada Ungkapan Kebijaksanaan, yaitu sisi negatif dan

sisi positif. Sisi negatif mengandung makna "kurangilah kerugian kepada

oranglain". Sisipositifnyaadalah "perbesarlahkeuntunganoranglain". Yangkedua

sebenarnya tidak begitu penting, tetapi merupakan suatu akibat yang wajar dan

alamiah dari yang pertama. Ini berarti bahwa dalam menawarkan beberapa

tindakan yang bermanfaat bagi penyimak, maka pembicara seyogianya

mencondongkan ilokusi ke arah suatu hasil yang positif, dengan jalan

membatasi kesempatan menyimak untuk mengatakan 'Tidak'. Suatu imperatif, yang

dalam efeknya tidak mengizinkan penyimak mengatakan 'Tidak' merupakan

suatu cara sopan untuk mengajukan suatu tawaran. Contoh:

Layani diriAnda.

Tambah lagi lauknya.

Senangkan diriAnda.

Bahkan kecondongan positif dapat diperbesar dengan penekanan yang

persuasif. Contoh:

Tolong, layani diri Anda. Mart, tambah lagi

lauknya. Ayo dong, senangkan diriAnda. Anda

'harus'makankueyanglainnya. Man, silakan cicipi


ayam goreng ini. Coba dulu dong, enak enggak?

Begitu dong, puaskan diriAnda.

Uraian di atas memperlihatkan betapa eratnya hubungan antara

'kebijaksanaan' dan 'kesopansantunan'. Jadi, tidak heran lagi ada pemeo orang tua yang

berbunyi: "orangyang bijaksana itu biasanya orang yang sopan santunjuga."

D. PARADOKS SANTUN PRAGMATIK

Orang dapat memperdebatkan bahwa dalam lingkaran 'kesopansantunan yang

ideal', penentuan kedua partisipan dalam wacana haruslah sama hormatnya

satu sama lain akan menimbulkan suatu kemunduran yang tiada terhingga dalam

'logika' perilaku percakapan. Mari kita andaikan a dan b dua orang partisipan, dan

4 marupakan suatu tindakan sopan yang a mau lakukan

kepada b; misalnya a mengadakan penawaran berikut.

(19) Marisaya bawakan tas itu buatAnda

Sebagai tambahan, mari kita andaikan bahwa baik a maupun b sama-

sama mematuhi Ungkapan Kebijaksanaan dengan sepenuhnya. Maka yang

berikut ini dapat menggambarkan secara garis besarnya kedua tingkatan

pertama kemunduran yang tiada terhingga itu:

(1) Suatu tazoaran diberikan oleh a:

(a) a mematuhi prinsip sopan santun (biasa)

(b) A menyenangkan bagi b (biasa)

OLEH KARENA ITU

(c) a (secara sopan) melibatkan


'a menginginkan^ terjadi' (dari a dan b dan PS)

(2) b menolak tawaran uang diberikan oleh a:

(d) b mematuhi PK (biasa)

(e) A tidak menyenangkan bagi a (biasa)

OLEH KARENA ITU

(f) b (secara sopan) melibatkan

'b tidak menginginkan/1 terjadi' (dari d, e, dan PS).

Kedua pelibat (c) dan (f) itulah yang dapat kita sebut sebagai ParadoksPragmatik:

suatu atribusi sikap yang bertentangan pada para partisipan dalam suatu

dialog. Akan tetapi, berdasarkan asumsi bahwa a dapat menginterpretasikan

kekuatan ucapan b, maka mungkinlah bagi a menarik kesimpulan dari (f) bahwa

karena b ingin mematuhi PK-lah maka b melibatkan bahwa b tidak

menginginkan/1 terjadi. Dengan perkataan lain, adalah mungkin bagi a

berkesimpulan bahwa (f) semata-mata dilibatkan demi kesopansantunan, dan oleh

karena itu maka 6 tidak menginginkan/1 terjadi. Oleh karena itu, sopan bagi a

mengulangi atau memperbaharui tawaran itu secara lebih tegas. Dengan demikian,

b tidak dapat beranggapan bahwa dari tawaran a maka pelibat (c) itu benar, karena

mungkin saja hal itu dilibatkan semata-mata demi kesopansantunan. Dengan

demikian, sopan bagai b untuk menolaknya sekali lagi. Rasa saling menghormati ini

akan berkesinambungan sampai salah seorang partisipan menyerah pada kesopanan

yang lebih tinggi dari yang seorang lagi.

Pada (a) dan (b) di atas, baris-baris (a) - (f) dapat dianggap sebagai

penggambaran bagian-bagian dari suatu analisis sarana - tujuan. Tetapi dari segi

pandangan interpretatif, hal itu merupakan bagian dari suatu analisis heuristik
di mana derivasi berlangsung dari arah yang berlawanan. Sebagai contoh, dari

pelibat (c), penyimak dapat menarik kesimpulan dari (a) bahwa pembicara

memang sopan. Akan tetapi secara lebih saksama lagi, pelibat atau

pengimplikasi kesopansantunan itu mungkin merupakan suatu 'mera-

implikator' yang mengandung suatu acuan bagi pengimplikasi lainnya. Jadi, dari

tawaran seperti (19) Man saya bawakan tas itu untuk Anda, maka suatu

pengimplikasi yang relatif langsung akan berupa:

(20) Pembicara ingin/mau membawakan tas penyimak.

Tetapi, dengan latar belakang pengetahuan, selama ada anggapan bahwa

membawakan tas itu tidak menyenangkan bagi pembicara, maka hal demikian

membimbing kita pada implikator atau pengimplikasi:

(21) Pembicara memang sopan.

Dan seterusnya dapat membimbing kita secara tidak langsung pada meta-

implikator:

(22) Hanya karena pembicara sopanlah maka pembicara melibatkan bahwa

'pembicara mau/ingin membawakan tas penyimak'.

Kesimpulan lebih lanjut yang dapat ditarik dari (22) ialah bahwa pembicara

mungkin saja melanggar Ungkapan Kualitas, yaitu bahwa implikator yang paling

langsung yang berupa 'pembicara mau/ingin membawakan tas penyimak' mungkin

saja salah. Masalah yang kita hadapi di sini adalah salah satu dari ketulusan atau

keseriusan perilaku sopan santun. Memang mungkin kita menarik kesimpulan

dari (21) tanpa mengambil langkah lebih lanjut pada (22) dengan implikasinya

bahwa pembicara mungkin tidak tulus, tidak ikhlas. Dengan perkataan lain,

adalah mungkin bagi suatu ucapan yang sopan diberi tafsiran sebagai kesopanan
yang sejati atau semata-mata sebagai kesopanan semu belaka. Interpretasi yang

terakhir akan jelas disenangi kalau semua fakta menyatakan bahwa (20) salah atau

keliru. Oleh karena itu, kalau (20) salah, maka penyimak dapat mengabaikan (20)

sebagai suatu alasan untuk menerima tawaran pembicara sebagai suatu sopan

santun biasa, dan jalan terbuka bagi suatu penolakan kesopanan, seperti

diindikasikan pada (b) di atas. Selanjutnya, penolakan ini dapat pula ditolak oleh

pembicara sebagai sesuatu yang tidak serius, dan permainan pingpong

percakapan pun dapat berlangsung terus.

Simpulan

1. Dalam Pragmatik bermacam – macam makna yang mungkin dikemukakan

dengan tujuan tertentu, Beberapa sejumlah aspek yang senatiasa dipertimbangkan

dalam studi pragmatik. Aspek aspek tersebut antara lain Pembicara/Penyimak,


Konteks Ujaran , Tujuan Ujaran , Tindak Ilokosi dan Ucapan sebagai Produk

Tindak Verbal.

2. Perbedaan antara Analisis Linguistik dan Analisis Pragmatik adalah terletak

pada aspek analisisnya. Jika pada analisis linguistic struktur yang dikaji adalah

aspek yang berhubungan dengan struktur kebahasaanya (fonologi, sintaksis,

semanttik, morfologi) sedangkan pada kajian pragmatik yang dikaji adalah situasi

tutur yang dapat menimbulkan makna sebenarnya secara tidak langsung ..

Saran

1. Untuk memahami yang dimaksudkan penutur , kita perlu memerhatikan situasi

tutur dan aspek aspek yang harus dipertimbangkan agar pemahaman penutur dan

lawan tutur dapat membuat interprestasi mengenai apa yang dimaksud penutur.

2. Perbedaan analisis linguistic dan analisis pragmatic dalam mengkaji sebaiknya

melihat aspek – aspek analisisnya.

Anda mungkin juga menyukai