Anda di halaman 1dari 13

Komprehensi dan Permasalahannya

Evinovia Nainty Ayuningtyas


Linguistik Terapan Pascasarjana UNY
2015

A. Pertanyaan Kajian
1. Apakah perbedaan proses membaca dan proses menyimak?
2. Bagaimana cara manusia memproses suatu ujaran?
3. Apa sajakah masalah yang kerap kali muncul selama proses mendengarkan?
4. Bagaimana cara mengatasi masalah tersebut?
5. Apakah ambiguitas digunakan secara sengaja atau tidak sengaja?
6. Bagaimana manusia memproses kalimat ambigu?
7. Adakah level dalam ambiguitas?
8. Bagaimana cara mengurai kalimat ambigu?
9. Bagaimana pengetahuan diperoleh?
10. Apa itu Universal Grammar?
11. Apa hubungan antara pembentukan dan pemahaman ujaran?
12. Apakah peran pengetahuan dalam proses pemahaman ujaran?
13. Bagaimana gagal paham dapat terjadi?
14. Bagaimana cara mengatasi gagal paham tersebut?
B. Outline Kajian
Proses menyimak
1. Perbedaan membaca dan menyimak
2. Proses penafsiran ujaran
3. Masalah dalam mendengarkan
4. Solusi masalah mendengarkan
Ambiguitas
1. Ambiguitas dalam berbahasa
2. Pemrosesan kalimat ambigu
3. Level ambiguitas
4. Mengurai kalimat ambigu
5. Dua jenis konteks
Pemerolehan pengetahuan
1. Pemerolehan bahasa menurut beberapa aliran
2. Konsep Universal Grammar Chomsky
Gagal paham
1. Hubungan antara pembentukan dan pemahaman ujaran
2. Peran pengetahuan dalam proses pemahaman ujaran
3. Gagal paham
4. Solusi masalah gagal paham
C. Pembahasan
1. Proses Menyimak

Pada level yang lebih tinggi dari proses pemahaman, terjadi kesejajaran yang
kuat antara mendengarkan dan membaca (Field, 2003: 30). Sebaliknya, Field
menambahkan, pada level yang lebih rendah, pemrosesan keduanya tidak sebanding.
Hal tersebut dikarenakan bentuk materi yang tersedia dalam proses mendengarkan
sangat berbeda dari materi yang ada pada proses membaca. Pada proses membaca,
pembaca disediakan serangkaian kata yang terpisah satu sama lain, namun tidak
demikian dengan mendengarkan. Pada proses mendengarkan, pendengar akan
disuguhi ucapan yang kata per katanya saling bersambungan.
Pada beberapa situasi tertentu, pendengar tidak hanya akan mendengar
serangkaian kata yang diucapkan pembicara. Di sela-sela ujaran, terkadang
pembicara akan, dengan atau tanpa sengaja, memasukkan isyarat non-bahasa,
misalnya suara batuk. Ketika dihadapkan pada situasi tersebut, sistem pemahaman
manusia akan memproses bahasa dan isyarat non-bahasa tersebut sebagai input
yang berbeda, dengan demikian efek dari gangguan tersebut akan berkurang dan
tidak mengganggu proses pemahaman (Warren, 2013: 105). Warren menambahkan
bahwa pemahaman manusia terhadap ujaran juga dipengaruhi oleh kesinambungan
sinyal atau suara yang diterima. Maksudnya adalah pendengar akan mendengar
dengan lebih baik jika ucapan disuarakan berkesinambungan oleh satu sumber suara.
Kesimpulan ini diambil berdasarkan fenomena cocktail party effect dimana manusia
dapat memfokuskan pendengarannya pada satu sumber suara meskipun sedang
berada di tengah keramaian dengan berbagai percakapan lain berlangsung di
sekelilingnya.
Treisman (via Warren, 2013: 108) telah menguji cocktail party effect ini dengan
menggunakan headphone yang masing-masing stereonya menghasilkan bunyi yang
berbeda satu sama lain. Seseorang diminta menggunakan headphone tersebut
kemudian diinstruksikan untuk mendengarkan apa yang diucapkan oleh stereo
sebelah kiri. Di tengah-tengah proses mendengarkan, stereo ditukar, sehingga bunyi
yang tadinya dihasilkan stereo kiri berganti dihasilkan oleh stereo sebelah kanan.
Ternyata perhatian orang tersebut turut berpindah mengikuti suara ke stereo sebelah
kanan. Ketika kemudian diminta untuk mengulang kembali apa yang telah didengar,
selain mengulang kalimat yang keluar dari stereo sebelah kiri, orang tersebut juga
menyebutkan beberapa kalimat yang dihasilkan stereo sebelah kanan.
Terdapat dua pendapat yang mendebatkan proses pemahaman ujaran
berdasarkan tingkat keterlibatan pendengar sebagai pembicara, yaitu pemahaman
ujaran secara pasif dan pemahaman ujaran secara aktif (Warren, 2013: 108-109).
Pendapat tentang model pemahaman pasif mengasumsikan bahwa manusia memiliki
sistem penyimpanan pola, yang dengannya manusia akan mencocokkan ujaran yang
didengarnya. Model pemahaman aktif berpendapat bahwa pemahaman manusia
terhadap suatu ujaran dipengaruhi oleh kemampuan mereka sebagai penghasil
ujaran. Dengan kata lain, pendengar akan mencocokkan ujaran yang diterimanya
dengan pola yang dihasilkan pendengar itu sendiri ketika berada pada posisi sebagai
penghasil ujaran.
Terkait dengan permasalahan dalam proses mendengarkan, Field (2003: 3031) merumuskan enam masalah pokok.
a. Masalah linearitas (the linearity issue). Rangkaian fonem yang terbentuk dalam
bahasa lisan tidak sama dengan rangkaian huruf dalam bahasa tulis. Jika hurufhuruf dalam bahasa tulis dapat diuraikan dengan mudah karena batasan1

b.

c.

d.

e.

f.

batasannya yang jelas, fonem dalam bahasa lisan sulit untuk diketahui awal dan
akhirnya. Field mencontohkan dengan kata cat (simbol fonetik: /kt/). Fonem /k/
pada kata tersebut tidak diketahui dimana akhirnya karena bercampur dengan
fonem selanjutnya yaitu //. Begitu pula dengan // yang bercampur dengan /t/.
Masalah non-variansi (the non-invariant issue). Karena adanya efek
percampuran (blending effect) seperti yang telah diuraikan pada poin pertama,
tidak ada bunyi asli dari suatu fonem. Misalnya, bunyi /k/ pada kata kill dan cool
tidak sama karena bunyi tersebut dibentuk oleh bunyi yang muncul sebelum
atau setelahnya.
Masalah normalisasi (the normalisation issue) Masalah ini muncul akibat
ketidaksamaan bunyi yang dihasilkan oleh setiap orang. Variasi ini muncul
karena beberapa sebab, antara lain perbedaan ukuran, bentuk, dan posisi alat
ucap, adanya aksen, perbedaan nada suara antara laki-laki dan perempuan, dan
perbedaan kecepatan berbicara.
Masalah akomodasi (the accommodation issue). Pembicara terkadang
mengalami kesulitan ketika berpindah dari artikulasi yang satu ke artikulasi yang
lain, terutama pada saat mengucapkan bunyi dari serangkaian konsonan (misal
ketika mengucapkan /ndm/ pada frasa tinned meat). Pada situasi demikian,
pembicara biasanya akan menyingkat dan menyesuaikan bunyi pertama
terhadap bunyi selanjutnya; bisa dengan asimilasi (green paint [gri:npent]
diucapkan [gri:m pent]) atau dengan elisi (next spring [nekstspr] diucapkan
[nekspr]).
Masalah segmentasi leksikal (the lexical segmentation issue). Tidak ada
pemisahan antar kata yang konsisten dalam bahasa lisan, seperti yang terdapat
dalam bahasa tulis.
Masalah penyimpanan (the storage issue). Dalam bahasa tulis, ketika
mengalami kesulitan dalam memahami kalimat, pembaca dapat kembali lagi dan
membaca bagian yang tidak dipahaminya. Hal ini tidak dapat diterapkan dalam
proses mendengarkan. Untuk memahami ucapan lawan bicara, pendengar
hanya dapat bergantung pada gambaran mental dari ucapan yang diterimanya.

Untuk mengatasi enam masalah di atas, Field (2003: 31-33) menawarkan


beberapa solusi. Berkaitan dengan masalah non-variansi, pendengar dapat
mengatasinya dengan menggunakan teori motor (motor theory) yang diusulkan oleh
Liberman. Teori ini menyebutkan bahwa pendengar dapat menginterpretasikan bunyi
yang didengar dalam ujaran dengan cara menghubungkannya dengan gerakan yang
mereka lakukan ketika mengucapkan kalimat yang sama. Teori ini sejalan dengan
McGurk Effect dalam hubungannya dengan isyarat visual. Warren (2013: 106-107)
menyebutan bahwa isyarat visual memiliki hubungan yang erat dengan pendengaran,
sehingga akan saling melengkapi. Jika, karena suatu hal, isyarat visual dan bunyi
yang dihasilkan tidak cocok, pendengar akan menggabungkan keduanya dalam
persepsi yang berbeda dari kedua isyarat yang seharusnya, yang dengannya
penafsiran akan ditarik. Pernyataan tersebut dicetuskan oleh McGurk dan
MacDonald setelah penelitian keduanya menunjukkan bahwa ketika seseorang
diperdengarkan suku kata /ba/ dan pada saat yang bersamaan diperlihatkan isyarat
visual dari suku kata /ga/, penafsiran yang dihasilkan pendengar adalah suku kata
/da/.
2

Solusi lain untuk mengatasi masalah menyimak di atas adalah dengan


mengaplikasikan memori yang telah tertanam pada otak seseorang. Otak manusia
menyimpan representasi fonem dari bahasa yang digunakan sehingga memunginkan
untuk membuat dan memproses tanda dalam tingkat variasi yang tinggi (Field, 2003:
33). Fonem yang tersimpan dalam otak tersebut hanya berbentuk prototip, versi ideal
dari sebuah bunyi. Dengan prototip tersebut, pendengar akan mencocokkannya
dengan tanda bunyi yang ditangkap. Meskipun demikian, teori terbaru mengenai
sistem penyimpanan ini mengatakan bahwa tidak hanya satu bunyi ideal, manusia
mungkin saja menyimpan sekian contoh dari satu bunyi yang sama. Misal, terdapat
berbagai versi suara untuk bunyi //, untuk berbagai konteks fonologi (sebelum /t/
atau setelah /k/).
2. Ambiguitas
Meskipun tidak dilakukan secara sadar, ambiguitas tersebar luas dalam
penggunaan bahasa (Kess dan Hoppe, 1981: 5). Lebih lanjut, Kess dan Hoppe
bahkan menegaskan bahwa akan sulit sekali bagi seseorang untuk menemukan
kalimat normal yang sama sekali tidak mempunyai kemungkinan memiliki penafsiran
ganda. Pemikiran tersebut sangat masuk akal. Dalam percakapan sehari-sehari,
misalnya, seseorang tidak akan berpikir apakah kalimat yang diucapkannya memiliki
potensi untuk ditafsirkan oleh pendengar secara berbeda dari yang seharusnya. Dia
hanya akan berucap sesuai keinginan dan kebutuhan, menggunakan kalimat yang
telah biasa diucapkan. Kalimat Kemarin ayah mengantar ibu dan adik membeli baju
baru adalah salah satu contoh kalimat yang sering terdengar dalam kehidupan
sehari-hari. Ketika diperdengarkan kalimat tersebut, kebanyakan orang akan
langsung berpikir bahwa ibu dan adiklah yang diantar ayah untuk membeli baju baru,
walaupun kalimat tersebut juga dapat diartikan hanya ibulah yang diantar ayah
sedangkan adik pergi sendiri untuk membeli baju.
Dalam beberapa kasus, ambiguitas digunakan secara sengaja. Kess dan Hoppe
(1981: 11) mencontohkan dua situasi dimana kasus tersebut ditemukan: dunia
periklanan dan studi etnografi. Dalam dunia periklanan, ambiguitas sering digunakan
untuk menarik perhatian pelanggan sekaligus menghindarkan si pembuat iklan untuk
berbohong. Di sisi lain, ambiguitas sering digunakan untuk membuat ucapan lebih
sopan dalam beberapa kebudayaan, terutama ketika meminta seseorang melakukan
sesuatu. Misalnya, dalam kalimat Bisakah kamu membuka pintu? terdapat dua
makna yang dapat disimpulkan; yang pertama adalah menanyakan kemampuan
seseorang dalam membuka pintu, yang kedua meminta seseorang untuk
membukakan pintu. Dalam konteks umum, makna kedua adalah yang sering
digunakan, kecuali jika si pembicara sedang berbicara kepada anak kecil atau
seseorang yang kemampunannya dalam membuka pintu diragukan.
Mengenai pemrosesan kalimat ambigu, Kess dan Hoppe (1981: 7-8)
melemparkan beberapa pertanyaan, diantaranya adalah dalam memproses kalimat
ambigu, apakah seseorang akan memproses seluruh kemungkinan arti kalimat,
kemudian akhirnya memilih salah satu selama proses pemahaman, atau kalimat
ambigu tersebut diperlakukan sebagaimana kalimat normal yang hanya memiliki satu
arti. Terdapat dua hipotesis untuk menjawab pertanyaan tersebut, yaitu multiple
reading hypothesis (hipotesis pemaknaan jamak) dan single reading hypothesis
(hipotesis pemaknaan tunggal). Olson dan Mackay (via Kess dan Hoppe, 1981: 44),
3

yang menganut multiple reading hypothesis, menyebutkan dua cara pemrosesan.


Mereka berpendapat bahwa seseorang akan memproses kedua pemaknaan secara
bersamaan tanpa adanya interaksi di antara keduanya; atau kedua pemaknaan
tersebut diproses secara bersamaan, saling berkompetisi, sampai akhirnya salah satu
dipilih sebagai makna yang benar. Di sisi lain, ahli bahasa penganut single reading
hypothesis berpendapat bahwa dalam satu waktu, hanya ada satu pemaknaan yang
dimiliki sebuah kalimat, dan pemaknaan tersebut yang dikirim ke memori jangka
pendek seseorang untuk dijadikan referensi ketika analisis kalimat tersebut dilakukan.
Kess dan Hoppe mengelompokkan ambiguitas dalam dua level, yaitu level
leksikal (lexical level) dan sintaksis (syntactic level). Mackay dan Bever (via Kess dan
Hoppe, 1981: 30) menyebutkan ambiguitas dalam level leksem adalah hasil dari kata
atau susunan kata yang memiliki lebih dari satu makna. Contoh yang digunakan
Mackay dan Bever adalah kalimat The sailors enjoyed the port. Kata port dalam
bahasa Inggris memiliki lebih dari satu arti, yaitu pelabuhan dan anggur. Tidak ada
yang janggal jika kedua makna tersebut diterapkan pada kalimat di atas: pelaut dapat
menikmati suasana pelabuhan, pelaut juga dapat menikmati anggur.
Sebagian besar kata penyebab ambiguitas adalah kata serupa yang memiliki
makna lebih dari satu, sehingga sangat sulit untuk menemukan contoh ambiguitas
dalam level leksem yang bukan merupakan polisemi (Kess dan Hoppe, 1981: 78).
Meskipun demikian, Kess dan Hoppe juga menyebutkan bahwa kalimat ambigu
sering ditemukan pada kalimat yang mengandung frasa kata kerja negatif dan kata
penunjuk kuantitas. Kess dan Hoppe menggunakan kalimat McCawley sebagai
percontohan: John almost killed Harry. Kata almost (hampir) yang terdapat dalam
kalimat tersebut dapat memunculkan tiga penafsiran: pertama, John diam-diam
berencana membunuh Harry, dan hampir benar-benar akan membunuhnya, kedua,
John benar-benar menjalankan rencananya, menarik pelatuk, tapi pelurunya meleset,
dan ketiga, John menjalankan rencana pembunuhannya, menarik pelatuk, peluru
mengenai Harry namun hanya berhasil melukainya, dan akhirnya Harry berhasil
sembuh dan tetap hidup.
Ambiguitas dalam level sintaksis dibagi menjadi dua level. Pertama, ambiguitas
pada permukaan struktur kalimat (surface structure ambiguity). Menurut Mackay dan
Bever (via Kess dan Hoppe, 1981: 31) ambiguitas pada level ini disebabkan oleh dua
kata berdekatan yang termasuk dalam kelompok sintansis yang berbeda. Contoh
kalimat untuk ambiguitas level ini adalah The cute childs dress drew everyones
attention (Kess dan Hoppe, 1981: 31). Kata cute, childs, dan dress yang susunannya
berdekatan pada kalimat tersebut dapat memicu dua penafsiran: gaun yang
dikenakan anak manis itu menarik perhatian semua orang, atau gaun anak yang
modelnya manis yang menarik perhatian semua orang. Ambiguitas pada level ini
dapat diatasi dengan menyertakan jeda dan intonasi pada pengucapannya.Jika jeda
ditambahkan setelah kata childs, penafsiran pertamalah yang tepat digunakan.
Begitu pula jika jeda diletakkan setelah kata cute, maka maksud dari pembicara
adalah penafsiran kedua.
Kedua, ambiguitas pada struktur yang lebih dalam (deep structure ambiguity).
Kess dan Hoppe (1981: 15) menjelaskan bahwa ambiguitas pada level ini tergantung
pada hubungan logis antar item yang ada dalam kalimat. Misalnya, pada kalimat
Visiting relatives can be nuisance (Kess dan Hoppe, 1981: 15), terdapat dua
penafsiran yang dapat ditarik. Yang pertama adalah keluarga yang datang
4

berkunjung dapat menyusahkan, dan yang kedua mengunjungi keluarga bisa


menyusahkan. Ambiguitas pada level ini tidak dapat diatasi hanya dengan
menambahkan intonasi dan jeda pada kalimat. Gambaran situasi yang sesuai dapat
disertakan untuk membuat makna kalimat menjadi lebih jelas. Jika kalimat tersebut
diucapkan ketika ada anggota keluarga lain yang sedang datang mengunjungi
seseorang, maka maksud kalimat tersebut adalah penafsiran yang pertama. Namun
jika kalimat tersebut diucapkan ketika orang tua seseorang memaksanya untuk ikut
berkunjung ke rumah anggota keluarga lain, maka penafsiran kedualah yang tepat.
Dalam hal ini, konteks menjadi sangat penting untuk mendapatkan penafsiran yang
tepat.
Mackay dan Bever (via Kess dan Hoppe, 1981: 30) berpendapat ambiguitas
pada level leksikal merupakan yang paling mudah diuraikan, kemudian diikuti
ambiguitas pada permukaan struktur kalimat, dan yang paling sulit adalah ambiguitas
pada level struktur yang lebih dalam. Namun demikian, pendapat tersebut disangkal
oleh Hoppe dan Kess (1980: 38) dengan mengatakan bahwa tingkat kesulitan
tersebut tidak dapat diaplikasikan pada semua bahasa. Dalam penelitiannya
mengenai ambiguitas pada bahasa Jepang, Hoppe dan Kess menemukan bahwa
tingkat kesulitan terendah terdapat pada level permukaan struktur kalimat, diikuti
leksem-beda (lexical-different), level struktur yang lebih dalam, dan terakhir leksemsama (lexical-same). Dua tipe ambiguitas pada level leksem tersebut mungkin terjadi
karena susunan sistem penulisan dalam bahasa Jepang (Kess dan Hoppe, 1981: 38).
Kemampuan menguraikan kalimat ambigu merupakan bagian penting dari
kompetensi linguistik yang dimiliki penutur asli suatu bahasa (Kess dan Hoppe, 1981:
5). Terdapat dua cara, menurut Kess dan Hoppe, yang dapat dilakukan untuk dapat
menguraikan kalimat ambigu sehingga diperoleh penafsiran yang tepat. Pertama,
dengan menambahkan isyarat akustik. Isyarat akustik adalah isyarat yang
berhubungan dengan suara dan pendengaran. Oleh karena itu, isyarat akustik hanya
dapat diterapkan untuk mengurai ambiguitas pada komunikasi lisan.
Kedua, dengan menambahkan batasan semantik. Oden via Kess dan Hoppe
(1981: 61) mengusulkan dua cara dalam penambahan batasan semantik pada
kalimat ambigu. Pertama, dengan mengganti kata penting dalam kalimat.
Penggantian kata penting tersebut dapat mengurangi kemungkinan kesamaan
penafsiran pada ambiguitas level permukaan struktur kalimat (Oden via Kess dan
Hoppe, 1981: 61). Oden mencontohkan kalimat The girl saw the boy with the
binoculars. Kalimat tersebut memiliki dua penafsiran: seorang gadis melihat anak lakilaki dengan menggunakan teropong, atau seorang gadis melihat anak laki-laki yang
sedang memegang teropong. Ambiguitas tersebut dapat diatasi dengan mengganti
kata saw (melihat) dan boy (anak laki-laki). Jika kata saw diubah menjadi touched
(menyentuh), dan kalimat itu menjadi The girl touched the boy with the binoculars,
maka tentu penafsiran anak laki-laki yang sedang memegang teropong adalah yang
tepat. Begitu pula jika kata boy diganti menjadi dog (The girl saw the dog with the
binoculars), penafsiran yang tepat adalah gadis itu melihat anjing dengan
menggunakan teropong, karena pada kondisi normal, tidak mungkin seekor anjing
dapat menggunakan teropong. Kedua, dengan menambahkan batasan konteks
semantik sebelum kalimat. Masih menggunakan kalimat The girl saw the boy with the
binoculars, Oden mencontohkan: As the crippled girl scanned the park from her
apartment window, her efforts were quickly rewarded. The girl saw the boy with the
5

binoculars. Dengan konteks gadis itu mengamati taman dari jendela apartemennya,
maka penafsiran bahwa gadis itu mengamati menggunakan teropong menjadi lebih
masuk akal dari pada anak laki-laki yang memegang teropong.
Sehubungan dengan konteks, Kess dan Hoppe (1981: 62-63) menyebutkan dua
jenis konteks, yaitu konteks pragmatik dan konteks linguistik. Konteks pragmatik
adalah seluruh skenario batasan kontekstual yang darinya informasi dan kesimpulan
dapat diambil dengan tidak disengaja. Terdapat dua tipe batasan pragmatik, yaitu
batasan yang berhubungan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, dan
batasan yang berhubungan dengan fakta dan situasi yang darinya kesimpulan dapat
ditarik (Kees dan Hoppe, 1981: 89-90). Contoh kalimat yang digunakan Kess dan
Hoppe adalah Johns uncle showed him a whole roomful of walking sticks. Frasa
ambigu pada kalimat tersebut adalah walking sticks, yang dapat berarti tongkat yang
digunakan untuk berjalan, dan tongkat yang dapat berjalan. Sesuai dengan
pengetahuan yang telah dimiliki, seseorang akan menyimpulkan bahwa walking sticks
adalah tongkat yang digunakan untuk berjalan, karena dalam dunia nyata tidak ada
tongkat yang dapat berjalan sendiri tanpa ada yang menggerakkan. Namun, jika
seseorang sedang berjalan-jalan di toko mainan yang penuh dengan pohon yang
berbicara dan anjing terbang, maka penafsiran walking sticks sebagai tongkat yang
dapat berjalan sendiri tanpa ada yang menggerakkan menjadi mungkin.
Konteks linguistik, menurut Kess dan Hoppe (1981: 90), adalah item linguistik
yang melingkupi kalimat, yang dapat memberikan informasi yang mencukupi untuk
dapat diringkas dan disimpan sebagai referensi ketika memproses konteks tersebut.
Jumlah konteks linguistik dapat berupa satu kata atau bahkan satu paragraf.
Meskipun demikian, Kess dan Hoppe berpendapat bahwa konteks linguistik yang
hanya terdiri dari satu kata tidak cukup untuk dapat mempersempit kemungkinan
adanya penafsiran jamak. Hal tersebut dikarenakan selalu ada kemungkinan satu
kata yang merupakan konteks tersebut juga mengandung makna ganda.
3. Pemerolehan Pengetahuan
Studi tentang asal dari pengetahuan adalah cabang dari filsafat, yaitu
epistemologi; para ahli psiolinguistik tertarik pada epistemologi karena bahasan
epistemologi terkait dengan bagaimana sebuah pengetahuan khusus, yaitu
pengetahuan tentang bahasa, diperoleh (Steinberg dan Sciarini, 1993: 199).
Pemahaman tentang bagaimana pengetahun bahasa tersebut diperoleh dan
berkembang dalam otak seorang anak, dapat didapat melalui pemahaman tentang
beberapa aliran filsafat, antara lain empirisme, rasionalisme, behaviorisme, dan
fungsionalisme filsafat.
Behavioris memperdebatkan tentang pikiran manusia yang keberadaannya tidak
dapat dibuktikan (Field, 2003: 17). Salah satu cabang behaviorisme yang cukup
konsisten dengan postulat tersebut adalah materialism. Kemunculan materialisme
telah ada sejak zaman Yunani kuno dengan Epicurus dan Stoics sebagai
penganutnya (Steinberg dan Sciarini, 1993: 200). Lebih lanjut, Steinberg dan Sciarini
memaparkan pendapat beberapa tokoh pendukung materialisme, antara lain John B.
Wason, Skinner dan Osgood, dan Ryle dan Quine. Menurut John B. Watson pikiran
dan kesadaran tidak relevan dengan ruang lingkup bahasan psikologi. Skinner dan
Osgood berpendapat bahwa pikiran memang ada, namun tidak memiliki pengaruh
terhadap tingkah laku. Ryle dan Quine juga berpendapat sama: objek studi psikologi
6

seharusnya bukan pikiran, namun gerak tubuh yang memengaruhi perilaku. Mereka
menambahkan, pikiran dan proses mental dapat dimasukkan ke dalam fungsi fisik
tubuh.
Selain materialisme, terdapat epipenomenalisme dan reduksionisme yang
memiliki cara pandang serupa dengan behaviorisme. Steinberg dan Sciarini (1993:
202) menguraikan pendapat epipenomenalis: meskipun tubuh dan pikiran itu ada,
pikiran hanya merefleksikan apa yang terjadi pada tubuh. Ryle menyangkal pendapat
Descartes tentang interaksi tubuh dan pikiran (Ryle menggunakan istilah ghost in the
machine untuk menggambaran pendapat Descartes) dengan mengatakan: mesin
(tubuh) dapat menghasilkan hantu (pikiran), namun hantu tidak akan bisa memberi
efek pada tingkah laku manusia. Lebih lanjut, Steinberg dan Sciarini menjelaskan
bahwa para pendukung reduksionisme berpendapat pikiran dapat bergabung dengan
fisik (tubuh). Filsuf Belanda Spinoza mendukung aliran ini dengan mengatakan
bahwa pikiran dan tubuh adalah dua aspek dalam satu realitas. Pandangan Spinoza
tersebut bertentangan dengan pandangan epipenomenalis yang mengatakan tubuh
adalah keberadaan yang paling utama.
Satu aliran lain yang serupa dengan behaviorisme adalah fungsionalisme filsafat.
Fokus studi dari fungsionalisme adalah tingkah laku, otak, dan fungsi mesin
(Steinberg dan Sciarini, 1993: 204). Steinberg dan Sciarini mencontohkan, selama
fungsi kalkulator sama dengan fungsi otak manusia dalam memecahkan masalah
hitungan, fungsionalis memiliki dasar untuk mengatakan bahwa kalkulator dapat
memiliki kondisi mental dan pengalaman seperti halnya manusia.
Sama seperti materialisme, mentalisme juga telah ada sejak Yunani kuno,
dengan tokoh antara lain Aristoteles, Locke, dan Descartes (Steinberg dan Sciarini,
1993: 200). Berbeda dari materialisme, esensi dari aliran mentalisme adalah pikiran
sebagai wujud yang sangat berbeda dari benda. Menurut mentalis, terdapat dua hal
pokok di dunia ini, yaitu materi dan mental. Memahami pikiran dan kesadaran
merupakan syarat untuk dapat memahami kecerdasan manusia, terutama tentang
pemerolehan bahasa. Dua hubungan dasar antara pikiran dan tubuh dalam kaitannya
dengan rangsangan lingkungan dan respon tingkah laku dibahas oleh aliran
interaksionisme dan idealisme.
Steinberg dan Sciarini (1993: 201) menjelaskan pendapat interaksionis: tubuh
dan pikiran berinteraksi sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat mengontrol
gerak satu sama lain. Contoh tubuh mengontrol pikiran adalah ketika terjadi aktivasi
reseptor rasa sakit pada tubuh ketika seseorang tertusuk jarum. Kejadian tersebut
memicu timbulnya perasaan sakit pada pikiran. Contoh pikiran mengontrol tubuh
adalah saat seseorang sedang memangkas pepohonan di taman, dan kemudian
pikirannya memutuskan untuk memotong satu pohon tertentu. Jika dia benar-benar
memangkas tumbuhan tersebut, maka pikiran orang itu telah mengontrol tubuhnya.
Pendapat interaksionis tersebut sejalan dengan pendapat Descartes yang
mengatakan bahwa tingkah laku seseorang merupakan hasil dari tubuh yang
bertingkah sendiri tanpa campur tangan pikiran (seperti ketika bernafas dan
beredarnya darah ke seluruh tubuh) atau hasil interaksi tubuh dan pikiran (misal
ketika seseorang mengangkat tangan). Di sisi lain, idealis seperti Plato, Berkeley, dan
Hegel berpendapat bahwa pikiran adalah satu-satunya hal di dunia ini. Tubuh dan
bentuk fisik lain hanyalah konstruksi pikiran. Dunia ada hanya di dalam pikiran sadar
suatu individu dengan mental sebagai satu-satunya substansi sejati.
7

Berkaitan dengan aliran mentalisme, Steinberg dan Sciarini (1993: 205) juga
menjelaskan tentang konsep inteligensi empirisme dan pengetahuan bawaan yang
digagas oleh rasionalis. Penganut empirisme percaya bahwa manusia mempunyai
pikiran. Pikiran ini memiliki hubungan dengan tubuh, namun keduanya tidak sama
satu sama lain karena pikiran memiliki kesadaran, dan kesadaran dapat
menggunakan pikiran untuk mengontrol tingkah laku. Oleh karena itu, menurut
penganut empirisme, untuk dapat memahami tingkah laku manusia, termasuk di
dalamnya ujaran, perlu dilakukan studi tentang apa yang mengontrol tingkah laku
tersebut, yaitu pikiran. Steinberg dan Sciarini memaparkan dua pandangan berbeda
empiris terhadap inteligensi. Pertama, inteligensi didapat dari pengalaman. Pandangn
ini ditekankan oleh pernyataan Locke: ketika lahir, pikiran manusia kosong;
pengalamanlah yang menanamkan pemikiran dan mengembangkan inteligensi dari
pemikiran tersebut. Kedua, inteligensi adalah bawaan lahir. Putnam mengatakan
bahwa manusia terlahir dengan inteligensi yang berkembang melalui evolusi.
Pandangan rasionalis mengatakan bahwa pemikiran dasar (Tuhan) telah ada di
dalam pikiran sejak lahir; untuk dapat mengaktifkan pemikiran tersebut, seseorang
harus menghubungkan akal dengan pengalaman (Steinberg dan Sciarini, 1993: 207).
Plato, Descartes, dan Leibnitz menambahkan bahwa selain pengalaman, pergerakan
akal juga dibutuhkan untuk dapat memfungsikan pengetahuan bawaan. Lebih lanjut,
Descartes berasumsi bahwa Tuhanlah yang meletakkan pikiran dalam otak manusia.
Dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa, Chomsky berpendapat bahwa
manusia memiliki gagasan bahasa bawaan yang bernama Universal Grammar.
Steinberg dan Sciarini (1993: 208) menjelaskan lebih dalam mengenai konsep
Universal Grammar yang diusulkan Chomsky. Menurut Chomsky, manusia dilahirkan
dengan otak yang dilengkapi pengetahuan bawaan tentang beberapa bidang yang
berbeda; salah satunya adalah bidang bahasa. Pengetahuan bahasa bawaan yang
melingkupi kecakapan berbahasa adalah yang disebut Chomsky sebagai Universal
Grammar. Chomsky menyebutnya universal karena setiap manusia yang dilahirkan
memiliki Universal Grammar. Chomsky juga berpendapat bahwa pemerolehan
bahasa tidak tergantung pada inteligensia dan logika, dan bahwa hewan tidak
memiliki bahasa karena mereka tidak terlahir dengan Universal Grammar.
Sebagai penutup, Steinberg dan Sciarini (1993: 216) memaparkan satu aliran
terakhir yang juga berkonsentrasi pada pemerolehan pengetahuan, yaitu
emergentisme. Emegentisme yang merupakan bentuk baru dari empirisme
berpendapat bahwa manusia terlahir dengan otak yang melekat pada properti fisik,
yang memungkinkan daya pemrosesan intelektual untuk berkembang. Daya tersebut
dapat memproses input yang berasal dari dunia fisik dan darinya menghasilkan objek
intelektual termasuk bahasa dan matematika.
4. Gagal paham
Pembentukan dan pemahaman suatu ujaran adalah dua proses yang saling
terkait. Berkenaan dengan hubungan kedua proses tersebut, Garnham (1985: 219)
memaparkan dua teori. Pertama, proses pembentukan dan pemahaman memiliki
perbedaan kosakata dan aturan sintaksis. Pendukung teori ini menambahkan bahwa
perbedaan penggunaan kosakata paling terlihat pada bahasa anak, terbukti dari
bentuk kata yang dapat dikenali dan yang dapat dihasilkan oleh anak berbeda. Teori
ini pun dapat diterapkan pada penggunaan bahasa orang dewasa: kosakata bacaan
8

orang dewasa biasanya jauh lebih banyak daripada kosakata yang digunakan dalam
berbicara. Kedua, proses produksi dan pemahaman sebuah ujaran menggunakan
dasar pengetahuan yang sama. Salah satu contoh pengetahuan yang digunakan
Garnham dalam mengurai teori di atas adalah kaidah tatabahasa. Kaidah tatabahasa
bersifat netral dalam hubungannya dengan pembentukan dan analisis sebuah
kalimat; satu aturan yang sama dapat diaplikasikan baik dalam penyusunan struktur
sintaksis dalam pembentukan maupun pengkalkulasian dalam proses pemahaman.
Garnham yang cenderung mendukung teori kedua mendebat bahwa dua set
kosakata dan aturan sintaksis yang berbeda tidak dibutuhkan dalam prose berbicara
dan menulis (1985: 219). Bahasa lisan dan bahasa tulis terlihat sangat berbeda
karena kedua proses tersebut memiliki batasan memori yang juga berbeda.
Mengenai bahasa anak yang disinggung oleh teori pertama, Garnham berargumen
bahwa representasi fonologi yang sama dapat digunakan baik dalam pembentukan
dan
pemahaman
untuk
menciptakan
hasil
yang
berbeda,
dengan
mempertimbangkan bahwa sistem artikulasi anak-anak masih berada dalam proses
perkembangan (1985: 220).
Lebih lanjut mengenai proses pemahaman, untuk dapat memahami sebuah teks,
dibutuhkan juga pemahaman mengenai kalimat-kalimat penyusunnya; begitu pula
dalam memahami sebuah kalimat, pemahaman tentang kata dan hubungan
struktural antar kata penyusun juga dibutuhkan (Garnham, 1985: 135). Teori
Garnham tersebut sejalan dengan pemikiran Scovel: pemahaman merupakan proses
mengenali serangkaian simbol linguistik dengan sangat cepat (1998: 50). Scovel
menambahkan, pada banyak situasi, untuk dapat mengurai simbol linguistik tersebut,
pendengar dan pembaca tidak hanya memproses bahasanya saja, namun juga
mengikutsertakan informasi yang mendukung proses pemahaman. Meski dengan
bahasa yang berbeda, Garnham juga mengakui adanya informasi pendukung
tersebut.
Garnham (1985: 146) mengatakan bahwa kalimat-kalimat dari sebuah teks
dihubungkan satu sama lain oleh perangat linguistik (misal: gaya, kohesif) dan nonlinguistik (pengetahuan tentang dunia). Berkaitan dengan pendapat linguis mengenai
peran pengetahuan dalam proses penguraian maksud sebuah kalimat, Garnham
menyebutkan pendapat dari Johnson et al. dan Bransford et al. (Garnham, 1985:
160). Johnson et al. berpendapat bahwa pengetahuan tentang apa yang biasanya
terjadi memengaruhi cara penguraian kalimat. Serupa dengan pendapat Johnson et
al., Bransford et al. mengatakan bahwa manusia menggunakan pengetahuan
mereka tentang hubungan spasial untuk menyusun gambaran dari kalimat yang
didengar atau dibaca.
Peran pengetahuan sangat besar dalam proses pemahaman sebuah kalimat.
Dua dari sekian banyak kegunaan pengetahuan terhadap pemahaman bahasa,
menurut Garnham (1985: 156-157), antara lain: pengetahuan dari keseluruhan
konteks dapat membatasi interpretasi ekspresi pada sebuah teks, dan pengetahuan
tentang fakta tertentu atau bagaimana sesuatu biasanya terjadi dapat digunakan
untuk melengkapi detail yang tidak tercantum secara eksplisit pada teks. Contoh
yang digunakan Garnham adalah kalimat The teacher cut the juicy steak. Meskipun
tidak disebutkan secara eksplisit, pendengar atau pembaca akan menyimpulkan
bahwa guru tersebut memotong steak dengan menggunakan pisau, bukan pedang
atau gergaji, karena pada keadaan normal, pisaulah yang digunakan. Selain berguna
9

untuk menjelaskan detail yang tidak tercantum pada teks, pengetahuan tersebut juga
memberikan peluang kepada pembaca atau pendengar untuk mengelaborasi apa
yang diutarakan secara eksplisit pada teks, meskipun hal tersebut hanya digunakan
saat menjawab pertanyaan atau ketika penarikan kesimpulan dibutuhkan untuk
menghubungkan bagian-bagian dari teks.
Scovel (1998: 67) berpendapat bahwa ada dan tidaknya background informasi
dapat memengaruhi cara manusia mengingat dan memahami isi bacaan. Tentu
dengan adanya informasi tersebut, proses mengingat dan memahami menjadi lebih
mudah. Sebaliknya, jika background informasi tidak tersedia, kesalahpahaman
mungkin dapat terjadi. Garnham (1985: 169) juga mengatakan, kurangnya
pengetahuan dapat menyebabkan sebuah teks sulit dipahami. Gagal paham yang
lebih serius juga dapat terjadi akibat ketidaktahuan akan konteks dari teks yang
sedang dibaca atau didengarkan. Sehubungan dengan konteks, Garnham (1985:
178) membahas lebih lanjut: menentukan konteks dari sebuah bacaan, tidak cukup
hanya dengan mengetahui situasi, tetapi penting juga untuk menentukan apa yang
sebenarnya ingin disampaikan oleh penutur atau penulis; disamping itu, pembaca
dan pendengar memiliki alasan masing-masing untuk mempelajari teks tersebut, dan
alasan ini memengaruhi cara mereka memproses isi bacaan.
Selain kontes, topik atau judul bacaan juga memberi pengaruh pada proses
pemahaman. Jika topik umum dari teks tidak diketahui, pengetahuan yang harusnya
dapat digunakan sebagai dasar elaborasi tentang apa yang dibicarakan menjadi
tidak dapat diaplikasikan (Garnham, 1985: 169). Pernyataan di atas dikuatkan oleh
penelitian Dooling dan Lachman tentang pentingnya judul atau topik dalam
memahami sebuah bacaan. Dooling dan Lachman (via Garnham, 1985: 169-170)
berpendapat, judul bacaan yang diberitahukan setelah seseorang selesai membaca
atau mendengarkan tidak akan membantu orang tersebut mengingat atau
memahami isi bacaan; judul harus disebutkan sebelum proses membaca atau
mendengarkan untuk dapat menginterpretasikan isi bacaan. Penelitian Dooling dan
Lachman tersebut menggunakan kalimat Three sturdy sistersforging along
sometimes through vast calmness yet more ofter over turbulent peaks and valleys.
Ketika diberikan kalimat tersebut, pembaca merasa kesulitan memaknai maksud
bacaan. Baru setelah diberitahukan judul bacaan, Christopher Columbus Discovering
America, mereka dapat menginterpretasikan bahwa yang dimaksud three sisters
adalah kapal milik Columbus: Nina, Pinta, dan Santa Maria.
D. Kesimpulan
Berdasaran uraian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, kesimpulan
yang dapat diambil adalah sebagai berikut. Pertama, materi yang tersedia dalam
proses mendengarkan sangat berbeda dari materi pada proses membaca; pada
proses membaca, materi berupa serangkaian kata yang terpisah satu sama lain,
sedangkan pada proses mendengarkan pendengar akan mendengarkan ucapan
yang kata per katanya saling bersambungan. Karena hal itulah beberapa masalah
muncul terkait dengan proses mendengarkan. Field merumuskan masalah tersebut
menjadi enam poin, yaitu masalah linearitas (the linearity issue), masalah nonvariansi (the non-invariant issue), masalah normalisasi (the normalisation issue),
masalah akomodasi (the accommodation issue), masalah segmentasi leksikal (the
lexical segmentation issue), dan masalah penyimpanan (the storage issue). Untuk
10

mengatasi masalah tersebut, solusi yang dapat diterapkan antara lain teori motor
(motor theory), McGurk Effect, dan solusi penyimpanan memori.
Kedua, ambiguitas tersebar luas dalam penggunaan bahasa, baik dengan
disengaja maupun tanpa sengaja. Terdapat dua hipotesis tentang pemrosesan
kalimat ambigu oleh pendengar, yaitu hipotesis pemaknaan jamak (multiple reading
hypothesis), yang percaya bahwa pendengar akan memproses semua kemungkinan
makna yang terdapat pada kalimat ambigu, dan hipotesis pemaknaan tunggal (single
reading hypothesis), yang berpendapat dalam satu waktu, hanya ada satu
pemaknaan yang dimiliki sebuah kalimat. Kess dan Hoppe mengelompokkan
ambiguitas menjadi tiga level. Ketiga level tersebut menurut tingkat kesulitannya
adalah ambiguitas pada struktur dalam, ambiguitas pada permukaan struktur kalimat,
dan ambiguitas dalam level leksem. Untuk dapat menguraikan kalimat ambigu, dapat
digunakan dua cara, yaitu dengan menambahkan isyara akustik, dan menambahkan
batasan semantik. Sehubungan dengan konteks, Kess dan Hoppe menyebutkan dua
jenis konteks, yaitu konteks pragmatik dan konteks linguistik.
Ketiga, untuk mengetahui bagaimana pengetahuan diperoleh, Steinberg dan
Sciarini berpendapat bahwa terlebih dahulu harus dipahami beberapa cabang filsafat,
antara lain empirisme, rasionalisme, behaviorisme, dan fungsionalisme filsafat.
Mekipun demikian, pada akhir tulisannya, Steinberg dan Sciarini memunculkan satu
aliran baru, yaitu emergentisme. Emergentis berpendapat bahwa manusia terlahir
dengan otak yang melekat pada properti fisik, yang memungkinkan daya
pemrosesan intelektual untuk berkembang. Daya tersebut dapat memproses input
yang berasal dari dunia fisik, yang darinya dihasilkan objek intelektual termasuk
bahasa dan matematika.
Keempat, pembentukan dan pemahaman ujaran memiliki hubungan yang erat.
Dua teori mengenai hubungan kedua proses tersebut adalah: proses pembentukan
dan pemahaman memiliki perbedaan kosakata dan aturan sintaksis, dan proses
produksi dan pemahaman sebuah ujaran menggunakan dasar pengetahuan yang
sama. Pengetahuan ttentang dunia memiliki peran penting dalam proses
pemahaman. Garnham menyebutkan dua kegunaan pengetahuan terhadap
pemahaman bahasa, yaitu pengetahuan dari keseluruhan konteks dapat membatasi
interpretasi ekspresi pada sebuah teks, dan pengetahuan tentang fakta tertentu atau
bagaimana sesuatu biasanya terjadi dapat digunakan untuk melengkapi detail yang
tidak tercantum secara eksplisit pada teks. Gagal paham dapat terjadi karena tiga
hal: pengetahuan atau informasi yang tidak mencukupi, ketidaktahuan akan konteks
dari teks yang sedang dibaca atau didengarkan, tidak adanya topik atau judul
bacaan. Masalah tersebut dapat diatasi dengan memperbanyak pengetahuan,
menentukan konteks dari sebuah bacaan (mengetahui situasi dan apa yang
sebenarnya ingin disampaikan oleh penutur atau penulis), dan menyertakan topik
atau judul.
E. Daftar Pustaka
Field, John. 2003. Psycholinguistics A Resource Book for Students. Oxon:
Routledge.
Garnham, Alan. 1985. Psycholinguistics, Central Topics. London: Methuen & Co. Ltd.
11

Kess, Joseph F. dan Hoppe, Ronald A.. 1981. Ambiguity In Psycholinguistics.


Amsterdam: University Of Victoria.
Scovel, Thomas. 1998. Psycholinguistics. Oxford: Oxford University Press.
Steinberg, Danny D. dan Sciarini, Natalia V.. 1993. An Introduction to
Psycholinguistics. Harlow: Pearson Education Limited.
Warren, Paul. 2013. Introducing Psycholinguistics. Cambridge: Cambridge University
Press.

12

Anda mungkin juga menyukai