Anda di halaman 1dari 11

“Bahan-Bahan Naskah”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filologi


Dosen Pengampu: Dandung Adityo A.P. S.S., M.Hum.

Disusun Oleh : Kelompok 5

1. Muhammad Syarif H (53040200009)


2. Nur Atikah Husnaeni (53040200012)
3. Fajrotuz Zahroh (53040200017)
4. Ni’matul Muna (53040200022)
5. Rahmat Fajar Sudrajat (53040200047)
6. Robiah Al Adawiyah (53040200056)

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA ARAB


FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SALATIGA
2023
Bahan-Bahan Naskah

Untuk membuat Naskah adakalanya mengetahui bahan-bahan yang digunakan


untuk menulis Naskah, diantaranya:

1. Lontar
Lontar adalah jenis bahan naskah yang terbuat dari daun pohon palem lontar
(ental, taal, tal) atau Siwalan dengan nama latin Borassus flabellifer. Cara menulis pada
bahan lontar yaitu dengan di gores menggunakan sejenis pisau tulis yang di sebut peso
pangot. Untuk menghitamkan goresan aksara digunakan unsur arang alami dari kemiri
yang telah di bakar.
Bahan daun lontar telah di gunakan sejak lama dalam tradisi naskah sunda untuk
menulis teks. Rentang waktu penulisan lontar sebagai bahan tulis naskah sunda kuno,
diperkirakan berlangsung antara abad ke 15 hingga abad ke16. Keberadaan naskah lontar
sunda kuno itu merupakan tanda nyata bahwa pernah ada tradisi penulisan dan
penyalinan teks - teks sunda kuno pada masa lalu. Selain keberadaan naskah lontar
dengan teks dan aksara sunda kuno, banyak juga di temukan naskah-naskah lontar yang
berbahasa jawa (carakan) baik dalam koleksi lembaga maupun milik masyarakat di Jawa
Barat dan Banten.
Tidak hanya bukti artefak naskah lontar kuno saja yang masih bisa ditemui saat
ini, tetapi juga pengetahuan atau ingatan tentang keberadaan lontar sebagai bagian
budaya sunda terdokumentasi cukup baik antara lain dalam kamus sunda, tradisi lisan
carita pantun, dan bahkan lebih jauh lagi, ditemukan dalam teks sunda kuno. Dengan
demikian fungsi lontar sebagai alas tulis naskah sunda telah mendapat tempat tersendiri
dalam khazanah pengetahuan dan kebudayaan sunda dari masa ke masa.1

2. Dhaluang

Kertas merupakan sebuah benda yang menjadi kebutuhan bagi manusia karena
memiliki manfaat untuk berbagai kegiatan manusia seperti menulis, menggambar,
membuat karya seni atau kerajinan tangan. Indonesia memiliki tradisi pembuatan kertas

1
Ilham Nurwansah dan Aditia Gunawan, “Lontar”,
https://www.kairaga.com/naskah-sunda/bahan/lontar/ (diakses pada 24 Maret 2023, pukul 11.15).

1
tradisional yang disebut dengan kertas tradisional Daluang. Daluang merupakan kertas
tradisional khas Indonesia yang terbuat dari kulit kayu pohon Saeh dalam bahasa Sunda,
dalam bahasa Inggris Papermulberry, dan dalam bahasa latin Broussonetia papyrifera.2

Kertas Daluang merupakan kertas tradisional khas Indonesia yang dibuat dengan
proses tempa atau dipukul-pukul. Kertas Daluang terbuat dari kulit kayu pohon saeh yang
dibawa dari Asia Timur melalui Indo-China, Thailand dan Burma, kemudian dibawa oleh
pendatang ke Indonesia dan Oceania.

Kulit kayu pohon Papermulberry merupakan bahan pembuatan kertas tradisional


daluang. Sebelum dikenal sebagai kertas, daluang lebih dikenal sebagai kain kulit kayu.
Kain kulit kayu di Indonesia berasal dari Sulawesi Tengah yang disebut dengan istilah
Fuya. Di Sulawesi Tengah kain kulit kayu dimanfaatkan sebagai pakaian. Istilah Fuya
kurang dikenal di Jawa.

Kain kulit kayu lebih dikenal dengan istilah Tapa. Dalam sebuah catatan
dijelaskan bahwa pada tahun 1646 pernah ada seseorang yang berjalan dari Jawa Timur
ke Jawa Barat dengan memakai baju putih longgar dari kulit kayu. Namun pemanfaatan
kulit kayu sebagai baju di Jawa sangat sedikit. Di Jawa kain kulit kayu dimanfaatkan
sebagai media tulis atau lebih dikenal sebagai Daluang. Naskah kuno yang ditemukan di
Pulau Jawa kebanyakan ditulis di kertas dari kulit kayu atau Daluang.

a. Proses Pembuatan Dhaluang


Dalam proses pembuatan kertas dhaluang sebenarnya cukup mudah.
Proses pembuatan daluang tersebut masih manual dengan menggunakan teknik
tradisional.3
Secara keseluruhan pembuatan kertas Daluan ini memerlukan waktu satu
hingga dua minggu tergantung pada terik matahari. Kriteria pohon daluang yang
dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kertas adalah pohon daluang berumur
2-3 bulan. Pohon daluang tersebut telah memiliki serat dan kulit yang cukup
bagus.

2
Adrian Adhari, “Perancangan Informasi Kertas Tradisional Daluang Melalui Media Papercut”,
Diss. Universitas Komputer Indonesia, 2020.
3
Soetikna, R.T.A, 1939, “Dloewang Panaraga”, hlm. 191-194.

2
Dalam proses pembuatan daluang tidak membutuhkan zat kimia apapun,
sehingga kertas daluang ini sangat ramah lingkungan.

Serangkaian proses pembuatan Dhaluang sebagai berikut 4:

1) Pohon daluang yang digunakan adalah yang berumur minimal 1-2 bulan
dan maksimal 2 tahun. Dikarenakan semakin tua usia pohon, maka serat
dalam kayu semakin keras sehingga sulit dibentuk.
2) Kupas kulit bagian luar pohon daluang yang berwarna kehijauan secara
perlahan, Agar kulit bagian dalam tidak rusak.
3) Rendam batang pohon yang telah dikupas kulit luarnya selama semalam.
4) Kupas kulit dalam pohon daluang (berwarna putih), rendam selama
semalam agar kulit dalam tersebut lunak.
5) Kulit yang telah direndam (diperam) dipukul-pukul hingga tipis dan
melebar sesuai dengan tingkat ketipisan yang diinginkan. Semakin banyak
kulit yang digunakan maka akan semakin lebar kertas yang dihasilkan.
Lebar kertas yang dihasilkan dari selembar kulit daluang dapat mencapai
tiga kali lipat ukuran semula.
6) Kulit daluang yang telah ditipiskan direndam kembali (diperam) dan
difermentasikan dengan cara dibungkus menggunakan daun pisang selama
3-7 malam. Proses fermentasi ini bertujuan agar kulit daluang tersebut
mengeluarkan lender sehingga serat-serat kayunya semakin solid.
7) Setelah fermentasi selesai kulit daluang dijemur, diikat diatas permukaan
pohon pisang. Penjemuran dilakukan dibawah sinar matahari, bentuk
batang pisang yang halus ini akan mempengaruhi permukaan kertas
daluang.
8) Setelah kering, proses berikutnya adalah menghaluskan permukaan kertas
dengan menggunakan cangkang kerang yang memiliki permukaan halus.
Selanjutnya, kertas tersebut siap digunakan sesuai dengan kebutuhan
untuk melukis, kerajinan ataupun kertas buku.

4
Lestari, E. P. (2019), “DLUWANG SEJARAHMU KINI”, Jurnal Pustaka Budaya , 6(2), 22-29.

3
3. Kertas

Kertas merupakan salah satu bahan penulisan naskah kuno. Selain kertas, naskah
kuno juga ditulis dengan berbagai bahan diantaranya lontar, nipah, kulit kayu, dan
sebagainya, tetapi diantara bahan ters`ebut kertas tergolong paling rapuh. Seringkali
ditemukan bahan naskah kertas dalam keadaan amburadul atau bagian pinggir naskah
rusak. Naskah-naskah kuno menggunakan kertas yang disebut daluang.
Daluang merupakan kertas yang dibuat dari serat-serat tanaman dan banyak
dipakai di pulau Jawa serta berkembang di masa Islam. salah satu naskah non-keislaman
yang menggunakan kertas daluang sebagai alas naskah adalah Carita Waruga Guru yang
ditulis pada abad ke-18. Dari naskah sunda non-keislaman contohnya adalah “Cariosan
Prabu Siliwangi” versi museum Geusan Ulun Sumedang.5
a. Sejarah Kertas di Indonesia
Menurut catatan Albertine Gaur meyebutkan hampir semua penemuan
yang berhubungan dengan tulis-menulis berasal dari Asia dan Afrika. Kertas
merupakan ciptaan seorang Cina bernama Tsai Lun, seorang menteri pada
zaman pemerintahan Kaisar Wu Di dari Dinasti Han pada tahun 105. Hasil
penemuan ini menggantikan sutera sebagai alas tulis.
Kertas masuk ke Indonesia dan digunakan sebagai alas tulis naskah.
Pemerintah Hindia Belanda dan dunia perdagangan terutama menggunakan
kertas dari Belanda untuk keperluan administrasi dan surat menyurat mereka.
Impor dari negara- negara lain tidak banyak. Russel Jones mencatat ada tiga
arus mengenai impor kertas pada zaman VOC ke Indonesia. Pertama, arus
dari Belanda, kedua dari Inggris terutama ke Malaysia, dan ketiga di Itali
sebelah timur laut yang dahulu termasuk Kerajaan Austria.
Sebelumnya bermacam-macam kertas yang dipakai, yaitu berasal dari
Italia, Prancis, dan mungkin juga dari Spanyol dan Portugis. Menurut
H.Voom, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan- peraturan
dalam abad ke-19, sehingga ekspor ke Indonesia sangat menopang kelanjutan
hidup pabrik-pabrik kertas di Negeri Belanda. Dijelaskan pula bahwa pada

5
Agus Permana dan Madani, Juli 2017, “Daluang Sebagai Alat Tulis Dalam Proses Penyebaran
Islam Di Nusantara”, Jurnal al-Tsaqafa, Vol. 14, No. 02, hal. 233

4
tahun 1862 terdapat peraturan yang mewajibkan lembaga-lembaga
pemerintahan memakai kertas Pro Patria buatan Belanda. Pada tahun 1874,
peraturan-peraturan khusus mengenai impor kertas ke Indonesia dalam abad
ke-19 sampai tidak lama sebelum Perang Dunia II sangat penting bagi
kehidupan pabrik- pabrik kertas di Negeri Belanda.
Pada tahun 1663, menurut Voom para penguasa VOC mulai berfikir untuk
mendirikan pabrik kertas, yang akhirnya pada tahun 1665 siap didirikan.
Disamping pendirian pabrik kertas VOC juga mendirikan sebuah percetakan.
Kedua usaha ini tidak begitu berhasil, akhirnya pada tahun 1682, pengusaha
VOC memutuskan untuk menghentikan kegiatannya karena dipandang telah
merugikan mereka, bahkan dalam kenyataannya kertas yang diimpor dari
Belanda menjadi lebih murah.6
Sejarah lainnya menyebutkan bahwa di Indonesia kertas pertama kali
diprosuksi pada abad ke-7 dengan menggunakan bahan baku pohon dan
dilakukan di wilayah Ponorogo karena bahan yang dijadikan bahan baku
hanya tumbuh di kawasan Ponorogo. Ketika agama Islam mulai masuk ke
Indonesia penggunaan kertass kulit mulai dimanfaatkan secara lebih luas,
salah satunya adalah sebagai media penulisan kitab suci al-Qur’an di
Pesantren Tegalsari, Ponorogo, di bawah asuhan KH. Hasan Besari. Naskah
yang banyak menggunakan kertas adalah naskah yang berbahasa Melayu,
Jawa dan Sunda.
b. Kertas Eropa
Pada abad ke-17 digunakan kertas impor untuk menulis naskah. Ketika itu
VOC memperdagangkan kertas China dan kertas Arab berikut tinta sebagai
sarana pelengkap menulis. Kertas semacam itu dikenal sebagai kertass Eropa.
Tinta yang digunakan terbuat dari karbon, biasanya jelaga dicampur gum
Arabic.
Hasilnya tulisan atau gambar sangat stabil. Dalam perkembangannya, tinta
menambahkan zat tertentu agar cepat kering dan mengurangi kemungkinan
memudar. Lembaran yang sudah ditulis kemudian dijilid. Pada awalnya,
6
Eva Syarifa Wardah, Januari-Juni 2012, “Kajian Kondisi Fisik dan Seluk-Beluk Pernaskahan
(Kodikologi)”, Jurnal Tsaqofah, Vol. 10, No. 01, hal. 7-10.

5
naskah dijilid menggunakan kulit atau perkamen. Setelah itu mulai
menggunakan kain untuk memperkuat sampul buku. 7
c. Kertas Cina
Kertas Cina dibuat menggunakan bahan dari kulit kayu murbei, sisa-sisa
rami, kain bekas, dan jaring ikan. Proses dimulai dengan merendam bagian
dalam kulit kayu tersebut di air dan dipukul-pukul, sehingga seratnya lepas.
Bersama dengan kulit, direndam juga bahan rami, kain bekas, dan jala ikan.
Setelah menjadi bubur, bahan ini dibakar hingga tipis dan dijemur. Lalu
jadilah kertas, namun mutunya masih belum sebagus sekarang. Berkat
penemuannya, Tsai Lun mendapat gelar kebangsawanan dan sejarah tentang
penemuannya tercatat di sejarah resmi Dinasti Han.
Pada awal abad ketiga, proses pembuatan kertas pertama ini menyebar ke
wilayah Korea hingga Jepang. Kertas jenis ini juga menyebar hingga Arab
pada masa Dinasti Tang dan mulai menyentuh Eropa pada abad ke-12. Lalu
pada abad ke-16, kertas mencapai wilayah Amerika dan bertahap menyebar
ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.8
4. Pekarmen
Sejak zaman dahulu, literasi sudah menjadi bagian dari kehidupan dan
perkembangan manusia, dari zaman prasejarah sampai zaman modern. Proses
perkembangan literasi berasal dari tulisan yang dikenal dengan menggunakan perkamen
sebagai media untuk menulis.
Perkamen adalah alat tulis pengganti kertas yang dibuat dari kulit binatang
seperti, biri-biri, kambing atau keledai. Perkamen biasanya digunakan untuk halaman
buku, codex, atau manuskrip yang digunakan masyarakat dunia pada tahun 550 sebelum
Masehi. 9
Perkamen (parchment) adalah proses pembuatan dari kulit binatang supaya
menjadi keras, awet, berwarna keputihan, dan transparan dengan ketebalan yang seragam

7
Djulianto Susantio, Januari 2019, “Merawat Buku Kuno dan Naskah Kuno”,
https://www.kompasiana.com/amp/djuliantosusantio/5c37045e677ffb19e57cf60f/merawat-buku-kuno-
dan-naskah-kuno, (diakses tanggal 23 Maret 2023)
8
MariskaTracy, 2018, “Sejarah Perkembangan Kertas di Indonesia”,
https://www.pegipegi.com/travel/sejarah-perkembangan-kertas-di-indonesia/, (diakses tanggal 23 Maret
2023)
9
Chairul Rizal dkk, “Literasi Digital” (Padang: Get Press, 2022), hlm.1.

6
supaya dapat menyerap pigmen, tinta, dan cat. Kulit perkamen merupakan kulit yang
tidak disamak yang dipersiapkan secara khusus. (Gansser, 1950, p. 2941).
Di daerah Pucung dan Gendeng Yogyakarta menampilkan ukiran dan aspek
dekoratif yang diaplikasikan berbagai produk souvenir. Ukiran dan teknik pewarnaan
pada wayang kulit diaplikasikan dalam bentuk produk lampu hias, kipas, pembatas buku,
dan gantungan kunci. Bahan yang digunakan untuk kerajinan tersebut adalah kulit
perkamen.
a. Cara pembuatan Perkamen:
1) Kulit binatang yang masih basah diberi larutan kapur
2) Lalu dihilangkan bulunya
3) Kulit dimasukkan lagi ke dalam larutan kapur
4) Kemudian dicuci dari larutan kapur
5) Lalu dipentangkan dan dikeringkan.
6) Selama proses pengeringan maka, kulit perkamen digosok pada
bagian kulit yang masih basah supaya mengkilap. (Hunter, 1943,
p.14).
b. Jenis-jenis Perkamen:
1) Perkamen Uterine (Uterine Parchment)
Perkamen ini dibuat dari kulit binatang yang belum lahir, seperti
kulit kambing, domba, dan anak sapi. Kulit jenis ini mempunyai
karakter tipis dan kuat. (Reed, 1975, p. 76).
2) Perkamen Goldbetaer’s (Goldbeater’s Parchment)
Perkamen ini dibuat dari kulit kulit lembu. Kulit jenis ini
mempunyai karakter; tipis, kaku, kenyal, dan mempunyai elastisitas
yang tinggi. (Reed, 1975, p. 77).
3) Perkamen Transparan (Transparent Parchment)
Kulit ini pada zaman dahulu digunakan seperti ”kalkir” untuk
menjiplak elemen dekoratif. Selain itu digunakan untuk pengganti
kaca. (Reed, 1975, p.85).

Bahan kulit perkamen yang digunakan di daerah Pucung dan Gendeng


mempunyai kesamaan dengan Transparent Parchment yaitu karakter kulit yang

7
transparan dan mampu membiaskan cahaya dengan menampakkan serat alami dari kulit
tersebut. Kulit
perkamen diproduksi dalam bentuk lembaran dan mempunyai ketebalan rata-rata antara
0,8-1,5 mm, sehingga karakteristik kulit tersebut menyerupai lembaran kertas.10

5. Kertas Papyrus
Kertas papyrus sudah ada sejak 500 SM. Sama seperti kertas daluang, kertas
papyrus terbuat dari serat pohon, yakni pohon papyrus (Cyperus papyrus) yang tumbuh
di sepanjang sungai Nil (Roemer, 2008). Kertas papyrus merupakan media tulis baru
yang sebelumnya menggunakan batu, clay dan kayu. Berbeda dari kertas daluang, kertas
papyrus dibuat dengan cara pohon papyrus diambil inti batangnya yang dipotong tipis,
disatukan dan dikeringkan untuk membentuk permukaan tipis dan halus (Gaudet, 2019).
Mesir kuno mengembangkan penggunaan kertas papyrus. Dari yang awalnya
hanya lembaran kertas tak berbentuk, kertas papyrus dikembangkan menjadi lembaran
dengan ukuran tertentu dan dilipat, mengubahnya menjadi berukuran panjang hingga
menjadi gulungan, bahkan membuatnya seperti buku dengan sampul berupa kulit
binatang.
Kertas papyrus bahkan memiliki museum sendiri yang tidak hanya ada di Mesir,
tapi juga di Vienna, Austria dengan nama Museum Koleksi Papyrus. Manuskrip kuno dari
kertas papyrus pun tersebar di berbagai negara di Eropa maupun Amerika Serikat.
Papyrus bahkan menjadi oleh-oleh khas Mesir yang dijual di pasar-pasar tradisional
hingga dijual secara masif di pasar daring. Hal ini menunjukkan bahwa kertas papyrus
tidak hanya dijaga kelestariannya tapi juga tetap diproduksi massal. Cara tersebut
membuat dunia luar tahu bahwa papyrus merupakan kertas asli dari Mesir.

10
Anwar Hidayat, Januari 2007, “EKSPERIMEN KREATIFPERLAKUAN MATERIAL PADA
KULIT PERKAMEN”, Vol. 6, No. 1, hlm. 1.

8
DAFTAR PUSTAKA

Adhari, Adrian. (2020). Perancangan Informasi Kertas Tradisional Daluang Melalui Media


Papercut. (Diss. Universitas Komputer Indonesia, 2020). Dari
https://elibrary.unikom.ac.id/id/eprint/3527/.

Hidayat, Anwar. (2007). EKSPERIMEN KREATIF PERLAKUAN MATERIAL PADA KULIT


PERKAMEN. Education. Vol. 6, No. 1, hlm. 1.

Lestari, Ema Puji. (2019). DLUWANG SEJARAHMU KINI. Jurnal Pustaka Budaya. Vol. 6, No.
2.

Nurwansah, Ilham & Gunawan, Aditia. (2021). Lontar. Dikses pada 24 Maret 2023, pukul 11.15,
dari https://www.kairaga.com/naskah-sunda/bahan/lontar/ .

Permana, Agus & Madani. (2017). Daluang Sebagai Alat Tulis Dalam Proses Penyebaran Islam
Di Nusantara. Jurnal al-Tsaqafa, Vol. 14, No. 02, hal. 233.

Rizal, Chairul dkk. (2022). Literasi Digital. Padang: Get Press.

Soetikna, R.T.A. (1939). Dloewang Panaraga. hlm. 191-194

Susantio, Djulianto. (2019). Merawat Buku Kuno dan Naskah Kuno. Diakses pada 23 Maret
2023, dari
https://www.kompasiana.com/amp/djuliantosusantio/5c37045e677ffb19e57cf60f/
merawat-buku-kuno-dan-naskah-kuno.

Tracy, Mariska. (2018). Sejarah Perkembangan Kertas di Indonesia. Diakses pada 23 Maret
2023, pukul 13.20, dari https://www.pegipegi.com/travel/sejarah-perkembangan-kertas-
di-indonesia/.

9
Wardah, Eva Syarifa. (2012). Kajian Kondisi Fisik dan Seluk-Beluk Pernaskahan (Kodikologi),
Jurnal Tsaqofah. Vol. 10, No. 01. hlm. 7-10.

10

Anda mungkin juga menyukai